26 November 2009

Sebelum Petaka Menerpa




Teguh hati, istiqamah berada di jalan-Nya merupakan dambaan setiap insan beriman. Kekhawatiran tergelincir meniti jalan hidup ini, menyempal dari barisan orang-orang nan kukuh di atas tauhid, menjadikan diri tak berasa aman. Tumbuh ketakutan akan syirik atau nifak bercokol pada diri. Betapa tidak. Seorang nabi Allah Subhanahu wa Ta’ala, Khalilu Ar-Rahman (kekasih Ar-Rahman) dan imam orang-orang yang hanif (lurus) di jalan-Nya, Ibrahim ‘alaihissalam pun tetap memohon kepada Rabbnya agar dijauhkan dari penyelewengan tauhid. Al-Khalil ‘alaihissalam pun memohon:

“Dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku dari menyembah berhala-berhala.” (Ibrahim: 35)

Tumbuh pada diri Nabi Ibrahim ‘alaihissalam kekhawatiran atas dirinya terjerembab jatuh pada kesyirikan, padahal dirinya seorang nabi, kekasih Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan imam al-hunafa’. Maka bagaimana dengan diri kita? Semestinya lebih pantas lagi kekhawatiran dan ketakutan itu menyembul dalam dada kita. Jangan merasa aman dari kesyirikan. Jangan pula merasa aman dari nifak. Tidak ada orang yang merasa aman dari sikap nifak kecuali dia seorang munafik. Dan tiadalah seorang yang takut bahwa sikap nifak bakal tumbuh bercokol pada dirinya melainkan dia seorang mukmin. Lantaran ini pula, Ibnu Abi Mulaikah rahimahullahu berkata:

“Aku mendapati 30 sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seluruhnya merasa takut terhadap nifak yang bakal menimpa dirinya.” (Shahih Al-Bukhari, Kitabul Iman, Bab Khaufil Mu’min min an Yahbatha ‘Amaluhu wa Huwa La Yasy’uru)

Begitu pula dengan seorang sahabat mulia, Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Dirinya takut sikap nifak itu melekat padanya. Saat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan secara rahasia nama-nama orang munafik kepada Hudzaifah ibnul Yaman radhiyallahu ‘anhu, timbul pada diri Umar kegalauan. Jiwanya merasa tidak tenang. Khawatir namanya termasuk dalam deretan orang-orang munafik yang disebutkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka, untuk mengusir rasa galau di hati, menepis kekhawatiran yang bersemi, dan menambah ketenangan hati, Umar radhiyallahu ‘anhu menanyakan langsung kepada Hudzaifah ibnul Yaman radhiyallahu ‘anhu. Kata Umar radhiyallahu ‘anhu: “Wahai Hudzaifah, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memuliakanmu. Apakah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan namaku kepadamu bersama nama-nama orang munafik?” Jawab Hudzaifah: “Tidak. Tidak ada (nama) seorang pun yang terbersihkan setelah (nama)mu.” Apa yang diperbuat Umar radhiyallahu ‘anhu adalah guna menambah ketenangan dirinya. Padahal sungguh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mempersaksikan bahwa dia termasuk sahabat yang mendapatkan jannah (surga). (Al-Qaulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu, hal. 76, Thariqul Hijratain, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullahu, hal. 504)

Siapakah yang bisa menjamin masing-masing diri ini?. Sementara orang yang jauh lebih mulia dan utama merasakan ketidaknyamanan, takut terkotori kesyirikan, ternodai nifak. Tentu, semestinya masing-masing diri ini harus lebih terusik lagi perasaan tidak aman dan khawatir terpelanting ke dalam lembah syirik dan nifak. Di tengah zaman, kala banyak manusia terpagut kemelut hidup, budaya syahwat dan syubuhat setiap saat berkelebat. Sedangkan tipuan dunia begitu menyilaukan. Karenanya, memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar menetapkan diri ini di atas jalan-Nya adalah sebuah kemestian. Hati manusia ada di antara dua jari-jemari Ar-Rahman. Dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash radhiyallahu ‘anhuma, ia pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Sesungguhnya hati bani Adam seluruhnya di antara dua jari dari jari-jemari Ar-Rahman. Seperti hati satu orang, Dia palingkan ke mana Dia kehendaki.” Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ya Allah, Dzat yang membolak-balikkan hati, palingkanlah hati kami pada ketaatan kepada-Mu.” (HR. Muslim, no. 2654)

Maka, hendaklah seseorang menata diri dengan amal-amal kebaikan guna menyongsong hari akhirat kelak. Saat manusia dikumpulkan Allah Subhanahu wa Ta’ala pada hari kiamat, saat itu manusia diberi cahaya atas dasar amalnya. Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullahu telah meriwayatkan dengan sanadnya dari Masruq bin Al-Ajda’, dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala mengumpulkan manusia pada hari kiamat, lantas mereka diberi cahaya atas kadar amal-amalnya. Di antara mereka ada yang diberi cahaya semisal gunung antara kedua tangannya. Di antara mereka ada yang diberi cahaya yang lebih dari itu (dalam riwayat lain: kurang dari itu). Di antara mereka ada yang diberi cahaya (semisal) pecahan kurma di tangan kanannya, dan sebagian lain tanpa hal itu di tangan kanannya. Hingga pada akhirnya ada orang yang diberi cahaya atas ibu jari kakinya, sekali menyala sekali padam. Apabila menyala, melajulah kakinya. Apabila padam, dia hanya berdiri. Maka, manusia pun melintasi ash-shirath (jembatan yang berada di atas neraka Jahanam). Adapun ash-shirath ini seperti mata pedang. Licin menggelincirkan. Kemudian dikatakan kepada mereka: ‘Jalanlah kalian dengan cahaya kalian masing-masing.’ Sebagian mereka melintas bagai melesatnya meteor. Sebagian lagi melintas seperti angin, sebagian yang lain seperti kuda. Sebagiannya lagi seperti unta berlari. Dia berjalan atau laju cepat. Mereka melintasi (ash-shirath) atas dasar amal-amalnya. Hingga ada yang melintasi ash-shirath tersebut dengan cahaya pada ibu jari kakinya. Mengupayakan keras (dengan) tangan, (hingga) menggelantung. Kaki diseret, (hingga jatuh) berjuntai. Berhasillah dirinya menjauhi neraka. Mereka adalah orang-orang yang berhasil menyeberang dengan selamat. Mereka berkata: ‘Alhamdulillah (segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala) yang telah menyelamatkan kami darimu (neraka) setelah kami melihatmu (neraka). Sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberi kami sesuatu yang tidak diberikan kepada yang lain.” (Majma’ Az-Zawa’id, Al-Haitsami rahimahullahu, no. 18352-18353. Lihat Syarh Al-Aqidah Ath-Thahawiyyah, Ibnu Abil Izzi rahimahullahu, 2/632-633)

Demikianlah keadaan hari kiamat. Sebuah potret kehidupan masa mendatang yang bakal dilalui manusia. Bagi yang memiliki keimanan dalam hati, gambaran di alam akhirat itu akan melecut untuk segera bergegas beramal. Merajut kebaikan. Menebar keshalihan. Mengumpulkan bekal guna memetik kenikmatan hidup di kampung akhirat kelak. Berlomba dan senantiasa terus berlomba, seakan merasakan kematian sudah di pelupuk mata. Sudah dekat. Sudah tidak ada lagi yang harus dilakukan kecuali beramal dan beramal. Tentunya semua itu didasari keikhlasan.

Gambaran alam akhirat itu memberi pengaruh bagi orang yang beriman untuk senantiasa berhias dengan perilaku, tutur kata, dan sikap mulia. Sebab, dirinya tak hendak menuai petaka di akhirat. Yang hendak diraih adalah ampunan dari Allah Yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang, serta surga-Nya nan teramat sarat nikmat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Rabb mereka dan surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal.” (Ali ‘Imran: 133-136)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan pula untuk menyegerakan amal. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Segeralah beramal (shalih), (sebelum ada) fitnah seperti potongan malam yang gelap gulita. Seseorang pada pagi hari mukmin, sore hari kafir. Atau sore hari beriman, pagi harinya kafir. Dia menjual agamanya dengan harta kekayaan dunia.” (HR. Muslim, no. 186)

Adapun setelah kehidupan alam dunia ini, seseorang akan memasuki alam barzakh. Menurut Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu, al-barzakh (الْبَرْزَخُ) berarti pembatas antara dua sesuatu. Yang dimaksud di sini adalah sesuatu antara kematian manusia hingga hari kiamat tiba. Terkait pada penamaan al-qubur (alam kubur), ini dilihat dari sisi kekhususan atas hal yang bersifat umum. Karena, sesungguhnya alam barzakh itu lebih umum daripada alam kubur. Seseorang meninggal dunia, lantas dimangsa binatang buas, apakah dia berada di kubur? Tidak. Akan tetapi dia berada di alam barzakh. Setiap orang yang mati, dia masuk alam barzakh. Setiap manusia yang dikubur maka dia berada dalam alam barzakh. (Syarh Al-Aqidah As-Safariniyyah, hal. 329)

Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan hafizhahullah menyatakan bahwa beriman kepada hari akhir yaitu mengimani setiap apa yang telah dikabarkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, meliputi apa saja yang terjadi pascakematian. Termasuk dalam hal ini mengimani adanya fitnah kubur: adanya azab dan nikmat kubur. Demikian itu, sesungguhnya antara kematian, yang berarti berakhirnya kehidupan pertama, dan antara kebangkitan, yang berarti bermulanya kehidupan kedua. Dengan ungkapan lain, antara kiamat shughra (kecil) dan kiamat kubra (besar). Masa fatrah (jeda) di antara keduanya disebut dalam Al-Qur’an Al-Karim dengan sebutan barzakh. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata: ‘Ya Rabbku kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku berbuat amal yang shalih terhadap yang telah aku tinggalkan.’ Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitkan.” (Al-Mu’minun: 99-100)

Barzakh secara bahasa yaitu pembatas antara dua sesuatu. Barzakh ini merupakan permisalan dari pembalasan ukhrawi. Yaitu, tempat pertama dari tempat-tempat yang ada dalam akhirat. Di dalam barzakh terdapat pertanyaan dua malaikat, kemudian disusul adanya azab dan nikmat. (Al-Irsyad ila Shahihil I’tiqad wa Ar-Raddu ‘ala Ahli Asy-Syirki wal Ilhad, hal. 280)

Selanjutnya, Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan hafizhahullah dalam kitab di atas (hal. 290) mengungkapkan bahwa azab (atau nikmat, ed.) kubur dan pertanyaan dua malaikat akan terjadi pada setiap yang mati. Walaupun yang meninggal dunia itu tidak dikubur. Ketahuilah, bahwa azab kubur adalah azab barzakh. Setiap manusia yang meninggal dunia, dan dia berhak untuk terkena azab, dalam keadaan mayit tersebut dikubur ataupun tidak, atau dalam keadaan dimakan binatang buas, atau terbakar hingga menjadi abu lalu dihamburkan ke udara, atau disalib, atau tenggelam di laut, niscaya azab itu akan mengena pada ruh dan badannya.

Apakah fitnah barzakh itu? Yaitu suatu keadaan yang menimpa satu mayit kala diri telah dikebumikan. Sesungguhnya, dirinya akan didatangi dua malaikat. Keduanya duduk dan bertanya kepadanya tentang Rabb, agama dan nabinya. Maka, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengokohkan orang-orang beriman dengan perkataan yang teguh. Orang beriman akan mengatakan: “Rabbku Allah, agamaku Islam, dan nabiku Muhammad.” Kemudian ada yang menyeru dari langit: “Telah benar hamba-Ku, maka (dia) dibenarkan.” Dan dia mendengarkannya. Lantas bertambahlah kegembiraan(nya) karena itu, bahwa kesaksiannya telah ada yang menyaksikan dari langit dan dia dinyatakan sebagai orang yang benar (keimanannya). Adapun orang munafik atau yang semisal, dia hanya bisa menjawab: “Hah, hah, saya tidak tahu. Saya mendengar orang-orang mengatakan sesuatu maka saya pun (ikut-ikutan) mengatakannya.” Maka berserulah yang dari langit: “Sungguh hamba-Ku telah berdusta. Sesungguhnya ia mengetahui bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi kecuali hanya Allah. Sungguh pula dia mengetahui bahwa Muhammad adalah rasul Allah. Dia pun tahu tetapi dia membangkang dan berbuat dosa.” Karenanya, dikatakan kepadanya: “Hamba-Ku pendusta.” Kemudian, kepada orang yang pertama, diluaskan dalam kuburnya. Dibukakan pintu surga baginya. Lantas datang amal shalihnya dan duduk di sisinya dalam keadaan bagus. Adapun kepada orang kedua, wal ‘iyadzu billah (kita berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala), disempitkan keadaan kuburnya hingga bersilangan tulang rusuknya, satu dengan lainnya saling masuk lantaran kerasnya himpitan kubur. Dibukakan baginya pintu neraka. Berembuslah hawa panas neraka dan menghanguskan. Juga datang amal kejelekannya dalam bentuk yang sejelek-jeleknya, wal ‘iyadzu billah. Maka, dia ditegur atas apa yang selama ini disia-siakan dan diabaikan begitu saja dalam urusan agama Allah Subhanahu wa Ta’ala. Inilah fitnah barzakh yang wajib diimani. (Syarhul Aqidah As-Safariniyyah, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu, hal. 340)

Kaum malahidah (orang-orang yang menyimpang dari agama, kafir) dan zanadiqah (orang-orang yang pura-pura beriman tapi menyembunyikan kekufurannya) telah melakukan pengingkaran terhadap adanya azab dan nikmat kubur. Mereka katakan bahwa mereka telah membongkar kubur dan tidak didapati dalam kubur tersebut malaikat yang menyiksa mayit. Dalam kubur itu tidak ada kehidupan. Tak ada (air) yang mengalir. Tak ada api yang menyala-nyala. Bagaimana mungkin dalam kubur itu bisa diluaskan sejauh mata memandang dan disempitkan? Justru mereka dapati keadaan kubur itu luasnya sama saat mereka gali, tidak ada penambahan dan pengurangan. Bagaimana pula kubur itu dijadikan taman dari taman-taman surga dan lubang dari lubang-lubang neraka?

Kata Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan hafizhahullah menjawab pertanyaan di atas, sesungguhnya keadaan alam barzakh termasuk masalah-masalah ghaib, yang para nabi telah mengabarkan hal itu. Kabar-kabar yang dibawa para nabi tersebut tidak bisa ditempatkan dalam kerangka berpikir akal (yang amat sangat memiliki keterbatasan). Karenanya, kabar-kabar yang dibawa para nabi tersebut harus dibenarkan (diimani, walau akal belum bisa atau bahkan tidak bisa menerimanya). Selanjutnya, sesungguhnya api dan suasana yang hijau dalam kubur tidaklah sama dengan api dan keadaan hasil pertanian di dunia. Sesungguhnya, api dan keadaan yang menghijau tersebut merupakan bagian kehidupan alam akhirat. Panas api pun jauh berbeda, jauh lebih panas dari api dunia. Maka, tak akan bisa penghuni dunia merasakan (apa yang ada di alam kubur).

Kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala sangat amat luas, menakjubkan dan agung. Jika Allah l menghendaki untuk menampakkan azab kubur kepada sebagian hamba, niscaya hal itu akan terlihat. (Namun) jika hamba-hamba-Nya telah bisa melihat perkara-perkara yang bersifat ghaib semuanya, maka hilanglah hikmah taklif (pembebanan syariat) dan keyakinan untuk mengimani hal-hal yang ghaib. (Al-Irsyad ila Shahihil I’tiqad, hal. 292)
Berkenaan azab kubur dimunculkan kepada hamba-hamba-Nya, menurut penjelasan Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu, bahwa hukum asalnya tidak. Prinsip asalnya tidak mungkin. Sungguh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:

“Kalaulah bukan karena kalian saling menguburkan, pasti aku berdoa kepada Allah agar azab kubur itu diperdengarkan kepada kalian.” (HR. Muslim no. 2867, dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu)

Jika demikian, prinsip asalnya bukan sesuatu yang bisa diketahui. Namun Allah Subhanahu wa Ta’ala beritahukan (azab kubur) kepada sebagian manusia, bisa melalui mimpi yang baik, atau saat seorang hamba itu terjaga. Dalam hal terjaga, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala beritahukan kepada Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas dua orang penghuni kubur yang diazab lantaran suka mengadu domba (namimah) dan tidak bersuci setelah buang air kecil, sebagaimana diungkapkan dalam hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma (HR. Al-Bukhari no. 213 dan Muslim no. 292). Jadi, secara hukum asal, azab kubur adalah sesuatu yang tidak bisa diketahui. Akan tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala bisa memberitahukan hal itu kepada siapa yang Dia kehendaki dari hamba-hamba-Nya. (Syarhul Aqidah As-Safariniyyah, hal. 344-345)

Penetapan azab kubur merupakan i’tiqad (keyakinan) Ahlus Sunnah wal Jamaah. Setiap muslim wajib meyakini adanya nikmat dan azab kubur, karena hal ini telah dinyatakan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat.” (Ibrahim: 27)

Dari Al-Bara’ bin Azib radhiyallahu ‘anhu, sungguh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Sungguh seorang muslim apabila ditanya di dalam kubur, maka dia melakukan persaksian bahwasanya tidak ada ilah yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad (n) adalah Rasulullah. Maka itulah yang dimaksud firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat.” (Ibrahim: 27) [HR. Al-Bukhari no. 1369, Abu Dawud no. 4750. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu. Lihat Itsbat ‘Adzabil Qabri, Asy-Syaikh Al-Hafizh Abu Bakr Ahmad bin Husain Al-Baihaqi, hal. 9-10)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara tegas menyatakan bahwa azab kubur adalah benar adanya. Hadits dari Aisyah radhiyallahu ‘anha mengungkapkan hal itu.

“Sungguh seorang wanita Yahudi masuk (menemui) Aisyah radhiyallahu ‘anha. Wanita Yahudi itu menyebutkan perihal azab kubur. Lantas wanita Yahudi itu berkata kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha, ‘Semoga Allah melindungimu dari azab kubur.’ (Setelah peristiwa itu) Aisyah radhiyallahu ‘anha bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam perihal azab kubur. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Ya. Azab kubur itu benar adanya.’ Aisyah radhiyallahu ‘anha pun menyatakan, ‘Maka, setelah itu tidaklah aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat kecuali beliau berta’awudz (memohon perlindungan) dari azab kubur’.” (HR. Al-Bukhari no. 1373)

Doa yang dipanjatkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam disebutkan sebagaimana dalam hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:

“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa: ‘Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari azab (siksa) kubur, dari siksa neraka, dari fitnah kehidupan dan kematian, dan dari fitnah Al-Masih Ad-Dajjal’.” (HR. Al-Bukhari no. 1377)

Selain dalil-dalil di atas, masih banyak hadits lainnya yang mengungkapkan tentang siksa dan nikmat kubur.

Menurut Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu, madzhab Ahlus Sunnah wal Jamaah menetapkan masalah azab kubur. Hal itu sungguh telah secara nyata berdasar dalil-dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang.” (Al-Mu’min: 46)
Juga, telah secara nyata hadits-hadits yang shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari riwayat jamaah dari kalangan para sahabat di berbagai tempat. Akal tak akan mampu menolak bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala (memiliki kemampuan) mengembalikan kehidupan masing-masing bagian jasad (manusia) dan mengazabnya. Jika akal tak mampu menolak hal ini, dan apa yang telah disebutkan secara syar’i, maka wajib untuk menerima dan meyakininya. Al-Imam Muslim rahimahullahu telah menyebutkan (dalam Shahih-nya) hadits yang banyak sekali dalam masalah penetapan adanya siksa kubur.

Di antaranya hadits yang mengungkapkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mampu mendengar suara orang yang disiksa dalam kuburnya, mayit bisa mendengar bunyi sandal yang menguburkannya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbicara kepada ahlul qalib (korban dari pihak musyrikin yang dilemparkan ke dalam sumur-sumur di Badr, red.), pertanyaan dua malaikat, dan lain-lain. (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 17/198)

Abul Fida’ Ismail bin Katsir rahimahullahu dalam Tafsir-nya (4/98) menyebutkan bahwa firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang.” (Al-Mu’min: 46)
merupakan ayat yang dijadikan prinsip yang besar dalam pengambilan sisi pendalilan bagi kalangan Ahlus Sunnah atas masalah azab (siksa) di alam barzakh (alam kubur).

Inilah permasalahan fitnah kubur. Wajib bagi seorang yang beriman untuk meyakininya, karena hal itu telah ada ketetapannya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Beriman dan segeralah beramal nan shalih, sebelum petaka kubur itu menerpa. Wallahu a’lam. (asysyariah.com)