07 October 2009

Insiden Monas Rekayasa Amerika

.

Oleh : Irfan S. Awwas (Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin)

Satu hari setelah terjadinya Insiden Monas (01 Jun 2008), Kedubes AS di Jakarta langsung bereaksi, mengirimkan fax ke sejumlah media massa (02 Jun 2008). Isinya, mengutuk aksi kekerasan yang dilakukan oleh sebagian anggota FPI terhadap puluhan anggota masyarakat yang menghadiri undangan Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (detikcom 03 Jun 2008).

Menurut penilaian Soeripto, anggota Fraksi PKS di DPR, pernyataan Kedubes AS itu sebagai bentuk campur-tangan AS dalam masalah dalam negeri (Republika 04 Jun 2008).

Bagi yang paham, pernyataan sikap Kedubes AS tidak hanya ditafsirkan sebagai adanya Intervensi, tetapi menunjukkan Indikasi adanya keterlibatan AS di dalam Insiden Monas.

Artinya, pernyataan sikap itu merupakan bentuk tanggung-jawab sang pemberi tugas terhadap anak buahnya yang terluka parah di lapangan Monas. Ini indikasi pertama.

Sebelum menyelenggarakan “aksi damai” tanggal 01 Juni 2008, aktivis AKKBB memasang iklan di beberapa media nasional, antara lain di Kompas edisi 30 Mei 2008 halaman 18, dan sebelumnya di harian Media Indonesia 26 Mei 2008 halaman 13.

Selain berisi ajakan untuk menghadiri Apel Akbar di Monas (Jakarta), 1 Juni 2008 jam 13-16 WIB, iklan tersebut memuat sejumlah nama (hampir 300-an nama) yang sebagiannya dapat dikenali sering mondar-mandir ke Kedubes AS di Jakarta, bahkan sejak masa Orde Baru, terutama menjelang kejatuhan Soeharto.

Bila pada masa Soeharto mereka-mereka ini membawa bendera berbau Demokrasi, pada masa Reformasi mereka sebelum akhirnya tergabung ke dalam AKKBB, nama-nama itu bisa kita temukan pada iklan anti RUU APP. Orangnya itu-itu juga. Ini indikasi kedua.

Indikasi ketiga, bisa ditemukan pada materi iklan yang halus namun provokatif, seolah-olah benar namun keliru secara mendasar. Selengkapnya sebagai berikut:


Mari Pertahankan Indonesia Kita!

Indonesia menjamin tiap warga bebas beragama. Inilah hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi. Ini juga inti dari asas Bhineka Tunggal Ika, yang menjadi sendi ke-Indonesia-an kita. Tapi belakangan ini ada sekelompok orang yang hendak menghapuskan hak asasi itu dan mengancam ke-bhineka-an. Mereka juga menyebarkan kebencian dan ketakutan di masyarakat. Bahkan mereka menggunakan kekerasan, seperti yang terjadi terhadap penganut Ahmadiyah yang sejak 1925 hidup di Indonesia dan berdampingan damai dengan umat lain. Pada akhirnya mereka akan memaksakan rencana mereka untuk mengubah dasar negara Indonesia, Pancasila, mengabaikan konstitusi, dan menghancurkan sendi kebersamaan kita. Kami menyerukan, agar pemerintah, para wakil rakyat, dan para pemegang otoritas hukum, untuk tidak takut kepada tekanan yang membahayakan ke-Indonesia-an itu.

Marilah kita jaga republik kita.

Marilah kita pertahankan hak-hak asasi kita.

Marilah kita kembalikan persatuan kita.

Jakarta, 10 Mei 2008

Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Bagi yang terbiasa berkutat di bidang Propaganda, materi iklan di atas, mengandung beberapa Clue yang mengarah ke pihak ketiga. Sayang sekali penjelasan rinci berkenaan dengan Clue tersebut tidak dapat diuraikan di sini.

Selain itu, pada materi iklan itu jelas mengandung berbagai kekeliruan yang mendasar.

Pertama, Indonesia memang menjamin setiap warganya bebas menjalankan ajaran agamanya, namun bukan berarti setiap orang bebas membajak agama yang sudah ada.

Kedua, persoalan Ahmadiyah adalah persoalan akidah umat Islam, bukan hak asasi manusia. Bila mau dikaitkan dengan hak asasi, maka justru umat Islam yang hak asasinya dilanggar, karena sebagai warga negara umat Islam berhak mendapatkan ajaran Islam yang murni, berhak menjaga agamanya dari rong-rongan pemalsu agama, termasuk dari kaum anti agama. Oleh AKKBB, dibelokkan menjadi “memaksakan rencana untuk mengubah dasar negara Indonesia, Pancasila, mengabaikan konstitusi, dan menghancurkan sendi kebersamaan”, artinya: pengusung anti-Ahmadiyah dikatakan mau makar. Ini jelas tuduhan keji, fitnah tanpa dasar. Ini provokasi!

Ketiga, Ahmadiyah Qadiyan (JAI) sudah berada di sini sejak 1925, sedangkan Ahmadiyah Lahore empat tahun kemudian (1929). Di tahun 1936 Bung Karno (calon presiden pertama RI) pernah menuliskan sikapnya terhadap Ahmadiyah. Ia menyatakan, dirinya bukan anggota Ahmadiyah, dan mustahil ikut mendirikan cabang Ahmadiyah atau menjadi propagandisnya. Pernyataan itu disampaikan Bung Karno sebagai reaksi atas sebuah tulisan yang mengatakan bahwa BK adalah anggota JAI dan turut mendirikan salah satu cabang JAI di Sulawesi.

Di tahun-tahun itu (1925, 1929 dan 1936) belum ada Indonesia, karena proklamasi kemerdekaan RI baru terjadi pada tahun 1945. Di alam kemerdekaan, presiden pertama Republik Indonesia pernah melarang Ahmadiyah. Menurut Ridwan Saidi, pada zaman Bung Karno ada beberapa gerakan yang dilarang termasuk Ahmadiyah.

Apa Kepentingan Amerika Serikat?

Sudah jelas, AS ingin Indonesia tetap utuh berupa NKRI yang Sekuler, sehingga tetap bisa di hisap Sumber Daya Alamnya. Namun demikian, AS tidak mau Islam di Indonesia kuat dan bersatu-padu. Jangankan terhadap kelompok Islam yang mengusung penegakkan syari’ah, bahkan terhadap kelompok Islam yang mengusung Bid’ah pun, AS enggan membiarkannya kuat dan utuh bersatu. Kalau Islam pengusung Bid’ah ini utuh bersatu dan kuat, bukan mustahil di dalam diri mereka akan tumbuh nasionalisme sempit (ashobiyah), sehingga mendorong mereka mendirikan negara tersendiri di ujung timur pulau Jawa, karena di sanalah “ibukota negara” pengusung Bid’ah itu berada. Potensi disintegrasi ini di cegah dengan menciptakan konflik tak berkesudahan di dalam tubuh mereka.

Oleh karena itu, bisa dimengerti bila dari komunitas itu sering timbul perselisihan internal. Bikin partai, pengurus partainya ribut. Kelompok Kyainya ribut, ada yang mendukung Ahmadiyah, ada yang menentang.

Dulu di tahun 1960-an, sebagian komunitas pengusung Bid’ah ini ada yang pro-Komunis, namun ada pula yang menolak. Ketika Komunisme sedang jaya-jayanya di pelataran politik nasional, di kawasan para pengusung Bid’ah ini banyak yang ikut masuk Komunis.

Namun ketika Komunis surut dan cenderung di berangus, dari kalangan mereka pulalah yang paling getol membunuhi pengikut Komunis. Seperti eruk makan jeruk. Di tahun 1980-an, ada sebagian dari masyarakat pendukung Bid’ah ini yang mendesak keluar dari parpol tertentu, namun ada pula yang berkeras bertahan di parpol tersebut. Maka, mereka pun ribut di antara sesamanya.

Mengapa ormas pengusung Bid’ah itu ribut terus?. Karena antek AS yang kalau jalan harus dituntun itu, masih eksis dan menjiwai ormas itu. Meski pernah terbukti berzinah dan menghina Al-Qur’an, namun karena tipikal pendukungnya yang emosional dan Taqlid buta itu, maka keberadaan sang antek terus tegak, kesalahannya sebesar apapun tak tampak, apalagi ditunjang kekuatan adidaya.

Musuh Peradaban

Ketika Komunisme masih berjaya, terutama di kawasan Rusia dan Cina, maka AS dan umat Islam dunia menjadikannya sebagai musuh bersama. Ketika Komunisme sudah tumbang, maka yang kemungkinan terjadi adalah pertempuran dua peradaban: antara Islam dan Barat (Kristen).

Untuk mencegah adanya benturan langsung di antara dua peradaban itu, maka perlu dibangun Neo-Komunisme sebagai Bumper. Bila Komunisme lama adalah anti Imperialisme dan anti-Kapitalisme, maka Neo-Komunisme (karena dilahirkan dari Barat yang kapitalis), jadinya Komunis yang pro-Kapitalis dan pro-Imperialis. Neo-Komunisme ini tidak frontal terhadap Islam.

Dalam rangka menciptakan Bumper tadi, AS memanfaatkan potensi-potensi yang ada, bahkan menciptakan agen-agen yang berasal dari negara itu sendiri. Misalnya, memberi pendidikan gratis atau dengan Beasiswa bagi pemuda-pemudi, sarjana-sarjana dari Indonesia untuk meraih gelar Doktor di bidang Keagamaan. Dari sini kita bisa temukan sosok seperti Harun Nasution, Mukti Ali, Daoed Joesoef, Syafi’i Ma’arif, Nurcholish Madjid, hingga generasinya Ulil Abshar Abdalla.

Meski mereka mendalami Islam, namun karena gurunya adalah orang-orang kafir yang menjadikan Islam hanya sebagai Ilmu, bukan Syariat yang harus diimplementasikan, maka yang terjadi adalah orang-orang yang mengerti Islam namun orientasinya berbeda.

Para lulusan Barat ini cenderung menyampaiksan Islam dengan tujuan membingungkan, memurtadkan, membuat orang ragu-ragu, atau bahkan menilai salah ajaran agamanya sendiri.

Dari mereka inilah lahir pemikiran-pemikiran yang berbobot Kufur, dan kemudian dimanfaatkan oleh para generasi Komunis muda untuk dijadikan landasan bahkan Mesiu memerangi Islam.

Generasi muda komunis ini tidak sungkan-sungkan masuk ke Perguruan Tinggi seperti UIN atau IAIN untuk tujuan yang sangat jelas. Maka tidak heran bila dari Perguruan Tinggi Islam seperti itu lahir jargon-jargon Ateisme seperti “Kawasan Bebas Tuhan” atau “Anjinghu Akbar” dan sebagainya.

Kiprah para generasi muda dan tua Neo-Komunis ini bersinergi dengan para penganut Sepilis (Sekulerisme, Pluralisme, Liberalisme), tentunya amat sangat merepotkan umat Islam yang konsisten dengan perjuangan menegakkan syariat Islam. Karena repot menghadapi para Neo-Komunis dan Sepilis ini, maka konsentrasi dan energi umat Islam tidak fokus kepada upaya penegakkan syari’at Islam. Pada saat seperti inilah fungsi penganut Neo-Komunis dan pengusung Sepilis sebagai bumper yang mencegah terjadinya benturan peradaban antara Barat yang Kristen dengan Islam.

AS dan Barat pada umumnya, harus terus meghidupkan bumper-bumper tadi, sehingga Islam tidak leluasa menjadi kekuatan alternatif bagi peradaban dunia.

Sosok-sosok seperti Syafi’i Ma’arif hingga Zuhairi Misrawi (sosok yang lebih muda dari Ulil) akan terus mendapat pasokan berarti hingga eksistensinya terjaga, sampai batas waktu yang tak tertentu.

Penganut Neo-Komunis dan Sepilis itu kini bergabung ke dalam AKKBB (Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan). AKKBB sesungguhnya hanyalah sampul yang bagus untuk isi yang buruk.

Mereka menampilkan diri dengan bungkus Kebangsaan, padahal menjalankan agenda asing yang anti-Islam. Mereka tampil dengan bungkus Kebebasan Beragama, namun yang mereka musuhi justru umat Beragama (Islam) yang konsisten dengan penegakkan syari’ah Islam.

Mereka tampil dengan bungkus yang seolah-olah Santun, namun terus memprovokasi, memfitnah, menuding-nuding dengan sebutan-sebutan yang menghinakan melalui berbagai tulisan dan pernyataannya (lihat berbagai tulisan di Media Indonesia, Kompas, Jawa Pos, Pikiran Rakyat, dan berbagai situs seperti The Wahid Institute dan situs JIL).

Bila dari sejumlah hampir 300 nama yang tercantum di dalam iklan AKKBB di berbagai media massa itu diklasifikasikan, setidaknya dapat dibuat penggolongan sebagai berkut:
  1. Ada yang tergolong sebagai pengikut dan pelaksana aktif perilaku Seks Bebas.
  2. Ada yang tergolong penganut Sepilis
  3. Ada yang penganut Neo-Komunisme dan anti-Agama.
  4. Ada yang tergolong sebagai Pendukung Kesesatan.
  5. Ada yang tergolong sebagai Antek Asing dengan berkedok Kebangsaan dan Hak Asasi Manusia.


Ketika terjadi insiden Monas 01 Juni 2008, menurut pembuktian FPI dan TPM (Tim Pembela Muslim), AKKBB memulai insiden dengan memprovokasi FPI dan Laskar Islam pimpinan Munarman dengan meledeknya sebagai Laskar Kafir. Bahkan ada yang memuntahkan peluru dari pistol yang dibawanya, sehingga massa FPI dan Laskar Islam bukannya takut malah berang dan balas menyerang secara fisik.

Dari Tabiat AKKBB yang seperti itu, maka tak heran bila sebagian masyarakat mengartikan AKKBB sebagai Aliansi Keluarga Komunis Baru Bersenjata.

Oleh karena itu, yang harus dibubarkan pemerintah adalah kelompok seperti ini, yang pura-pura santun namun terus memprovokasi dengan berbagai pernyataan dan tulisan, dalam rangka memancing pihak tertentu untuk melakukan kekerasan. (swaramuslim.net)