26 October 2009

Ensiklopedia Maulid Nabi: Antara Cinta Rasul dan Perayaan Maulid

Sebenarnya adakah kaitan antara cinta Rasul dan perayaan maulid, alias hari kelahiran beliau? Pertanyaan ini mungkin terdengar aneh bagi mereka yang kerap merayakannya. Bagaimana tidak, sedang disana dibacakan sejarah hidup beliau, diiringi dengan syair-syair pujian dalam bahasa Arab untuk beliau (yang dikenal dengan nama burdah), yang kesemuanya tak lain demi mengenang jasa beliau dan memupuk cinta kita kepadanya?.

Dalam sebuah muktamar negara-negara Islam sedunia, salah seorang dai kondang dari Saudi yang bernama Dr. Said bin Misfir Al Qahthani, berjumpa dengan seorang tokoh Islam (Syaikh) dari negara tetangga. Melihat pakaiannya yang khas ala Saudi, Syaikh tadi memulai pembicaraan (Sebagaimana yang dituturkan sendiri oleh Dr. Said Al Qahthani ketika berkunjung ke kampus kami, Universitas Islam Madinah dan memberikan ceramah di sana.):

Syaikh: “Assalaamu ‘alaikum…”
Dr. Said: “Wa’alaikumussalaam warahmatullah wabarakaatuh…”
Syaikh: “Nampaknya Anda dari Saudi ya?”
Dr. Said: “Ya, benar.”
Syaikh: “Oo, kalau begitu Anda termasuk mereka yang tidak cinta kepada Rasul…!”
(kaget bukan kepalang dengan ucapan Syaikh ini, ia berusaha menahan emosinya sembari bertanya):

Dr. Said: “Lho, mengapa bisa demikian?”
Syaikh: “Ya, sebab seluruh negara di dunia merayakan maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali negara Anda, Saudi Arabia. Ini bukti bahwa kalian orang-orang Saudi tidak mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Dr. Said: “Demi Allah… tidak ada satu hal pun yang menghalangi kami dari merayakan maulid Beliau, kecuali karena kecintaan kami kepadanya”.

Syaikh: “Bagaimana bisa begitu?”
Dr. Said: “Anda bersedia diajak diskusi?”
Syaikh: “Ya, silakan saja”.
Dr. Said: “Menurut Anda, perayaan Maulid merupakan ibadah ataukah maksiat?”
Syaikh: “Ibadah tentunya!” (dengan nada yakin).
Dr. Said: “Baik, apakah ibadah ini diketahui oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, ataukah tidak?”
Syaikh: “Tentu beliau tahu akan hal ini!”

Dr. Said: “Jika beliau tahu akan hal ini, lantas beliau sembunyikan ataukah beliau ajarkan kepada umatnya?”
(…. Sejenak syaikh ini terdiam. Ia sadar bahwa jika ia mengatakan “ya”, maka pertanyaan berikutnya ialah: Mana dalilnya? Namun ia juga tidak mungkin mengatakan tidak, sebab konsekuensinya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih menyembunyikan sebagian ajaran Islam. Akhirnya dengan terpaksa ia menjawab)
Syaikh: “Iya… beliau ajarkan kepada umatnya…”

Dr. Said: “Bisakah Anda mendatangkan dalil atas hal ini?”
(Syaikh pun terdiam 1000 bahasa, ia tahu bahwa tidak ada satu dalil pun yang bisa dijadikan pegangan dalam hal ini)
Syaikh: “Maaf, tidak bisa…”
Dr. Said: “Kalau begitu ia bukan ibadah, tapi maksiat.”
Syaikh: “Oo tidak, ia bukan ibadah dan bukan juga maksiat, tapi bid’áh hasanah.”
Dr. Said: “Bagaimana Anda bisa menyebutnya sebagai bid’ah hasanah, padahal Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa setiap bid’ah itu sesat?”.

Setelah berdialog cukup lama, akhirnya syaikh tadi mengakui bahwa sikap sahabatnya-lah yang benar, dan bahwa maulid Nabi yang selama ini dirayakan memang tidak berdasar kepada dalil yang shahih sama sekali.

Ini merupakan sepenggal dialog yang menggambarkan apa yang ada di benak sebagian kaum muslimin terhadap sikap sebagian kalangan yang enggan merayakan maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dialog singkat di atas tentunya tidak mewakili sikap seluruh kaum muslimin terhadap mereka yang tidak mau ikut maulidan. Kami yakin bahwa di sana masih ada orang-orang yang berpikiran terbuka dan obyektif, yang siap diajak berdiskusi untuk mencapai kebenaran sesungguhnya tentang hal ini.

Namun demikian, ada juga kalangan yang bersikap sebaliknya. Menutup mata, telinga, dan fikiran mereka untuk mendengar argumentasi pihak lain. Karenanya kartu truf terakhir mereka ialah memvonis pihak lain sebagai ‘wahhabi’ yang selalu dicitrakan sebagai “sekte Islam sempalan”, yang konon diisukan sebagai kelompok yang gampang membid’ahkan, mengkafirkan, mengingkari karomah para wali, dan sederet tuduhan lainnya.

Cara seperti ini bukanlah hal baru. Sejak dahulu pun mereka yang tidak senang kepada dakwah tauhid, selalu berusaha memberikan gelar-gelar buruk kepada para dainya. Tujuannya tak lain ialah agar masyarakat awam antipati terhadap mereka. Simaklah bagaimana Fir’aun dan kaumnya menggelari Musa dan Harun ‘alaihimassalam:

(ayat ke-57) Fir’aun mengatakan: “Adakah kamu datang kepada kami untuk mengusir kami dari negeri kami dengan sihirmu hai Musa?.
(ayat ke-58) Sungguh kami pasti mendatangkan pula kepadamu sihir semacam itu, maka buatlah suatu waktu untuk pertemuan antara kami dan kamu, yang kami tidak akan menyalahinya dan tidak pula kamu di suatu tempat yang pertengahan (letaknya).”
(ayat ke-59) Musa menjawab: “Waktu pertemuan itu ialah di hari raya dan hendaklah manusia dikumpulkan pada waktu dhuha.”
(ayat ke-60) Maka Fir’aun meninggalkan (tempat itu), lalu mengatur tipu dayanya, kemudian dia datang.
(ayat ke-61) Musa berkata kepada mereka: “Celakalah kamu, janganlah kamu mengadakan kedustaan terhadap Allah, hingga Dia membinasakanmu dengan siksa.” Dan sesungguhnya telah merugi orang yang mengada-adakan kedustaan.
(ayat ke-62) Maka mereka berbantah-bantahan tentang urusan mereka di antara mereka, dan mereka merahasiakan percakapan (mereka).
(ayat ke-63) Mereka berkata: “Sesungguhnya dua orang ini adalah benar-benar ahli sihir yang hendak mengusir kalian dari negeri kalian dengan sihirnya, dan hendak melenyapkan kedudukan kalian yang utama…” [QS. Thaha: 57 – 63)

Dalam ayat lain Allah berfirman:

“Sesungguhnya telah Kami utus Musa dengan membawa ayat-ayat Kami dan keterangan yang nyata, (24) kepada Fir’aun, Haman dan Qarun; maka mereka berkata: “Ia (Musa) adalah seorang ahli sihir yang pendusta.” [QS. Al Mu'min : 23-24]

Simak pula bagaimana kaum Nabi Luth ‘alaihissalam hendak mengusir beliau dan para pengikutnya dengan tuduhan ‘orang-orang yang sok menyucikan diri’:

Maka tidak lain jawaban kaumnya melainkan mengatakan: “Usirlah Luth beserta keluarganya dari negerimu; karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang (mendakwakan dirinya) bersih.” [Qs. An Naml: 56]

Atau Nabi Shalih ‘alaihissalam yang dianggap sombong dan pembohong oleh kaumnya. Allah berfirman:

(ayat ke-23) Kaum Tsamud pun telah mendustakan ancaman-ancaman (itu).
(ayat ke-24) Mereka berkata: “Bagaimana kita akan mengikuti saja seorang manusia (biasa) di antara kita? Sesungguhnya kalau begitu kita benar-benar berada dalam keadaan sesat dan gila”,
(ayat ke-25) Apakah wahyu itu diturunkan kepadanya -yakni Nabi Shaleh ‘alaihissalam- di antara kita?. Sebenarnya dia seorang yang amat pendusta lagi sombong.”
(ayat ke-26) Kelak mereka akan tahu siapakah yang sebenarnya amat pendusta lagi sombong. [Qs. Al Qamar: 23 – 26]

Sampai junjungan kita Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tak luput dari julukan-julukan buruk kaumnya. Allah berfirman:

(ayat ke-1) Shaad, demi al-Qur’an yang mempunyai keagungan.
(ayat ke-2) Sebenarnya orang-orang kafir itu (berada) dalam kesombongan dan permusuhan yang sengit.
(ayat ke-3) Betapa banyaknya ummat sebelum mereka yang telah kami binasakan, lau mereka meminta tolong padahal (waktu itu) bukanlah saat untuk lari melepaskan diri.
(ayat ke-4) Dan mereka heran karena mereka kedatangan seorang pemberi peringatan (rasul) dari kalangan mereka; dan orang-orang kafir berkata: “ini adalah seorang ahli sihir yang banyak berdusta.” [QS. Shaad: 1 – 4]

Jadi, banyaknya tuduhan-tuduhan jelek terhadap suatu golongan, mestinya tidak menghalangi kita untuk bersikap adil dan obyektif terhadap mereka. Karena boleh jadi kebenaran justru berpihak kepada mereka, dan dalam hal ini yang menjadi patokan adalah dalil-dalil dari Al Qur’an dan Hadits yang shahih.

Berangkat dari sini, penulis ingin mengajak para pembaca yang budiman untuk mendudukkan masalah perayaan maulid Nabi, benarkah ia merupakan bid’ah hasanah?. Benarkah ia merupakan perwujudan cinta kepada Rasul yang dibenarkan? Apakah asal muasal perayaan ini?. Tentunya semua akan disajikan secara ilmiah dengan merujuk kepada Al Qur’an dan Sunnah, sesuai dengan pemahaman As Salafus shaleh.

***

Penulis: Ustadz Sufyan bin Fuad Baswedan, Lc. (Mahasiswa Pasca Sarjana, Fakultas Hadits dan Dirosah Islamiyyah, Universitas Islam Madinah, Saudi Arabia).