03 October 2009

Resolusi Ramadhan Tahun Ini: Ganti Kapolri dan Pangdam Diponegoro


Ramadhan adalah bulan membersihkan diri, introspeksi dan perenungan bagi umat Islam. Tak terkecuali bagi Presiden RI terpilih, Susilo Bambang Yudhoyono. Setelah berhasil meraih dukungan 60 persen lebih pemilih Indonesia yang mayoritas Muslim, Presiden memanfaatkan Ramadhan untuk merenung dan menimbang, siapa yang layak menjadi para pembantunya memerintah Republik Indonesia lima tahun ke depan. Begitulah kabar yang terdengar dari kediaman SBY di Cikeas.

Namun Ramadhan tahun ini diawali dengan suasana kurang nyaman bagi para Dai dan Mubaligh Islam. Sedihnya, penyebab kekurangnyamanan itu datang dari para pembantu Presiden SBY sendiri. Adalah Kadivhumas Mabes Polri, Irjen Nanan Soekarna yang mengeluarkan kabar mencemaskan: “Demi mencegah perkembangan terorisme, Dakwah dan Dai di bulan Ramadhan akan dipantau dan diawasi. Mereka yang dakwahnya provokatif akan diberi tindakan”. Tapi tak jelas apa batasan provokatif itu.

Sebelumnya, persis setelah upacara peringatan Proklamasi 17 Agustus, seorang anak buah Panglima Tertinggi SBY juga mengeluarkan pernyataan miris. Pangdam Diponegoro Mayjen Haryadi Soetanto menyeru kepada masyarakat agar melapor jika melihat orang yang bersurban, berjubah atau berjenggot. Dikhawatirkan mereka adalah bagian dari jaringan teroris. Maka semakin banyak saja Dai Jamaah Tabligh yang bersurban, berjubah dan berjenggot diusir warga atau bahkan ditangkap polisi. Padahal mereka hanya menyeru umat mendekati Allah dan menjauhi maksiat.

Irjen (Pol) Nanan Soekarna

Mayjen (TNI) Haryadi Soetanto

Mengapa kedua Jenderal bintang dua itu menyambut Ramadhan dengan pernyataan yang mencemaskan umat Islam?. Haruskah para dai tampil Kelimis, bertopi ala Koboi dan berdasi?. Akankah para Dai dilaporkan dan ditangkapi seperti zaman Orde Baru?. Pertanyaan itu meresahkan dan mengorek luka lama di hati umat Islam.

Umat masih belum lupa, bagaimana di masa lalu para Dai di Bui hanya lantaran mengkritisi pemerintah dengan ayat-ayat suci. Umat juga masih ingat, betapa zalimnya aparat yang selalu menempatkan Islam sebagai ancaman bagi stabilitas negeri.

Alhamdulillah, Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri segera mengklarifikasi. Beliau menegaskan bahwa isu itu tidak benar dan merugikan Polri. Polisi tidak pernah dan tidak akan mengawasi dakwah, kecuali instansi yang berwenang -yaitu Depag- memintanya. Hati umat Islam pun sedikit tenteram dan adem.

Tapi Kadiv Humas adalah juru bicara Polri dan Kapolri. Layakkah pernyataan resminya di hadapan media massa dikategorikan sebagai isu yang merugikan Polri?. Jika hal ini benar maka Nanan tentu harus ditindak-tegas sebagai perwira yang mencemarkan citra Polri di hadapan umat Islam. Karena pernyataan itu dimuat terbuka dan transparan, maka tindakan terhadap Kadivhumas juga harus diumumkan.

Jika ternyata pernyataan itu memang pernah menjadi kebijakan Polri namun belakangan di Revisi karena memicu kegelisahan masyarakat, cerita menjadi lain. Bukan Nanan yang harus ditindak, melainkan Kapolri yang harus bertanggung-jawab. Sekelas Jenderal bintang empat, bentuknya adalah pengunduran diri dan permintaan maaf secara terbuka kepada umat Islam dan para Dai yang hampir diawasi.

Jika BHD melakukan hal itu, ia bertindak ksatria seperti SBY yang juga mengaku ksatria. Seandainya pun kesalahan ada pada Kadivhumas, Kapolri yang ksatria sangat layak bertanggung-jawab atas kesalahan anak buahnya. Jika hal ini tidak dilakukan, berarti kewajiban SBY yang dipilih oleh mayoritas bangsa Indonesia yang Muslim untuk mencopot BHD.

Lalu siapa yang layak mengantikan BHD menjadi Kapolri?. Kader Polri pasti banyak, namun ada seorang perwira yang pantas untuk jabatan itu. Meski baru bintang dua, Anton Bahrul Alam sangat pantas menjadi Kapolri. Pendekatannya yang sangat ramah pada umat Islam di Jawa Timur menjadi modal awal Polri menyembuhkan luka Ramadhan tahun ini.

Anton sebagai Kapolda Jatim membuat gebrakan dengan rajin shalat di Masjid, menggalakkan pengajian di kantor polisi dan menganjurkan Polwan Muslimah untuk berjilbab. Mantan Wakadivhumas Polri ini bahkan tak segan memakai surban putih saat mengenakan pakaian dinas hariannya. Pendekatannya kepada umat Islam bahkan lebih intens daripada AKBP Rudy Sufahriadi waktu menjabat Kapolres Poso.

Rudy pernah dipuji Wapres Jusuf Kalla, ia dikenal rajin shalat berjamaah di daerah konflik itu. Bekas sujud nampak menghitam di dahi Rudy. Belakangan dia ditarik menjadi Kepala Densus 88 Polda Metro Jaya. Ia nampak lagi di televisi saat menangkap Habib Rizieq Shihab di Petamburan. Entah kenapa, dahinya kini bersih dan kelimis.

Bagaimana dengan Pangdam Diponegoro?. Belum ada kabar tentang Jenderal yang satu ini. Mungkin semangat membantu polisi menanggulangi terorisme membuatnya lupa bahwa Kodamnya justru bersimbol Pangeran Diponegoro. Pahlawan yang bersurban dan berjubah putih. Dia mungkin juga lupa bahwa seniornya di TNI, Jenderal Gatot Soebroto, berjenggot dan bercambang.

Tentu tak pantas seorang pelupa menjadi benteng negara, memegang komando sebuah divisi atau kesatuan lain yang lebih tinggi. Apalagi jika pernyataannya sengaja untuk melukai umat Islam yang bersurban, berjubah dan berjenggot. Perwira yang Islamophobia tentu tak pantas dimiliki oleh TNI.


Kembali kepada renungan Ramadhan di Cikeas. Semoga SBY mendengarkan aspirasi umat Islam ini. Presiden harus menindak bawahannya yang melukai dan meresahkan kaum Muslimin. Kemudian mereka diganti dengan pejabat yang lebih layak dan tahu menempatkan diri di tengah bangsa Muslim terbesar di dunia ini.

Jangan sampai bangsa yang mayoritas Muslim ini merasa salah memilih presiden. Jangan sampai umat dibuat gelisah dengan kekeliruan para pembantunya. Jangan sampai mereka berpikir, kalau di bulan Ramadhan saja berani melukai, bagaimana pula di bulan lain nanti?. Semoga harapan ini terdengar sampai ke Cikeas. (muslimdaily.net)