10 October 2009

Antara Cinta Nabi dan Maulid Nabi


Oleh: Muhammad Abduh T.

Saudaraku yang semoga selalu mendapatkan taufik Alloh Ta’ala. Itulah yang harus dimiliki setiap muslim yaitu hendaklah Nabinya lebih dia cintai dari makhluk lainnya. Anas bin Malik mengatakan bahwa Rosulullah shallallohu ’alaihi wa sallam bersabda, “Salah seorang di antara kalian tidak akan beriman sampai aku lebih dia cintai daripada anaknya, orang tuanya bahkan seluruh manusia.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Cinta bukanlah hanya klaim semata. Semua cinta harus dengan bukti. Di antara bentuk cinta pada Nabi shallallohu ‘alaihi wa sallam adalah Ittiba’ (mengikuti), taat dan berpegang-teguh pada petunjuknya. Karena ingatlah, ketaatan pada Nabi shallallohu ‘alaihi wa sallam adalah buah dari kecintaan.

Penyair Arab mengatakan: Sekiranya cintamu itu benar niscaya engkau akan mentaatinya. Karena orang yang mencintai tentu akan mentaati orang yang dicintainya.

Kebalikan dari Cinta

Dari penjelasan di atas terlihat bahwa di antara bukti cinta adalah mentaati dan ittiba’ pada Nabi shallallohu ‘alaihi wa sallam. Berarti kebalikan dari hal ini adalah enggan mentaatinya dan melakukan suatu ibadah yang tidak ada ajarannya.

Dari sini berarti setiap orang yang melakukan suatu ajaran yang tidak ada tuntunan dari Nabinya, maka ungkapan cinta Nabi pada dirinya patut dipertanyakan. Karena ingatlah di samping niat baik, seseorang harus mendasari setiap ibadah yang dia lakukan dengan selalu mengikuti tuntunan Nabinya shallallohu ‘alaihi wa sallam.

Rosulullah shallallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718)

Lalu apakah betul cinta Nabi harus dibuktikan dengan mengenang hari kelahiran beliau dalam acara maulid Nabi?

Sejarah Maulid Nabi

Jika kita menelusuri dalam kitab tarikh (sejarah), perayaan Maulid Nabi tidak kita temukan pada masa Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in dan juga empat Imam Madzhab (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad), padahal mereka adalah orang-orang yang sangat cinta dan mengagungkan Nabinya shallallohu ‘alaihi wa sallam.

Perlu diketahui pula bahwa -menurut pakar sejarah yang terpercaya-, yang pertama kali mempelopori acara Maulid Nabi adalah Dinasti ‘Ubaidiyyun atau disebut juga Fatimiyyun (silsilah keturunannya disandarkan pada Fatimah).

Asy Syaikh Bakhit Al Muti’iy, mufti negeri Mesir dalam kitabnya Ahsanul Kalam (hal. 44) mengatakan bahwa yang pertama kali mengadakan 6 perayaan Maulid yaitu: perayaan Maulid (hari kelahiran) Nabi shallallohu ‘alaihi wa sallam, maulid ‘Ali, maulid Fatimah, maulid Al Hasan, maulid Al Husain –radhiyAllohu ‘anhum- dan maulid Khalifah yang berkuasa saat itu yaitu Al Mu’izh Lidinillah (keturunan ‘Ubaidillah dari dinasti Fatimiyyun) pada tahun 362 H. (Dinukil dari Al Maulid, hal. 20)

Fatimiyyun yang Sebenarnya

Kebanyakan orang belum mengetahui siapakah Fatimiyyun atau ‘Ubaidiyyun. Seolah-olah Fatimiyyun ini adalah orang-orang sholeh dan punya I’tiqod baik untuk mengagungkan Nabi shallallohu ‘alaihi wa sallam. Tetapi kenyataannya tidak demikian.

Ahmad bin ‘Abdul Halim Al Haroni Ad Dimasqiy mengatakan, “Perlu diketahui, para ulama telah sepakat bahwa Daulah Bani Umayyah, Bani Al ‘Abbas (‘Abbasiyyah) lebih dekat pada ajaran Alloh dan Rosul-Nya, lebih berilmu, lebih unggul dalam keimanan daripada Daulah Fatimiyyun. Dua daulah tadi lebih sedikit berbuat bid’ah dan maksiat daripada Daulah Fatimiyyun. Bani Fatimiyyun adalah di antara manusia yang paling fasik (banyak bermaksiat) dan paling kufur.” (Majmu’ Fatawa, 35/127)

Seorang pakar sejarah yang bernama Al Maqrizy juga menjelaskan bahwa begitu banyak perayaan yang dilakukan oleh Fatimiyyun dalam setahun. Beliau menyebutkan kurang lebih ada 25 perayaan. Bahkan lebih parah lagi mereka juga mengadakan perayaan hari raya orang Majusi dan Nashrani yaitu hari Nauruz (Tahun Baru Persia), hari Al Ghottos, hari Milad (Natal), dan hari Al Khomisul ‘Adas (perayaan tiga hari selelum Paskah).

Ini pertanda bahwa mereka jauh dari Islam. Bahkan perayaan-perayaan maulid yang diadakan oleh Fatimiyyun tadi hanyalah untuk menarik banyak masa supaya mengikuti madzhab mereka.

Jika kita menilik aqidah mereka, maka akan nampak bahwa mereka memiliki aqidah yang rusak dan mereka adalah pelopor dakwah Batiniyyah yang sesat.

Al Qodhi Abu Bakr Al Baqillaniy dalam kitabnya ‘yang menyingkap rahasia dan mengoyak tirai Bani ‘Ubaidiyyun’, beliau menyebutkan bahwa Bani Fatimiyyun adalah keturunan Majusi. Cara beragama mereka lebih parah dari Yahudi dan Nashrani. Bahkan yang paling ekstrim di antara mereka mengklaim ‘Ali sebagai ilah (Tuhan yang disembah) atau ada sebagian mereka yang mengklaim ‘Ali memiliki kenabian. Sungguh Bani Fatimiyyun ini lebih kufur dari Yahudi dan Nashrani. (Lihat Al Bida’ Al Hawliyah, 142-158)

Inilah sejarah yang kelam dari Maulid Nabi. Dari penjelasan di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa merayakan Maulid Nabi berarti telah mengikuti Daulah Fatimiyyun yang pertama kali memunculkan perayaan maulid. Dan ini berarti telah ikut-ikutan dalam tradisi orang yang jauh dari Islam, senang berbuat sesuatu yang tidak ada tuntunannya, telah menyerupai di antara orang yang paling fasiq dan paling kufur. Padahal Nabi shallallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka” (HR. Ahmad dan Abu Dawud. Sanad jayyid/bagus)

Sikap Ahlus Sunnah dalam Menyikapi Perayaan Maulid Nabi

[Pertama] Muhammad bin ‘Abdus Salam Khodr Asy Syuqairiy mengatakan, “Bulan Rabi’ul Awwal ini tidaklah dikhusukan dengan shalat, dzikir, ‘ibadah, nafkah atau sedekah tertentu. Bulan ini bukanlah bulan yang di dalamnya terdapat hari besar Islam seperti berkumpul-kumpul dan adanya ‘ied sebagaimana digariskan oleh syari’at.

Bulan ini memang adalah hari kelahiran Nabi shallallohu ‘alaihi wa sallam dan sekaligus pula bulan ini adalah waktu wafatnya beliau. Bagaimana seseorang bersenang-senang dengan hari kelahiran beliau sekaligus juga kematiannya [?] Jika hari kelahiran beliau dijadikan perayaan, maka itu termasuk perayaan Bid’ah yang mungkar. Tidak ada dalam syari’at maupun dalam akal yang membenarkan hal ini.

Jika dalam Maulid terdapat kebaikan, lalu mengapa perayaan ini dilalaikan oleh Abu Bakar, ‘Umar, Utsman, ‘Ali, dan sahabat lainnya, juga Tabi’in dan yang mengikuti mereka?.

Tidak disangsikan lagi, perayaan yang diada-adakan ini adalah kelakuan orang-orang sufi, orang yang serakah pada makanan, orang yang gemar menyiakan waktu dengan permainan sia-sia dan pengagung bid’ah.

Lantas faedah apa yang bisa diperoleh, pahala apa yang bisa diraih dari penghamburan harta yang memberatkan?. (As Sunan wal Mubtada’at Al Muta’alliqoh Bil Adzkari wash Sholawat, 138-139)

[Kedua] Seorang ulama Malikiyyah, Syaikh Tajuddin ‘Umar bin ‘Ali –yang lebih terkenal dengan Al Fakihaniy- mengatakan bahwa maulid adalah Bid’ah Madzmumah (bid’ah yang tercela).

Beliau rahimahullah mengatakan, “Aku tidak mengetahui bahwa maulid memiliki dasar dari Al Kitab dan As Sunnah sama sekali. Tidak ada juga dari satu pun ulama yang dijadikan Qudwah (teladan) dalam agama menunjukkan bahwa maulid berasal dari pendapat para ulama terdahulu. Bahkan maulid adalah suatu bid’ah yang diada-adakan, yang sangat digemari oleh orang yang senang menghabiskan waktu dengan sia-sia, sangat pula disenangi oleh orang serakah pada makanan.

Kalau mau dikatakan maulid masuk di mana dari lima hukum Taklifi (yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram), maka yang tepat perayaan maulid bukanlah suatu yang wajib secara Ijma’ (kesepakatan para ulama) atau pula bukan sesuatu yang dianjurkan (sunnah). Karena yang namanya sesuatu yang dianjurkan (sunnah) tidak dicela orang yang meninggalkannya. Sedangkan maulid tidaklah dirayakan oleh sahabat, tabi’in dan ulama sepanjang pengetahuan kami. Inilah jawabanku terhadap hal ini. Dan tidak bisa dikatakan merayakan maulid itu mubah karena yang namanya bid’ah dalam agama –berdasarkan kesepakatan para ulama kaum muslimin- tidak bisa disebut mubah. Jadi, maulid hanya bisa kita katakan terlarang atau haram.” (Al Hawiy Lilfatawa Lis Suyuthi, 1/183)

PEMBELAAN SEBAGIAN ORANG DALAM MASALAH MAULID

[Pertama] Maulid adalah Bentuk Rasa Syukur, Pengagungan dan Nantinya akan lebih mengenal sosok Nabi shallallohu ‘alaihi wa sallam

Cukup kami jawab, kalau memang maulid adalah bentuk syukur, mengapa sejak generasi sahabat hingga Imam Madzhab yang 4 tidak ada yang melakukan perayaan ini?. Apakah keimanan mereka lebih rendah dibanding orang-orang sekarang yang merayakannya?.

Para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengatakan: “Seandainya amalan tersebut baik, tentu mereka (para sahabat) sudah mendahului kita untuk melakukannya.”

Inilah perkataan para ulama pada setiap amalan atau perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh para sahabat. Mereka menggolongkan perbuatan semacam ini sebagai Bid’ah. Karena para sahabat tidaklah melihat suatu kebaikan kecuali mereka akan segera melakukannya. (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, pada tafsir surat Al Ahqof ayat 11)

Juga kami katakan, “Mengapa ucapan syukur, penghormatan dan mengenal sosok Nabi shallallohu ‘alaihi wa sallam hanya sekali dalam setahun, hanya pada 12 Rabi’ul Awwal?. Mengagungkan, mencintai, mengenal sosok beliau dan bersyukur bukan hanya sekali setahun, namun setiap saat dengan mentaati dan selalu Ittiba’ pada beliau.”

[Kedua] Maulid Nabi adalah Bid’ah Hasanah (Bid’ah yang baik)

Ingatlah saudaraku, bid’ah dalam hadits-hadits Nabi shallallohu ‘alaihi wa sallam tidak dikenal sama sekali adanya Bid’ah Hasanah. Bahkan yang dikatakan oleh Nabi shallallohu ‘alaihi wa sallam dan diyakini oleh sahabat, setiap Bid’ah adalah Sesat.

Nabi shallallohu ‘alaihi wa sallam sendiri bersabda, “Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallohu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan (Bid’ah) dan setiap Bid’ah adalah Sesat.” (HR. Muslim no. 867)

Abdullah bin ‘Umar radhiyAllohu ‘anhuma berkata, “Setiap bid’ah adalah sesat, walaupun manusia menganggapnya baik.” (Lihat Al Ibanah Al Kubro li Ibni Baththoh, 1/219, Asy Syamilah)

Dari hadits dan perkataan sahabat di atas, kita akan melihat bahwa mereka mengatakan semua bid’ah itu sesat, tanpa ada pengecualian.

Bagaimana jika ada yang mengatakan bahwa ‘Umar bin Al Khaththab pernah menyatakan bahwa shalat tarawih yang dia hidupkan adalah “sebaik-baik bid’ah”?. Dari perkataan beliau ini menurut mereka, ada Bid’ah Hasanah (yang baik).

Sanggahan: Ingatlah para sahabat tidak mungkin melakukan bid’ah. Yang dimaksud dengan bid’ah dalam perkataan ‘Umar adalah bid’ah secara bahasa Arab yang berarti sesuatu yang baru.

Jika ada yang masih ngotot bahwa tidak semua bid’ah sesat, ada di sana bid’ah yang baik (hasanah), maka cukup kami katakan: Kalau ‘Umar menghidupkan shalat tarawih dan beliau katakan sebagai bid’ah, hal ini ada dalil dari Nabi shallallohu ‘alaihi wa sallam. Karena dulu Nabi shallallohu ‘alaihi wa sallam juga melaksanakan shalat tarawih di awal-awal Ramadhan. Namun karena takut amalan tersebut dianggap wajib, maka beliau tidak menunaikannya lagi. Jadi, intinya ‘Umar memiliki dasar dari perbuatan Nabi shallallohu ‘alaihi wa sallam.

Sekarang, apa maulid Nabi memiliki dasar dari beliau shallallohu ‘alaihi wa sallam sebagaimana shalat tarawih yang dihidupkan oleh ‘Umar?. Jawabannya tidak sama sekali. Beliau shallallohu ‘alaihi wa sallam tidak pernah merayakan hari kelahirannya, begitu pula para Sahabat, Tabi’in, dan para Imam Madzhab tidak ada yang merayakannya. Sehingga Maulid tidak bisa kita sebut Bid’ah Hasanah. Yang lebih tepat Maulid adalah Bid’ah Madzmumah (tercela) sebagaimana yang dikatakan oleh Asy Syuqairiy dan Al Fakihaniy yang telah kami sebutkan di atas.

[Ketiga] Nabi memperingati hari kelahirannya dengan berpuasa

Sebagian beralasan dengan puasa Nabi shallallohu ‘alaihi wa sallam pada hari Senin, karena pada hari tersebut adalah hari kelahirannya. Ini berarti hari kelahiran boleh dirayakan.

Sanggahan: Bagaimana mungkin dalil di atas menjadi dalil untuk merayakan hari kelahiran beliau?. Ini sungguh tidak tepat dalam berdalil. Lihatlah Nabi shallallohu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melaksanakan puasa pada tanggal kelahirannya yaitu tanggal 12 Rabiul Awwal, dan itu kalau benar pada tanggal tersebut beliau lahir. Karena dalam masalah tanggal kelahiran beliau masih terdapat perselisihan. Yang beliau shallallohu ‘alaihi wa sallam lakukan adalah puasa pada hari Senin bukan pada 12 Rabiul Awwal. Seharusnya kalau mau mengenang hari kelahiran Nabi dengan dalil di atas, maka perayaan Maulid harus setiap pekan (hari Senin), bukan setiap tahun.

Penutup

Akhirnya, sulit dibenarkan jika perayaan Maulid Nabi dengan segala modelnya di Klaim sebagai bentuk kebaikan dalam rangka mentaati dan mencintai Rosulullah shallallohu ‘alaihi wa sallam.

Justru kebenaran ada pada pihak yang tidak merayakan Maulid, demi ketaatan pada Nabi shallallohu ‘alaihi wa sallam dalam menjaga kebersihan ajaran Islam.

Bukankah masih banyak sunnah-sunnah Rosul yang masih terbengkalai dan belum kita sentuh?.

Sungguh ironis, sekian banyak Sunnah dilupakan, bahkan dilecehkan, sementara Bid’ah Maulid dibela mati-matian. Semoga kita terhindar dari pengaruh tipu daya para penyeru bid’ah dan kesesatan, yang lebih cenderung berbuat bid’ah bahkan terkadang tidak memahami sunnah Nabinya.

Semoga maksud kami dalam tulisan ini sama dengan perkataan Nabi Syu’aib, “Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Alloh. Hanya kepada Alloh aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.” (QS. Hud [11] : 88)

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallohu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala wa alihi wa shohbihi wa sallam. [At Tauhid edisi V/10]