02 October 2009

Densus 88 Terindikasi Melakukan Pelanggaran HAM Berat


Dr. Saharuddin Daming SH, MH. (Anggota Komnas HAM)

Semua sepakat, terorisme harus dicegah. Tapi ketika aparat negara (Polri/TNI) yang berwenang menangani berbagai jenis kejahatan kamtibmas, termasuk terorisme, melakukan tindakan penegakan hukum dengan cara yang melawan hukum, seharusnya ada kekuatan di dalam sistem negara demokratis yang mampu meluruskannya.

Tapi ironisnya, semua komponen di negeri ini, termasuk mereka yang selama ini menyuarakan demokratisasi, kebebasan berpendapat, kebebasan pers, penegakan hukum, dan penghormatan terhadap HAM, tiba-tiba membisu. Mereka diam seribu bahasa bukan karena tak tahu. Ini justru mengindikasikan bahwa mereka juga memiliki agenda setting. Padahal, tindakan aparat dalam menangani terorisme akhir-akhir ini dinilai sangat berlebihan dan diindikasikan telah melanggar HAM.

Beberapa fakta bisa diketengahkan. Misalnya, penyerbuan untuk "membunuh" seorang perangkai bunga di Temanggung, penyergapan mobil yang ditumpangi dua orang dari Solo yang di duga terkait pengeboman di Jati Asih, pembatasan akses keluarga untuk melihat mayat yang telah dieksekusi aparat karena diduga terlibat teroris, penggeledahan kantor berita Arrahmah, hingga penganiayaan yang menimpa Muhammad Jibril.

Tak heran jika Komisioner Komnas HAM Dr. Saharuddin Daming SH, MH. mengatakan: "Karena Densus 88 memilih menghabisi mereka yang di duga terlibat terorisme, akibatnya pengungkapan jaringan teroris di negeri ini gagal total. Selain itu, eksekusi mati tanpa putusan pengadilan yang berketetapan hukum tetap, termasuk pelanggaran HAM berat. "Ini tertuang di penjelasan pasal 104 UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM yang menyebutkan, pelanggaran HAM berat adalah pembunuhan secara sewenang-wenang di luar hukum (arbitrary/extra judicial killing)," tandasnya.

Untuk mengungkap lebih jauh kemungkinan pelanggaran HAM berat yang dilakukan aparat, khususnya Densus 88, Wartawan Sabili Dwi Hardianto mewawancarai Doktor Hukum Universitas Hasanuddin Makassar ini. Wawancara di lakukan di rumahnya kawasan Sentul City, Kabupaten Bogor, Sabtu (5/9/09). Berikut petikannya:

Bagaimana pandangan Komnas HAM terhadap penanganan kasus terorisme di negeri ini?

Sebagai bagian dari extraordinary crime, negara memiliki justifikasi hukum untuk menangani setiap gangguan kamtibmas, termasuk terorisme, apapun modus dan motifnya. Berdasarkan UU No 15 Tahun 2003, negara berkewajiban melindungi seluruh warga negara dari berbagai ancaman dan gangguan pihak manapun. Terkait pengeboman di Mega Kuningan 17 Juli 2009, kurang dari sebulan pasca ledakan, pengusutan yang dilakukan Densus 88, mulai menampakan hasil. Mulai dari identifikasi korban hingga pelacakkan pelaku, satu persatu mulai terkuak. Prestasi Densus 88 dalam memburu Noordin M Top dan jaringannya, berpuncak pada penyergapan tersangka di Jati Asih dan Temanggung, Jumat (7/8/09). Dalam operasi itu Densus 88 berhasil membunuh 2 tersangka teroris di Jati Asih dan 1 di Temanggung. Sejumlah orang yang diduga terkait ditanggkap dan ditahan. Sampai di sini, negara melalui Polri telah memenuhi salah satu kewajibannya di bidang perlindungan dan penegakan HAM khususnya jaminan terhadap rasa aman sebagaimana diatur pasal 28 G ayat 1 UUD 1945 dan pasal 30 UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM.

Selain pujian, operasi Densus 88 di Temanggung dan Jati Asih juga mengundang keprihatinan publik. Kenapa bisa begitu?

Dalam proses penanganan kejahatan terorisme, aparat seharusnya tidak hanya tunduk pada peraturan hukum, tapi juga harus menghormati hak asasi manusia. Pasalnya, persoalan HAM juga merupakan bagian dari sistem hukum, karena sudah menjadi aturan hukum di negeri ini. Karena itu, aparat, khususnya Densus 88, yang mengemban tugas dibidang penegakan hukum khusus kejahatan terorisme, harus menegakkan hukum dengan tidak melanggar hukum. Inilah prinsip utamanya. Karenanya, ketika prinsip ini dilanggar, publik pun akan bertanya-tanya. Pasalnya, dalam operasi itu, Densus 88 terkesan sangat tergesa-gesa, berlebihan, dan mengabaikan nilai-nilai profesionalisme kepolisian dalam menangkap tersangka.

Atau karena operasi Densus 88 itu telah melanggar prinsip HAM?

Beberapa indikasi memang mengarah ke sana. Misalnya, berkaca pada pola operasi Densus 88 di Temanggung dan Jati Asih, semua sasaran langsung dieksekusi mati. Padahal, tuduhan terlibat jaringan teroris pada mereka baru merupakan dugaan. Ini jelas melanggar asas Praduga Tak Bersalah. Belum lagi dengan tersangka yang diinterogasi, kerap mengalami penyiksaan dan hambatan untuk bertemu dengan keluarganya. Pemilik rumah yang menjadi sasaran operasi, juga menderita kerugian lantaran rumahnya mengalami kerusakan.
Indikasi yang sama tampak pada tindakan Densus 88 yang mempublikasikan tersangka DPO, mengawasi dakwah Islam, orang berjubah dan berjenggot. Penciptaan stigma negatif melalui generalisasi seperti ini berarti negara telah membangun dan menebar kebencian pada kelompok masyarakat tertentu. Akibatnya, umat Islam secara kolektif akhirnya menjadi korban provokasi kalangan Islamphobia. Ini sudah menimpa keluarga Abu Jibril. Bukan saja aparat yang melakukan tekanan psikis, tapi juga kelompok masyarakat yang mulai melakukan tindakan main hakim sendiri. Ini semua karena ada provokasi anti Abu Jibril di lingkungannya. Inikah yang diinginkan oleh negara?

Sebagai juris phenomena ini sangat paradoks dengan dokma hukum dan keadilan. Pasalnya, setiap upaya penegakan hukum oleh aparat termasuk Densus 88, dituntut kemampuannya menegakkan hukum dengan tidak melanggar Hukum. Dalam penyergapan di Temanggung dan Jati Asih, orang yang disangka teroris baru berkedudukan pada level dugaan sehingga Densus 88 sebagai penyelidik dan penyidik, secara yuridis hanya berwenang mencari tersangka dan barang buktinya. Selain itu, orang yang berkedudukan sebagai tersangka juga harus dihormati hak asasinya sebagai orang yang tidak bersalah sebelum diputus pengadilan. Ini sesuai amanat Pasal 18 ayat 1 UU No 39 tahun 1999 tentang HAM.

Memburu tersangka sampai tahap apa yang bisa dilakukan oleh Densus 88?

Dengan terpisahnya Polri dari militer, maka semua sasaran tidak lagi diperlakukan sebagai musuh dengan taruhan mati atau hidup. Dalam menjalankan tugas, Polri, termasuk Densus 88, seharusnya hanya berupaya melumpuhkan sasaran dengan berbagai cara yang patut dan tepat, tapi tetap bermoral dan humanis. Dalam penyergapan di Temanggung dan Jati Asih seharusnya menjadi momen berharga bagi Densus 88 untuk memaksimalkan upaya penangkapan. Misalnya, dengan menebarkan gas atau bahan yang memungkinkan sasaran jatuh pingsan atau mengalami kelemahan fisik yang bersifat temporer.

Dengan menangkap sasaran dalam keadaan hidup, Polri memperoleh keuntungan yang sangat besar antara lain, tidak perlu repot mengindentifikasi dengan mencocokan DNA. Pelaku yang masih hidup dapat memberikan keterangan dan informasi yang sangat berharga untuk mengembangkan investigasi. Sayangnya, Densus 88 memilih menghabisi orang-orang yang diduga sebagai anggota jaringan teroris, sehingga proses pengungkapan jaringan teroris pun gagal total.

Tindakan Densus 88 membunuh tersangka teroris di luar proses hukum apakah dibolehkan dalam UU?

Pada dasarnya, tindakan eksekusi mati tanpa melalui putusan pengadilan yang berketetapan hukum tetap sebagaimana yang terjadi pada penyerbuan di Temanggung dan Jati Asih, termasuk juga pada kasus apapun, dalam perspektif hukum HAM, dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat. Ini tertuang pada bagian penjelasan pasal 104 UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM. Pasal ini secara eksplisit menyebutkan, unsur pelanggaran HAM berat adalah pembunuhan secara sewenang-wenang di luar Hukum (arbitrary/extra judicial killing).

Apalagi, tersangka teroris yang disergap di Temanggung ternyata hanya satu orang, dan bukan Noordin M Top. Ia hanya seorang perangkai bunga yang diklaim oleh aparat berperan memasukkan bom ke dalam hotel. Ini sangat memilukan sekaligus memalukan. Karena kekuatan Densus 88 dalam penyerbuan ini mencapai 6 SSK (Satuan Setingkat Kompi). Celakanya, di dalam rumah itu, sama sekali tidak dijumpai senjata api apalagi bahan peledak atau bom yang menjadi alasan Densus 88 membumihanguskan rumah dan isinya itu.

Anehnya lagi, sebelum penyergapan, rumah itu sudah disatroni sejumlah intel Densus 88. Di sini muncul banyak pertanyaan tentang akurasi data intelijen yang bertolak belakang dengan fakta. Selanjutnya, untuk menghindari tersangka lolos dari sergapan, rumah pun dikepung dari berbagai penjuru disertai pasukan Sniper yang ditempatkan di setiap sudut. Jika begitu, kenapa Densus 88 melakukan penembakan beruntun kesegala arah disertai bombardir pada rumah tersangka secara serampangan?

Polri menyatakan bahwa menembak mati tersangka dilakukan karena yang bersangkutan bersenjata, betul itu?

Di sini ada pembohongan publik yang dilakukan. Misalnya, dengan melakukan operasi penyerbuan di rumah Mohzahri. Padahal, polisi hanya boleh menarik pelatuk senjata yang dimilikinya jika nyawa aparat dalam posisi terancam. Kita lihat dalam kasus di Temanggung; sebagian besar awak media yang meliput dan menjadi saksi mata dalam drama penyerbuan itu, tidak satu pun yang memberikan keterangan bahwa dari dalam rumah itu ada serangan balik. Bahkan sewaktu personil Densus 88 masuk ke dalam rumah, tidak ditemukan sama sekali jangankan bom, senjata api pun tidak ditemukan sama sekali. Dan, pada diri korban yakni Ibrohim, tidak ditemukan lilitan bom atau bom rompi yang disebutkan oleh pimpinan Polri.

Lalu apa alasan polisi menyerbu Ibrohim yang berada di dalam rumah dengan serangan membabi buta bahkan dengan melemparkan bom segala?. Bahkan, polri sempat melansir berita adanya serangan balasan dari dalam rumah dan Ibrohim mengenakan bom rompi. Inilah yang saya sebut sebagai pembohongan publik. Hal yang sama, saya tengarai terjadi juga di Jati Asih. Tiba-tiba dua tersangka yang berada di dalam mobil dihabisi, karena akan melemparkan bom pipa. Ini tidak ada buktinya, hanya klaim kepolisian saja untuk menjustifikasi eksekusi yang mereka lakukan.

Tindakan aparat yang memukul dan menganiaya tersangka, apakah termasuk pelanggaran HAM?

Bisa, karena pelanggaran HAM juga bisa berbentuk penganiayaan dan pemukulan. Dalam operasi penanganan terorisme pasca pengeboman di Mega Kuningan, 17 Juli 09 lalu, Densus 88 kerap melakukan pemukulan, penganiayaan, dan berbagai tindakan yang menimbulkan penderitaan fisik maupun psikis pada tersangka teroris yang ditangkap hidup-hidup. Bahkan, ada beberapa warga yang sama sekali tak terkait tapi kebetulan berada di TKP pada saat operasi digelar, tiba-tiba ikut ditangkap, diborgol, dan dipukuli. Meski akhirnya dilepaskan setelah proses investigasi awal tak menemukan bukti yang signifikan. Selain termasuk pelanggaran HAM, ini juga menunjukan betapa lemahnya Densus 88 dalam mengedapankan prinsip profesionalisme dalam menjalankan tugas yang dibebankan negara dan masyarakat.

Akses keluarga untuk melihat tersangka yang ditangkap hidup-hidup dan melihat mayat tersangka yang mati dibatasi, apakah juga termasuk pelanggaran HAM?

Betul, ini juga termasuk bentuk pelanggaran HAM dan bentuk arogansi aparat yang telah menghilangkan hak bagi keluarga untuk bertemu tersangka yang ditahan atau untuk melihat mayatnya. Ini menimpa keluarga Muhammad Jibril beberapa hari setelah penangkapan. Akhirnya memang diperbolehkan bertemu, sekaligus membuktikan adanya penganiayaan aparat terhadap Muhammad Jibril. Dalam penyergapan di Jati Asih, keluarga tersangka juga tidak diperkenankan melihat jasad korban. Alasannya karena belum dilakukan tes DNA. Argumentasi ini tidak logis karena wajah kedua korban masih utuh dan tidak rusak sehingga proses identifikasi, tidak memerlukan tes DNA, tapi cukup mengundang keluarga untuk mengenali korban.

Demikian juga dengan keluarga Ibrohim yang juga tidak memiliki akses untuk melihat mayatnya. Meski untuk sejenak, sebelum mayat dikuburkan, ternyata anggota keluarga tidak dibolehkan. Pelarangan terhadap keluarga tersangka untuk menemui anggota keluarganya atau melihat mayatnya yang berada dalam kewenangan aparat penegak hukum, dikategorikan telah melanggar UU No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP Jo UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM. Kedua instrument ini menegaskan, setiap orang mempunyai hak untuk bebas bertemu dengan keluarga pada saat yang bersangkutan sedang dalam proses hukum. Jadi, proses hukum tidak boleh mengurangi, membatasi, hak asasi seseorang, apapun jenis kasus dan pidananya.

Apakah masih ada kemungkinan lain yang dilanggar aparat, khususnya dalam penyerbuan di Temanggung dan Jati Asih?

Jelas ada. Penggerebekan di dua lokasi itu telah meninggalkan kerugian materiil bagi warga setempat. Pemilik rumah di kedua lokasi itu, pasti menderita kerugian karena rumah mereka mengalami kerusakan terutama rumah ibu Endang Astianingsih dan Mohzahri di desa Beji, Kecamatan Keduh, Kabupaten Temanggung dan rumah H Suparno sebagai pemilik rumah di Perumahan Puri Nusapala, Jati Asih, Bekasi. Meski sempat ada pemberitaan untuk merehabilitasi kedua rumah itu, tapi sampai saat ini belum ada penegasan dari pimpinan Polri untuk merehabilitasi kerusakan di dua rumah itu.

Selain itu, akibat operasi ini juga banyak tanaman tembakau dan tanaman petani lainnya di sekitar rumah Mohzahri, mengalami kerusakan karena terinjak injak-injak aparat maupun warga yang ingin menyaksikan dari dekat. Sejumlah tanaman ini dipastikan tidak dapat dipanen. Di sini, lagi-lagi warga yang tidak terkait jaringan teroris menanggung rugi tanpa ada pihak yang secara gentlemen bertanggung jawab dan bersedia memberikan ganti rugi. Padahal, tindakan memasuki pekarangan atau rumah apalagi merusaknya dengan sewenang-wenang, termasuk melanggar pasal 31 ayat 1 dan 2 UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM.

Melihat banyaknya pelanggaran yang dilakukan aparat, keluarga bisa melakukan gugatan balik?

Bisa sekali. Ini yang disebut dengan pra peradilan. Sayangnya, hampir semua keluarga tersangka teroris pasca peledakan bom di Mega Kuningan Juli lalu, tidak menggunakan haknya. Tapi memang, penggunaan pra peradilan, selama ini juga mengundang masalah. Pasalnya, pra peradilan yang sudah diajukan oleh berbagai pihak di negeri ini bisa dikatakan tidak ada yang dimenangkan oleh pengadilan. Contoh terakhir, kasus Habib Rizieq dan Munarman yang menggugat pra peradilan; secara hukum hampir semua ahli hukum termasuk saya, menilai proses hukum yang melibatkan kedua tokoh Islam ini sangat sumir dan bertentangan dengan hukum. Tapi keputusannya sangat mengecewakan. Ini menunjukkan bahwa sistem peradilan kita masih dikuasai oleh mafia peradilan sehingga penguasa selalu berada dalam pihak yang dimenangkan dan publik yang mencari keadilan selalu dikalahkan.

Lantas apa yang akan dilakukan oleh Komnas HAM?

Jumat (4/9/09) kami menerima pengaduan resmi dari Abu Jibril. Mereka mengadukan polisi telah melakukan tindak kekerasan pada Muhammad Jibril. Ini ditandai dengan luka-luka dan lebam-lebam di bagian wajah dan bagian tubuh lainnya mengeluarkan darah. Abu Jibril juga mengadukan ke Komnas HAM adanya tekanan dari kepolisian dan warga di sekitarnya terhadap misi dakwah yang dia jalankan. Abu Jibril juga telah mengadukan pada Komnas HAM adanya pemojokan dan labelisasi umat Islam dalam penanganan terorisme di negeri ini. Ini semua merupakan langkah awal.

Selanjutnya, Komnas HAM akan melakukan kajian secara intensif terhadap penanganan Polri dalam kasus terorisme pasca pengeboman di Mega Kuningan 17 Juli 2009. Kedua, Komnas HAM akan melakukan sosialisasi terhadap UU No 39 Tahun 1999 dan UU No 26 Tahun 2000 tentang HAM khususnya kepada jajaran kepolisian agar mereka dalam menjalankan tugas tidak hanya melandaskan pada satu aturan hukum saja, tapi juga menjaga prinsip-prinsip HAM seperti yang diatur dalam UU. Ketiga, Komnas HAM akan melakukan monitoring, dan penyelidikan terhadap indikasi pelanggaran HAM yang dilakukan oleh jajaran kepolisian. Ini semua sesuai dengan kewenangan Komnas HAM yang diatur dalam UU No 39 Tahun 1999.

Dalam aplikasinya nanti, Komnas HAM akan membentuk Tim Penyelidik Komnas HAM terhadap Dugaan Kasus Pelanggaran HAM yang Dilakukan oleh Aparat Densus 88. Tim ini seperti kasus yang terjadi di Alas Telogo. (sabili.co.id)