23 October 2009

Awas, Virus Liberalisme Masuk Pesantren

Suatu hari, salah seorang utusan Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS) mendatangi KH Kholil Ridwan, ketua Badan Kerjasama Pondok Pesantren (BKSPPI) se-Indonesia. Utusan ini menyampaikan ajakan kepada Kholil untuk “bertamasya” ke Negeri Paman Bush tersebut. Semua fasilitas dijamin, termasuk uang saku yang tak sedikit. Sungguh tawaran yang menggiurkan.

Tentu saja Kholil tak mau memenuhi undangan tersebut. Ia tahu ada niat tersembunyi di balik ajakan itu. Namun, belum sempat penolakan disampaikan, undangan tersebut buru-buru dicabut. ”Mereka tahu saya ini anti-Amerika,” ujar Kholil kepada Suara Hidayatullah.

Kholil tak sendiri menerima ajakan tersebut. Sejumlah Kiai juga menerima ajakan serupa. Bedanya, mereka mau memenuhinya, Kholil tidak.

Maka, setelah itu, silih berganti Kiai-Kiai mendapat jatah terbang Gratis ke negara AS. Selama di sana, mereka dilayani bagai tamu istimewa. Mereka diajak melihat ”Realitas” masyarakat AS.

Hasilnya sungguh fantastis. Mereka yang sejak awal bersuara-lantang terhadap kekejaman AS di Irak, Afghanistan, dan negeri Islam lainnya, mulai bersuara parau, jika tak ingin dikatakan lembek. Kata mereka, rakyat AS itu tidak sejahat pemerintahnya.

Menurut Kholil, inilah tanda keberhasilan AS mengubah cara pandang negatif masyarakat Muslim terhadap negaranya. Ini pula awal penyusupan paham liberal ke pesantren.

Meski begitu, tak berarti Pesantren yang Kiainya terkena bujuk-rayu AS langsung dicap sebagai Liberal. Mereka hanya perlu diwaspadai. Sebab, upaya AS tentu tak akan berhenti sampai di sini. Mereka akan terus berupaya menyusupkan pemikiran Liberalnya ke dalam Pesantren tersebut. Sekali kena jaring, boleh jadi selanjutnya kembali terperosok.

Menurut pemerhati pemikiran-pemikiran Barat, Adian Husaini, program Barat sekarang ini ingin membuat ”Islam yang lain” menurut versi mereka. ”Tentu yang menjadi sasaran utama adalah Pesantren dan Perguruan Tinggi Islam sebagai tempat strategis Pembinaan Umat,” tandasnya.

Muncullah pertanyaan di benak kita, mengapa Pesantren begitu mudah disusupi mereka?. Apa yang salah?. Bagaimana pula pemikiran Liberal itu bisa menyusup ke ruang-ruang mengaji di pesantren?.

Setidaknya, kupasan Suara Hidayatullah dalam Laporan Utama kali ini bisa menambah khazanah pengetahuan bagi jutaan orangtua yang ingin memasukan anaknya ke pesantren. Selamat membaca.

Santri Dirayu, Kiai Digoda

Beberapa tahun lalu, Laskar Santri menggelar unjuk rasa menentang sikap Amerika Serikat (AS) yang represif terhadap umat Islam. Para santri Surakarta ini dengan lantang meneriakan yel-yel anti Yahudi dan AS.

Salah seorang di antara mereka ada yang bernama David Adam Al-Rasyid. Dialah santri paling lantang berteriak di antara demonstran lainnya. Di hadapan massa dia berkata, ”Hancurkan Yahudi, Hancurkan Amerika !”

Kenangan itu kini tinggal rekaman peristiwa masa lalu. Sejak David diundang mengikuti pertukaran pelajar ke Amerika selama satu tahun, ada yang berbeda dari dirinya.

”Kalau dulu waktu jadi Laskar Santri saya mengatakan, ”Hancurkan Yahudi, Hancurkan Amerika !”, tapi sekarang, siapa yang mau dihancurkan?. Tidak semua orang Amerika jelek,” ujar David saat ditemui Suara Hidayatullah di Pesantren As-Salam, Surakarta, beberapa waktu lalu.

Saat David hendak berangkat ke AS, ia sempat meminta masukan kepada salah seorang kakak kelasnya di pesantren yang sama. Sang kakak kelas memberi wejangan, ”Ternyata Amerika tidak memusuhi Islam.”

Lalu, berangkatlah David ke Negara Paman Sam. Selama di sana, David dititipkan pada keluarga Katolik di Corvallis, Oregon. Menurutnya, keluarga yang ia diami amat toleran. Buktinya, ia bisa melaksanakan shalat dan membaca al-Qur’an secara rutin.

“Mereka juga bertanya-tanya tentang Islam, mengapa harus shalat?. Mengapa harus puasa?. Bahkan kadang-kadang mereka menegur saya jika terlambat shalat. Rupanya tidak semua orang Amerika jahat ” kenang David.

Santri asal Yogyakarta ini juga menceritakan kehidupan bebas remaja di sana. Pernah suatu hari, David dikejutkan oleh tangan yang sekonyong-konyong melingkar di pinggangnya. Saat menoleh ke belakang, ternyata tangan itu milik seorang Perempuan. Menurut David, di Amerika, hal seperti itu biasa-biasa saja.


Diajak Dansa, Jilbab Dibuka

Saat mengikuti program pertukaran pelajar di Amerika Serikat, David Adam Al Rasyid merasakan betapa bebas pergaulan di sana. Saking bebasnya, ada peserta dari negara lain yang tak tahan.

”Peserta dari Saudi dan Jerman pulang sebelum program selesai,” ujar santri Pondok Pesantren As-Salam, Surakarta, itu.

Bagaimana dengan pelajar dari Indonesia? ”Banyak juga teman-teman yang ikutan dugem,” jawab David. Dugem adalah singkatan dari dunia gemerlap, yaitu kehidupan malam di diskotik dan cafe. David sendiri mengaku tak pernah ikut-ikutan.

Ironisnya, ada salah satu peserta Muslimah yang rela melepas jilbab saat diajak berdansa. “Supaya tidak malu, ia lepas jilbabnya. Tapi, dia dari SMU luar (bukan pesantren),” kenangnya. Nau'zubillah min dzalik!

David cuma satu dari sekian banyak pelajar Indonesia yang mengikuti program Youth Exchange Study (YES). Program ini diselenggarakan oleh AFS (American Field Service) bekerjasama dengan Yayasan Bina Antara Budaya.

Program ini dirancang setelah peristiwa 11 September 2001, dirancang khusus untuk negara yang mayoritas berpenduduk Muslim. Setiap bulan para peserta dibekali uang saku sebesar 125 dollar AS, atau sekitar Rp 1,2 juta.

Tahun 2007, dari 97 orang pelajar Indonesia yang diberangkatkan, 30 di antaranya dari pesantren seperti Darunnajah, Darul Falah, Insan Cendekia, dan IMMIM Makassar, Sulawesi Selatan.

Suara Hidayatullah sempat menyambangi kantor Yayasan Bina Antara Budaya yang terletak di Jakarta Selatan. Menurut Ketty Darmadjaya, humas yayasan, program ini didesain untuk meningkatkan wawasan santri serta mengubah pandangan masyarakat terhadap pesantren yang selama ini dianggap terbelakang.

Ketty tak menapik kemungkinan tertularnya para santri tersebut dengan paham Liberal. “Makanya, sebelum berangkat, kita memberikan orientasi kepada mereka tentang AS. Sepulangnya dari AS, mereka juga kita orientasi kembali. Kita katakan kepada mereka bahwa pengalaman satu tahun di AS bukanlah segalanya. Kita tidak ingin mengubah pandangan mereka terhadap Islam menjadi Liberal,” jelasnya.

Bahaya Mengancam

Ternyata, tak hanya santri yang mendapat jatah “terbang” ke Amerika. Kiai pimpinan pondok pesantren juga menjadi sasaran untuk diperkenalkan dengan ’wajah manis’ Amerika.

Melalui Institute for Training and Development (ITD), sebuah lembaga milik Amerika, mulai pertengahan September 2002, para kiai bergantian bertandang ke negeri itu. Di awal program, lembaga itu mengundang 13 utusan pesantren “pilihan”’ yang berasal dari Jawa, Madura, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi.

Menurut KH. Kholil Ridwan, Ketua Badan Kerjasama Pondok Pesantren se-Indonesia (BKSPPI), program ini terbukti efektif mengubah pandangan para Kiai terhadap Amerika. Banyak Kiai yang setelah pulang ke tanah air mengatakan, “ Rakyat Amerika tidak sejahat pemerintahnya. Mereka sangat baik.”

Kholil, yang juga Ketua MUI, menolak keras pernyataan para Kiai itu. “Di mana sikap baiknya rakyat Amerika? Amerika menyerang Irak atas persetujuan Kongres, lalu Kongres itu kan wakil rakyat. Jadi, artinya, rakyat Amerika sama jahatnya dengan pemerintahnya,” ungkap pengasuh Ponpes al-Husnayain ini.

Apabila sikap Kiai-Kiai itu melunak kepada Amerika, kata Kholil lagi, maka Liberalisasi akan sangat mudah masuk ke Pesantren. Kalau Pesantren sudah terjangkit Virus Liberalisasi, maka akan berdampak pula terhadap pola pikir Santrinya.

Nah, Santri-santrinya ini pada akhirnya akan menjadi guru Madrasah. Kalau gurunya Liberal, bisa dipastikan murid-muridnya juga Liberal. Generasi muda kita menjadi Liberal semua. Perjuangan umat Islam pun melemah. “Ini sangat berbahaya!” Kholil memperingatkan.

Hal yang sama juga diungkap Adian Husaini, salah seorang ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). ”Salah satu kelemahan Pesantren adalah tidak bisa memberikan Framework (bingkai) yang jelas kepada para santrinya,” jelas Adian.

Santri hanya ditekankan pada satu aspek saja, misalnya, fiqih atau lughah (bahasa). Tapi, framework menghadapi tantangan berfikir kadang kurang.

Salah satu pesantren yang telah membekali santrinya untuk menghadapi tantangan berfikir, kata Adian, adalah Gontor. ”Di Gontor, santri yang akan lulus diberi bekal agar bisa menyiapkan diri menghadapi pemikiran Barat. Kalau tidak, ya, dia akan menganggap itu sebagai hal yang benar,” jelasnya.


Proyek besar penyebaran liberal ke pesantren disinyalir didanai oleh LSM asing yang cabangnya berada di Indonesia, yaitu The Asia Foundation (TAF). Lembaga donor yang disponsori Barat ini telah beroperasi di Indonesia sejak tahun 1955. Beberapa ormas dan lembaga Islam menjadi mitra utama mereka.

Dalam situs resminya www.asiafoundation.org lembaga yang menjadi perpanjangan tangan para saudagar Yahudi ini banyak membantu LSM Indonesia yang giat menyosialisasikan sekularisme, pluralisme dan liberalisme (baca; SePiLis). Sebut saja, misalnya, Jaringan Islam Liberal (JIL), P3M, International Center for Islam and Pluralism (ICIP), Wahid Insitute, Maarif Institue, MADIA, dan Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP).

Laporan tahunan TAF 2006 menyebutkan, sejak tahun 2000 mereka telah membuat Kurikulum kewarganegaraan yang mendukung nilai-nilai Demokrasi, mendorong siswa berpikir kritis terhadap isu-isu demokrasi, HAM, dan Pluralisme Agama. Untuk mewujudkan ini mereka menggandeng CCE Indonesia (pusat pendidikan kewarganegaraan).

Kurikulum itu kini telah menjadi materi wajib di seluruh UIN dan IAIN di se-antero Indonesia. Bahkan, mereka tengah berupaya mengembangkan kurikulum serupa untuk diterapkan di universitas Islam swasta.

Para mitra TAF telah memberikan pelatihan kurikulum baru ini kepada 90 dosen kewarganegaraan dari 66 universitas Islam swasta pada tahun 2006. Para dosen tadi sudah mulai mengajarkan kurikulum tersebut kepada sekitar 20.000 mahasiswa mereka.


Pasca 11/9

Proyek Liberalisasi Pendidikan Islam semakin deras arusnya setelah peristiwa 11 September. Workshop-workshop bertema Liberal banyak digelar atas dukungan TAF dan ICIP.

Berapa dollar AS yang digelontorkan kedua organisasi ini untuk proyek liberalisasi Indonesia?. Robin Bush, Deputy Country Representative TAF untuk Indonesia, saat ditanya Suara Hidayatullah tentang itu tidak bersedia menjawabnya. Begitu juga Elfiqa D Siregar, salah satu staf ICIP, saat ditemui di kantornya di kawasan elit Pondok Indah, Jakarta, juga tidak menyebutkan jumlah pasti. Ia cuma menyebut salah satu nama lembaga pemasok dana, Ford Foundation.

Namun, Robin menolak anggapan bahwa lembaganya disebut membawa misi Liberalisasi. “Kami di TAF sama sekali tidak punya program Liberalisasi,” ujarnya saat ditemui di kantor TAF, Jl. Adityawarman no. 40, Jakarta Selatan.

“Kami bekerja sama dengan Pesantren karena tahu lembaga pendidikan ini erat kaitannya dengan masyarakat kelas bawah. Ini sesuai dengan apa yang menjadi benang-merah dari semua misi TAF, yaitu good governence, serta meningkatkan kesejahteraan bangsa Indonesia,” terangnya lagi.

Menurut Bush, TAF tidak pernah menawarkan sesuatu kepada pesantren atau lembaga-lembaga Islam. ”Semua program yang dijalankan TAF adalah inisiatif mitra kami. Mereka datang ke kami dengan ide, bukan kami datang ke mereka dengan ide,” kata bule yang sudah lancar berbahasa Indonesia ini.

Hal senada juga disampaikan Elfiqa. ”Saya pribadi melihat tuduhan itu nggak benar. Saya turun langsung ke lapangan, saya lihat tidak ada. Tidak ada doktrin-doktrin itu,” jelasnya.

Apa pun perkataan mereka, faktanya, TAF dan ICIP telah banyak menggelontorkan program Liberalisasi. Bahkan, kalau melihat visi dan misinya, jelas tujuan ICIP adalah mempromosikan Pluralisme. Apalagi jika melihat daftar orang-orang yang duduk di jajaran Dewan Direktur. Di sana ada Moeslim Abdurrahman, Musdah Mulia, dan Ulil Abshar Abdalla. Siapa mereka? Pembaca pasti sudah tahu. (hidayatullah.com)

*****