01 December 2009

Al-Munkar dan An-Nakir




Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Jika mayit atau salah seorang dari kalian telah dikubur, datang dua malaikat, hitam (tubuhnya), biru (kedua matanya), satu dari keduanya bernama Al-Munkar dan yang lain An-Nakir.1 Kedua malaikat bertanya kepada mayit: “Apa yang dulu kamu katakan tentang lelaki ini (yakni Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam)?” Dia pun menyatakan apa yang dulu dia katakan: “Lelaki itu adalah hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, Asyhadu allailahaillallah wa anna Muhammadar rasulullah.” Kedua malaikat menimpali: “Sungguh kami telah mengetahui bahwa engkau mengatakan demikian.” Lalu diluaskan kubur untuknya 70 dzira’ (hasta) kali 70 dzira’, dan diterangi, kemudian dikatakan padanya: “Tidurlah engkau.” Berkatalah mayit: “Kembalikanlah aku pada keluargaku agar aku kabarkan kepada mereka.” Keduanya berkata: “Tidurlah engkau sebagaimana tidurnya pengantin, tidak ada yang membangunkan kecuali orang yang paling dicintainya.” Hingga nanti Allah Subhanahu wa Ta’ala bangkitkan dari pembaringannya.

Adapun jika mayit adalah seorang munafik, dia akan menjawab: “Dahulu aku mendengar manusia mengatakan sesuatu, aku pun mengatakannya... aku tidak tahu.” Keduanya berkata: “Sungguh kami telah mengetahui bahwa engkau akan berkata demikian.” Maka dikatakan pada bumi: “Himpitlah dia!” Bumi pun mengimpit mayit hingga tulang-tulang rusuknya bertautan. Terus-menerus adzab ditimpakan hingga Allah Subhanahu wa Ta’ala bangkitkan ia dari kuburnya.

Takhrij Hadits
Hadits dengan lafadz di atas diriwayatkan At-Tirmidzi rahimahullahu dalam As-Sunan, Kitab Al-Jana’iz bab Ma Ja’a fi ‘Adzabil Qabri (Kitab Jenazah bab Adzab kubur) (3/163, no. 1071), dari jalan Abdurrahman bin Ishaq, dari Sa’id bin Abi Sa’id Al-Maqburi, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.

Melalui jalan ini pula, Al-Imam Ahmad rahimahullahu meriwayatkan dalam Al-Musnad (4/287, 295, 296), demikian pula Ibnu Hibban rahimahullahu dalam Shahih-nya (7/386, no. 3117), Ibnu Abi ‘Ashim rahimahullahu dalam As-Sunnah (no. 864), dan Abu Bakr Al-Ajurri rahimahullahu dalam Asy-Syari'ah (hal. 365).

Semuanya perawi tsiqah, tergolong perawi Al-Imam Muslim rahimahullahu dalam Ash-Shahih, kecuali Abdurrahman bin Ishaq. Dia adalah Abdurrahman bin Ishaq bin Abdilah bin Al-Harits bin Kinanah Al-‘Amiri Al-Madani. Ada pembicaraan pada rawi ini,2 tetapi tidak menurunkannya dari derajat hasan, insya Allah, sebagaimana disimpulkan Al-Hafizh rahimahullahu dalam At-Taqrib.3

Hadits ini hasan, demikian At-Tirmidzi dan Al-Baghawi memberikan hukum atasnya.
At-Tirmidzi rahimahullahu mengatakan: “Haditsun hasanun gharib (Hadits ini hasan gharib).” (As-Sunan 3/163)

Al-Baghawi rahimahullahu mengatakan: “Haditsun hasanun (Hadits ini hasan).” (Syarhus Sunnah, 5/416)

Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu menghasankannya dalam Takhrij Misykatul Mashabih (1/131). Beliau berkata: “Sanad hadits ini hasan sesuai syarat Muslim.”4

Penamaan Al-Munkar dan An-Nakir dikuatkan dengan beberapa syawahid (pendukung). Di antaranya:

Pertama: Hadits Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu sebagaimana dalam riwayat Al-Bazzar dalam Al-Musnad (7/97).

Kedua: Hadits Bara’ bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhu diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman (1/358) dan Ath-Thabarani dalam Tahdzib Al-Atsar (2/500).

Ketiga: Riwayat mauquf dari Abud Darda radhiyallahu ‘anhu, sebagaimana diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf (3/53).

Faedah: Penamaan malaikat Al-Munkar dan An-Nakir termaktub dalam kitab-kitab aqidah salaf. Ini memberikan isyarat sekaligus menguatkan bahwasanya salaf memandang keabsahan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dan kuatnya penyandaran hadits tersebut kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allahu ta’ala a’lam.

Kedudukan dan Makna Iman Kepada Malaikat
Iman kepada malaikat adalah bagian dari rukun iman. Mereka yang tidak mengimaninya dihukumi kafir dan berada dalam kesesatan yang nyata. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.” (An-Nisa’: 136)

Malaikat adalah makhluk Allah Subhanahu wa Ta’ala dan utusan-utusan-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, Yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga, dan empat. Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Fathir:1)

Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu adalah bagian dari sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang malaikat-malaikat Allah Subhanahu wa Ta’ala, sekaligus berita tentang apa yang menimpa mayit di alam barzakh sebagai bagian dari iman kepada hari akhir.

Apa sesungguhnya hakikat iman kepada malaikat Allah Subhanahu wa Ta’ala?. Ketahuilah, sesungguhnya iman kepada malaikat Allah Subhanahu wa Ta’ala bukan sekadar pernyataan percaya adanya malaikat, tetapi keimanan tersebut meliputi beberapa perkara.

Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullahu berkata: “Iman kepada malaikat-malaikat Allah Subhanahu wa Ta’ala mencakup makna yang banyak:

Pertama: Meyakini keberadaan (wujud) mereka.

Kedua: Menempatkan malaikat sesuai kedudukan-kedudukannya, (yaitu) meyakini bahwa malaikat hanyalah hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Dia ciptakan sebagaimana manusia dan jin, mendapatkan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan sama sekali tidak memiliki kemampuan kecuali apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada mereka. Juga (meyakini bahwasanya) kematian atas malaikat adalah sesuatu yang mungkin, hanya saja Allah Subhanahu wa Ta’ala beri mereka usia panjang. Tidaklah Allah Subhanahu wa Ta’ala mematikan kecuali jika datang ajalnya. Malaikat tidak boleh disifati dengan sifat-sifat yang mengantarkan pada penyekutuan dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka tidak diibadahi sebagai sesembahan sebagaimana orang-orang terdahulu (menjadikan malaikat sebagai sesembahan selain Allah Subhanahu wa Ta’ala).

Ketiga: Meyakini bahwa di antara mereka ada rasul-rasul yang Allah Subhanahu wa Ta’ala utus kepada siapa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala kehendaki baik kepada manusia atau malaikat. Juga meyakini bahwa di antara malaikat ada yang (bertugas) membawa ‘Arsy, ada yang bershaf-shaf, ada penjaga jannah, penjaga neraka, pencatat amalan-amalan, dan ada yang menggiring awan. Sungguh, semua ini atau sebagian besarnya telah dikabarkan dalam Al-Qur’an.” (Syu’abul Iman)

Iman kepada malaikat adalah: Mengimani segala perkara yang Allah Subhanahu wa Ta’ala kabarkan dalam Al-Qur’an dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam beritakan dalam As-Sunnah tentang malaikat mengenai empat perkara, pertama: nama-nama mereka; kedua: sifat-sifat mereka; ketiga: tugas-tugas mereka; dan keempat: jumlah mereka; baik secara global maupun terperinci.5

Apa Yang Harus Diyakini Tentang Munkar dan Nakir?
Saudaraku, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati kita. Satu pokok yang wajib kita yakini, bahwasanya agama dibangun di atas Al-Kitab dan As-Sunnah dengan pemahaman salaful ummah, bukan hasil rekayasa pikiran, dorongan hawa nafsu, atau luapan perasaan. Termasuk iman pada malaikat-malaikat Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak boleh kita bertutur dan meyakini kecuali harus dibangun di atas dalil.

Di atas pokok inilah kita beragama. Termasuk dalam permasalahan Al-Munkar dan An-Nakir, tidak boleh kita meyakini tentang keduanya kecuali apa yang ditunjukkan dalil Al-Kitab dan As-Sunnah. Demikian pula sebaliknya, tidak boleh bagi kita mengingkari apa yang telah dinyatakan dalam dalil meskipun terkadang berat bagi akal sebagian orang untuk menerimanya.

Al-Munkar dan An-Nakir, bagaimana akidah salaf, Ahlus Sunnah wal Jamaah, tentang keduanya? Berikut beberapa rincian pembahasannya. Wa billahi at-taufiq.

Penamaan Munkar dan Nakir berdasar Hadits yang Tsabit (Tetap) dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu adalah hadits hasan –sebagaimana telah berlalu pada pembahasan takhrij hadits– maka penamaan kedua malaikat dengan Munkar dan Nakir ditetapkan dengan hadits yang tsabit dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hadits ini sekaligus menggugurkan perkataan semua kelompok yang meragukan penamaan Munkar dan Nakir atau bahkan mengingkari keberadaan keduanya, semisal kelompok Jahmiyah, Mu’tazilah, dan seluruh pengekor hawa nafsu di masa lalu, sekarang ataupun masa yang akan datang.

Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata: “Dalam hadits ini ada bantahan bagi orang-orang pada masa ini yang mengingkari penamaan Munkar dan Nakir.” (Takhrij Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyah hal. 399 –cet. Al-Maktab Al-Islami)

Orang-orang Jahmiyah misalnya, mereka menganggap bahwasanya iman itu sekadar ma’rifat (mengenal) Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karena itu, disebutkan dari Jahm bin Shafwan6 bahwasanya iman manusia sama seperti iman Jibril dan malaikat-malaikat. Cukup dengan ma’rifah, seseorang telah mencapai kesempurnaan iman. Demikian mereka sangka.

Meskipun mereka meyakini wujud (keberadaan) malaikat, namun mereka ingkari kebanyakan dari amalan-amalan malaikat. Jahm mengingkari malaikat pencatat amal, mengingkari malaikat maut pencabut arwah, mengingkari adzab kubur dan nikmatnya sekaligus malaikat yang mendapatkan tugas ini, juga mengingkari pertanyaan di alam kubur dan dua malaikat yang mendapatkan tugas ini yaitu malaikat Munkar dan Nakir 7.

Adapun Ahlus Sunnah wal Jamaah, maka aqidah mereka adalah akidah yang bersih dan menyucikan jiwa, karena dibangun di atas wahyu Allah Subhanahu wa Ta’ala, Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Penamaan Mungkar dan Nakir dalam kitab-kitab Aqidah Salaf
Berpijak pada hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ulama memasukkan dua nama ini dalam kitab-kitab aqidah salaf (Ahlus Sunnah wal Jamaah). Berikut beberapa nukilan dari kitab-kitab aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah tersebut.

• Abu Muhammad Abdurrahman bin Abi Hatim Ar-Razi rahimahullahu (240-327 H) berkata: Aku bertanya pada bapakku (Abu Hatim Ar-Razi [277 H], pen.) dan Abu Zur’ah (264 H) –semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala meridhai keduanya– tentang keyakinan Ahlus Sunnah dalam pokok-pokok agama dan keyakinan ulama di seluruh negeri, yang keduanya menjumpai mereka berada di atas keyakinan tersebut, dan apa yang diyakini keduanya. Maka (Abu Hatim dan Abu Zur’ah) berkata: Kami telah jumpai ulama-ulama di seluruh penjuru negeri, baik dari Hijaz (Makkah, Madinah, Tha’if, dan sekitarnya, pen.), Irak, Mesir, Syam, atau Yaman, maka (kami dapatkan) bahwa di antara madzhab mereka adalah: … Meyakini bahwa adzab kubur adalah haq (benar), Munkar dan Nakir adalah haq (benar)...” (Ashlus Sunnah Wa I’tiqadud Din –riwayat Ibnu Abi Hatim dari bapaknya dan Abu Zur’ah– hal. 15-18)

• Ibnu Abi Dawud rahimahullahu (230-316 H) berkata dalam Manzhumah Haiyah-nya: “Janganlah engkau ingkari Nakir dan Munkar karena kejahilan * Jangan pula kau ingkari telaga dan timbangan, sungguh engkau mendapat nasihat.”

• Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullahu (239-321 H)8 berkata: “Dan (kita mengimani) ... pertanyaan Munkar dan Nakir dalam kubur seorang tentang Rabbnya, agamanya, dan nabinya, berdasarkan hadits-hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau g.” (Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyah hal. 397 dengan syarah Ibnu Abil ‘Izz Al-Hanafi rahimahullahu)

• Al-Imam Al-Barbahari rahimahullahu (329 H)9 berkata: “Dan beriman dengan adzab kubur serta Munkar dan Nakir.” (Syarhus Sunnah)

• Al-Imam Abdul Ghani Al-Maqdisi rahimahullahu (600 H) berkata: “Mengimani adzab kubur adalah perkara yang benar, wajib, dan fardhu …. Demikian pula iman kepada pertanyaan Mungkar dan Nakir.” (‘Aqidah Al-Hafizh Taqiyuddin ‘Abdul Ghani Al-Maqdisi hal. 88)

• Al-Imam Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Qudamah Al-Maqdisi rahimahullahu (541-620 H) berkata: “Pertanyaan Mungkar dan Nakir adalah benar, kebangkitan setelah kematian adalah benar, yaitu ketika Israfil q meniup sangkakala, (sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala firmankan): “Dan ditiuplah sangkakala, maka tiba-tiba mereka keluar dengan segera dari kuburnya (menuju) kepada Rabb mereka.” (Yasin: 51) [Lum’atul I’tiqad hal. 51]10

Apa yang dinukil dari ucapan ulama dalam kitab-kitab aqidah salaf, menunjukkan bahwa penamaan Munkar dan Nakir adalah bagian yang tidak terlepas dari i’tiqad (keyakinan) Ahlus Sunnah wal Jamaah baik dari kalangan sahabat atau generasi sesudahnya, sebagaimana diucapkan Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullahu dalam ‘Aqidah-nya bahwasanya penetapan adzab kubur termasuk penamaan malaikat Munkar dan Nakir adalah: “... berdasarkan hadits-hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dari para sahabat.”11

Menjawab Keraguan Penamaan Al-Munkar Dan An-Nakir
Munkar dan Nakir, penamaan ini diragukan sebagian orang. Keraguan tersebut setidaknya bersandar pada dua alasan.

Pertama: Anggapan bahwa hadits yang menetapkan dua nama ini dha’if (lemah).

Kedua: Persangkaan adanya nakarah (keganjilan) makna dalam nama Munkar dan Nakir. Mereka berkata: “Bagaimana mungkin dua malaikat ini bernama Munkar dan Nakir yang bermakna sesuatu yang diingkari atau asing?” atau “Mungkinkah keduanya diingkari dan asing padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mensifati malaikat-malaikat-Nya dengan sifat-sifat terpuji?”

Sebagai jawaban atas keraguan pertama, kita katakan: “Hadits yang menetapkan penamaan Munkar dan Nakir, termasuk hadits hasan. Bahkan dikuatkan dengan penyebutan salaf dalam kitab-kitab aqidah sebagaimana telah lalu pembahasannya.” Maka tidak diragukan kebenaran dua nama ini.

Adapun alasan kedua, tentang keganjilan makna, sebenarnya tidak perlu dibicarakan jika dalil telah shahih. Karena kewajiban kita adalah menerima dan membenarkan kabar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang semuanya adalah wahyu sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (An-Najm: 3-4)

Akan tetapi ulama –jazahumullahu khairan– tetap tidak luput untuk menjawab syubhat persangkaan ketidaklayakan makna Munkar dan Nakir.

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu mengatakan: “... Mereka disebut Munkar (asing, pen.) karena mayit (merasa asing) tidak mengenali keduanya dan tidak mengetahui sebelum itu. Sebagaimana Nabi Ibrahim q berkata pada tamunya (mensifati dengan kemungkaran/keasingan) padahal ternyata mereka dari kalangan malaikat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: Sudahkah sampai kepadamu (Muhammad) cerita tamu Ibrahim (malaikat-malaikat) yang dimuliakan? (Ingatlah) ketika mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan: “Salaaman”, Ibrahim menjawab: “Salaamun” (kamu) adalah orang-orang yang tidak dikenal. (Adz-Dzariyat: 24-25) [Syarh Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah]

Perhatikan ayat ini, Nabi Ibrahim q mensifati malaikat yang bertamu kepadanya dengan ucapan beliau. Yang maknanya “(Kalian adalah) kaum yang munkar (tidak dikenal).” Sifat ini sama sekali tidak menunjukkan celaan kepada malaikat-malaikat Allah Subhanahu wa Ta’ala, tamu Ibrahim. Maka teranglah bahwa penamaan Munkar atau Nakir bukan sesuatu yang merendahkan malaikat, terlebih penamaan ini shahih dari sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ibnul Arabi rahimahullahu mengatakan: “Dinamai Munkar dan Nakir yang bermakna umum (karena cobaan keduanya) mengenai semua mayit yang ditanya, baik kafir atau mukmin (semua tidak luput dari pertanyaan dua malaikat ini, pen.)12; dan (dinamai Munkar dan Nakir) karena semua orang yang melihat keduanya akan mengingkari keduanya, karena apa yang ada pada keduanya berupa pemandangan yang menyeramkan, bentuk yang menakutkan, pembicaraan yang kasar, maqami’ (alat pukul) yang ada pada tangan-tangan keduanya yang sangat mengerikan dan menyeramkan.” (‘Aridhatul Ahwadzi, 4/292)

Sifat Malaikat Munkar dan Nakir
Munkar dan Nakir seperti malaikat-malaikat yang lain dari sisi materi penciptaan. Keduanya diciptakan dari cahaya, berdasarkan hadits yang diriwayatkan Al-Imam Muslim rahimahullahu dalam Ash-Shahih dari ‘Aisyah Ummul Mukminin radhiyallahu ‘anha, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Malaikat diciptakan dari cahaya, Jin diciptakan dari api, dan Adam diciptakan dari apa yang disifatkan bagi kalian.”13

Demikian pula mereka disifati dengan ketaatan yang penuh terhadap perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: “… Tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At-Tahrim: 6)

Di antara sifat Munkar dan Nakir yang tersebut dalam hadits ini adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Keduanya hitam dan biru.”

Al-Mubarakfuri rahimahullahu mengatakan: “Maksudnya, biru kedua matanya.” (Tuhfatul Ahwadzi, 3/520, cet. Darul Hadits). Allahu a’lam bish-shawab.

Keduanya disifati membawa alat pukul dari besi untuk memukul siapa saja yang tidak menjawab pertanyaan keduanya. Sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari rahimahullahu dalam Shahih-nya: “...Kemudian dia (mayyit yang durhaka kepada Allah) dipukul dengan palu dari besi dengan pukulan di wajahnya, hingga dia menjerit dengan jeritan yang didengar siapa yang di sekitarnya kecuali jin dan manusia.”14

Demikian beberapa sifat malaikat Munkar dan Nakir berdasar Al-Kitab dan As-Sunnah. Allahu a’lam bish-shawab.

Tugas Malaikat Munkar-Nakir dan Adanya Fitnah Kubur
Dalam hadits ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan tugas malaikat Munkar dan Nakir, yaitu menanyakan kepada mayit tentang Rabbnya, agamanya, dan nabinya.

Pertanyaan dua malaikat inilah yang dimaksud dengan fitnah kubur, yaitu ujian yang menentukan nasib seseorang, akankah mendapatkan nikmat kubur atau sebaliknya mendapatkan adzab kubur.

Manusia ketika itu terbagi menjadi dua golongan: golongan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala selamatkan dari fitnah kubur dan golongan lain yang tidak Allah Subhanahu wa Ta’ala beri keselamatan, sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di atas.

Golongan Pertama: Mereka adalah orang-orang beriman yang Allah Subhanahu wa Ta’ala beri tsabat (keteguhan) dalam menghadapi fitnah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki.” (Ibrahim : 27)

Mereka menjawab semua pertanyaan Munkar dan Nakir. Kuburnya pun diluaskan dan diberi cahaya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “..Lalu diluaskan kubur untuknya 70 dzira’ (hasta) kali 70 dzira’, dan diterangi..”

Hadits menunjukkan bahwa kubur seorang mukmin –secara hakiki– diluaskan panjang dan lebarnya sepanjang 70 dzira’ (hasta). Demikian diterangkan Al-Mubarakfuri rahimahullahu. Atau makna dari perkataan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut adalah bahwa kubur akan diluaskan dengan sangat luasnya. Ath-Thibi rahimahullahu berkata sebagaimana dinukilkan Al-Mubarakfuri: “... Peluasan kubur disandarkan kepada 70 sebagai bentuk mubalaghah (sangat) atas luasnya kubur.” (lihat Tuhfatul Ahwadzi 3/521) Wal ‘ilmu ‘indallah.

Berkenaan nasib seorang mukmin, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits shahih dari shahabat Bara’ bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhuma: Maka datanglah dua malaikat kepada mayit, keduanya mendudukkan mayit kemudian bertanya kepadanya: “Siapa Rabbmu?” Dia menjawab: “Rabbku adalah Allah.” “Apa agamamu?” Dia menjawab: “Agamaku Islam.” “Siapa orang yang diutus kepada kalian?” Dia menjawab: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” “Apa amalanmu?” Dia menjawab: “Aku membaca Al-Qur’an dan aku mengamalkan serta membenarkannya.” Maka terdengarlah seruan dari langit: “Hamba-Ku benar, hamparkanlah untuknya dari jannah, berilah pakaian dari jannah, dan bukakanlah untuknya pintu menuju jannah." Lalu datanglah seseorang yang sangat indah wajah dan bajunya, sangat harum aromanya seraya berkata: “Bergembiralah dengan apa yang membahagiakanmu. Inilah hari yang dahulu engkau dijanjikan.” Berkatalah mayit: “Siapakah kamu? Wajahmu tampak datang dengan kebaikan.” Dia menjawab: “Aku adalah amalan shalihmu.” Berkatalah mayit: “Ya Rabb, tegakkanlah hari kiamat agar aku kembali kepada keluarga dan hartaku.”15

Demikianlah keadaan kaum mukminin di alam kubur. Kita meminta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala matikan kita dalam keadaan beriman dan mendapatkan nikmat kubur.

Golongan kedua: orang-orang kafir dan munafik. Mereka mendapatkan kehinaan dengan fitnah ini. Mulut mereka tidak mampu mengemukakan jawaban. Adzab yang Allah Subhanahu wa Ta’ala sediakan pun menimpa mereka sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di atas.

Pembaca rahimakumullah, demikian beberapa pembahasan terkait dengan dua malaikat Munkar dan Nakir, sifat dan tugas mereka. Mengimani keduanya adalah bagian dari iman kepada malaikat, yang telah diimani oleh salaful ummah baik dari kalangan sahabat, tabi’in, dan orang-orang yang berjalan di atas jalan mereka.

Ibnu Abil ‘Izzi Al-Hanafi rahimahullahu (792 H) mengatakan: “Telah mutawatir16 berita-berita dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang adanya adzab dan nikmat kubur bagi orang yang pantas mendapatkannya. Demikian pula pertanyaan dua malaikat. Maka wajib (bagi kita) beri’tiqad dan meyakini adanya hal itu.”17

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala melindungi kita dan kaum muslimin dari neraka jahannam, fitnah kubur, serta segala kejelekan di dunia dan akhirat.

Walhamdulillahi rabbil ‘alamin.

Footnotes:
  1. Demikian dengan menggunakan alif dan lam: Al-Munkar dan An-Nakir. Dalam sebagian riwayat disebutkan namanya tanpa menggunakan alif dan lam, Munkar dan Nakir.
  2. Al-Imam Ahmad berkata: “Shalihul hadits (Haditsnya baik).” (Al-‘Ilal wa Ma’rifatur Rijal, 1/130). Ibnu Hibban menyebutkan Abdurrahman bin Ishaq dalam Ats-Tsiqat (7/86). Al-‘Ijli berkata: “Yuktabu haditsuhu wa laisa bil qawi (Haditsnya ditulis, namun dia bukan orang yang kuat).” (Tarikh Ats-Tsiqat).Abu Hatim berkata: “Yuktabu haditsuhu wa laa yuhtaju bihi (Ditulis haditsnya, dan dia tidak dijadikan hujjah).” (Al-Jarh wat Ta’dil, 5/212. Lihat Tahdzib At-Tahdzib, 6/125-126)
  3. Beliau berkata: “Shaduq, rumiya bil qadar (Dia seorang yang shaduq/haditsnya hasan, dituduh berpaham Qadariyah).”
  4. 4 Lihat juga takhrij beliau atas Syarah Al-’Aqidah Ath-Thahawiyah (hal. 399) dan Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah (3/379-380, no. 1391)
  5. Definisi ini termasuk definisi yang mencakup seluruh permasalahan iman kepada malaikat-malaikat Allah Subhanahu wa Ta’ala, baik terkait dengan sumber keyakinan yaitu Al-Kitab dan As-Sunnah, atau hal-hal yang harus diyakini tentang malaikat. Demikian Asy-Syaikh Dr. Abdur Razaq bin Abdul Muhsin Al-Abbad hafizhahullah menjelaskan dalam beberapa muhadharah (ceramah).
  6. Adz-Dzahabi mengatakan: “Jahm bin Shafwan Abu Mahraz As-Samarqandi, seorang sesat, mubtadi', pemuka Jahmiyah. Dia binasa di zaman shigar tabi’in (tabi'in kecil). Aku tidak tahu dia meriwayatkan sesuatu, tetapi dia telah menebarkan benih kesesatan yang sangat besar.” (Mizanul I'tidal, 1/426). Di antara pemikiran Jahm adalah meniadakan sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Keyakinan ini diambilnya dari Ja’d bin Dirham yang disembelih oleh Khalid bin ‘Abdilah Al-Qasri di Wasith. Jahm sendiri dibunuh di Khurasan oleh Salm bin Ahwaz pada tahun 128 H.
  7. Mu’taqad Firaqul Muslimin wal Yahud wan Nashara wal Falasifah wal Watsaniyin fil Mala’ikah Al-Muqarrabin karya Asy-Syaikh Dr. Muhammad bin Abdul Wahhab Al-’Aqil (hal. 242-243).
  8. Beliau adalah Al-Imam Abu Ja’far Ahmad bin Salamah bin Abdul Malik bin Salamah bin Sulaiman Al-Azdi Ath-Thahawi.
  9. Beliau adalah Al-Imam Al-Hafizh Abu Muhammad Al-Hasan bin Ali bin Khalaf Al-Barbahari Al-Hanbali.
  10. Dengan syarah Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin.
  11. Juga perkataan Abu Hatim dan Abu Zur’ah: “Kami telah menjumpai ulama-ulama (Ahlus Sunnah, ahlul hadits) di seluruh negeri baik dari Hijaz, Irak, Mesir, Syam, atau Yaman... (yakni mereka semua mengimani Munkar dan Nakir).”
  12. Kecuali beberapa golongan yang tidak ditanya sebagaimana ditunjukkan dalam nash-nash.
  13. Diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dalam Shahih-Nya kitab Az-Zuhd wa Ar-Raqaiq (4/2294). Faedah: Yang dimaksud dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Adam diciptakan dari apa yang disifatkan bagi kalian” adalah bahwa Adam q diciptakan dari tanah sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala sifatkan dalam Al-Qur’an, demikian pula yang Rasul kita sebutkan tentang materi penciptaan Adam.
  14. HR. Al-Bukhari dalam Ash-Shahih no. 1338
  15. Bagian dari hadits Bara’ bin Azib radhiyallahu ‘anhuma. Diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad rahimahullahu dalam Al-Musnad (4/287-288) dan Al-Hakim rahimahullahu dalam Al-Mustadrak (1/93-94). Al-Hakim mengatakan: “Dalam hadits ini terdapat faedah yang sangat banyak bagi Ahlus Sunnah dan bantahan bagi mubtadi’ah (ahli bid’ah)….” (Al-Mustadrak, 1/96). Faedah: Hadits Bara’ bin ‘Azib dishahihkan banyak ulama, seperti Al-Hakim dan Ibnul Qayyim rahimahumallah. Adapun Ibnu Hazm dan Ibnu Hibban rahimahumallah, beliau berdua kurang tepat dalam memberikan hukum terhadap hadits ini dengan kedha’ifan. Bantahan (tentang hal ini) dapat dilihat secara rinci dalam kitab Ar-Ruh, karya Ibnu Qayyim rahimahullahu.
  16. Lihat Qathful Az-haril Mutanatsirah fil Akhbaril Mutawatirah karya As-Suyuthi hadits no. 109.
  17. Syarah Al-’Aqidah Ath-Thahawiyah hal. 399 dengan takhrij Asy-Syaikh Al-Albani. (asysyariah.com)