04 December 2009

UNTAET Muluskan Bisnis Aussie


Jakarta - Sejak 30 Agustus 1999, Bendera Merah Putih tak lagi berkibar di Timor-Timur. Di hari itu, provinsi ke-27 itu lepas dari pangkuan Ibu Pertiwi. Timtim lepas setelah dalam sebuah referendum yang diadakan PBB dan diikuti sekitar 450.000 penduduk Timor Timur, sebagian besar memilih melepaskan dari Indonesia [baca: Keluar Juga Kerikil dalam Sepatu Itu].

Seusai jajak pendapat, Timor Timur kala itu tak langsung mengurus negerinya sendiri. PBB membentuk UNTAET (United Nations Transitional Administration in East Timor) sebagai pemerintahan transisi. Badan itu merupakan pemerintahan sipil yang bertujuan untuk memelihara misi perdamaian sebagai konsekuensi dari resolusi 1272 DK PBB tahun 1999.

Dalam menjalankan tugasnya, UNTAET diperkuat oleh sejumlah pasukan yang dipimpin oleh Australia, didukung oleh Selandia Baru, dan diikuti oleh Perancis, Argentina, Brasil, Jepang, Malaysia, Rusia, Singapura, Korea Selatan, Thailand, Filipina, Portugal, Amerika Serikat, Inggris, dan beberapa Negara lain. Dengan dipimpin Australia, UNTAET saat itu disebut-sebut sebagai tunggangan Aussie. Memang, tak ada alasan lain yang cukup masuk akal mengapa Australia serius memfasilitasi agar Timtim lepas dari Indonesia .

Keterlibatan Aussie dalam kemerdekaan Timor Timur cukup signifikan. Mantan Presiden Indonesia B.J. Habibie mengaku surat dari mantan Perdana Menteri Australia John Howard mendesak dirinya untuk secepatnya bertindak terkait desakan untuk melepaskan Timtim atau Timor Leste. Pada 1998, Howard menulis surat kepada Habibie yang mendukung kemerdekaan Timor Leste.

Habibie mengatakan kepada program ABC 1 bertajuk The Howard Years bahwa surat tersebut mendesaknya untuk mengeluarkan keputusan cepat yang akhirnya berujung pada referendum enam bulan kemudian. "Dalam surat ini, ia menyarankan saya agar saya menyelesaikan (masalah Timor Timur) seperti Prancis menyelesaikan koloni-koloni mereka di Pacific New Caledonia . Ia menyarankan itu," ujar Habibie seperti dikutip ABC.net.au, 16 November 2008.

***

Praktis, setelah Timor Timur merdeka melalui jajak pendapat, sebagian besar pebisnis di Bumi Loro Sa’e itu warga Australia . ”Dari 160 pebisnis asing, 100 berasal dari Australia ,” kata Manuel de Almeida, juru bicara UNTAET, seperti dikutip Majalah TEMPO edisi 20 Maret 2000.

Keterlibatan pebisnis Australia sebenarnya sudah ada sebelum prosesi jajak pendapat. Terry Farmer, misalnya. Direktur Pelaksana National One NT Pty Ltd asal Australia itu menyatakan kebagian proyek penyediaan tiga juta lembar kertas untuk jajak pendapat. Terry juga menyuplai kebutuhan kertas dan komputer untuk pasukan keamanan Australia dan Italia. Peluang itu semakin besar setelah pasukan multinasional--sebelum UNTAET--International Force for East Timor (INTERFET) berada di sana . Seorang analis asal Australia menyebutkan, kebutuhan untuk membiayai pasukan asal Australia saja, baik peralatan maupun akomodasinya, sekitar A$ 1,1 miliar (Rp 5,8 triliun). Padahal, sedikitnya ada 23 negara yang mengirim 12 ribu pasukan ke wilayah tersebut. Dan jika ditotal jenderal, pasukan multinasional itu perlu biaya US$ 1,7 miliar atau sekitar Rp 17,5 triliun.

Satu hal lagi membuat Australia ngiler adalah potensi gas dan minyak di Celah Timor . Dari data yang ada, celah itu menyimpan cadangan minyak sedikitnya 30 juta barel. Belum lagi gas alam dan kondensat, kadungannya sekitar 175 juta barel setara dengan minyak. Dari perkiraan isi perut celah Timor itu, duit yang bisa diraup mencapai US$ 11 miliar.

Kesempatan itu terbuka lebar. Apalagi, Australia begitu jauh terlibat, sampai-sampai komandan pasukan INTERFET berasal dari Australia, yakni Mayor Jenderal Peter Cosgrove.

Namun, UNTAET menolak anggapan itu ”Kami tidak memilih-milih siapa pelaku sektor swasta yang masuk ke Loro Sa’e,” ujar Manuel de Almeida. Menurutnya, bukan karena faktor politik, tapi lebih disebabkan oleh soal jarak saja.

***

Bukan hanya masalah bisnis saja yang menjadi ganjalan. Minggu pertama Desember 2000 masyarakat dikejutkan dengan rencana UNTAET memeriksa sejumlah perwira TNI/Polri untuk kepentingan penyelidikan kasus pelanggaran hak asasi manusia di Timor Timur. Peristiwa itu membangkitkan emosi nasionalisme dari sebagian kalangan masyarakat. Bahkan, sampai terjadi unjuk rasa yang sempat memukul-mukul bahkan menginjak-injak mobil pejabat UNTAET saat pejabat PBB itu bertamu ke Dewan Perwakilan Rakyat.

Protes dan tanggapan datang silih berganti. Perang pernyataan antara Jaksa Agung Marzuki Darusman di satu pihak dengan Tim Advokasi HAM Perwira TNI dan DPR di sisi lain, terjadi begitu gencar. Yang diprotes dan dikecam adalah Memorandum of Understanding (Mou) yang ditandatangani Jaksa Agung Marzuki Darusman dan Sergio Viera de Mello dari UNTAET.

Hubungan Indonesia dan UNTAET semakin memanas pascatewasnya Sertu Lirman Hadimu, anggota Yonif 726/TML akibat tembakan pasukan UNTAET dari Batalion Selandia Baru di Desa Alas, Kabupaten Belu, NTT 28 Juli 2001 di dekat perbatasan antara NTT dan Timor Timur.

Departemen Luar Negeri RI kembali menyampaikan protes keras atas kasus terbunuhnya Sertu Lirman Hadimu. "Tidak ada alasan yang bisa dijadikan pembenaran bagi UNTAET untuk menembaki prajurit TNI tersebut," kata Direktur Organisasi Internasional-Deplu, Marti M Natalegawa, seperti dikutip ANTARA saat itu.

Menanggapi hal itu, Dubes UNTAET Lakhan Mehrotra menyampaikan rasa penyesalan atas insiden tersebut dan berjanji akan meneruskan protes Indonesia kepada UNTAET di Dili dan Markas Besar PBB di New York .

***

Tak hanya Indonesia yang keberatan dengan sikap UNTAET. Menteri Luar Negeri Malaysia Syed Hamid Albar, kala itu mendesak PBB melakukan investigasi atas dugaan "kebijaksanaan putih" dalam misi UNTAET.

Desakan itu disampaikan setelah diplomat senior Malaysia , N. Parameswaran , menyatakan pengunduran dirinya selaku kepala staf UNTAET beberapa saat sebelum masa kerja UNTAET berakhir. Dalam surat pengunduran dirinya yang disampaikan ke Sekjen PBB Kofi Annan, Parameswaran menyampaikan bahwa upaya-upaya yang dilakukannya untuk memulangkan kembali pengungsi telah dihambat oleh Wakil Administrator UNTAET, Dennis McNamara. "UNTAET kini telah menjadi sebuah misi sangat 'putih,' misi Timur dengan wajah Barat," kata Parameswaran seperti dikutip harian The New Straits Times.

Parameswaran mengatakan bahwa pengaruh ke-Barat-an terus berkembang dalam UNTAET dan belum ada tindakan yang sengaja diambil untuk merekrut orang-orang yang mengerti banyak mengenai wilayah itu, yakni tetangga paling penting bagi Timor Timur, Indonesia.

Tuduhan itu ditolak PBB. Shashi Tharoor, kepala sementara departemen informasi umum PBB, menulis surat kepada redaksi The New Straits Times. Tharoor menyebut berita itu tak teliti karena hanya menyerang. "Ia menuduh misi PBB kurang pembagian geografis yang adil di antara para staffnya," kata Tharoor.

Secara resmi, tugas UNTAET berakhir pada tanggal 20 Mei 2002, dengan sebagian besar fungsi dibebankan pada pemerintah Timor Leste. Pada tanggal 17 Mei 2002, DK PBB mengadopsi resolusi 1410 (2002) yang mengawali pembentukan United Nations Mission of Support to East Timor (UNMISET). Badan itu mengakhiri tugasnya di Timor Timur pada 20 Mei 2005.

Konstitusi Timor Timur disahkan pada 24 Maret 2002. Presiden pertama yang terpilih pada 14 April 2002 adalah Xanana Gusmao. Pada 20 Mei 2002, Timor Timur diakui secara internasional sebagai negara merdeka. Ketika Timor Timur menjadi anggota PBB tanggal 27 September 2002, mereka memutuskan untuk memakai nama Portugis “Timor-Leste” sebagai nama resmi negara mereka. (liputan6.com)