07 September 2009

Antara Keberanian dan Kecerdikan di Medan Jihad

(arrahmah.com) - Peperangan di Irak tidak menyurutkan para bocah belasan tahun untuk ikut serta di dalamnya. Di beberapa kesempatan mereka ikut serta melakukan penyerangan terhadap tentara Amerika. Aksi generasi muda ini telah mengakibatkan kerugian yang signifikan bagi tentara Amerika. Bahkan pasukan Amerika cukup dipusingkan oleh amaliyah anak-anak n(g)akal itu.

Berikut ini adalah sebuah kisah amaliyah yang dilakukan oleh seorang bocah. Kisah ini terjadi di sebuah kota kecil yang terletak di Iraq bagian Barat

Sebagaimana biasa, pasukan Amerika mengadakan patroli di jalanan dengan menggunakan beberapa kendaraan Humvee, yang menjadi tugas harian mereka. Ketika mobil patroli mereka melewati kerumunan orang di tepi jalan, tiba-tiba keluarlah seorang anak imut berusia 13 tahun dan melemparkan granat ke arah mobil tersebut. Granat tangan itu, dengan izin Allah, tepat mengenai salah satu mobil dan menyebabkan Humvee tersebut terbakar. Beberapa orang penumpang yang ada di dalamnya mengalami luka berat.

Sayang anak itu tidak bisa melarikan diri dengan baik, dan memilih bersembunyi di tengah kerumunan orang. Tentara Amerika yang lain segera memblokir jalan, dan mengamankan semua orang yang ada di dalam kerumunan tersebut, untuk diperiksa. Tentu saja bocah yang baru saja melakukan amaliyah itu termasuk ke dalam mereka yang diperiksa. Untuk keperluan pemeriksaan itu tentara Amerika pun mengeluarkan peralatan canggih, yang biasa mereka gunakan dalam operasi serupa di berbagai kesempatan. Peralatan yang digunakan ini mampu mendeteksi residu bahan peledak yang ada di tubuh seseorang. Dengan begitu mereka bisa mengidentifikasi mujahid dengan baik.

Selanjutnya, mereka memeriksa tubuh setiap orang yang ada di kerumunan tersebut. Ketika alat itu didekatkan kepada si bocah tersebut, ia mengeluarkan suara yang menandakan pada diri anak tersbut ada sisa-sisa bahan peledak. Sedangkan terhadap orang-orang selain anak itu tidak ada reaksi dari alat itu. Berdasarkan dari hasil pemeriksaan dengan alat detektor itu anak tersebut ditangkap, diborgol dan dibawa menuju kendaraan yang lain.

Peristiwa itu menimbulkan keheranan pada beberapa orang yang ada di sana. Seolah mereka tak percaya sambil bergumam, “Masak, anak sekecil itu berani melakukan penyerangan terhadap tentara Amerika?”.

Bocah yang tampak imut itu dengan tenang mengikuti perintah tentara penjajah. Keberanian bocah belasan tahun itu justru membangkitkan rasa kasihan pada salah seorang lelaki yang ikut berkerumun di tepi jalan. Ia merasa berdosa kalau membiarkan anak kecil itu ditangkap Amerika, lalu disiksa hingga mati, atau cacat seumur hidup. Lalu dia berteriak, “Yang melemparkan granat itu saya, bebaskan anak itu!”

Kontan saja semuanya menjadi bingung, mana yang benar? Demikian juga pasukan Amerika itu pun juga mengalami kebingungan. Di pihak tentara, timbullah perselisihan. Ada di antara mereka yang berkeras untuk tetap membawa anak tiu, tetapi ada yang menginginkan untuk membawa laki-laki yang baru saja mengakui perbuatannya.

“Saya yang melakukannya, bebaskan anak itu! Semua menda yang tadi saya bawa telah saya buang, dan mungkin mengenai anak itu sehingga bebaskan ia. Dia tidak bersalah” kata lelaki itu meyakinkan tentara Amerika.

Mendengar penjelasan itu beberapa tentara Amerika berdiskusi di antara mereka. Sebenarnya para tentara itu tidak puas dengan ocehan lelaki itu. Tetapi mereka berpikir, kalau hanya menangkap anak kecil, akan mendapat tuntutan dan protes dari gerakan HAM internasional, yang ujungnya mereka akan kena damprat dari atasan mereka, sebagaimana yang sering mereka rasakan. Meskipun tidak puas dengan kejadian itu akhirnya, mereka melepaskan si anak dan membawa lelaki untuk ditahan. Sementara itu si bocah bisa pulang dengan selamat.

Luar biasa kedua orang, bocah dan lelaki itu

Tentu kita bertanya, mengapa lelaki itu mau mengorbankan dirinya untuk membela bocah kecil itu? Kita bisa menganalisa fikiran lelaki tersbeut, Jika upayanya untuk membebaskan bocah itu gagal, bocah itu tentu tidak akan mau mengorbankan siapa-siapa dan tetap mengakui perbuatannya. Meski demikian lelaki itu akan bisa mendampingi dan membelanya, sehingga si bocah tersebut bisa diringankan dari penderitaan. Tetapi jika tidak demikian, ia akan mengingkari pengakuan awalnya. Ia akan menyatakan tidak kenal terhadap anak tersebut, dan tidak terlibat jaringan anak itu. Ia hanya mengaku kasihan terhadap anak kecil yang seharusnya merasakan keindahan masa kanak-kanak, tetapi terampas oleh penjajahan. Dengan demikian ia akan mendapatkan hukuman yang lebih ringan dari yang seharusnya ditanggung oleh si bocah tersebut. Sementara si bocah tersebut bisa melanjutkan perjuangannya melawan pasukan penjajah, Amerika.

Subhanallah… sebuah pelajaran berharga diperagakan oleh dua insan yang tidak saling kenal. Tetapi keduanya memiliki jiwa perjuangan dan saling membela. Kesadaran seperti ini jarang terjadi di zaman kita saat ini. Kecuali orang-orang yang menyadari agamanya, dan mengingat sabda Rasulullah salallahu alaihi wasallam di dalam hadis shahih yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, “Barangsiapa melapangkan kesulitan seorang muslim, maka Allah akan melapangkan kesulitannya di hari kiamat”. Semoga Allah benar-benar memberikan kemudahan kepada lelaki tersebut, di dunia maupun di akhirat.