23 December 2009

Tuyul Istana Pembisik Presiden


Ada dua kelompok pembisik di lingkaran Presiden SBY. Pertama, dari BIN. Kedua, dari para “tuyul”. Laporan siapa yang tidak akurat?

Dalam catatan pengamat politik UI, Boni Hargens, setidaknya sudah tiga kali Presiden SBY menyebut adanya data resmi intelijen, namun ternyata tidak terbukti seperti disebutkan. Pertama, Presiden pernah menjadi sasaran tembak teroris dan menyebut aksi itu terkait hasil pemilu. Kedua, SBY sempat menyebut akan ada pengepungan kantor KPU sebelum pasangan SBYBoediono dilantik. Ketiga, akan ada kekisruhan dalam demo besarbesaran memperingati Hari Antikorupsi 9 Desember kemarin.

Ketiga informasi tersebut tak terlepas dari kelompok “pembisik” di sekitar Presiden. Menurut Boni, setidaknya, ada dua kelompok pembisik. “Satu, dari BIN. Dua, dari ‘tuyul-tuyul’ pembisik di sekitar SBY. Nah, informasi yang tidak akurat dan salah itu dipasok dari para tuyul-tuyul pembisik ini. SBY ditipu habishabisaan oleh tuyul-tuyul pembisik. Mereka bukan ahli tapi tuyul-tuyul,” papar Boni kepada Indonesia Monitor, Jumat (11/12).

Boni menilai, para pembisik di sekeliling Istana banyak yang tidak bermutu, karena tidak paham betul denyut nadi politik. Para pembisik yang menyesatkan SBY, terang Boni, berasal dari broker politik yang selalu bolak-balik ke Cikeas.

Mereka, lanjut dia, jadi benalu bagi SBY dan kerjanya hanya memprovokasi. Motifnya ingin menumpang hidup, mendapatkan uang dan kekuasaan. “Rata-rata mereka mengaku paham gerakan mahasiswa secara pasti sehingga melakukan provokasi. Kemudian memberi informasi kepada SBY. Anehnya SBY lebih percaya para tuyul-tuyul pembisik itu ketimbang baca koran,” terang Boni tanpa bersedia menyebut nama-nama yang dimaksud tuyul pembisik SBY.

Ia menjelaskan, modus operandi yang dilakukan para pembisik, yaitu memasok data palsu kepada SBY berupa informasi adanya ancaman buruk sehingga muncul ketakutan. Dengan membeberkan potensi ancaman, dana politik segera turun.

“Tuyul itu membisiki SBY, ‘Pak nanti akan ada kudeta’. SBY pasti memerintahkan untuk menurunkan dana demi mengamankan diri,” tutur Boni. Begitu suasananya aman, mereka mengklaim kepada SBY kalau gerakan berhasil diredam. “Padahal, ancaman itu tidak ada sama sekali. Sangat berbahaya jika Presiden menelan mentah-mentah informasi yang masuk tanpa reserve,” tambahnya.

Menurutnya, manakala SBY menyampaikan informasi yang tidak akurat disampaikan ke publik itu sama saja dengan bunuh diri. “Dengan statemen yang tingkat presisinya tidak akurat, SBY sebetulnya membunuh dirinya. Karena masyarakat kemudian makin antipati,” kata Boni.

Hal senada dikemukakan pengamat politik UI, Iberamsyah. Menurutnya, data intelijen sebaiknya tidak disampaikan ke publik. “Biasanya data intelijen hanya cukup buat presiden saja, bukan untuk konsumsi publik. Sebab, tidak ada gunanya. Yang ada malah bikin keresahan dan menimbulkan kecurigaan antarkelompok dan golongan,” terang Iberamsyah kepada Indonesia Monitor, Sabtu (12/12).

Ia merasa kecewa kepada Presiden karena main tembak “kanan-kiri” dan ternyata data yang disampaikan tidak tepat. “Kalau yang disampaikan Presiden tidak tepat akan menimbulkan cibiran buat Presiden sendiri. Kalau saya jadi Presiden, saya akan memberi peringatan keras dan memecat aparat yang memberikan data intelijen itu. Ini yang berbicara Presiden loh, bukan Ketua RT. Akurasinya harus 100 persen,” sindirnya.

Bagi Iberamsyah terasa aneh mengapa Menko Polhukam dan Kepala BIN yang tidak memberi sinyal adanya kekisruhan namun Presiden malah mengemukakan adanya potensi ancaman itu. “Berarti ada pihak lain yang lebih dipercayai oleh Presiden selain dari BIN dan Menko Polhukam. Itu pasti pembisik lain,” katanya menyimpulkan.

Ia merasa kasihan kepada SBY yang sering mendapatkan informasi tidak benar dari orang-orang di sekitarnya, seperti soal isu “Dokumen Dharmawangsa”. “Saya kasihan sama SBY. Saat ini dia tengah mengalami ilusi fantasi. Entah dari mana informasi itu didapat. Saya kok tidak percaya kalau info itu dari BIN. Karena mereka tak sebodoh itu,” tandasnya.

Ia berpendapat, demi kehatihatian, sebaiknya Presiden menerima informasi intelijen melalui sistem satu pintu saja, yaitu melalui BIN. “Jadi, informasi dari bawahan lainnya seperti Kapolri, apalagi staf khusus (yang memang tidak punya latar belakang intelijen), itu tetap harus melalui Kepala BIN,” ujarnya. [indonesia-monitor.com]