15 October 2009

Antara Amrozi dan Tibo

Kalangan Salibis menolak hukuman mati atas Tibo cs. Tapi, mereka tidak pernah menolak hukuman mati bagi Amrozi dkk. Mengapa?

Tidak terlalu sulit untuk menilai sikap kelompok Kristiani terhadap penegakan hukum di Indonesia. Sikap tersebut tergambar secara jelas dari berbagai kasus politik dan hukum yang terjadi selama ini.

Dalam kasus tiga terpidana mati kasus pembantaian kaum Muslimin pada tahun 2000 di Poso, misalnya. Bak koor dalam paduan suara, suara kaum Nasrani atas kasus Tibo cs, kompak.

Bukti kekompakan kaum Salibis, utamanya orang-orang Katolik, terlihat dalam aksi-aksi mereka menolak hukuman mati atas Tibo cs. Dari mulai pendeta, jemaat, hingga para politisi Kristen-Katolik, turun ke jalan menolak keras hukuman mati tersebut. Dengan berbagai dalih, mereka juga menyebut bahwa hukuman mati sudah tak layak lagi dijalankan karena melanggar hak asasi manusia.

Penolakan keras itu dapat dilihat dari pandangan kritis sejumlah politisi Kristen-Katolik. “Kasus Tibo ini sudah complicated. Puluhan ribu manusia mati di berbagai kerusuhan di tanah air, tapi para otaknya berkeliaran di Jakarta dan kota-kota lainnya. Kenapa yang dihukum mati hanya Tibo cs? Dari segi keadilan ini tidak pas,” kata Sekretaris Umum Persatuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) Pendeta Richard M. Daulay, saat dihubungi Sabili.

Pandangan senada dikemukakan Ketua Umum Partai Damai Sejahtera (PDS) Pendeta Ruyandi Hutasoit. Ruyandi bahkan menyebut pengadilan yang mengadili Tibo cs, sesat. Pengadilan Tibo cs, menurutnya, tidak sesuai prosedur karena saksi yang dihadirkan memberatkan Tibo cs.

“Bagaimana mungkin orang desa yang jempolnya sendiri ada di Salib melakukan pembunuhan dan memimpin serangan 100-an pasukan. Karenanya, kami meminta kepada pihak terkait melakukan penyelidikan ulang kasus Tibo cs,” kata Ruyandi, memberi argumentasi.

Seolah melengkapi sikap para pemuka Nasrani tersebut, Kongres ke-13 Pemuda Katolik yang diselenggarakan di Ambon Rabu (30/8) lalu, menolak eksekusi mati Tibo cs dengan menyerukan penghapusan hukuman mati di Indonesia.

Tapi anehnya, saat ditanya tentang kasus hukuman mati atas pelaku terorisme, seperti Imam Samudera, Amrozi dan lainnya, sikap mereka tampak gamang. Bahkan, kelihatan sekali, mereka memberikan jawaban sekenanya, kalau tidak mau disebut double standard.

Ketika Sabili menanyakan kasus terhukum mati kasus terorisme Amrozi kepada Pendeta Richard M. Daulay, misalnya, Sekretaris Umum PGI itu cenderung mengalihkan masalah sambil menyebut tidak ada hubungannya antara hukuman mati pada kasus terorisme dengan hukuman mati atas Tibo cs.

“Kita hanya menangkap suasana kebatinan bangsa ini yang ditimbulkan oleh kasus-kasus pertikaian. Tibo, misalnya, ada banyak pemberitaan-pemberitaan di koran, televisi bahwa kasus Poso bernuansa agama. Ini sangat berbeda dengan kasus Amrozi cs,” katanya.

Anehnya, kepada khalayak, mereka seakan berada di posisi depan sebagai pembela hak asasi manusia tertindas. Setali tiag uang, media pun tidak sedikit yang mengekspos mereka dan menyebutnya sebagai para pendekar hak asasi manusia. Benarkah seperti itu? Jika demikian, yang disoal hukuman matinya atau kasusnya? Jika menolak hukuman mati, mengapa dibedakan dengan Amrozi dkk? Padahal, meski kasusnya berbeda, namun hukuman yang dijatuhkan kepada Tibo cs dan Amrozi cs adalah serupa: sama-sama dihukum mati.

Bagaimana bisa disebut sebagai pahlawan hak asasi manusia, sementara mereka hanya menolak hukuman mati bagi Tibo cs yang notabene seiman dengan mereka. Sementara Amrozi dkk, mesti mendapat hukuman serupa dengan Tibo cs, tapi karena tidak seiman, harus mendapat perlakuan tidak adil.

Praktisi hukum Munarman menilai, masalah utama kasus Tibo bukan pada soal aktor intelektual atau bukan intelektual. Tapi, yang menjadi kunci persoalannya adalah Tibo cs melakukan pembantaian atau tidak. Dan ternyata, berdasarkan persidangan Tibo cs terbukti melakukan pembunuhan.

“Jadi, persoalannya bukan soal Tibo tokoh intelektual atau bukan, tapi Tibo terbukti di persidangan telah melalukan tindakan kejahatan. Apalagi, tindakan Tibo termasuk aksi pembunuhan yang terencana yang memakan korban ratusan orang. Walaupun Tibo bukan tokoh intelektualnya, tapi ia terbukti menjadi komandan lapangannya. Dan itu sudah menjadi fakta hukum,” tegasnya.

Tanpa bermaksud apapun, karenanya, Munarman mencurigai adanya upaya dari kalangan Nasrani untuk mengalihkan isu kasus Tibo. Targetnya, untuk mengaburkan masyarakat terhadap proses hukum Tibo, sehingga ada alasan kuat untuk membebaskan komandan pasukan kelelawar hitam itu dari hukuman mati.

Munarman khawatir ada pihak-pihak tertentu dengan opini yang sesat berusaha menjerumuskan bangsa ini ke jurang kesesatan yang dalam. Jika itu terjadi, bangsa Indonesia yang mayoritas Islam ini akan dikenal sebagai bangsa yang tidak beradab karena tidak menghargai hukum.

Oleh sebab itu, Munarman meminta semua pihak, termasuk para praktisi hukum dan politisi agar tidak terjebak pada opini sesat tersebut. Ia juga meminta semua kalangan untuk melihat kasus Tibo ini secara cerdas dan hati-hati dengan selalu menempatkannya pada koridor hukum agar tidak melenceng ke persoalan politik dan konspirasi.

Dalam catatan sejarah,“pembangkangan” kaum Nasrani terhadap penegakan hukum di Indonesia bukan hanya terjadi pada kasus Tibo cs saja. Proses penghapusan tujuh kata dalam sila pertama Pancasila, misalnya. Tanpa peduli dengan hasil kesepakatan the founding father bangsa, kelompok Kristen berusaha menghapus tujuh kata: Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.

Usaha mereka ternyata tidak bertepuk sebelah tangan. Melalui trik dan konspirasi, mereka mengancam keluar dari NKRI jika tujuh kata yang tercantum pada sila pertama Pancasila itu tidak dihapus.

Kasus serupa terjadi saat Musyawarah antar Golongan Agama pada 30 November 1967. Musyawarah dengan tujuan mencari jalan ke luar ketegangan antar agama di Indonesia tersebut nyaris mengalami jalan buntu dan gagal total. Itu lantaran kalangan Salibis menolak satu klausul yang paling menentukan bagi terwujudnya kerukunan umat beragama. Klausul tersebut berbunyi,”…tidak menjadikan umat yang telah beragama sebagai sasaran penyebaran agama masing-masing.”

Kasus penolakan mereka atas RUU Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas), tidak kalah konyolnya. Selain berbau Islam, mereka juga menyebut RUU tersebut melanggar HAM dan memecah belah bangsa. Penolakan atas RUU ini hanya karena RUU tersebut mencantumkan pasal “kewajiban sekolah memberikan pelajaran agama sesuai agama murid”.

Jelas, kaum Nasrani begitu amat kompak ketika ada kepentingannya yang terganggu. Tidak peduli, jika tindakan mereka menyalahi aturan. Lantas, bagaimana dengan umat Islam? Jika kaum Nasrani yang tersekat oleh ratusan sekte tersebut bisa kompak, kaum Muslimin yang notabene memiliki ikatan akidah dan ukhuwah, semestinya bisa lebih kompak lagi.

Allah Subhanahu wa Ta’ala menerangkan pentingnya ukhuwah antar sesama Muslim, misalnya dalam surah al-Hujurat ayat 10,“Sesungguhnya orang-orang Mukmin adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.” (sabili.co.id/arrahmah.com)