14 October 2009

TOKOH Nyeleneh di UIN dan IAIN

[Frontpage situs JIL]

Oleh : Ustadz Hartono Ahmad Jaiz

Salah seorang terkemuka dari kalangan yang nyeleneh (aneh pendapatnya) dan bahkan orang-orang yang nyeleneh pun mengakuinya, sebagai orang yang berperan penting yang Dawam Rahardjo sebut liberalisme Islam (dalam menumbuhkan kenyelenehan?) adalah Mukti Ali guru besar IAIN Jogjakarta. Ini paling kurang adalah seperti yang diakui oleh Dawam Rahardjo di antaranya ditulis Koran Republika.

Mukti Ali

Cap buruk dari masyarakat belum sempat melekat di dalam nama Mukti Ali semasa hidupnya. Tetapi tokoh yang belum menerima gelar-gelar buruk itupun telah melakukan sebongkah pembelaan dan bahkan penumbuhkembangan perusakan Islam secara sistematis di Indonesia lewat pendidikan tinggi Islam dan karya tulis yang merusak Islam secara terang-terangan, yaitu membela dan bahkan sebagai pemberi kata pengantar buku yang merusak aqidah Islam, berjudul Catatan Harian Ahmad Wahib, 1982. Apalagi mereka-mereka yang oleh masyarakat sudah diberi cap buruk atau paling kurang sebagai sosok nyeleneh (aneh pendapat-pendapatnya), bisa dijumpai di berbagai tempat di antaranya:

1. Nurcholish Madjid

Nurcholish Madjid, dosen di IAIN Jakarta, pendiri Yayasan Wakaf Paramadina dan rektor Universitas Paramadina Mulya Jakarta. Pada saat naskah ini ditulis, dia baru saja pulang dari perawatan di rumah sakit di Singapura ke rumah sakit pula di Pondok Indah Jakarta. Setelah hatinya di cangkok dengan hati orang Cina Komunis asli negeri Cina Tiongkok di Cina, dia harus dirawat di Singapura.

Pencangkokan hati itu mengharuskan Nurcholish disuntik untuk mengurangi daya tolak tubuh atas hati cangkokan baru itu. Namun akibatnya kekebalan tubuhnya harus dikurangi, maka ususnya terkena infeksi, dan harus dirawat di RS Singapura, selama 6 bulan. Kemudian pulang ke Indonesia bukan pulang ke rumah tetapi ke rumah sakit pula, yaitu di Pondok Indah Jakarta, 17 Februari 2005, dengan harus selalu pakai masker, dan ditangani 6 dokter spesialis.

Nurcholish Madjid dulu (1970) mencoba mengemukakan gagasan “pembaharuan” dan mengecam dengan keras konsep negara Islam sebagai berikut:

“Dari tinjauan yang lebih prinsipil, konsep “Negara Islam” adalah suatu distorsi hubungan proporsional antara agama dan negara. Negara adalah salah satu segi kehidupan duniawi yang dimensinya adalah rasional dan kolektif, sedangkan agama adalah aspek kehidupan yang dimensinya adalah spiritual dan pribadi.”

Pada tahun 1970 Nurcholish Madjid melontarkan gagasan “Pembaharuan Pemikiran Islam”. Gagasannya itu memperoleh tanggapan dari Abdul Kadir Djaelani, Ismail Hasan Meutarreum dan Endang Saifuddin Anshari. Sebagai jawaban terhadap tanggapan itu Madjid mengulangi gagasannya itu dengan judul “Sekali lagi tentang Sekularisasi”.

Kemudian pada tanggal 30 Oktober 1972, Madjid memberikan ceramah di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, dengan judul “Menyegarkan Faham Keagamaan di Kalangan Umat Islam Indonesia”. Salah satu kekeliruan yang sangat mendasar dari Nurcholish Madjid ialah pemahamannya tentang istilah “sekularisasi”. Ia menghubungkan sekularisasi dengan tauhid, sehingga timbul kesan “seolah-olah Islam memerintahkan sekularisasi dalam arti tauhid”.

Di samping itu Nurcholish mengemukakan bahwa Iblis kelak akan masuk surga. Ungkapannya yang sangat bertentangan dengan Islam itu ia katakan 23 Januari 1987 di pengajian Paramadina yang ia pimpin di Jakarta. Saat itu ada pertanyaan dari peserta pengajian, Lukman Hakim, berbunyi: “Salahkah Iblis, karena dia tidak mau sujud kepada Adam, ketika Allah menyuruhnya. Bukankah sujud hanya boleh kepada Allah?”

Dr. Nurcholish Madjid, yang memimpin pengajian itu, menjawab dengan satu kutipan dari pendapat Ibnu Arabi, dari salah satu majalah yang terbit di Damascus, Syria bahwa: “Iblis kelak akan masuk surga, bahkan di tempat yang tertinggi karena dia tidak mau sujud kecuali kepada Allah saja, dan inilah tauhid yang murni.”

Nurcholish juga mengatakan, “Kalau seandainya saudara membaca, dan lebih banyak membaca mungkin saudara menjadi Ibnu Arabi. Sebab apa? Sebab Ibnu Arabi antara lain yang mengatakan bahwa kalau ada makhluk Tuhan yang paling tinggi surganya, itu Iblis. Jadi sebetulnya pertanyaan anda itu permulaan dari satu tingkat iman yang paling tinggi sekali. Tapi harus membaca banyak.”

Itulah ungkapan pembela Iblis. Padahal Iblis jelas kafir, dan yang kafir itu menurut QS Al-Bayyinah ayat 6 tempatnya di dalam neraka jahannam selama-lamanya.

Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam,” maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir. (QS Al-baqarah: 34).

Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk. (QS Al-Bayyinah/ 98: 6).

Masalah hati Nurcholish Madjid dicangkok dengan hati Cina di Negeri Cina, ada orang yang jadi mudah teringat lontaran-lontaran Nurcholish Madjid dalam beberapa hal, yang kaitannya dengan Cina ataupun komunis, atau tentang pencangkokan.

Pertama: Nurcholish Madjid mempidatokan di universitas-universitas terkemuka di Eropa, Ramadhan 2002, bahwa Islam adalah agama Hibrida alias cangkokan. Pidatonya itupun dimuat di situs JIL (islamlib.com). Nurcholish Madjid hanya mengemukakan secuil bukti yang dia ada-adakan, yaitu katanya, di Al-Qur’an ada lafal Qisthas dari bahasa Yunani Justis yang artinya adil. Dan di Al-Qur’an ada lafal Kafuro, menurut Nurcholish, dari bahasa Melayu, kapur barus. Dengan dua potong kata yang tanpa bukti ilmiah itu kemudian Nurcholish simpulkan bahwa Islam adalah agama hibrida, maka bukan Islamnya yang hibrida, tapi hati dia yang di hibrida dengan hati Cina Komunis.

Kedua, di tahun 1980-an, Bambang Irawan Hafiluddin (gembong Islam Jama’ah) dan Hasyim Rifa’i (da’i Islam Jama’a'ah, keduanya kemudian keluar dari Islam Jama’ah karena menyadari aliran yang kini bernama LDII itu benar-benar sesat jauh) berkunjung ke rumah Nurcholish Madjid di Tanah Kusir Jakarta Selatan. Kedua tamu ini kaget ketika Nurcholish Madjid mereka tanya, Negara mana yang di dunia ini pantas untuk ditiru sebagai teladan. Ternyata jawaban Nurcholish: Negara Cina Tiongkok, karena di sana tidak ada perzinaan, pencurian dan sebagainya. Kedua tamu ini terheran-heran. Sampai 20 tahun keheranannya itu tambah teringat lagi ketika mereka mendengar berita bahwa Nurcholish Madjid hatinya dicangkok dengan hati Cina Komunis di negeri Cina, pertengahan tahun 2004. Ini menurut pengakuan Ustadz Hasyim Rifa’i kepada penulis ketika bertemu di Cisarua Bogor, menjelang Iedul Adha 1425H, Selasa 19 Januari 2004. Jadi Nurcholish Madjid benar-benar mendapatkan hati teladan (impiannya?).

Ketiga, Nurcholish Madjid menuduh PKI (Partai Komunis Indonesia) terhadap anak-anak Ma’had Al-Qolam Pasar Rumput Jakarta yang memberikan brosur kepada Nurcholish Madjid berupa jawaban/bantahan atas ungkapan Nurcholish Madjid bahwa Iblis kelak akan masuk surga.

Peristiwa tuduhan PKI yang terlontar dari mulut Nurcholish Madjid terhadap santri-santri yang berlangsung di tahun 1987 itu ternyata berbalik ke diri Nurcholish Madjid bahwa hati dia dicangkok dengan hati orang Cina Tiongkok yang komunisnya asli, bukan Assembling seperti PKI. Debat dan tuduhan Nurcholish Madjid terhadap santri-santri itu di muat di buku saya, Menangkal Bahaya JIL dan FLA, 2004.

Nurcholish Madjid

2. Abdul Munir Mulkhan

Abdul Munir Mulkhan, wakil rektor UIN Yogjakarta dan petinggi di Muhammadiyah berpendapat, kalau yang masuk surga orang tertentu (Islam) saja maka akan kesendirian dan tak kerasan di surga.

Dalam hal bicara surga, yang sebenarnya menurut Islam termasuk hal ghaib yang hanya boleh bicara berdasarkan wahyu (Al-Qur’an dan As-Sunnah) karena yang tahu kunci-kunci hal ghaib itu hanya Allah dan para utusan (Rasul) yang Dia beritahu, namun Mulkhan sangat berani mereka-reka dengan mengatakan: “Surga Tuhan itu nanti dimungkinkan terdiri dari banyak kamar yang bisa dimasuki dengan beragam jalan atau agama. Karena itu, semua manusia berpeluang masuk surga sesuai keagamaan dan kapasitasnya masing-masing, jika benar-benar memang percaya (iman) dan berminat.

Ungkapan-ungkapan Abdul Munir Mulkan ini adalah kebohongan yang di landasi dengan duga-duga belaka, tidak lebih unggul dibanding dukun-dukun yang mengaku-ngaku dirinya tahu rahasia keghaiban atas bisikan Syetan sebagai walinya. Ungkapannya yang sangat berbahaya adalah: “Surga Tuhan itu nanti dimungkinkan terdiri dari banyak “kamar” yang bisa dimasuki dengan beragam jalan atau agama.” Kalimat Abdul Munir Mulkhan itu bertentangan dengan Al-Qur’an:

Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (QS. Ali Imran: 85).

Di kesempatan lain Mulkhan mengatakan, “Dalam logika orang desa, kalau ada satu kelompok yang merasa benar sendiri dan yang lain dituding salah atau sesat, nanti saya khawatir kesepian di Surga; tidak ada temannya. Klaim-klaim kebenaran absolut seperti itu sesungguhnya lebih menunjukkan, barangkali dalam bahasa yang agak Sarkastik, kurang menyadari bahwa hidup sosial tidak bisa sendirian. Di hutan saja pun tidak bisa hidup sendirian, mesti bersama hewan-hewan, pohon-pohonan dan semak-belukar.”

Ungkapan Abdul Munir Mulkhan, “kesendirian, tidak kerasan di surga” dan sebagainya itu bertentangan dengan ayat:

Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka adalah surga Firdaus menjadi tempat tinggal, mereka kekal di dalamnya, mereka tidak ingin berpindah daripadanya. (QS. Al-Kahfi: 107-108).

Kalau orang Liberal masih berkilah bahwa mukmin di situ termasuk pula kini orang-orang Yahudi, Nasrani dan lainnya, maka kilah mereka itu sudah ada jawaban tuntasnya:

‘An Abii Hurairota ‘an Rasuulillahi annahu qoola: “Walladzii nafsi Muhammadin biyadihi, laa yasma’u bii ahadun min haadzihil Ummati Yahuudiyyun walaa nashrooniyyun tsumma yamuutu walam yu’min billadzii ursiltu bihii illaa kaana min ash-haabin naari.” (Muslim).

Diriwayatkan dari Abu Hurairah dari Rasulullah bahwa beliau bersabda: “Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, tidaklah seseorang dari Ummat ini yang mendengar (agama)ku, baik dia itu seorang Yahudi maupun Nasrani, kemudian dia mati dan belum beriman dengan apa yang aku diutus dengannya, kecuali dia termasuk penghuni neraka.”

(Hadits Riwayat Muslim bab Wujubul Iimaan birisaalati nabiyyinaa ilaa jamii’in naasi wa naskhul milal bimillatihi, wajibnya beriman kepada risalah Nabi kita Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bagi seluruh manusia dan penghapusan agama-agama dengan agama beliau).

Abdul Munir Mulkhan

3. Djohan Effendi

Djohan Effendi, anggota resmi aliran sesat Ahmadiyah, penyunting buku Catatan Harian Ahmad Wahib Pergolakan Pemikiran Islam. Isinya sangat menyesatkan, di samping mengkampanyekan faham Pluralisme Agama (menyamakan semua agama) masih pula ditambah dengan pernyataan-pernyataan yang menghina Nabi Muhammad, misalnya Wahib menginginkan Nabi yang tingkat Internasional.

Pemikir Islam Inklusif

Dalam seminggu terakhir, nama Djohan Effendi memang disebut-sebut sebagai calon petinggi di lingkungan Sektretariat Negara. Namun, kepastian baru datang setelah Bondan Gunawan menanggalkan jabatannya sebagai Pjs. Sekretaris Negara dan Sekretaris Pengendali Pemerintahan. Laiknya pejabat pengganti, jati diri Djohan menarik dipertanyakan: Siapakah dia?. Mampukah ia menyejukkan lingkungan istana yang sedang gerah?.

Di kalangan peminat pemikiran Islam, nama Djohan Effendi (60 tahun), bukan nama asing. Ia sudah malang-melintang sebagai pemikir Islam Inklusif yang sangat Liberal. Dalam memahami agama, Djohan sampai pada kesimpulan: "Pada setiap agama terdapat kebenaran yang bisa diambil." Karena itu, ia sangat prihatin pada segala bentuk pertetangan yang mengatasnamakan agama.

Kecendikiaan Djohan diakui Greg Barton. Dalam disertasinya di Universitas Monash-Australia, Barton mensejajarkan Djohan dengan Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, dan Ahmad Wahib sebagai sesama pemikir neo-Modernis Islam.

Sosoknya memang terbuka, dan itu sudah berakar pada dirinya sejak kecil. Pria kelahiran Kandangan-Kalimantan Selatan itu gemar mempelajari berbagai hal. Selain mengaji Al-Quran, Djohan kecil juga keranjingan membaca biografi tokoh dunia. Ketekunan menyimak buku itu diwariskan ibunya-yang sekalipun pedagang kecil, getol membaca.

Setelah menamatkan pendikan dasarnya, atas biaya ikatan dinas pemerintah, Djohan melanjutkan ke Pendidikan Guru Agama (PGA) di Banjarmasin. Setelah itu, Djohan melanjutkan studi ke Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN) Yogyakarta. Di sana, Djohan mulai mendalami polemik filosofis antara Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd. Ia merenungkan sejumlah konsep keimanan yang sangat abstrak, seperti keabadian alam, takdir, kebebasan manusia, kekuasaan Tuhan. "Itu nyaris menggoyahkan keimanan saya", katanya mengenang.

Ketika penggembaraan intelektualitas menemui kebimbangan, Djohan berkenalan dengan buku-buku Ahmadiyah karya Muhammad Ali. Ia lalu bertemu dengan Muhammad Irsjad dan Ahmad Djojosugito dua tokoh Ahmadiyah Lahore. Djohan tertarik pada cara interpretasi Ahmadiyah yang sangat rasional, sekaligus spiritualistik. Kegandrungan mempelajari Ahmadiyah tersebut membuat Djohan dituduh sebagai pengikut kelompok keagamaan asal India itu. Tapi, Djohan sendiri membantahnya.

Setamat dari PHIN, Djohan sempat menjadi "birokrat lokal". Selama dua tahun, ia bekerja sebagai pegawai Departemen Agama di Amuntai-Kalimantan Selatan. Kesempatan untuk menimba ilmu kembali terbuka ketika Djohan mendapat tugas belajar ke Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Kesempatan itu digunakannya untuk mendalami kajian tafsir. Di kota gudeg itu, Djohan lebih keranjingan membaca buku di perpustakaan, ketimbang mengikuti kuliah dosen.

Lulus IAIN, dua tahun kemudian, Djohan ditempatkan di Sekretariat Jenderal Departemen Agama. Tak lama disana, lalu diangkat menjadi staf pribadi Menteri Agama Mukti Ali. Lima tahun menjadi staf menteri, Djohan sempat dikaryakan ke Sekretaris Negara. Kehadirannya di Setneg, khusus untuk membantu menyusun pidato-pidato mantan Presiden Soeharto. "Kesepakatannya, saya jangan dipaksa menulis hal-hal yang tidak saya setujui," katanya mengenai pengalamannya.

Pada 1993, ia meraih gelar ahli peneliti utama Departemen Agama, setingkat dengan profesor atau guru besar di perguruan tinggi. Dalam pidato sambutan penganugerahan gelarnya, pemikiran moderat Djohan lagi-lagi mengemuka. Djohan menyinggung-nyinggung keberadaan kelompok penganut minoritas yang sering mendapat perlakukan tidak adil, seperti Konghucu dan Bahai. "Saya sempat disuruh menghapus bagian pidato itu. Tapi saya tidak mau," tandasnya.

Semasa Tarmidzi Taher menjadi Menteri Agama (1993-1998), posisi Djohan di Depag sempat menjadi tidak jelas. Karier Djohan sebagai penulis pidato Presiden pun tamat ketika ia "nekat" mendampingi KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) berkunjung ke Israel, 1994. Kunjungan itu ditentang keras oleh sejumlah kelompok Islam. Bahkan, Moerdiono, Sekretaris Negara saat itu, juga ikut menyesalkannya.

Gerah di tanah air, sejak 1995, Djohan "menggembara" ke Australia. Ia mengambil program doktor di Universitas Deakin, Geelong, Victoria. Disertasinya masih di garap sampai sekarang. Judulnya "Progresif Tradisional: Studi Pemikiran Kalangan Muda NU, Kiai Muda NU, dan Wanita NU".

Dari segi pemikiran, Djohan memang memiliki kedekatan dengan Gus Dur. Keduanya "bermazhab" kulturalis dan sama-sama penganjur inkusifisme beragama. Kedekatan ini dipertegas dengan keanggotaan Djohan di Forum Demokrasi, di mana Gus Dur sempat lama menjadi ketuanya.

"Kecelakaan sejarah" tanah air dua tahun lalu, menarik Djohan untuk balik ke Jakarta. Atas permintaan Menteri Agama saat itu, Malik Fadjar, sejak 20 Oktober 1998, Djohan diangkat sebagai Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Kabalitbang) Departemen Agama. Selama menjadi Kabalitbang, Djohan tinggal di kantornya, Jalan Thamrin, Jakarta Pusat. Namun, karena Djohan juga masih mahasiswa, setiap tiga bulan sekali, ia harus terbang ke Australia. Selain untuk keperluan studi, bagi Djohan, Australia sekaligus menjadi tempat melepas kangen. Maklum saja, sang Istri, tiga anak, dan seorang cucu tercinta masih tinggal di sana. (tempo.co.id)

Djohan Effendi

4. Dawam Rahardjo

Dawam Rahardjo, petinggi Muhammadiyah pembela aliran-aliran sesat di antaranya Ahmadiyah, bahkan dirinya mengatasnamakan Muhammadiyah mengundang Tahir Ahmad yang dianggap Khalifah ke-4 bagi Ahmadiyah, tinggal di London, untuk datang ke Indonesia.

Dawam Rahardjo-lah yang menyambut kehadiran Tahir Ahmad penerus nabi palsu Mirza Ghulam Ahmad di Bandara Cengkareng Jakarta dengan mengalungkan bunga padanya dan membawa-bawa penerus nabi palsu itu ke ketua MPR Amien Rais dan Presiden Gus Dur tahun 2000.

Padahal Ahmadiyah itu selain memalsu nabi, memalsu pula ayat-ayat Al-Qur’an dengan memiliki kitab suci Tadzkirah. Namun semua itu dianggap sama saja dengan Islam, dan hanya beda penafsiran, menurut Dawam Rahardjo yang suka membela lagi mengusung kesesatan ini.

Dawam Rahardjo ini pula yang membela Ulil Abshar Abdalla dalam kasus penghinaan Islam dengan tulisan Ulil di Kompas, 18 Nopember 2002, Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam. Isinya, menegaskan bahwa Ulil tidak percaya adanya hukum Tuhan.

Ulil Abshar Abdalla menyatakan, bahwa: "Semua agama sama. Semuanya menuju jalan kebenaran. Jadi, Islam bukan yang paling benar" (Gatra, edisi 21 Desember 2002). Larangan kawin beda agama, dalam hal ini antara perempuan Islam dengan lelaki non-Islam, sudah tidak relevan lagi (Kompas, 18 November 2002). Namun pernyataan Ulil yang menurut aqidah Islam telah memurtadkan itu justru dibela oleh Dawam Rahardjo, baik lewat tulisan-tulisannya, misalnya lewat Majalah Tempo pimpinan Gunawan Mohamad (orang yang dikagumi Ulil dan dipercaya oleh The Asia Foundation dan semacamnya untuk memelihara JIL dan sebangsanya).

Majalah Panjimas –yang sempat terbit sementara waktu hangat-hangatnya protes terhadap puncak kengawuran Ulil tahun 2002-2003, maupun lewat televisi misalnya Metro TV, sampai-sampai Dawam Rahardjo mengatakan bahwa Al-Qur’an itu Filsafat, namun ketika ditanya oleh KH Athi’an Ali lewat telepon dari Bandung, Dawam Rahardjo hanya manyun belaka sebagaimana biasanya.

Dawam Rahardjo

5. Moeslim Abdurrahman

Moslim Abdurrahman penolak keras diterapkannya syari’ah Islam, pengurus Muhammadiyah pula. Dia mengatakan, kalau syari’at Islam diterapkan maka yang jadi korban pertama adalah perempuan. Perkataan ini sama dengan menuduh Allah itu dhalim. Na’udzubillahi min dzalik. Sebegitu beraninya, seorang makhluq membantah aturan Tuhannya, hanya karena untuk menyenangkan hati bossnya yang diyakini sebagai penentang Allah, sekaligus mengajak manusia kepada penentangan yang nyata.

Moeslim Abdurrahman

6. Abdurrahman Wahid

Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pencetus gagasan "Assalamu’alaikum" diganti dengan "Selamat Pagi". Dalam tragedi Tsunami di Aceh 26 Desember 2004 yang menewaskan 150.000an jiwa lebih dan menghancurkan hampir seluruh bangunan, Gus Dur bersuara di Radio Jakarta News FM, agar mayat-mayat di Aceh itu dibakar saja di tempat. Alasannya, karena dia dibilangi adiknya, dr. Umar, katanya sarung tangan tidak cukup aman untuk mengevakuasi mayat-mayat. Ketika Gus Dur ditanya, apakah tidak melanggar agama, kalau mayat-mayat itu dibakar?, Gus Dur malah mengemukakan bahwa yang menolak dibakarnya mayat-mayat itu hanya orang yang tak tahu agama (Islam).

Namun “fatwa” nyeleneh Gus Dur ini sebagaimana biasa sudah tidak di gubris orang. Sebagaimana dia ketika kalah dalam pemilihan ketua umum PBNU di Muktamar NU di Boyolali Jawa Tengah 2004 lalu dia mengancam mau membuat NU tandingan pun orang banyak yang tidak menggubrisnya, kecuali sekadar sebagai ramai-ramai berita saja. Tetapi ini bukan berarti menutup kemungkinan adanya NU tandingan yang dia ancamkan.

Abdurrahman Wahid

7. Zainun Kamal

Zainun Kamal penghalal nikah antara Muslimah dengan lelaki Nasrani, pada Hari Ahad tanggal 28 November 2004 Zainun Kamal menikahkan wanita Muslimah. Suri Anggreni alias Fithri, dengan lelaki Kristen, Alfin Siagian, di Hotel Kristal Pondok Indah Jakarta Selatan. Lalu pengantin diberkati pendeta di situ. Ijab Qabul cara Islam, dibimbing oleh Dr Zainun Kamal, dosen UIN Jakarta, dari Yayasan Wakaf Madani, Kompleks Perumahan Dosen UIN Ciputat Jakarta Selatan. Ini telah menghalalkan yang haram, karena muslimah itu dengan tegas diharamkan menikah dengan lelaki kafir, dalam Surat:

Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. (QS. Al-Mumtahanah: 10).

Orang Kristen itu jelas kafir, maka termasuk dalam larangan nikah dengan muslimah. Kekafiran orang Kristen itu ditegaskan dalam Surat Al-Bayyinah ayat 6:

Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk. (QS. Al-Bayyinah: 6).

Zainun Kamal

8. Munawir Sjadzali

Munawir Sjadzali – mendiang — penggagas penyamaan bagian waris antara laki-laki dan perempuan. Padahal dalam Al-Qur’an ditegaskan:

Allah mensyari`atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; (QS. An-Nisaa’: 11).

Munawir juga berani menganggap beberapa ayat Al-Qur’an kini tidak relevan lagi. Dalam 10 tahun atau dua periode dia jadi Menteri Agama RI telah mengirimkan dosen-dosen IAIN ke Barat untuk apa yang disebut studi Islam, lebih dari 200 orang untuk meraih gelar doktor dan master di bidang agama.

Aneh, belajar ilmu Islam kok kepada orang-orang kafir atau paling kurang orang Sekuler di Barat. Padahal Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 120 dan QS Al-Baqoroh ayat 109 telah memperingatkan tentang bahaya orang-orang kafir Ahli Kitab, Yahudi dan Nasrani, yang sangat ingin mengembalikan Muslimin kepada kekafiran.

Pengiriman dosen-dosen IAIN ke Barat untuk belajar Islam kepada orang kafir yang sudah digalakkan sejak Menteri Agama Mukti Ali 1975 ini jelas tidak sesuai dengan petunjuk Allah , maka bila akibatnya rusak, itu sudah pasti. Bahasa Jawanya, “kutuk marani sunduk atau ulo marani gebuk” (Ikan mendatangi pancing atau ular mendatangi pukulan. Maknanya: usaha yang salah, payah-payah hanya mencari celaka). Dan itulah yang akibatnya kini alumninya banyak yang nyeleneh sebagaimana dalam uraian ini.

Munawir Sjadzali

9. Harun Nasution

Harun Nasution tokoh di IAIN Jakarta yang menggemakan istilah pembaruan Islam dialihkan maknanya menjadi: Memperbaharui dengan model modern (Barat), sampai yang menghalalkan dansa-dansa campur aduk laki perempuan seperti Rifa’at At-Thahthawi (Mesir) pun dikategorikan dalam satu nama yaitu kaum Modernis.

Mendiang Prof Dr Harun Nasution alumni McGill Canada yang bertugas di IAIN Jakarta itu pun memuji Rifa’at Thahthawi (orang Mesir, alumni Prancis) sebagai pembaharu dan pembuka pintu ijtihad (Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, hal 49).

Padahal, menurut Ali Muhammad Juraisyah dosen Syari’ah di Jami’ah Islam Madinah, Rifa’at Thahthawi itu alumni Barat yang paling berbahaya. Rifa’at Thahthawi tinggal di Paris 1826-1831M yang kemudian kembali ke Mesir dengan bicara tentang dansa yang ia lihat di Paris bahwa hanya sejenis keindahan dan kegairahan muda (syalbanah), tidaklah fasik berdansa itu dan tidaklah fasik (tidak melanggar agama) berdempetan badan (dalam berdansa laki-perempuan itu, pen).

Ali Juraisyah berkomentar: Sedangkan Rasulullah bersabda: “Likulli banii aadama haddhun minaz zinaa: fal ‘ainaani tazniyaani wa zinaahuman nadhru, walyadaani tazniyaani wazinaahumal bathsyu, warrijlaani tazniyaani wazinaahumal masy-yu, walfamu yaznii wazinaahul qublu, walqolbu yahwii wa yatamannaa, walfarju yushoddiqu dzaalika au yukaddzibuhu.”

Artinya: “Setiap bani Adam ada potensi berzina: maka dua mata berzina dan zinanya melihat, dua tangan berzina dan zinanya memegang, dua kaki berzina dan zinanya berjalan, mulut berzina dan berzinanya mencium, hati berzina dan berzinanya cenderung dan mengangan-angan, sedang farji/ kemaluan membenarkan yang demikian itu atau membohongkannya.”

(Hadits Musnad Ahmad juz 2 hal 243, sanadnya shohih, dan hadits-hadits lain banyak, dengan kata-kata yang berbeda namun maknanya sama).

Benarlah Rasulullah , dan bohonglah Syekh Thahthawi.

Harun Nasution

10. Kautsar Azhari Noer

Kautsar Azhari Noer, seorang dosen UIN Jakarta, penggema ajaran Ibnu Arabi dan Pluralisme Agama. Dr Kautsar Azhari Nur orang liberal dari Paramadina Jakarta ini dalam pidato Debat Fiqih Lintas Agama di UIN (Universitas Islam Negeri) Jakarta, 15 Januari 2004, berkata: “Akidah itu memang tidak sama. Akidah itu buatan manusia bukan buatan Tuhan.”

Komentar saya: Kalau aqidah itu buatan manusia, padahal fondasi dalam agama itu justru aqidah, dapatkah agama Allah yaitu Islam itu fondasinya hanya buatan manusia?. Barangkali perkatan Dr Kautsar itu betul apabila yang dimaksud hanyalah agama buatan manusia, misalnya agama model Gatoloco dan Darmogandul, suatu kepercayaan di Jawa yang sangat menghina Islam dengan perkataan-perkataan porno dan jorok.

Tentang aqidah, penjelasan ini bisa disimak: Wakil Sultan (di Suriah tempat Ibnu Taimiyah bermukim, pen) bertanya tentang iktikad (Aqidah), maka Ibnu Taimiyah berkata: Aqidah bukan datang dariku, juga bukan datang dari orang yang lebih dahulu dariku, tapi dari Allah dan Rasul-Nya, dan apa yang di ijma’i oleh para salaf umat ini diambil dari kitabullah dan hadits-hadits Bukhari dan Muslim serta hadits-hadits lainnya yang cukup dikenal dan riwayat-riwayat shahih dari generasi salaf umat ini.

Anggapan pihak Paramadina bahwa aqidah mereka memang beda, yaitu Pluralisme Agama –menyamakan semua agama– adalah berbeda dengan orang Muslim yang aqidahnya tegas bahwa hanya Islam-lah yang benar. Al-Qur’an menyatakan sesembahan orang non Islam (kafir) itu bukan sesembahan orang Muslim dalam surat Al-Kafirun secara diulang-ulang. Tetapi dosen UIN Jakarta dan Paramadina ini berani mengatakan bahwa muslim tapi aqidahnya berbeda, yaitu Pluralisme Agama.

Bagaimanapun, keyakinan orang pluralis bertentangan dengan Islam, di antaranya bertentangan dengan Al-Qur’an Surat Al-Kafirun.

Katakanlah: “Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu, dan untukkulah, agamaku”. (QS. Al-Kafirun: 1-6).

Kautsar Azhari Noer

11. Zuhairi Misrawi

Zuhairi Misrawi (alumni filsafat Al-Azhar Mesir yang pernah diadili dan diharap Istitab (bertaubat) kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala oleh teman-temannya di Mesir karena dianggap mengatakan bahwa shalat 5 waktu tidak wajib, kata Zainul Majdi MA (alumni Al-Azhar dari Lombok), di dalam pertemuan para Ulama dan tokoh Islam di As-Syafi’iyah Jakarta, Rabu 6 Ramadhan 1425H/ 20 Oktober 2004.

Zuhairi Misrawi ini bertekad, seandainya dia jadi ketua MUI (Majelis Ulama Indonesia), maka akan dia fatwakan, bahwa arti musyrik adalah politikus busuk. Lihat buku penulis, Mengkritisi Debat Fikih Lintas Agama, Al-kautsar, Jakarta, 2004).

Zuhairi Misrawi

12. Masdar F. Mas’udi

Masdar F. Mas’udi alumni IAIN Jogjakarta, orang NU yang menyuarakan kalau lelaki nekat berzina maka hendaknya pakai kondom, dan menyerukan musim Haji wuqufnya bukan hanya di bulan Dzulhijjah tapi bisa di Bulan Syawwal dan Dzulqo’dah.

Dosen Ilmu Fiqh, Dr. Khuzaimah T. Yango, alumni Mesir, menjelaskan dalam perkuliahan yang saya ikuti di MUI DKI Jakarta 1997 bahwa pendapat Masdar F. Mas’udi yang menyamakan pajak dengan zakat adalah jelas pendapat yang tidak benar dan tak punya landasan. Karena zakat jelas beda sekali dengan pajak. Dalam seminar pun sudah banyak yang membantah Masdar, kata Dr. Khuzaimah.

Rupanya setelah bermain-main dengan tema pajak dan zakat, Masdar masih punya “mainan” lagi yaitu tentang waktu pelaksanaan ibadah Haji.

Waktu pun berjalan terus, sedang kedudukan seseorang bisa menanjak. Di tahun 2000, Masdar Farid Mas’udi yang tadinya disebut intelektual muda itu telah menjadi Katib Syuriyah PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) dan Anggota Dewan Fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia). Dia dengan menulis embel-embel kedudukannya itu membuat artikel yang dimuat secara bersambung di Harian Republika, Jum’at tanggal 6 dan tanggal 13 Oktober 2000, berjudul Keharusan Meninjau Kembali Waktu Pelaksanaan Ibadah Haji.

Tulisan itu menyodorkan pendapat bahwa pelaksanaan ibadah haji hendaknya bukan hanya sekitar tanggal 8, 9, 10, 11, 12, 13 Dzulhijjah, tetapi kapan saja asal selama 3 bulan (Syawal, Dzulqa’dah, dan Dzulhijjah). Alasan Masdar, karena jelas di dalam Al-Qur’an Al-Hajju asyhurun ma’lumat. Haji itu di bulan-bulan yang sudah diketahui (3 bulan tersebut). Jadi, menurut Masdar, janganlah Al-Qur’an dikorbankan oleh hadits Al-Hajju ‘arafah, haji itu adalah Arafah. (Istilah Al-Qur’an dikorbankan oleh hadits itu tidak pernah dipakai oleh ulama manapun. Saya baru dengar dari pernyataan Masdar itu).

Landasan pikiran Masdar, ia kemukakan bahwa ibadah haji itu "Napak Tilas". Maka dimensi ruang itu lebih penting ketimbang dimensi lainnya termasuk waktu. Oleh karena itu, saran Masdar, agar pelaksanaan ibadah haji itu ya kapan saja, asal 3 bulan tersebut. Faham sesat dan melecehkan Islam ini dimuat di Kompas, Republika dan media lainnya.

Masdar F. Mas’udi

13. Ulil Abshar Abdalla

Ulil Abshar Abdalla (generasi NU yang menulis bahwa hukum Tuhan itu tidak ada, dan Vodca (minuman beralkohol lebih dari 16%) bisa jadi di Rusia halal karena udaranya dingin sekali.

Ungkapan yang merusak Islam dan menghalalkan yang haram ini ditulis di Kompas 18 November 2002/Ramadhan 1423H dan dalam wawancara dengan majalah di Jakarta. Orang ini mulai sengak perkataannya, misalnya dia mengecam Saudi dengan ungkapan bahwa duit petro dolar dari Arab itu paling hanya untuk mencetak Al-Qur’an dan buku-buku wahabi yang norak, anti intelektual… dst.

Gaya bicara semacam itu bisa mengindikasikan adanya kesombongan tersendiri, yang dalam Al-Qur’an justru disandang oleh orang-orang yang anti orang beriman:

Apabila dikatakan kepada mereka: “Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang lain telah beriman”, mereka menjawab: “Akan berimankah kami sebagaimana orang-orang yang bodoh itu telah beriman?” Ingatlah, sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh, tetapi mereka tidak tahu. Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan: “Kami telah beriman.” Dan bila mereka kembali kepada syaitan-syaitan mereka, mereka mengatakan: “Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok”. Allah akan (membalas) olok-olokan mereka dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan mereka. Mereka itulah orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk, maka tidaklah beruntung perniagaan mereka dan tidaklah mereka mendapat petunjuk. (QS. Al-Baqarah: 13-16).

Ulil Abshar Abdalla

14. Luthfi Assyaukani
e

Luthfi Assyaukanie (orang Paramadina Mulia Jakarta yang menganggap teks Al-Qur’an mengalami copy-editing oleh para sahabat. Ungkapan untuk meragukan kemurnian Al-Qur’an ini disiarkan lewat internet JIL (islamlib.com): “Saya cenderung meyakini bahwa Al Qur’an pada dasarnya adalah kalamullah yang diwahyukan kepada Nabi, tapi kemudian mengalami berbagai proses copy-editing oleh para Sahabat, Tabi’in, ahli bacaan (Qurra), Otografi, mesin cetak, dan kekuasaan.” (Islamlib.com –Merenungkan Sejarah Al-Qur'an, Oleh: Luthfi Assyaukanie Tanggal dimuat: 17/11/2003).

Bagaimana liciknya orang Liberal dari Paramadina ini, memasukkan berbagai unsur termasuk kekuasaan sebagai pelaku copy-editing terhadap wahyu Allah. Di masa sekarang perpolitikan yang sangat jauh dari Islam dan penguasanya tidak takut kepada Allah, lalu digambarkan bahwa Al-Qur’an pun mengalami copy-editing oleh kekuasaan, maka bisa dibayangkan betapa tajamnya untuk menyuntikkan pemahaman yang keliru mengenai kemurnian Al-Qur’an.

Betapa tega orang itu dalam menyuntikkan benih-benih untuk meragukan kemurnian Al-Qur’an. Tangan penguasa dengan bermodal kekuasaannya dianggap telah mengedit Al-Qur’an. Meskipun ada celoteh semacam itu, namun umat Islam tetap yakin terhadap penegasan Allah.

Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (QS. Al-Hijr: 9).

Pertanyaan yang perlu diajukan kepada Luthfi Assyaukanie, kenapa musuh Utsman bin Affan yang sampai membunuhnya, kemudian tidak membuat Al-Qur’an tandingan, kalau memang benar bahwa Utsman menggunakan kekuasaannya untuk mengedit Al-Qur’an?.

Luthfi Assyaukani

15. M. Amin Abdullah

M. Amin Abdullah, Ketua Majlis Tarjih Muhammadiyah, Rektor IAIN Jogjakarta: “Tafsir-tafsir klasik Al-Quran tidak lagi memberi makna dan fungsi yang jelas dalam kehidupan umat.”

Komentar: Ini mengingkari ilmu. Sebab tafsir-tafsir klasik itu menyampaikan warisan ilmu dari Nabi Muhammad yang disampaikan kepada para sahabat, diwarisi tabi’in, lalu tabi’it tabi’in, yang kemudian diwairisi para ulama. Dengan cara menafikan makna dan fungsi tafsir-tafsir klasik Al-Qur’an, maka sebenarnya yang akan dibabat justru Al-Qur’annya itu sendiri. Karena kalau umat Islam sudah menafikan tafsir-tafsir klasik Al-Qur’an, maka tidak tahu lagi mana makna yang Rajih (kuat) dan yang Marjuh (lemah) dalam mengetahui isi Al-Qur’an.

Di samping itu, masih mengingkari keadaan manusia. Seakan-akan manusia sekarang ini bukanlah manusia model dulu, tetapi makhluk yang baru sama sekali, tidak ada sifat-sifat kesamaan dengan manusia dulu. Padahal, dari dulu sampai sekarang, dan insya Allah sampai nanti, ciri-ciri dan sifat-sifat manusia itu sama. Yang munafik ya ciri-ciri dan sifat-sifatnya sama dengan munafiq zaman dulu. Yang kafir pun demikian. Sedang yang mu’min sama juga ciri dan sifatnya dengan mu’min zaman dulu. Maka Allah telah mencukupkan Islam sebagai agama yang Dia ridhai, dan Al-Qur’an menjadi pedoman sepanjang masa, karena manusia zaman diturunkannya Al-Qur’an itu sifatnya sama dengan zaman sekarang ataupun nanti. Tinggal tergolong yang mana?. Mu’min, Munafiq atau Kafir. Hanya itu.

Apalagi hanya tafsirnya, sedang Al-Qur’annya itu sendiri tidak menambah apa-apa kecuali menambah kerugian bagi orang-orang dhalim, dan menambah larinya orang-orang kafir dari kebenaran, memang.

Allah berfirman:

Dan Kami turunkan dari Al Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Qur’an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian. (QS. Al-Israa’: 82).

Dan sesungguhnya dalam Al Qur’an ini Kami telah ulang-ulangi (peringatan-peringatan), agar mereka selalu ingat. Dan ulangan peringatan itu tidak lain hanyalah menambah mereka lari (dari kebenaran). (QS. Al-Israa’: 41).

Itulah komentar yang perlu disampaikan untuk Amin Abdullah (Rektor UIN Yogjakarta, penyeru diterapkannya metode Hermeneutik untuk menafsiri Al-Qur’an, padahal Hermeneutik itu metode untuk Injil yang memang teksnya penuh problem).

M. Amin Abdullah

16. Taufik Adnan Amal

Taufik Adnan Amal (dosen Ulumul Qur’an IAIN Makassar, mengemukakan bahwa ayat "Innad diena indallohil Islam" itu ada yang lebih tepat untuk sekarang "Innad diena indallohil hanifiyyah". Ungkapan Taufiq Adnan Amal dan Ulil Abshar Abdalla yang disebarkan lewat Majalah Syir’ah itu mengandung kampanye untuk meragukan kemurnian Al-Qur’an dan sekaligus meragukan masih relevannya ayat-ayat Al-Qur’an dengan masa sekarang. Tentang buku Taufiq Adnan Amal berjudul Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, insya Allah dibahas di bagian bawah dari judul ini.

17. Abdul Moqsith Ghazali

Abdul Moqsith Ghazali, tadinya belajar di pascasarjana UIN Jakarta, termasuk tim penyusun draf counter legal Kompilasi Hukum Islam. Di antara isinya, Pasal yang tidak kalah kontroversial adalah pembolehan perkawinan beda agama. Tim Pengarusutamaan Gender bentukan Depag, sebagai penyusun draf, menilai pelarangan perkawinan beda agama melanggar prinsip Pluralisme dalam Islam.

Abdul Moqsith Ghazali, anggota tim penyusun, mengaku sejak semula sudah memperkirakan akan mendapatkan kritikan tajam. Timnya pun secara internal menjalani perdebatan yang panjang dan alot untuk membuahkan draf itu. Menurut dia, banyak sekali ketidakadilan dalam susunan KHI lama. ”Kami menyusun ini dengan mengacu pada dalil-dalil yang ada. Karena itu, jika memang tidak ada dalil yang melarang untuk mengubah sesuatu hal, berarti itu merupakan dalil untuk mengubah,” kata Moqsith (Republika, Selasa, 5 Oktober 2004).

Dia tak sadar, ucapannya bisa dipertanyakan, tak ada larangan nikah dengan buaya, babi dsb, apakah boleh nikah dengan babi, buaya dan sebagainya?. Pertanyaan ini dilontarkan oleh Ustadz Agus Hasan Bashori dari Malang, ketika ada kajian di Masjid Universitas Muhammadiyah Sidoarjo Jawa Timur, 9 Januari 2004).

Abdul Moqsith Ghazali

18. Siti Musdah Mulia

Siti Musdah Mulia (wanita, dosen pascasarjana UIN Jakarta, menyuarakan kesetaraan gender dengan membuat LSM di Departemen Agama, menyuarakan pembatalan syari’at Islam di antaranya melarang Poligami, tapi membolehkan nikah beda agama.

Ini jelas-jelas mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram, dilakukan bersama timnya 11 orang plus kontributornya 16 orang. Tim pengharaman yang halal dan penghalalan yang haram itu adalah:

Dr. Siti Musdah Mulia, MA, Apu;
Drs. Marzuki Wahid, MA;
Drs. Abdul Moqsith Ghazali, MA;
Dra. Anik Farida, MA;
Saleh Partaonan, MA, M.Hum;
Drs. Ahmad Suaedy;
Drs. H Marzani Anwar, APU (alumni IAIN Jogjakarta);
H. Abdurrahman Abdullah, MA,
Dr. KH Ahmad Mubarok, MA;
Drs. Asep Taufik Akbar, MA.

Kontributor aktif 16 orang:
KH. Drs Husen Muhammad (pengasuh PP Arjawinangun Cirebon Jabar);
KH. Drs Afifuddin Muhajir, MA (pengasuh PP Sukorejo Asembagus Situbondo Jawa Timur);
Drs. Lies Marcoes-Natsir, MA (feminis Muslim);
Dr. H Zainun Kamal, MA (dosen Pascasarjana UIN Jakarta);
Dr. H Ahmad Luthfi (dosen pascasarjana UIN Jakarta);
Drs. Syafiq Hasyim, MA (Deputi Direktur ICIP Jakarta);
Faqihuddin Abdul Qadir, MA (Direktur Fahmina Institute Cirebon);
Drs. M Jadul Maula, MA (Direktur LKiS Jogjakarta);
Drs. Imam Nakhai, MHI (dosen Ma’had Aly Situbondo);
Dr. Hamim Ilyas, MA (dosen UIN Jogjakarta);
Dra. Badriyah Fayumi, Lc, MA (peneliti Puan Amal Hayati pimpinan Sinta Nuriyah isteri Gus Dur di Ciganjur Jakarta);
Drs. Noer Yamin Aini, MA (peneliti PPSDM UIN Jakarta);
Drs. Umi Khusnul Khatimah, MA (PP Fatayat NU);
Dra. Mesraini MA (staf pengajar UIN Jakarta);
Dra. Ny Hindun Anisa, MA (PP Krapyak Jogjakarta);
Drs. Fatmah Amelia, MA (dosen UIN Jogjakarta).

Mereka ini di bawah kordinator Siti Musdah Mulia mengeluarkan buku Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (KHI) dengan label Pokja Pengarusutamaan Gender Departemen Agama RI, Jakarta 2004. Isinya meresahkan umat Islam karena menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, hingga MUI berkirim surat teguran keras ke Menteri Agama Said Agil Al-Munawwar, akhirnya draf itu dicabut oleh Menag, Oktober 2004).

Siti Musdah Mulia

19. Faqihuddin Abdul Kodir

Faqihuddin Abdul Kodir (alumni Suriah) yang temannya sendiri seperti Adnin Armas heran, kenapa setelah jadi dosen STAIN Cirebon jadi nyeleneh dan menulis di Majalah Syir’ah yang isi majalah itu banyak menyesatkan).


20. Husein Muhammad

Pengasuh Pondok Pesantren Darut Tauhid-Cirebon, memberikan pengantar untuk buku In The Name ff Sex karya Soffa Ihsan yang tak sungkan membeberkan sederet pengalaman menghirup kenikmatan sesaat bersama perempuan lain –dari yang muda hingga yang tua.

Soffa Ihsan bertutur ihwal petualangannya di dunia prostitusi di kota besar hingga tempat-tempat terpencil di Sumatra. Soffa menyangsikan aturan agama dapat menyelesaikan masalah faktual, seperti pelacuran, hubungan sejenis, seks bebas, yang tak memandang kelas di masyarakat itu. Ia memandang doktrin agama tafsiran ulama klasik yang pernah dilahapnya di pesantren tidak relevan lagi dengan kenyataan yang berkembang di masyarakat. (Lihat Majalah Gatra Nomor 13 Beredar 4 Februari 2005).

Buku yang jelas-jelas membeberkan bejatnya moral diri sendiri sebagai seorang gigolo (?), masih pula menghujat Islam itu, malah diberi kata pengantar oleh Husein Muhammad. Di samping itu rupanya orang Cirebon ini dipercaya teman-teman sepenyelenehan untuk bicara gender sampai di Malaysia.

Sekalipun Husein Muhammad ini sudah dipercaya oleh orang JIL sampai jadi utusan ke Malaysia, namun ternyata keok di kandang sendiri di Cirebon, ketika melabrak seorang ustadz muda, Muhammad Toharo. Singkat peristiwanya, Husein Muhammad dan Faqihuddin beserta dua rekannya datang ke seorang ustadz muda, Muhammad Toharo, di Yayasan As-Sunnah Cirebon Jawa Barat. Empat orang berpaham model JIL itu berbantah dengan Ustadz Toharo di rumah Toharo.

Disepakati, mereka mempercayai Kitab Tafsir Ibnu Katsir, dan akan dibaca saat itu juga. Hussein Muhammad disuruh membacanya, tafsiran Surat Al-Baqarah ayat 62 yang sering dijadikan landasan faham Pluralisme Agama, menyamakan semua agama. Baru membaca beberapa baris, Hussein Muhammad di cecar, Yahudi dan Nasrani yang diterima agamanya oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala itu yang Saalifah, yang telah lalu (bukan setelah datangnya Nabi Muhammad ).

Pembacaan tafsir ini tidak diteruskan sampai hadits-hadits yang menjelaskan bahwa Yahudi dan Nasrani yang sudah mendengar seruan Nabi Muhammad dan tidak mau masuk Islam, lalu mati, maka menjadi penghuni-penghuni neraka. Akibatnya, empat orang JIL ini tidak bisa mengelak, akhirnya mengakui bahwa Yahudi dan Nasrani sekarang statusnya Kafir.

Hanya saja mereka berempat masih mengelak tentang Yahudi dan Nasrani yang statusnya kafir itu masuk neraka atau tidak. Lalu Ustadz Toharo menegaskan, menurut Al-Qur’an, orang kafir itu masuk neraka selamanya. Percaya Al-Qur’an tidak? Bila tidak percaya maka kamu Kafir, tegas Ustadzt Toharo, awal 2005. Demikian menurut penuturan Ustadz Toharo ketika penulis bertemu dengannya di Bogor, menjelang Iedul Adha 1425H/ 19 Januari 2005.

Husein Muhammad

21. Nasaruddin Umar

Nasaruddin Umar (orang UIN Jakarta yang menyebarkan feminisme dan dipercaya oleh orang JIL –Jaringan Islam Liberal untuk bicara Islam model mereka ke Amerika).

Dia diangkat jadi pengurus struktural PBNU setelah Muktamar di Donoudan-Boyolali Jawa Tengah, Syawal 1425H/November 2004, yang saat itu pesawat Lion Air tergelincir di Bandara Panasan/Adisumarmo Solo hingga di antara tokoh NU, yang duduk di DPR dan akan menghadiri muktamar itu ternyata meninggal.

Gus Dur dan Masdar Farid Mas’udi kalah telak oleh pasangan Hasyim Muzadi dan KH Sahal Mahfudz, maka Gus Dur mengancam akan membuat NU tandingan. Akibatnya, Hasyim Muzadi mengakomodasi pihak Liberal model Gus Dur dan Masdar F Mas’udi, maka dimasukkanlah Nasaruddin Umar yang Liberal dan Feminisme itu ke jajaran kepengurusan PBNU).

Nasaruddin Umar

22. Alwi Shihab

Alwi Shihab (tokoh di NU/PKB, pendorong awal dan pengkampanye penyamaan semua agama, berkolaborasi dengan pejabat non Islam untuk menatar para karyawan tentang faham Pluralisme Agama (menyamakan semua agama) di satu instansi meliputi Jawa dan Madura).

Alwi Shihab

23. Quraish Shihab

Quraish Shihab mantan Menteri Agama 70 hari zaman Soeharto dan mantan Rektor IAIN Jakarta yang dikenal mengemukakan ucapan “Selamat Natal” diklaim sebagai sesuai Al-Qur’an, dan bersuara aneh tentang Jilbab hingga pernah dibantah mahasiswa Indonesia di Mesir.

Quraish Shihab menulis dengan judul Selamat Natal Menurut Al-Qur’an, di buku Membumikan Al-Qur’an. Di antara isinya:

Dalam rangka interaksi sosial dan keharmonisan hubungan, Al-Quran memperkenalkan satu bentuk redaksi, dimana lawan bicara memahaminya sesuai dengan pandangan atau keyakinannya, tetapi bukan seperti yang dimaksud oleh pengucapnya. Karena, si pengucap sendiri mengucapkan dan memahami redaksi itu sesuai dengan pandangan dan keyakinannya. Salah satu contoh yang dikemukakan adalah ayat-ayat yang tercantum dalam QS 34:24-25. Kalaupun non-Muslim memahami ucapan “Selamat Natal” sesuai dengan keyakinannya, maka biarlah demikian, karena Muslim yang memahami akidahnya akan mengucapkannya sesuai dengan garis keyakinannya. Memang, kearifan dibutuhkan dalam rangka interaksi sosial.

Tidak kelirulah, dalam kacamata ini, fatwa dan larangan itu, bila ia ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan ternodai akidahnya. Tetapi, tidak juga salah mereka yang membolehkannya, selama pengucapnya bersikap arif bijaksana dan tetap terpelihara akidahnya, lebih-lebih jika hal tersebut merupakan tuntunan keharmonisan hubungan. (Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Dr. M. Quraish Shihab, Penerbit Mizan, Cetakan 13, Rajab 1417/November 1996)

Tulisan Quraish Shihab itu walaupun berdalih ini dan itu, di antaranya untuk interaksi sosial dan keharmonisan, namun justru dia tidak menengok kondisi sosial yang umat Islam selama ini jadi incaran Kristenisasi dan Pemurtadan. Bahkan di masa umat Islam terkena musibah seperti di Aceh yang kena badai Tsunami (Ahad 26 Desember 2004), hingga mematikan lebih dari 150-an ribu orang dan menghancurkan hampir seluruh bangunan, tetap saja Kristenisasi dan Pemurtadan mengintai-intai dan mencari kesempatan.

Hingga dikabarkan 300 anak Aceh dibawa keluar oleh lembaga Kristen, yang hal itu menjadi polemik. Dengan “fatwa” seperti itu, maka ada situs yang menyebut bahwa hanya mereka yang agak rancu pikirannya saja yang memahami ayat 30-34 Surat Maryam sebagai ayat yang memerintahkan/membolehkan untuk mengucapkan Selamat Natal kepada orang kafir. (lihat syariahonline.com, konsultasi akidah, Boleh mengucapkan selamat Natal?).

Quraish Shihab

24. Atho’ Mudhar

Atho’ Mudhar Kepala Badan Litbang (Penelitian dan Pengembangan) Deprtemen Agama RI yang berpendapat bahwa Masjidil Aqsho bukan di Palestina tapi di Baitul Makmur di langit, suatu penafsiran aneh yang berbau pro-Yahudi Israel dan dikemukakan di pengajian Paramadina pimpinan Nurcholish Madjid lalu disebarkan oleh Majalah Tempo (pimpinan tokoh Liberal Gunawan Mohammad).

Masalah itu pernah penulis kemukakan kepada Syaikh Rajab, Imam Masjidil Aqsho Palestina, 1993, beliau sangat terheran-heran, ada orang Indonesia yang seliar itu dalam menafsirkan ayat suci Al-Qur’an.

Atho’ Mudhar

25. Azyumardi Azra

Azyumardi Azra, Rektor UIN Jakarta dan Ketua umum Yayasan Wakaf Paramadina di Jakarta menggantikan Komaruddin Hidayat. Azra termasuk penolak diterapkannya syari’at Islam namun nasibnya tak seburuk Ahmad Syafi’i Maarif, karena Azra meliuk-liuk dalam tulisan dan bicaranya dengan berlindung pada peradaban atau menisbatkan gagasannya kepada tokoh lain, hingga walau sampai sebagai pemuja demokrasi hingga dia sebut Islam Kompatibel (cocok, rukun, harmonis) dengan Demokrasi, namun masyarakat belum mengecamnya.

Padahal dia justru pemuja Demokrasi untuk dipas-paskan dicocok-cocokkan dengan Islam seraya menolak diterapkannya syari’at Islam. Dalam tulisannya di rubrik Resonansi di Harian Republika, Azyumardi Azra mengajak Indonesia untuk meniru langkah-langkah PM Malaysia, Abdullah Badawi.

Azyumardi menulis: Bagaimana sosok Islam progresif yang dibayangkan Badawi itu?. Singkatnya adalah Islam yang toleran, inklusif, modern, kompatibel dengan demokrasi dan perkembangan kontemporer. Bukan Islam yang dipahami secara harfiah, kaku, eksklusif, dan berorientasi ke masa silam.

Di situlah lihainya Azyumardi Azra, ketika ia sedang memuja Demokrasi dan Liberal dengan menyebut Islam yang Inklusif (menganggap agama kami mungkin salah, agama orang lain mungkin benar, maka saling mengisi; ini faham liberal yang setingkat di bawah Pluralisme Agama yang menyamakan semua agama), dan memuja Demokrasi dengan menyebut Islam yang Kompatibel (cocok, rukun, harmonis) dengan Demokrasi; ia sandarkan kepada orang lain yakni PM Malaysia, Abdullah Badawi.

Sehingga seakan-akan tulisannya itu bukanlah memuja Demokrasi plus jualan faham Liberal yang tak sesuai dengan Islam, dari dirinya sendiri. Kelihaian ini yang mengakibatkan Azyumardi Azra belum terkena getah cap buruk dari masyarakat, kecuali dari kalangan tertentu yang sudah mencium keliberalannya dan faham Pluralisme Agamanya yang dibungkus-bungkus itu. Dengan cara itu dia mendapatkan dua keuntungan, dari pihak anti-Islam dia dipercaya, sedang dari pihak Islam dia tidak/belum dikecam.

Allah lah yang Maha Mengetahui, mengetahui rahasia-rahasia yang di dalam hati, sedang manusia mengetahui gejala yang nampak. Bagi yang jeli seperti Adian Husaini, sekalipun dia berada di Kuala Lumpur Malaysia, namun sempat juga melihat tikaman-tikaman Azyumardi Azra terhadap Islam, maka Adian pernah menulis khusus menyoroti artikel resonansi Azra di Republika.

Sorotan Adian itu dimuat di hidayatullah.com Jumat, 03 Desember 2004 dan dibaca di Radio Dakta Bekasi, berjudul Kebangkitan Islam atau Kebangkrutan Islam?.

Tulis adian: “Menurut Azyumardi Azra, Kebangkitan Islam ditandai dengan toleransi dan gagasan pluralisme. Islam gaya Timur Tengah justru ‘ancaman Islam’. Sikap cari muka terhadap Barat?”.

Pada tanggal 2 Desember 2004, Prof. Azyumardi Azra, Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, menulis satu di kolom Resonansi, di Harian Republika, berjudul Memahami Kebangkitan Islam.

Kolom ini perlu kita cermati karena memuat banyak hal yang perlu diklarifikasi. Sejumlah istilah yang digunakan Azyumardi memiliki makna yang rancu dan menunjukkan kuatnya hegemoni Barat dalam kajian tentang Islam, umat Islam, dan dunia Islam.

Sehingga, ilmuwan sekaliber Prof. Azyumardi Azra harus menelan mentah-mentah istilah dan sekaligus wacana yang dijejalkan oleh Barat ke dunia Islam. Karena itu, muncul paradoks, bahwa sesuatu yang mestinya diprihatinkan, justru dibangga-banggakan. (Lihat hidayatullah.com).

Adian mencontohkan, faham Pluralisme Agama (menyamakan semua agama) dibanggakan Azra karena kini tumbuh di Indonesia, padahal itu seharusnya sangat harus diprihatinkan, bukan dibanggakan. Makanya, Adian sampai mengatakan, Azra telah menelan mentah-mentah pernyataan orang Israel, yang hal itu sangat disayangkan, lalu Adian mempertanyakan, apakah itu untuk menjilat Barat.

Azyumardi Azra

26. Said Aqil Siradj

Said Aqil Siradj, dosen pasca sarjana UIN Jakarta dan tokoh NU –Nahdlatul Ulama– yang pernah bersuara sangat aneh dan menyakiti para sahabat Nabi Muhammad bahwa orang Arab sepeninggal Nabi Muhammad mereka murtad kecuali hanya orang-orang Arab Quraisy, itupun tidak keluarnya dari Islam bukan karena agama tapi karena suku/kabilah.

Dengan tulisannya di makalah yang sangat menyakiti para sahabat Nabi Muhammad itu maka Aqil Siradj dikafirkan oleh belasan ulama dan ada gagasan untuk diusulkan ke almamaternya, Universitas Ummul Quro Makkah, agar gelar doktornya dicabut; namun malah Aqil Siradj menantang silahkan dicabut, sekalian gelar hajinya yang telah ia jalani belasan kali silahkan dicabut.

Lancangnya Said Aqil Siradj melontarkan tuduhan bahwa “orang Arab sepeninggal Nabi Muhammad mereka Murtad kecuali hanya orang-orang Arab Quraisy, itupun tidak keluarnya dari Islam bukan karena agama tapi karena suku/kabilah” itu sangat jauh bila dibandingkan dengan peringatan dari Nabi Muhammad untuk berhati-hati dalam berucap mengenai pribadi para sahabat Nabi :

Diriwayatkan dari Abu Said katanya: Di antara Khalid bin al-Walid dan Abdul Rahman bin Auf telah terjadi sesuatu, lalu Khalid mencacinya. Mendengar hal itu, Rasulullah bersabda: Janganlah kamu mencaci Sahabatku, maka sesungguhnya walaupun salah seorang dari kamu membelanjakan emas sebesar gunung Uhud sekalipun, dia tidak dapat menandingi salah seorang ataupun separuh dari mereka. (Hadits Muttafaq ‘Alaih ).

Said Aqil Siradj

Dengan lontaran-lontaran nyeleneh seperti itu maka mereka dari jauh pun sudah tercium baunya bahwa mereka adalah orang-orang yang suaranya nyeleneh mengenai Islam, atau kacau dalam berbicara tentang Islam. Itu belum yang secara habitat memang liberal seperti Komaruddin Hidayat bekas ketua Paramadina.

Dulunya Komaruddin Hidayat justru di barisan depan dalam menghadapi Islam, seakan berada di barisan Nasrani, ketika dia keceplosan menyinggung hal yang rawan: “Kalau nanti partai Islam menang maka kalian para tokoh dan anggota gereja disembelih semua”. Berita itu santer tahun 1985-an, dimuat oleh Koran Protestan, Sinar Harapan, lalu Komaruddin Hidayat khabarnya meminta maaf atas keterlanjurannya itu.

Komaruddin Hidayat

Ada pula bibit-bibit yang kini masih dalam proses kenyelenehan misalnya Pradana Boy, Sukidi, Fuad Fanani dari Muhammadiyah, dan semacamnya yang sudah tampak membela-bela kenyelenehan atau nyerempet-nyerempet ke arah kenyelenehan dengan tulisan-tulisan misalnya di milis-milis.

Sukidi

Belum pula aktivis yang tadinya dari Majalah Panji Masyarakat (dulu pimpinan Buya Hamka kemudian dilanjutkan anaknya, Rusydi Hamka, belakangan pindah-pindah tangan, dan kini telah tiada nafas lagi) misalnya Syafi’i Anwar yang bekerjasama dengan The Asia Foundation dengan lembaganya, ICIP (International Center for Islam and Pluralism) menyuarakan suara kemusyrikan yaitu Pluralisme Agama. Lembaga inilah yang mendatangkan tokoh Mesir yang telah divonis sebagai orang murtad oleh Mahkamah Agung Mesir tahun 1996 karena tulisan-tulisannya yang menghujat Islam yakni Dr. Nasr Hamid Abu Zayd ke Indonesia untuk ke UIN Jakarta dan lembaga-lembaga liberal lainnya, September 2004.

Syafi’i Anwar

Orang-orang JIL pun sibuk mengikuti work shopnya, bahkan sibuk menulis dan wawancara untuk disebarkan di sana-sini. Nama Amin Abdullah (Rektor UIN Jogjakarta dan ketua Majlis Tarjih Muhammadiyah) selaku pengagum Nasr Hamid Abu Zayd karena teori Hermeneutic yang diikutinya telah menganggap Al-Qur’an sebagai produk budaya itupun diwawancarai dan disebarkan, pada bulan September 2004.

Masyarakat Islam Indonesia dijejali suguhan yang dikais-kais dari otak orang yang sudah divonis murtad oleh Mahkamah Agung Mesir dengan sejumlah pelecehan terhadap Islam.

Nasr Hamid Abu Zayd

Berikut ini cuplikan artikel yang pantas disimak:

Kisah Intelektual Nasr Hamid Abu Zayd

Oleh Dr. Syamsuddin Arif

Orientalisches Seminar, Universitas Frankfurt, Jerman

Beberapa waktu lalu, sebuah workshop bertemakan kritik Wacana Agama, digelar di Jakarta.

Penyelenggaranya, Jaringan Islam Liberal (JIL) dan International Center for Islam and Pluralism (ICIP), menghadirkan Nasr Hamid Abu Zayd sebagai pembicara utama. Tulisan ini bermaksud mengkritisi sosok tokoh yang sedang tenar di Indonesia ini.

Nama Nasr Hamid Abu Zayd, intelektual asal Mesir yang “kabur” ke Belanda dan kini mengajar di Universitas Leiden itu, pertama kali saya dengar dari Profesor Arif Nayed, seorang pakar Hermeneutika yang pernah menjadi guru besar tamu di ISTAC, Malaysia, sekitar tujuh tahun yang lalu. Perkembangan kasusnya saya ikuti dari liputan media dan laporan jurnal.

Terus-terang saya tidak begitu tertarik oleh teori dan ide-idenya mengenai analisis wacana, kritik teks, apalagi Hermeneutika. Sebabnya, saya melihat apa yang dia lontarkan kebanyakan –untuk tidak mengatakan seluruhnya– adalah gagasan-gagasan nyeleneh yang diimpor dari tradisi pemikiran dan pengalaman intelektual masyarakat Barat.

Promosi guru besar

Nasr Hamid Abu Zayd adalah orang Mesir asli, lahir di Tantra, 7 Oktober 1943. Pendidikan tinggi, dari S1 sampai S3, jurusan sastra Arab, diselesaikannya di Universitas Kairo, tempatnya mengabdi sebagai dosen sejak 1972. Namun ia pernah tinggal di Amerika selama dua tahun (1978-1980), saat memperoleh beasiswa untuk penelitian doktoralnya di Institute of Middle Eastern Studies, University of Pennsylvania, Philadelphia.

Karena itu ia menguasai bahasa Inggris lisan maupun tulisan. Ia juga pernah menjadi dosen tamu di Universitas Osaka, Jepang. Di sana ia mengajar Bahasa Arab selama empat tahun (Maret 1985-Juli 1989). Karya tulisnya yang telah diterbitkan antara lain: (1) Rasionalisme dalam Tafsir: Studi Konsep Metafor Menurut Mu’tazilah (al-Ittijah al-‘Aqliy fi-t Tafsir: Dirasah fi Mafhum al-Majaz ‘inda al-Mu’tazilah, Beirut 1982); (2) Filsafat Hermeneutika: Studi Hermeneutika al-Quran menurut Muhyiddin ibn ‘Arabi’ (Falsafat at-Ta’wil: Dirasah fi Ta’wil al-Qur’an ‘inda Muhyiddin ibn ‘Arabi, Beirut, 1983); (3) Konsep Teks: Studi Ulumul Quran (Mafhum an-Nashsh: Dirasah fi ‘Ulum al-Qur’an, Kairo, 1987); (4) Problematika Pembacaan dan Mekanisme Hermeneutik (Isykaliyyat al-Qira’ah wa Aliyyat at-Ta’wil, Kairo, 1992); (5) Kritik Wacana Agama (Naqd al-Khithab ad-Diniy, 1992); dan (6) Imam Syafi’i dan Peletakan Dasar Ideologi Tengah (al-Imam asy-Syafi’i wa Ta’sis Aidulujiyyat al-Wasathiyyah, Kairo, 1992).

Kecuali nomor satu dan dua, yang berasal dari tesis master dan doktoralnya, tulisan-tulisan Abu Zayd telah memicu kontroversi dan berbuntut panjang. Ceritanya bermula di bulan Mei 1992. Abu Zayd mengajukan promosi untuk menjadi guru besar di fakultas sastra Universitas Kairo. Beserta berkas yang diperlukan ia melampirkan semua karya tulisnya yang sudah diterbitkan. Enam bulan kemudian, 3 Desember 1992, keluar keputusannya: promosi ditolak. Abu Zayd tidak layak menjadi profesor, karya-karyanya dinilai kurang bermutu bahkan menyimpang dan merusak karena isinya melecehkan ajaran Islam, menghina Rasulullah, meremehkan al-Quran, dan menghina para ulama salaf. Abu Zayd tidak bisa menerima dan protes.

Beberapa bulan kemudian, pada Jumat, 2 April 1993, Profesor Abdushshabur Syahin, yang juga salah seorang anggota tim penilai, dalam khutbahnya di Mesjid ‘Amru bin ‘Ash, menyatakan Abu Zayd murtad. Pernyataan Syaikh Syahin diikuti oleh para khatib di masjid-masjid pada Jumat berikutnya. Mesir pun heboh. Harian al-Liwa’ al-Islami dalam editorialnya 15 April 1993 mendesak pihak Universitas Kairo agar Abu Zayd segera di pecat karena dikhawatirkan akan meracuni para mahasiswa dengan pikiran-pikirannya yang sesat dan menyesatkan.

Pada 10 Juni 1993 sejumlah pengacara, dipimpin oleh M Samida Abdushshamad, memperkarakan Abu Zayd ke pengadilan Giza. Pengadilan membatalkan tuntutan mereka pada 27 Januari 1994. Namun di tingkat banding tuntutan mereka dikabulkan. Pada 14 Juni 1995, dua minggu setelah Universitas Kairo mengeluarkan surat pengangkatannya sebagai profesor, keputusan Mahkamah al-Isti’naf Kairo menyatakan Abu Zayd telah keluar dari Islam alias murtad dan, karena itu, perkawinannya dibatalkan. Ia diharuskan bercerai dari istrinya (Dr Ebtehal Yunis), karena seorang yang murtad tidak boleh menikahi wanita muslimah. Abu Zayd mengajukan banding.

Ulama al-Azhar

Sementara itu, Fron Ulama al-Azhar yang beranggotakan 2.000 orang, meminta pemerintah turun tangan: Abu Zayd mesti disuruh bertaubat atau—kalau yang bersangkutan tidak mau—ia harus dikenakan hukuman mati. Tidak lama kemudian, 23 Juli 1995, bersama istrinya, Abu Zayd terbang pergi ke Madrid, Spanyol, sebelum akhirnya menetap di Leiden, Belanda, sejak 2 Oktober 1995 sampai sekarang. Mahkamah Agung Mesir pada 5 Agustus 1996 mengeluarkan keputusan yang sama:

Abu Zayd dinyatakan murtad dan perkawinannya dibatalkan. Dalam putusan tersebut, kesalahan-kesalahan Abu Zayd disimpulkan sebagai berikut:

Pertama, berpendapat dan mengatakan bahwa perkara-perkara ghaib yang disebut dalam al-Quran seperti ‘arasy, malaikat, setan, jin, surga, dan neraka adalah mitos belaka.

Kedua, berpendapat dan mengatakan bahwa al-Quran adalah produk budaya (muntaj tsaqafi), dan karenanya mengingkari status azali al-Quran sebagai Kalamullah yang telah ada dalam al-Lauh al-Mahfuz.

Ketiga, berpendapat dan mengatakan bahwa al-Quran adalah teks linguistik (nashsh lughawi). Ini sama dengan mengatakan bahwa Rasulullah telah berdusta dalam menyampaikan wahyu dan al-Quran adalah karangan beliau.

Keempat, berpendapat dan mengatakan bahwa ilmu-ilmu al-Quran adalah tradisi reaksioner serta berpendapat dan mengatakan bahwa syariah adalah faktor penyebab kemunduran umat Islam.

Kelima, berpendapat dan mengatakan bahwa iman kepada perkara-perkara ghaib merupakan indikator akal yang larut dalam mitos.

Keenam, berpendapat dan mengatakan bahwa Islam adalah agama Arab, dan karenanya mengingkari statusnya sebagai agama universal bagi seluruh umat manusia.

Ketujuh, berpendapat dan mengatakan bahwa teks al-Quran yang ada merupa kan versi Quraisy dan itu sengaja demi mempertahankan supremasi suku Quraisy.

Kedelapan, mengingkari otentisitas Sunnah Rasulullah .

Kesembilan, mengingkari dan mengajak orang keluar dari otoritas Teks-teks agama.

Kesepuluh, berpendapat dan mengatakan bahwa patuh dan tunduk kepada teks-teks agama adalah salah satu bentuk perbudakan.

Reaksi pro dan kontra bermunculan, dari kalangan intelektual maupun aktivis HAM. Pelbagai media di Barat kontan mengecam keputusan tersebut seraya memihak dan membela Abu Zayd. Mereka menuduh Abu Zayd telah dizalimi dan ditindas, bahwa hak asasinya dirampas, bahwa kebebasan berpendapat dan berekspresi telah dipasung. The Middle East Studies Association of North America, misalnya, melalui Komite Kebebasan Akademis melayangkan surat keprihatinan kepada Presiden Mesir, Husni Mubarak. Namun keputusan tersebut sudah final, tidak dapat diganggu-gugat dan tidak dapat dicabut lagi.

Di Belanda Abu Zayd justru mendapat sambutan hangat dan diperlakukan istimewa. Rijksuniversiteit Leiden langsung merekrutnya sebagai dosen sejak kedatangannya (1995) sampai sekarang. Ia bahkan diberi kesempatan dan kehormatan untuk menduduki the Cleveringa Chair in Law Responsibility, Freedom of Religion and Conscience, kursi profesor prestisius di universitas itu. Tidak lama kemudian, Institute of Advanced Studies (Wissenschaftskolleg) Berlin mengangkatnya sebagai Bucerius/ZEIT Fellow untuk proyek Hermeneutika Yahudi dan Islam.

Pihak Amerika tidak mau ketinggalan. Pada 8 Juni 2002, the Franklin and Eleanor Roosevelt Institute menganugrahkan The Freedom of Worship Medal kepada Abu Zayd. Lembaga ini menyanjung Abu Zayd terutama karena pikiran-pikiranya yang dinilai ‘berani’ dan ‘bebas’ (courageous independence of thought) serta sikapnya yang apresiatif terhadap tradisi falsafah dan agama Kristen, modernisme dan humanisme Eropa.

Di Indonesia, Abu Zayd diundang dan disambut meriah. Gagasan-gagasannya di adopsi dan dipropagandakan secara besar-besaran, buku-bukunya diterjemahkan, lokakarya dan seminar digelar.

Prof Dr M Amin Abdullah dari IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, dalam sebuah wawancara dengan JIL, mengaku cukup tertarik dengan karya-karya Abu Zayd seperti Naqd al-Khithab ad-Dini yang dinilainya cocok untuk dibahas (diajarkan) di lingkungan IAIN atau PTAI (Perguruan Tinggi Agama Islam).

Ia dan cendekiawan lainnya di Tanah Air tampaknya lupa atau sengaja menganggap sepi keputusan Mahkamah Agung Mesir, menganggap keputusan tersebut berlatarbelakang politik, dan karenanya tidak valid secara akademis.

Padahal, keputusan hukum tersebut diambil berdasarkan fakta-fakta dan hasil kesimpulan penelitian tim dan saksi ahli yang pakar di bidangnya. Jadi keputusan tersebut sah dan mengikat (valid and binding) baik secara hukum maupun secara akademis. Lebih jauh dari itu, karena dicapai melalui prosedur ilmiah, musyawarah dan kesepakatan para ahli (ulama) di bidangnya, maka keputusan tersebut sesungguhnya merupakan ijma’, bukan lagi pendapat pribadi. Dan itu diperkuat dengan pernyataan sikap ulama yang tergabung dalam Jabhat Ulama al-Azhar.