26 October 2009

Fiqih Jihad: Jihad Dalam Shaf Yang Teratur Rapi


Oleh: Ustadz Abu Bakar Ba’asyir

“ Zaman sekarang, kita benar-benar terjebak dalam krisis amal jama’i. Betapa susahnya menemukan mereka yang mendapatkan barokah dengan bersikap tenang dalam ketaatan terhadap Amir, serius dan tanpa banyak bicara, tetap teguh pada tugas yang telah diprogramkan. Bersikap waspada, banyak diam, sembari terus berlatih dan tidak terpengaruh situasi global hingga tujuan mereka tercapai. Sikap semacam inilah yang seharusnya dimiliki para mujahid dan ahluddin hari ini”. (Syaikh Abu Muhammad Al Maqdisy)

Dalam sebuah ayat Allah berfirman: “ Sesungguhnya, Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh. “ (QS. Ash Shaff:4)

Dalam ayat di atas, Allah telah menyebutkan pentingnya pasukan jihad yang teratur dan terkendali. Dalam berbagai kitab tafsir disebutkan bahwa arti penting pasukan jihad yang terkoordinasi dengan baik terbagi dalam dua aspek;

Pertama : Adanya dalil-dalil dari nash syar’i itu sendiri

Kedua: Tuntutan kondisi kaum muslimin yang mengharuskan untuk mengambil sebab datangnya pertolongan Allah, yakni kekuatan, kekokohan dan keteguhan.

Aspek kedua muncul karena hari ini musuh umat Islam -baik itu Negara atau organisasi- telah berupaya maksimal dalam menghadapi kaum muslimin. Mereka benar-benar membekali diri dengan kekuatan yang terorganisir dan terprogram, baik dari segi persenjataan, media, kekuatan personal dan sebagainya.

Sebaliknya, tidak sedikit kaum muslimin justru bersikap ceroboh ketika menghadapi musuh. Hal ini sangat tampak ketika mereka hanya menggunakan bekal yang begitu terbatas, persiapan yang lemah dan penuh dengan ketergesaan, gerakan yang terpecah belah dan sendiri-sendiri, yang berakhir dengan terjadinya fitnah dan kerusakan yang dahsyat yang antara lain berupa hilangnya kebenaran dalam kehidupan masyarakat.

Mengapa demikian?. Karena kecerobohan dalam berbagai aksi Jihad yang dilakukan justru memberi kesempatan bagi thaghut untuk menghinakan Syari’at Islam dan menghapuskan Jihad dari otak – benak kaum muslimin, dengan cara menangkapi para aktivisnya, memberikan citra buruk terhadap Jihad dan Mujahidin serta mengumumkan bahwa Islam adalah agama teror yang hina.

Allah berfirman: “Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (QS. Al-Anfal:73)

Jihad adalah Amal Jama’i

Meskipun Jihad seorang diri termasuk Jihad yang dibenarkan dan dapat mengantarkan pelakunya kepada mati Syahid, tapi bukan berarti kita lantas mengabaikan manajemen sebuah peperangan yang telah dikendalikan oleh sebuah Jama’ah.

Adapun alasan syar’i mengenai hal ini, adalah sebagaimana yang tercantum dalam ayat di atas dan bahwa Allah telah memerintahkan kaum muslimin agar mempersiapkan kekuatan yang benar-benar cukup. Dalam rangka, memberikan rasa takut pada orang-orang kafir dan murtad.

Allah berfirman: Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan). (QS. Al Anfal: 60)

Berdasarkan ayat di atas, seluruh kaum muslimin Wajib menempuh semua sebab-sebab kekuatan dan berusaha keras untuk meraih kemenangan materi dan maknawi, sehingga dapat menakuti musuh-musuh Allah dan musuh-musuh kaum muslimin baik itu orang-orang kafir maupun munafik.

Adapun metode syar’i untuk meraihnya adalah dengan; Al-Jama’ah, Sistem Organisasi yang baik, Perencanaan yang rapi, Kepemimpinan yang kuat dan Ketaatan syar’i. Kelima unsur tersebut merupakan hal yang sifatnya darurat untuk segera dipenuhi dalam i’dad yang sesuai dengan syar’i.

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, “Aku memerintahkan kalian dengan lima hal yang Allah telah perintahkan aku dengannya: Mendengar dan Taat, Jihad, Hijrah dan Jama’ah.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)

Demikianlah karakter jama’iyah dari Tha’ifah Manshurah. Hari ini mereka ada, yaitu mereka yang berjihad di zaman ketika tidak adanya kekhilafahan hingga menjelang kiamat, yakni ketika seluruh nyawa orang mukmin dicabut dengan angin harum dari Yaman.

Sifat tersebut sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits seputar keberadaan mereka yang sifatnya mutawatir yang berarti menunjukkan keberadaan mereka dan keberlangsungannya hingga akhir zaman.

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, "Akan senantiasa ada di antara ummatku suatu kelompok/jama’ah yang tampil membela kebenaran, tidak membahayakan mereka orang yang menelantarkan (tidak menolong) mereka sehingga datang ketetapan Allah, sedang mereka tetap dalam keadaan demikian." (HR. Muslim)

Dr. Abdullah Azzam berkata, Jihad adalah Ibadah Jama’iyyah yang tidak akan terlaksana, kecuali dengan adanya jama’ah yang berhadapan dengan masyarakat jahiliyyah atau masyarakat kafir. Oleh sebab itu jihad tidak akan diwajibkan di Mekah karena lemahnya kaum muslimin, sedikitnya jumlah mereka dan ketidaksanggupan mereka untuk menghadapii jahiliyyah yang mengandalkan kekuatan dan jumlah.

Adapun selama jihad itu merupakan ibadah jama’iyyah, maka yang memegang perkara ini haruslah amirul jama’ah, dan dialah yang mengumumkan jihad. (I’lanul Jihad, Dr. Abdullah Azzam, hlm.8)

Dengan demikian, apakah masuk akal jika thaifah mansurah melaksanakan kewajiban jihad dengan sendiri-sendiri tanpa bentuk jama’ah yang berpijak di atas prinsip As Sam’u wat Tha’ah?.

Marilah kita simak sejarah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya, ketika mereka belum memiliki daulah islam. Apakah mereka bergerak dalam dakwah sendiri-sendiri tanpa adanya jama’ah dan ketaatan pada Rasulullah n, ataukah mereka bergerak dalam jama’ah yang rapi dan ketaatan terhadap Amir?

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, “Hendaknya kalian mengikuti Al Jama’ah dan jauhilah perpecahan, karena sesungguhnya syaithan itu bersama satu orang, dan dia lebih jauh dari dua orang. Barang siapa yang menginginkan intinya surge hendaknya mengikuti Al Jama’ah” (Hukmul Islam fi Ad Dimuqratiya waa Ta’adudiyyah Al Hizbiyyah: 174)

Setelah menjelaskan tentang salah satu sifat Ath Thaifah Al Manshurah, Syaikh Abdul Mun’im Musthafa Halimah memberikan peringatan bahwa meskipun Jihad fii Sabilillah adalah Fardhu ‘ain bagi setiap muslim ketika tidak ada khilafah, hendaknya mereka tidak melaksanakannya secara perorangan (individu). Karena Jihad merupakan ibadah jama’i dan akan menimbulkan madharat (bahaya) jika amal jama’i ini dilakukan secara perorangan. Oleh sebab itu, antar harakah Jihadiyyah wajib melakukan koordinasi yang sinergis demi melaksanakan kewajiban ini. (Shifatu Ath Tha’ifah Al Manshurah Allati Yujibu An tukatsira Sawadaha Shifat II: Al Jihad Fi Sabilillah)

Tetaplah Bersabar di Jalan Allah

Sesungguhnya, Jihad adalah jalan tercepat untuk menuju Jannah. Betapa tidak, rasa takut yang mengguncang dada Mujahidin dalam sebuah pertempuran dapat menggugurkan dosanya, juga setetes darah pertama yang menetes ke bumi dari seorang Mujahid yang ikhlas dan mengharap agar ia dilihat Allah, benar-benar dapat menghapus segala dosa yang ada padanya tanpa terkecuali.

Namun menunaikan Jihad fii Sabilillah juga harus memperhatikan konteks riil lapangan dan adanya tingkatan kemampuan sehingga ia betul – betul tegak diatas nilai dan kaedah yang syar’i serta terbebas dari dorongan- dorongan emosi semata – mata . Karena itu Ibnul Qayyim rohimahulloh membuat paling tidak ada 13 langkah dalam 4 bagian besar menuju Jihad yang sesungguhnya .

Dalam meniti hal-hal itu , maka kita wajib bersabar sebagaimana firman Allah: Dan berapa banyaknya Nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertakwa. mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar. (QS. Ali Imron:146)

Dari ayat yang mulia ini , Alloh Azza wa Jalla memberi kriteria sabar dalam 3 perwujudan yakni :
  1. Tidak lemah mental dalam makna tetap bersemangat.
  2. Tidak lesu yang berarti terus menerus beramal shalih. Sebab kesakitan dan pengorbanan ada nilainya di sisi Allah. Allah berfirman: “Janganlah kamu berhati lemah dalam mengejar mereka (musuhmu). jika kamu menderita kesakitan, Maka Sesungguhnya merekapun menderita kesakitan (pula), sebagaimana kamu menderitanya, sedang kamu mengharap dari pada Allah apa yang tidak mereka harapkan. dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nisa:104).
  3. Tidak menyerah yang menunjukan keteguhan sikap Mujahid yang hanya bersemboyan hidup mulia atau mati syahid. Allah berfirman: Janganlah kamu lemah dan minta damai padahal kamulah yang di atas, dan Allah pun bersamamu dan dia sekali-kali tidak akan mengurangi pahala amal-amalmu. (QS. Muhammad:35)
Terkait dengan Jihad dalam satu shaf perjuangan yang rapi dan kokoh maka bagi setiap anggota Jama’ah Ansharut Tauhid, ingatlah bahwa kita tengah beramal jama’i. Sudah seharusnya, masing-masing kita menepati janji (mu’ahadah) yang kita ucapkan dan tidak melanggarnya.

Sudah seharusnya kita menyadari bahwa jika jihad pada suatu ketika menjadi fardhu ‘ain sedangkan melaksanakan syari’at al jama’ah juga fardhu ‘ain pada setiap masa, sehingga tidak selayaknya kita kemudian membatalkan salah satu diantara keduanya demi melaksanakan jihad secara sendiri-sendiri. Karena sesungguhnya, Jihad adalah amal jama’i yang fardhu ‘ain.

Memang ada fenomena aneh yang berkembang, ketika seseorang membolehkan bahkan memprovokasi agar seorang Mujahid tidak perlu mematuhi Amir Jama’ahnya untuk berjihad tapi ia sendiri menuntut untuk dita’ati oleh orang yang diprovokasinya.

Jadi ia menyuruh orang bermaksiat kepada Amir agar taat pada kemauannya sendiri. Akhirnya, rusaklah jama’ah yang dimana seseorang telah bermu’ahadah itu, celakanya lagi , orang itu telah merasa beramal sholeh dengan merusak jama’ahnya

Oleh karena itu, kita wajib bersabar dalam jama’ah untuk melaksanakan dakwah, amar ma’ruf nahi mungkar dan jihad secara semesta, demi menegakkan Syari’at Islam di bumi Allah.

Wajib atas kita bersabar ketika menghadapi kesempitan yang menghadang, ketika semua manusia memfitnah dan memburuk-burukkan aktifitas memperjuangkan Islam dalam sebuah amal jama’i demi tegaknya Syari’at Islam dengan dakwah dan jihad.

Wajib atas kita untuk bersabar, ketika semua manusia menimpakan penderitaan. Karena sesungguhnya, tidaklah mereka mampu menimpakan penderitaan kecuali atas izin Allah dan sesungguhnya godaan iblis dan pengikutnya itu sangatlah lemah di hadapan seorang mujahid yang betul-betul beriman.

Juga wajib atas kita nantinya, untuk bersabar dalam pertempuran. Terutama ketika Allah telah menakdirkan kita terjun di suatu daerah perang dan telah berhadap-hadapan secara langsung dengan musuh, yakni dengan tidak mundur ke belakang.

Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, Maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur). Barangsiapa yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya ialah neraka jahannam. dan amat buruklah tempat kembalinya.” (QS. Al-Anfal:15-16)

Maka hendaknya kita mampu bersabar untuk tidak beraksi di daerah aman yang bukan wilayah perang terbuka.

Bersabarlah! Karena sesungguhnya sifat Tha’ifah Al Manshurah adalah bersabar dalam dakwah dan jihad. Sehingga Allah Ta’ala menakdirkan datangnya pertolongan dari sisiNya kepada kaum muslimin secara keseluruhannya. Insya Alloh berjama’ah dalam ketho’atan jauh lebih barokah dan lebih berpeluang untuk menyongsong Nashrullahu Ta’ala . (muslimdaily.net)