15 October 2009

Hidup Mulia Atau Mati Syahid


[ Judul asli: Isy Kariman aw Mut Syahidan ]

Isy Kariman aw Mut Syahidan (Hidup Mulia Atau Mati Syahid). Slogan ini oleh aktivis Islam Liberal dianggap sebagai Slogan Pembangkit Militansi, ‘Teologi Maut’ yang negatif dan menghancurkan dan tidak sesuai dengan Islam. Jawa Pos, sebuah harian yang rajin mengekspos ide-ide sekuler dan liberal menurunkan tulisan sejak tanggal 26 September 2009 secara berseri untuk membahasnya. Tercatat ada 8 orang penulis, mulai dari Syafi’i Anwar hingga Komaruddin Hidayat, termasuk Musdah Mulia ikut ambil bagian membuat tulisan pesanan tersebut.

Ironisnya, dalam membicarakan hidup mulia dan mati syahid tersebut tidak ada seorang pun penulisnya yang merupakan representasi seorang mujahid, atau ulama mujahid. Bahkan mengutip dari para mujahid atau ulama mujahid saja juga tidak, kecuali untuk ‘dipelintir’ maksudnya. Karena hampir seluruh penulisnya aktivis Islam liberal, maka arah dan kecenderungan tulisannya pun sudah bisa ditebak, yakni membela mati-matian ide liberalisme dan pluralisme serta menolak ide syariat Islam dan jihad. Lantas, apakah makna dari slogan Isy Kariman aw Mut Syahidan yang sebenarnya?

Isy Kariman aw mut Syahidan, Haditskah ?

Isy Kariman aw Mut Syahidan berarti Hidup Mulia atau Mati Syahid, atau bisa juga berarti hiduplah dengan mulia dan matilah secara syahid alias menjadi seorang syuhada. Isy Kariman aw Mut Syahidan bukanlah sebuah hadits, melainkan semacam moto atau slogan dalam khazanah perjuangan Islam.

Ungkapan ini pertama kali dikemukakan oleh ibunda Abdullah bin Zubair, yakni Asma Binti Abu Bakar kepada puteranya, Abdullah bin Zubair. Konteks ungkapan itu juga kontekstual dan sangat heroik, karena disampaikan oleh Ibunda Asma kepada putranya Abdullah bin Zubair agar tetap semangat berperang membela kebenaran sampai titik darah penghabisan melawan kekuasaan tiran saat itu pimpinan Yazid bin Muawiyah.

Ungkapan ini menjadi istimewa karena diucapkan oleh seorang Shahabat atau Shahabiat, yang di dalam Islam memiliki kedudukan yang istimewa. Sebagian ulama bahkan berpendapat bahwa ucapan Shahabat termasuk dalil syar’i yang bisa dijadikan rujukan untuk melakukan amal perbuatan.

Asma Binti Abu Bakar dalam Islam dikenal dengan julukan “Dzatu An Nithaqayn” yakni Wanita Dengan Dua Ikat Pinggang. Beliau mendapat julukan ini karena membawakan makanan untuk Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan Abu Bakar ketika hijrah dan memutuskan untuk membagi ikat pinggangnya menjadi dua untuk mengikat makanan dan air sehingga mereka dapat membawanya.

Sementara itu, Abdullah bin Zubair, dikenal dalam Islam sebagai seorang pemuda dan pejuang yang berani dan selalu siap berjuang untuk Islam. Dalam kehidupan sehari-hari beliau juga dikenal sangat tekun beribadah, dan sebagaimana pesan ibundanya, beliau juga mengakhiri hidupnya sebagai orang yang syahid dalam memperjuangkan Islam.

Syekh Umar Bakri Muhammad dalam bukunya “Hal Qowl as-Sahabah Hujjah fid Din?” mendefinisikan ucapan Shahabat sebagai :

“Apa saja yang terkait dengan rantai periwayatan yang shahih dan tidak terdapat kontradiksi di dalamnya dengan dalil-dali syar’i (Al Qur’an dan Hadits), baik itu berupa perbuatan, perkataan, persetujuan (terhadap sesuatu) maupun pendapat.”

Dalam buku tersebut dijelaskan posisi Shahabat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam yang begitu tinggi dan mulia dalam Islam, dikarenakan mereka adalah orang-orang yang mendapatkan pengajaran langsung tentang Islam dari Nabi Muhammad. Dengan demikian, merekalah, alias para Shahabat yang paling tahu dan mengerti makna Islam dan aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari.

Banyak dalil Al Qur’an maupun hadits yang menjelaskan posisi para Shahabat dalam Islam yang begitu tinggi dan kewajiban kaum Muslimin untuk mengikuti mereka. Beberapa ayat menjelaskan masalah tersebut, di antaranya:

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) diantara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At Taubah (9) : 100)

“Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mu’min ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon , maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).” (QS. Al Fath (48) : 18)

Dalam hadits Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam., terdapat banyak kemuliaan dan perintah untuk selalu berpedoman kepada para Shahabat, di antaranya :

“Sebaik-baik ummatku adalah generasiku (Shahabat), kemudian generasi sesudahnya (tabi’in), dan kemudian yang sesudahnya (tabi’ut tabi’in).” (HR. Bukhari dan Muslim)

“Muliakanlah para Shahabatku, karena mereka adalah yang terbaik di antara kalian.” (HR. Ahmad, An Nasa’iy dan Al Hakim)

“Kalian akan senantiasa dalam kebaikan selama di antara kalian masih ada orang yang pernah melihatku dan bersahabat denganku. Demi Allah, kalian akan senantiasa dalam kebaikan selama diantara kalian ada orang yang pernah melihatku dan bersahabat denganku.” (HR. Ibnu Abi Syaybah, Ibnu Abi’ ‘Ashim, Ath Thabraniy, dan Abu Nu’aym)

“Bintang-bintang adalah penjaga langit, apabila bintang-bintang itu hilang, maka akan datang bagi penduduk langit tersebut apa yang dijanjikan. Aku adalah penjaga para Shahabatku, apabila aku meninggal maka akan datang bagi para Shahabatku apa yang dijanjikan. Dan para Shahabatku adalah para penjaga ummatku, apabila para Shahabatku meninggal, maka akan datang bagi ummatku apa yang dijanjikan.” (HR. Muslim)

Dikarenakan ucapan atau qaul Shahabat juga merupakan dalil syar’i yang bisa dijadikan hujjah (argumen) dalam agama dan hasilnya dapat dipergunakan oleh ummat Islam dalam kehidupan mereka sehari-hari, maka moto atau slogan Isy Kariman aw Mut Syahidan yang diucapkan oleh ibunda Abdullah bin Zubair patut menjadi perhatian dan kajian bagi kaum Muslimin.

Makna Hidup Mulia Dalam Islam

Secara fitrah, setiap manusia pasti mendambakan kehidupan mulia. Bagi setiap Muslim, setiap harinya mereka selalu berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, agar diberikan kehidupan mulia di dunia, dan begitu pula di akhirat, Robbana atina fi dunya hasanah wa fil akhiroti hasanah. Hanya saja perlu diperjelas, kehidupan seperti apa yang dianggap mulia dalam pandangan syariat Islam.

Hidup mulia dalam Islam hanya bisa tercapai jika fungsi dan esensi manusia diciptakan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala bisa diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Fungsi dan esensi tersebut adalah menjadi abdullah (hamba Allah) dan khalifatullah (khalifah Allah) di muka bumi. Kedua tugas suci tersebut telah disampaikan secara tegas sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS Adz Dzaariyat (51) : 56)

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi…”. (QS Al Baqarah (2) : 30)

Dua fungsi dan esensi hidup mulia dalam pandangan Islam tersebut hanya bisa terealisir dalam kehidupan sehari-hari dalam bingkai syariat Islam yang menaungi. Bahkan kehidupan mulia di bawah naungan syariat Islam inilah yang mampu memberikan rahmat tidak hanya kepada orang Muslim, melainkan kepada seluruh alam, sebagaimana firmanNya :

“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS Al Anbiyaa’ (21) : 107)

Imam Ibnu Katsir di dalam tafsirnya menjelaskan:

Allah ta’ala mengabarkan bahwa Dia telah menjadikan Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam., sebagai rahmat bagi semesta alam. Yaitu, Dia mengutusnya sebagai rahmat bagi kalian semua. Barangsiapa yang menerima dan mensyukuri nikmat ini, niscaya dia akan berbahagia di dunia dan di akhirat. Sedangkan barangsiapa yang menolak dan menentangnya, niscara dia akan merugi dunia dan akhirat.

Maka dapat difahami bahwa hidup mulia dalam pandangan Islam hanya dapat dicapai jika Risalah Islam beserta syariat Islam diterima, diyakini dan diamalkan oleh manusia sebagai pedoman hidupnya dalam seluruh aspek kehidupan. Kehidupan mulia tidak hanya akan tercapai di dunia bahkan juga di akhirat, bahkan rahmat atau kemuliaan juga akan melingkupi seluruh alam semesta. Untuk tujuan inilah, kehidupan dan perjuangan seorang Muslim diarahkan, sehingga kalaupun dia belum berhasil mencapainya, namun dia telah mengupayakannya dan tetap yakin bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala suatu saat pasti akan memberikan hal tersebut kepada hamba-hambaNya. Hal ini sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

“Dan Allah Telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana dia Telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang fasik.” (QS An Nuur (24) : 55)

Mengapa Mati Syahid Menjadi Dambaan?

Dalam Islam dan bagi kaum Muslimin telah maklum bahwa hidup di dunia tidak selamanya dan kehidupan di akhiratlah yang abadi dan harus menjadi prioritas dan diusahakan semaksimal mungkin pencapaiannya.

Tidak berguna jika hidup di dunia mulia, kaya raya, berumur panjang, namun akhirnya menemui kematian dengan buruk (su’ul khatimah). Karena yang menjadi perhitungan dan menentukan bagi kehidupan seseorang adalah bagian akhirnya, apakah berakhiran atau menemui kematian dengan buruk (su’ul khatimah) atau berakhiran dengan baik (khusnul khatimah).

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :

“Sesungguhnya seorang hamba benar-benar telah beramal dengan amalan ahli neraka padahal sesungguhnya ia termasuk ahli surga, dan beramal dengan amalan ahli surga padahal ia termasuk ahli nereka. Dan sesungguhnya amal-amal itu tergantung penutupannya.” (HR. Bukhari)

Syekh Abdul Baqi Ramdhun dalam bukunya “Al Jihaadu Sabiluna” mengatakan :

‘Islam mendorong kaum Muslimin untuk berjihad di jalan Allah dan menggesa mereka untuk terjun ke kancah kancah peperangan dan pertempuran dalam rangka meninggikan kalimat Allah, memberanikan mereka untuk menerjang bahaya dan kesulitan demi memperoleh ridha Allah, serta memotivasi mereka agar senang menyongsong maut dengan lapang dada, hati tegar, dan jiwa yang tenang lantaran menginginkan apa yang ada pada sisi Allah. Dan Allah telah membesarkan ganjaran dan pahala atas amal tersebut serta melimpahkan keutamaan dan anugerah di dalamnya.’

Beliau di dalam bukunya juga menjelaskan bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menyiapkan bagi mujahidin dan orang-orang yang mati syahid di jalanNya berbagai karomah, anugerah, ketinggian maqom, dan ketinggian kedudukan yang tidak dapat dicapai melalui ibadah-ibadah yang lain bahkan lewat shalat, zakat, puasa, haji, serta seluruh bentuk ibadah dan qurobah (pendekatan diri kepada Allah yang lain). Dengan penjelasan ini, tidak heran mengapa mati syahid menjadi kematian yang begitu tinggi kedudukan dan keistimewaannya dalam pandangan Islam dan menjadi dambaan setiap Muslim yang mengerti serta memahami permasalahan tersebut.

Syekh Usamah bin Ladin dalam video The Caravan of Syuhada mengatakan :

“Penutup para nabi dan rasul, Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam., mengharapkan kedudukan ini. Perhatikan dan renungkan kedudukan seperti apakah yang diharapkan oleh sebaik-baiknya manusia ini. Beliau berharap menjadi seorang syahid.

Demi jiwa Muhammad yang ada di tangan-Nya. Sungguh aku berharap bisa berperang lalu aku terbunuh, kemudian (hidup lagi) untuk berperang lalu aku terbunuh, kemudian (hidup lagi) untuk berperang lalu aku terbunuh. (Al Hadits)

Hidup yang lama dan panjang ini diringkas oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan petunjuk Allah Subhanahu wa Ta'ala, dalam sabda Beliau di atas. Beliau sangat menginginkan kedudukan ini Orang yang bahagia adalah orang yang telah dipilih oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagai seorang syahid.”

Syekh Jabir bin Abdul Qoyyum As Sa’idi Asy Syami dalam bukunya “Al Ishobah Fii Tholabisy Syahaadah” menjelaskan mengapa mati syahid atau menjadi syuhada itu begitu memiliki kedudukan yang tinggi di dalam Islam.

Diriwayatkan dari Sahal bin Hanif, ia dari bapaknya, bapaknya dari kakeknya, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam., bersabda:

Barangsiapa memohon mati syahid kepada Allah dengan tulus, niscaya Allah akan menyampaikannya ke derajat para syuhada' meskipun ia mati di atas kasurnya. (HR Muslim, Tirmidzi, Nasai, dan Abu Daud)

Diriwayatkan dari Abu Is-haq, dari Al Barro', ia berkata: Seseorang dari Bani An Nabit dari kalangan anshar datang lalu berkata: Aku bersaksi bahwasanya tidak ada ilah (sesembahan yang benar) kecuali Allah dan bahwasanya engkau adalah hamba dan utusan-Nya. Kemudian ia maju dan berperang sampai terbunuh. Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam., bersabda :

Orang ini beramal sedikit namun diberi pahala banyak. (HR Bukhari, Muslim, dan Ahmad)

Dengan demikian, dalam pandangan Islam sesungguhnya keberhasilan yang paling utama dan anugrah yang paling baik yang didapatkan oleh seseorang itu adalah jika Allah memilihnya untuk mati syahid.

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda kepada seorang sahabat yang berdo'a kepada Allah dengan mengucapkan:

Ya Allah berikanlah kepadaku apa yang paling baik yang telah Engkau berikan kepada hamba-Mu yang sholih.

Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda kepada orang tersebut:

Jika demikian kudamu akan tersembelih dan engkau akan mati syahid di jalan Allah.

Maka Mut Syahidan atau mati syahid atau mati sebagai seorang syuhada (orang yang berjihad di jalan Allah Subhanahu wa Ta'ala) adalah kedudukan yang sangat besar dan tinggi yang tidak akan diraih kecuali oleh orang yang layak untuk mendapatkannya.

Dalam hadits lain disebutkan :

“Dikatakan, “Wahai Rasulullah, amal apa yang dapat menyamai (pahala) jihad fi sabilillah.? Nabi bersabda, “Kalian tidak mampu melaksanakannya.” Lalu mereka mengulang pertanyaan itu atau tiga kali, dan semua dijawab, “Kalian tidak mampu melaksanakannya.” ! Lalu Nabi bersabda, Perumpamaan mujahid fi sabilillah seperti orang yang shaum (puasa) dan shalat malam dan membaca ayat-ayat Allah dan tidak berhenti melakukan shiyam dan sholat sampai seorang mujahid fi sabilillah kembali.” (HR. Tirmidzi dari Abu Hurairah)

Diriwayatkan dari Anas bin Malik rodliyallohu 'anhu bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

Tidak ada seseorang yang telah mati yang mendapatkan kebaikan di sisi Allah, kemudian dia ingin kembali ke dunia atau ia diberi dunia dan seisinya kecuali orang yang mati syahid. Sesungguhnya orang yang mati syahid itu berharap untuk dapat kembali ke dunia lalu ia terbunuh di dunia lantaran keutamaan mati syahid yang ia lihat. Dan di dalam riwayat lain disebutkan: lantaran kemuliaan yang ia lihat.

Khatimah

Jadi tidak ada yang salah dengan mati syahid. Mati syahid bukanlah sebuah kematian yang sia-sia, terhina, harus ditangisi, dilecehkan dan ditakutkan oleh seorang Muslim. Karena mati syahid, mati ketika memperjuangkan agama Allah Subhanahu wa Ta’ala atau jihad fi sabilillah, adalah sebuah kematian yang sangat tinggi dan mulia kedudukannya di dalam Islam, yang tidak mungkin dicapai dan diraih kecuali oleh orang-orang yang memang dipilih oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai contoh dan teladan kaum Muslimin memberikan ilustrasi yang begitu indah tentang mati syahid, dimana beliau begitu menginginkannya dan berharap bisa mencapainya. Bukankah ini menjadi sebuah bukti yang tidak terbantahkan?

Adapun kehidupan mulia dalam Islam juga bukan berarti hidup mewah dan berfoya-foya serta lantas lupa kepada Sang Pencitpa, Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana sangkaan orang kebanyakan yang hidup pada saat ini. Hidup mulia di dunia dalam pandangan Islam adalah sebuah ketundukan total seorang manusia, baik sebagai seorang hambaNya, dan juga sebagai khalifahNya.

Kehidupan mulia di dunia hanya bisa tercapai jikalau seluruh syariat Islam diberlakukan secara kaafah (totalitas) sehingga tidak hanya orang Muslim yang akan mendapatkan rahmat, orang non Muslim juga akan mendapatkan rahmat, bahkan alam semesta. Maka sudah merupakan kewajiban bagi setiap Muslim untuk dapat meraih kehidupan mulia di dunia, yakni dengan jalan selalu mengupayakan tegaknya syariat Islam di muka bumi.

Dengan demikian, betapa indah dan bertujuan indah, serta penuh maknanya semboyan dan slogan yang telah diucapkan oleh Shahabat dan kini menjadi populer kembali, yakni Isy Kariman aw Mut Syahidan. Hidup Mulia Atau Mati Syahid. Keduanya adalah kebaikan yang sangat didambakan oleh setiap Muslim. Semoga kita bisa meraih salah satu dari keduanya, Insya Allah…!

Oleh: M. Fachry [ Arrahmah.Com International Jihad Analys ]