04 October 2009

Wahid Institute Training Sinkretisme Agama

Pemuda Kristen diajari pluralisme agama. Mereka diajarkan Islam dan diajak “magang” ke pondok pesantren. Upaya pembodohan masyarakat, dan adu domba sesama Muslim untuk menangkan opini dan aspirasi Kristiani.

Benarlah firman Allah


The Wahid Institute, sebuah LSM yang kerap mengkampanyekan prinsip liberal Islam mengadakan kelas tentang Islam dan Pluralisme untuk kaum muda Kristen. LSM yang diprakarsai oleh mantan Presiden Abdurrahman Wahid ini bekerjasama dengan Crisis Center Gereja Kristen Indonesia (GKI) mengadakan kelas itu dalam 4 pertemuan.

Sebanyak 30 orang muda Kristen, termasuk mahasiswa, penulis, wartawan, penyiar radio, dan aktivis sosial, ikut menghadiri pertemuan pertama selama 3 jam tentang Islam dan Umat Agama lain, yang diadakan di aula dari institut yang terletak di Jakarta Pusat itu tanggal 18 Januari lalu.

Pertemuan akan di-adakan setiap Jumat malam dan berlangsung hingga 8 Februari 2008. Para peserta akan diajak langsung dalam program Live-in selama 3 hari di sebuah pesantren di Yogyakarta. Pertemuan berikutnya, kaum muda Kristen ini akan diajari membicarakan “Peta dan Gerakan Islam Kontemporer.” Yaitu, “Islam, Politik, dan Formalisasi Syari’at-Syari’at Islam; serta Islam dan Problem Keumatan.”

Koordinator training sinkretis ini, Moqsith Ghozali yang juga salah satu missionaris Jaringan Islam Liberal (JIL) mengatakan kepada UCA News, “Kurikulum kelas itu dibentuk lewat konsultasi dengan beberapa staf Sekolah Teologi Protestan, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara yang dikelola Yesuit, serta beberapa pendeta.”

Menurut Moqsith, maksud di belakang program yang merupakan salah satu media untuk meningkatkan dialog antar agama itu, adalah untuk membantu orang non-Muslim yang mau belajar Islam dan pandangan Islam tentang pluralisme secara langsung dari tangan pertama, kutip sebuah situs Kristen.

Bahan-bahan yang dipublikasikan oleh institut, yang memiliki moto Seeding Plural and Peaceful Islam (Menyemai Islam yang Damai dan Plural), itu mengatakan bahwa institut itu bertujuan untuk mewujudkan prinsip-prinsip dan cita-cita intelektual Abdurrahman Wahid untuk membangun pemikiran Islam moderat yang mendorong terciptanya demokrasi, pluralisme agama-agama, multi-kulturalisme dan toleransi di kalangan kaum Muslim di Indonesia dan seluruh dunia.
Abdurahman Wahid dan Maftuh Kholil adalah pembicara pada pertemuan pertama 18 Januari. Kholil, seorang aktivis dialog antaragama, adalah Ketua NU Kota Bandung, ibukota Propinsi Jawa Barat, tempat ia juga mengelola sebuah pesantren.

Izin Bangun Gereja

Sebagaimana dikutip UCA News, Abdurahman Wahid kepada kaum muda Kristen itu mengaku, ada pandangan pluralitas dalam Islam. Ia mengutip dari al-Qur’an: “Bagi Kalian agama kalian, bagiku agamaku.” Ini, katanya, “adalah esensi pluralisme –orang boleh menganut agama yang berbeda-beda.”

Situs itu juga mengutip, Abdurahman Wahid mengakui ia sendiri jika ia mengalami kesulitan memahami al-Qur’an. “Maka kalian juga harus memeriksa Kitab Suci kalian dengan teliti. Tak bisa begitu saja,” katanya.

Kepada mantan Presiden yang pernah dikejar-kejar masyarakat karena pembelaannya terhadap Yayasan Doulos Jakarta (2004), seorang peserta juga menceritakan tentang serangan terhadap gereja-gereja oleh kelompok Islam tertentu dan meminta bantuannya.

Peserta bernama Renata itu, meminta agar Gus Dur dan NU melindungi kegiatan agama Kristen dan membantu umat Kristiani mendapat ijin untuk membangun gereja. “Umat Kristen perlu dukungan umat Muslim,” kata wanita itu kepada Wahid, seraya berharap agar Gus Dur “membantu kami mengatasi berbagai masalah dalam menghadapi umat Muslim lain.”

Dalam ceramahnya, Kholil menjelaskan enam prinsip bermasyarakat Nabi Muhammad sebagai konsekuensi logis menghadapi masyarakat Madinah yang Heterogen-Pluralistik: al-Musawa (kesetaraan) dan al-Ikha (persaudaraan), al-Hurriyyah (kebebasan), al-Tadafu (saling melindungi), al-Taawun (saling membantu), al-Ishlah (perdamaian), dan al-Tasamuh (toleransi).

Ia mengatakan aksi pertama yang dilakukan nabi itu di Madinah adalah mendeklarasikan Shahifah Madinah (Piagam Madinah), “yang intinya komitmen bersama bahwa seluruh warga adalah berupa satu kesatuan masyarakat yang senantiasa bekerja-sama membangun dan memngatasi masalah-masalah sosial yang timbul di Madinah.”

Tapi tidak seperti kelompok JIL, Fahmina, dan oportunis lainnya, yang menjual agama serta menjadi kacung Yahudi-Nasrani untuk kepentingan perut. Di negara Madinah, Rasulullah dan kaum Muslim memiliki otoritas kekuasaan. Mengajak semua komponen negara -tanpa membedakan suku, agama- untuk membangun negara bersama guna me-negakkan Syari’at Islam.

Islam Eksklusif

Menurut Kholil, Ketua Pengurus Besar NU, KH Said Agiel Siradj, mengatakan dalam akhir sambutannya pada pertemuan 10 November itu: "Bagi NU yang mayoritas harus melindungi yang minoritas, itu prinsip NU. NU siap menjadi tumbal keselamatan keutuhan Republik Indonesia."

Kursus yang sedang berjalan saat ini adalah Kelas Islam dan Pluralisme keempat. Program sebelumnya diberikan untuk para Pendeta dan teolog Protestan. Dalam sebuah makalahnya yang disampaikan pada kaum muda Kristen, Marzuki Wahid, salah satu pemateri, membagi Islam dalam beberapa kategorisasi. Ia membagi “Islam ekslusif” (tertutup) dan “Islam Inklusif” (oportunis).

Marzuki yang juga pemeluk Islam Liberal dari Fahmina Institute Cirebon ini memasukkan NU organisasi senafas sebagai “Islam Inklusif”. Namun memasukkan Ormas-ormas Islam seperti; DDII, FPI, MMI, HTI, dan Persis sebagai “Islam Ekslusif”.

“Dalam bacaan saya, masuk dalam kategori ini secara umum adalah organisasi DDII, LDII, FPI, MMI, HTI, HT, Persis, dan sebagian orang Muhammadiyah. Kedua, Islam yang berorientasi pada kerahmatan semesta (rahmatan lil 'âlamîn), yakni ”Islam Inklusif”. Masuk dalam kategori inklusif secara umum adalah organisasi NU, orang-orang (bukan keorganisasiannya) Muhammadiyah, al-Washliyah, Perti, al-Kahirat, dan Nahdlatul Wathan,” katanya. (arrahmah.com)


*****