05 November 2009

Pentingnya Sunnah Dalam Memberi Solusi


Oleh: Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali

Sungguh, kejadian-kejadian yang menimpa umat Islam dan menyapu negeri mereka, sebenarnya tercakup firman Allah Ta'ala:

"Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri". [QS. ar-Ra'd:11]

Sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta'ala, Maha Kuasa melakukan apa saja yang dikehendaki-Nya. Seluruh perkara di alam semesta ini terjadi berdasarkan takdir dan ketetapan-Nya. Dia Subhanahu wa Ta'ala telah menetapkan sunnah-sunnah Kauniyah dan sunnah Syar'iyah bagi terciptanya kemuliaan, (maka) begitu pula (Dia) telah menggariskan sunnah Kauniyah serta sunnah Syar'iyah bagi terjadinya kehinaan.

Umat manapun yang menempuh sebab-sebab yang menyeret pada kehinaan, niscaya kekuatannya akan hancur. Dan umat manapun yang menempuh faktor-faktor yang mendatangkan kejayaan, niscaya akan menggapai kemulian, walaupun sebelumnya merupakan bangsa rendahan.

Dalam ayat yang mulia ini, Allah Subhanahu wa Ta'ala menyampaikan sebuah masalah, yang semestinya direnungi serta dipahami oleh orang-orang berakal dan oleh kaum Muslimin. Yakni, Allah Subhanahu wa Ta'ala menjelaskan, bahwa Dialah yang merubah keadaan umat-umat manusia dan merubah kondisi suatu bangsa. Dialah yang memutar roda perjalanan umat dan mengatur keadaan mereka.

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala: "Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum".

Di sini, dipaparkan bahwa perubahan berasal dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Namun, umat yang ingin agar Allah Subhanahu wa Ta'ala merubah kondisi dan semua kejadian yang menimpa mereka, berupa kehinaan, kerendahan dan kehancuran, wajib menempuh dan mengikuti langkah-langkah Syar'i (yang disyari'atkan) yang telah Allah Subhanahu wa Ta'ala uraikan. Yaitu, jiwa-jiwa yang menjadi rendah kerena kejahatan ini, hendaknya meninggalkan kejahatan, kejelekan, kebodohan, kezhaliman, dan kebid'ahan. Yakni mereka harus merubah keadaan diri mereka.

Jadi, titik awal perubahan, bermula dari diri Anda sendiri, wahai hamba Allah !. Yaitu, hendaknya Anda memulai melaksanakan usaha perubahan pada diri Anda sendiri dan pada umat, hingga dengannya Allah akan merubah keburukan yang menimpa umat; dimana Allah tidak akan mencabut keadaan buruk ini sampai mereka kembali kepada agamanya.

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala: “Sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri".

Untuk itu, mulailah melangkah dengan merubah diri sendiri dan kondisi umat. Niscaya Allah akan merubah keadaan mereka. Hal ini, telah ditegaskan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang mulia dalam hadits shahih yang mulia. Yaitu hadits Ibnu 'Umar dari ayahnya dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

إ”Apabila kalian telah berjual-beli dengan sistem 'inah, mengikuti ekor-ekor sapi dan larut dengan pertanian serta meninggalkan Jihad, maka Allah akan menimpakan kalian kehinaan; tidak mencabutnya (dari kalian) hingga kalian kembali kepada agama kalian". [HR. Abu Dawud]

Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjelaskan sunnah-sunnah Kauniyah dan Syar'iyah kepada umat ini; jika mereka mengaplikasikan dan menjalankannya, maka mereka akan menjadi umat terbaik, seperti yang Allah Subhanahu wa Ta'ala kehendaki dan persaksikan dalam firman-Nya:

"Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia". [QS. Ali 'Imran:110].

Dan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

"Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (ummat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu". [QS. al-Baqarah:143].

Umat ini adalah umat pilihan dan umat yang adil. Semua kejadian yang telah menimpanya dan akan melandanya, berupa kelesuan dan kelemahan, itu hanyalah perkara ringan yang mudah hilang -dengan izin Allah- ketika mereka kembali kepada agama mereka dan berpegang teguh dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Semoga hal itu segera terwujud.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pun telah menerangkan bahwa Qawam (kepemimpian) dan Qiyam (tegaknya eksistensi) umat ini hanyalah ada dengan dua perkara.

Pertama: Qawam (kepemimpinan) umat ini adalah dengan ilmu.

Yang dimaksud dengan ilmu, yakni firman Allah, sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan perkataan para sahabat. Tidak mungkin umat ini mampu menjaga citra, kemandirian dan keteladanannya (di hadapan umat-umat yang lain), selain dengan kekuatan ilmu. Hal ini telah dijelaskan Syaikh Ali dengan baik dan keterangannya berisi kebaikan yang besar. (Lihat pembahasan pada Mengapa Musibah Terus mendera?, Red.).

Kedua: Qiyam (tegaknya eksistensi) umat ini sehingga terus dapat menjaga posisi kepemimpinannya, dapat memberikan kehidupan, kekuatan, kesinambungan dan kekokohan serta kemajuannya, hanyalah bila ilmu tersebut dibangun berdasarkan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Apabila ilmu tersebut berasaskan firman Allah, sabda Rasul-Nya dan perkataan para sahabat, maka itulah ilmu Atsari (pusaka dari generasi terdahulu) yang ditekankan oleh Allah, Rasul-Nya dan syari'at-Nya untuk dipelajari. Dan agama menempatkan pemilik ilmu ini pada Thabaqat (generasi, tingkatan manusia) terbaik umat ini. Seperti tertuang dalam firman Allah Shallallahu 'alaihi wa sallam:

"Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama". [QS. Fathir:28]

Adapun bila ilmu tersebut didasarkan kepada Ra'yi, Qiyas, Ilmu Kalam dan Filsafat, maka menyeret umat ini menuju jurang penyimpangan dan kehancuran.

Dalam hadits yang dibawakan Syaikh Ali tadi (Lihat pembahasan pada Mengapa Musibah Terus Mendera?, Red.), Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan dua kategori manusia yang muncul dalam memegang kendali umat.

Pertama: Orang-orang yang diridhai Allah, dan (merekapun) ridha kepada Allah. Yaitu para ulama Rabbaniyyun .

Kedua: Kelompok yang dipimpin setan, yang merasa mempunyai kapasitas tertentu, akan tetapi sebenarnya tidak memiliki apa-apa. Yaitu, kelompok pemimpin kesesatan, yang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan sifat mereka dalam hadits:

"Apabila ilmu telah dicabut dengan diwafatkannya ulama, maka manusia mengangkat para pemimpin yang bodoh. Lalu mereka ditanya dan berfatwa tanpa dasar ilmu. (Dalam riwayat lain: berfatwa dengan Ra'yunya)".

Dalam hadits ini, tersirat pujian terhadap ilmu dan celaan terhadap Ra'yu dan Qiyas. Karena Ra'yu dan Qiyas ini sama sekali bukan merupakan ilmu, walaupun pemiliknya memandangnya sebagai ilmu. Sabda Rasulullah:

"(Maka manusia mengangkat para pemimpin yang bodoh. Lalu mereka ditanya dan berfatwa tanpa dasar ilmu)".

Di sini, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan tentang dasar yang mereka jadikan landasan untuk mengeluarkan fatwa. Mereka berfatwa dengan dasar ra'yu (pikiran murni). Sebagai dampak buruknya, adalah mereka sesat dan menyesatkan.

Mereka sendiri sesat dan menyesatkan umat, karena merekalah pemegang keputusan dan pihak yang diserahi tanggung-jawab kepemimpinan. Akibatnya, amanat Rabbaniyyah (amanah dari Allah) lenyap sia-sia di tangan mereka, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, ketika beliau ditanya tentang kondisi menjelang hari Kiamat:

"Apabila urusan sudah dipegang kepada selain ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya". [HR. al-Bukhari].

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan perkara ini, yaitu perkara Sunnah dan arti pentingnya dalam memberikan solusi problematika umat pada hadits Irbadh bin Sariyah yang berbunyi:

"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menasihati kami dengan nasihat yang menyentuh, sehingga bercucuran air mata dan bergetar hati-hati. Lalu kami berkata: "Wahai Rasulullah! Berilah kami wasiat, seakan-akan ini adalah nasihat perpisahan". Beliau bersabda,"Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah; dan mendengar serta taat, walaupun kepada budak Habasyi. Karena, barangsiapa yang hidup dari kalian setelahku, maka akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian berpegang teguh kepada Sunnahku dan Sunnah para Khulafaur Rasyidin al-Mahdiyyin (yang memberi petunjuk) setelahku, dan gigitlah dengan gigi geraham kalian. Hati-hatilah terhadap perkara baru, karena perkara baru itu bid'ah, dan semua yang bid'ah adalah sesat, dan seluruh kesesatan ada di neraka". [HR. Ahmad, at-Tirmidzi, Abu Dawud dan Ibnu Majah]

Dalam hadits ini, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyampaikan nasihat yang sangat menyentuh, seperti layaknya wasiat terakhir yang disampaikan orang yang hendak pergi berpisah. Pernyataan sahabat al-'Irbadh bin Sariyah mengenai nasihat beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam ini sebagai pesan perpisahan. Seakan-akan sahabat ini menilai, bahwa melalui pesan tersebut, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan semua faktor kebaikan kepada kita semua dan meletakkannya di depan mata kita, agar kita bisa memandang dan berjalan mengikutinya.

Beliau juga telah bersabda:

"Sungguh telah aku tinggalkan kalian di atas Islam yang jelas; malamnya seperti siangnya; tidak menyimpang darinya, kecuali orang yang binasa". [HR. Ibnu Majah].

Orang yang akan berpisah, tentu akan berwasiat dengan wasiat yang mencakup semua unsur kebaikan kepada orang yang diberi wasiat, sebagaimana Nabi Ya'qub berwasiat kepada anak-anaknya:

"Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam". [QS. al-Baqarah:132].

Nabi Ya'qub berwasiat kepada mereka dengan sebuah wasiat yang menyentuh dan agung, agar mereka memilih Islam sebagai agama dan tidak mati kecuali dalam keadaan Islam.

Demikian juga Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam seakan-akan menyatakan kepada para sahabatnya, bahwa Allah telah memilihkan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk kalian (wahai para sahabat) sebagai agama dan pedoman hidup; maka berpegang-teguhlah dan gigitlah Sunnah tersebut. Nasihat ini memiliki arti penting bagi kehidupan pribadi muslim dan kehidupan umat Islam.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam wasiat ini menjelaskannya dalam beberapa tahapan.

Wasiat pertama, adalah wasiat bertakwa kepada Allah, dalam sabdanya: "Kalian wajib bertakwa kepada Allah". Maknanya, konsistenlah kalian dalam ketakwaan kepada Allah.

Inti ketakwaan adalah Ilmu, Ittiba' dan Ikhlas. Tidak mungkin seseorang dapat merealisasikan ketakwaan kepada Allah, kecuali dengan tiga perkara yang menjadi rukun takwa ini, yaitu Ikhlas, Ittiba' dan Ilmu.

Oleh karena itu, ketika sebagian Tabi'in ditanya tentang masalah fitnah Ibnu al-Asy'ats, ia menjawab: "Padamkanlah dengan ketakwaan kepada Allah". Ketika ditanya tentang Takwa, Tabi'in tersebut menjawab: "Engkau mentaati Allah berdasarkan cahaya petunjuk dari Allah karena mengharap pahala Allah, dan meninggalkan kemaksiatan berdasarkan cahaya petunjuk dari Allah karena takut adzab Allah".

Jadi, Takwa tidak bisa lepas dari cahaya, yaitu Ilmu. Dengan demikian Rasulullah membimbing mereka, pertama kali, agar berpegang-teguh pada Ilmu, karena ketakwaan adalah kunci Keadilan. Dan keadilanlah yang menegakkan kekuasaan. Keadilanlah yang dapat membangun kejayaan umat. Dan keadilanlah yang menyebabkan Allah memenangkan negara kafir yang adil atas negeri muslim yang zhalim.

"Kalian wajib bertakwa kepada Allah”, karena orang yang bertakwa kepada Allah adalah yang orang adil terhadap dirinya sendiri, terhadap kaumnya dan terhadap musuh-musuhnya".

Allah berfirman:

"Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa". [QS. al-Maidah:8]

Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mewasiatkan, agar mereka mendengar dan taat walaupun yang memimpin adalah seorang budak Habasyi.

Mendengar dan taat merupakan perintah pertama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Arti mendengar ialah mendengarkan Allah dan Rasul-Nya. Yaitu mendengarkan serta memperhatikan kitab Allah dan Sunnah Rasulullah. Maksudnya, kalian dengarkan firman Allah lalu taatilah. Dan kalian dengarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam lalu ikutilah.

Di antara yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya, ialah mentaati pemerintah kita, sebagaimana firman Allah:

"Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu". [QS. an-Nisa’:59].

Mentaati pemerintah adalah perkara penting dalam kehidupan seorang muslim dan umat, karena pemerintah merupakan tempat bersatunya umat. Juga, karena penguasa dapat menjaga ekstensi umat. Oleh karena itu, Amirul Mukminin Ali bin Abu Thalib berkata: "Harus ada pemerintah, jahat atau baik!"

Para sahabat Ali bertanya: "Pemerintah yang baik telah kami fahami sifatnya, tetapi bagaimana dengan yang Fajir (jahat)?".

Beliau Radhiyallahu 'anhu menjawab: "Digunakan untuk memerangi musuh, menegakkan Hudud (hukum-hukum pidana), membagi harta rampasan perang, dan mengamankan jalan-jalan".

Jadi, pemerintahan baik Adil ataupun Fajir (jahat) dapat menjaga eksistensi umat dan menjaga keamanan, serta melestarikan keistimewaan umat. Oleh karena itu Anda mentaatinya bukan karena pribadinya, atau dzatnya, atau (nasab) garis keturunan. Akan tetapi mentaatinya, karena kedudukan yang Allah berikan sebagai pemimpin umat. Oleh karena itu Rasulullah menyatakan: "Dengarlah dan taatlah, walaupun ia seorang budak Habasyi."

Lihatlah keadaan orang-orang zaman sekarang dan keadaan sebagian kelompok yang tergesa-gesa dan memberontak kepada pemerintahannya walaupun para penguasa itu jahat, zhalim dan melampaui batas. Ternyata, sungguh hasilnya sangat menyedihkan, membuat hati hancur dan meneteskan air mata penyesalan dan kerugian, karena mereka menyelisihi Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Karena barangsiapa yang hidup dari kalian setelahku, maka akan melihat perselisihan yang banyak".

Ini termasuk mu'jizat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Adalah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengkhabarkan kepada para sahabatnya, bahwa yang masih hidup dan berusia panjang akan mendapati perselisihan dan perpecahan yang banyak pada umat ini.

Perpecahan dan perselisihan pada umat ini sudah tampak sejak terbunuhnya Amirul Mukminin Umar bin al-Khaththab, karena beliau Radhiyallahu 'anhu adalah pintu yang menghalangi umat dari fitnah-fitnah, sebagaimana diberitakan Hudzaifah Radhiyallahu 'anhu ketika ia berkata kepadanya: "Sungguh antara dirimu dengan fitnah itu ada pintu".
Lalu Umar bertanya: "Apakah pintu itu hancur, ataukah terbuka?"
Hudzaifah menjawab: "Hancur".
Umar berkata: "Seandainya terbuka, maka sungguh aku akan menutupnya kembali".
Umar bin al-Khaththab yang berjuluk al-Faruq dibunuh Abu Lu'lu'ah al-Majusi dengan menusuk beliau Radhiyallahu 'anhu pada saat melaksanakan shalat Shubuh. Lalu Abu Lu'lu'luah ini pun terbunuh.

Begitulah para pengikut Abu Lu'lu'ah ini dari kalangan Rafidhah dan orang-orang Shafawi, (mereka) senantiasa terus membunuh dan memerangi pengikut Umar dan orang yang berjalan pada manhajnya. Mereka memerangi dengan nama etnis, suku dan tempat tinggal.

Kemudian fitnah besar setelah ini adalah terbunuhnya Amirul Mukminin 'Utsman bin 'Affan, (yaitu) pada saat beliau berpuasa, membaca al-Qur’an mengharap pahala Allah, (yang) dilakukan oleh orang-orang Khawarij. Mereka sebelumnya telah berkumpul mengepung rumah khalifah lalu membunuh beliau Radhiyallahu 'anhu.

Setelah itu, terbukalah pintu keburukan dan terjadilah pertumpahan darah hingga umat terpecah-pecah menjadi golongan, sekte dan aliran yang banyak. Sampai akhirnya menjadi pecahan pasukan-pasukan (negara-negara) kecil, sebagaimana yang diberitakan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabdanya:

"Umat ini akan menjadi kelompok-kelompok tentara (negara-negara) kecil. Satu kelompok tentara (negara) di Syam. Satu kelompok tentara di Iraq, dan satu kelompok tentara (negara) di Yaman." [HR. Abu Dawud].

Umat berpecah-belah menjadi aliran, sekte, kelompok, golongan dan madzhab, sebagaimana diberitakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:

"Umatku akan pecah menjadi 73 golongan". [HR Abu Dawud]

Umat ini terpecah, dengan sebab tipu-daya Majusi dan Yahudi. Keduanya yang menyalakan api fitnah Rafidhah dan Khawarij melalui 'Abdullah bin Saba' al-Yahudi.

“Maka ia akan melihat perselisihan yang banyak”, maksudnya: terjadilah apa yang telah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam beritakan. Kemudian beliau tunjukkan jalan keluar dari fitnah. Jalan keluar dari fitnah dan solusi dari perkara sulit ini adalah sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam:

"Maka wajib bagi kalian berpegang teguh kepada Sunnahku dan Sunnah para Khulafaur Rasyidin al-Mahdiyyin (yang memberi petunjuk) setelahku, dan gigitlah dengan gigi geraham".

Beliau membimbing umat untuk senantiasa berpegang teguh pada perkataan, perbuatan dan persetujuan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang merupakan Sunnah beliau; Sunnah yang merupakan pedamping serta penyerta al-Qur’an. Rasulullah juga membimbing umatnya untuk berpegang pada Sunnah beliau dalam arti umum. Yaitu Sunnah dalam arti Manhaj dan Syari'atnya, yang beliau bawa dari sisi Allah.

Inilah yang disampaikan kepada kita oleh para sahabat dan para salafush-shalih. Karena pada merekalah al-Qur’an turun, dan kepada merekalah Rasulullah menyampaikan Sunnah, sehingga mereka menjadi generasi yang paling mengetahui firman Allah dan Sunnah Rasul-Nya.

Tidak ada lain bagi umat yang menginginkan jalan keluar dan solusi dari fitnah dan perkara sulit ini, kecuali dengan ilmu yang shahih, yang berpijak pada Sunnah Rasulullah dan Sunnah para salafush-shalih dari kalangan para sahabat, tabi'in, dan orang yang mengikuti manhaj, serta berjalan pada jalan mereka sampai hari ini.

Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membimbing umat ini untuk menjauhi bid'ah dan hawa nafsu dalam sabdanya:

"Jadi solusinya adalah Sunnah dan manhaj para sahabat, yaitu mengikuti al Qur’an dan Sunnah dengan pemahaman para sahabat, tabi'in, serta orang yang berjalan mengikuti manhaj mereka sampai hari ini. Solusinya, bukan seperti yang dikatakan oleh sebagian kelompok dan jama'ah dakwah, bahwa solusinya adalah Islam.

Benar, memang Islam adalah solusi, namun Islam yang bagaimana?. Islam versi Rafidhah, Khawarij, Murji'ah, Sufi, Sekuler atau versi pengikut hawa nafsu dan ahli Bid'ah?. Islam yang bagaimanakah yang kalian inginkan?. Islam yang bagaimanakah yang kalian ridhai?. Padahal pada saat yang sama, kalian lalai terhadap Islamnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Islamnya Abu Bakr, 'Umar, 'Utsman dan 'Ali Radhiyallahu 'anhum.

Benar, Islam adalah solusi bila sesuai dengan pemahaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Abu Bakar, 'Umar, 'Utsman dan 'Ali, serta seluruh sahabat Rasulullahn Shallallahu 'alaihi wa sallam . Bukan Islam adat-istiadat dan hawa nafsu. Bukan pula Islam tarekat dan ahli bid'ah seperti kata tokoh besar mereka: "Kami inginkan Islam dengan segala warna dan ragamnya".

Tidak demikian !. Kami hanya menginginkan Islamnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Abu Bakar, 'Umar, 'Utsman dan 'Ali . Inilah Islam yang kita inginkan dan kita maksudkan. Jika Islam yang dimaksud berjalan sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, niscaya akan menjadi jalan keluar, menjadi solusi dari fitnah dan problematika umat ini.

Kami memohon kepada Allah untuk memenangkan Islam dan kaum Muslimin, menyatukan kalimat orang-orang yang bertauhid, menghinakan orang kafir, menolak tipu daya orang Rafidhah dan penyembah salib, serta melindungi para saudara kita seiman di manapun berada. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas semua itu.

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XI/1428H/2007M, Rubrik Mabhats, Alamat Redaksi: Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo - Solo 57183, Telp. 0271-5891016]