04 January 2010

Alumni Afghan, Fakta dan Opini


Oleh: Fauzan Al-Anshari

Judul di atas mungkin terasa agak aneh, mengingat istilah “alumni” lazimnya dinisbatkan kepada mereka yang telah lulus dari jenjang pendidikan tertentu. Sedangkan kata 'Afghan' menunjukan nama sebuah negara yang lengkapnya bernama Afghanistan --sebuah negara Islam yang telah diserang dengan carpet-bombing oleh tentara koalisi pimpinan AS, Oktober dua tahun silam. Oleh karena itu, istilah “Alumni Afghan” perlu saya jelaskan terlebih dahulu secara singkat sebagai berikut.

Mereka adalah para aktivis muslim dari berbagai elemen gerakan Islam di Indonesia yang dengan inisiatif sendiri maupun kolektif turut membantu perjuangan muslim Afghanistan ketika mengusir penjajah tentara Uni Soviet antara 1980-1990.

Mereka masuk wilayah perbatasan Afghan-Pakistan, tepatnya di Peshawar dari berbagai jalur darat-laut-udara. Sebelum mereka terjun ke medan tempur (jihad) terlebih dahulu mereka mengikuti pelatihan militer di berbagai kamp pelatihan dalam berbagai paket diklat. Sebagian langsung menjadi mahasiswa Universitas Jihad pimpinan Asy-Syahid Abdullah Azzam, selebihnya mengikuti pelatihan singkat antara 3-6 bulan.

Setelah jihad Afghan usai dengan kemenangan telak berada di tangan mujahidin -- yang diikuti dengan hancurnya negara Uni Sovyet -- para aktivis muslim yang pernah belajar di Afghan tersebut kembali ke tanah air. Mereka itulah kemudian dikenal dengan sebutan 'alumni Afghan' atau 'veteran afghan'. hanya saja jangan dibayangkan, kemudian mereka membentuk apa yang disebut 'ikatan alumni' atau apa pun namanya. Mereka kembali ke tanah air menjadi warga negara biasa, normal dan ikut aktif dalam mengembangkan dakwah Islam di masyarakat. Bahkan, mereka yang dulunya bekerja di sebuah instansi atau perusahaan, juga kembali aktif seperti semula.

Tragedi Pembantaian Muslim

Namun, kondisi politik domestik berubah drastis ketika terjadi tragedi Kupang (30/11/1998), di mana umat Islam dan fasilitas yang mereka miliki tiba-tiba diserang oleh gerombolan Kristen. Belum lagi selesai kasus Kupang, tiba-tiba serangan terhadap umat Islam kembali dilakukan oleh 'Onet' yaitu tragedi Idul Fitri berdarah di Ambon (19/1/1999). Bahkan dalam sehari saja, ibu-ibu, anak-anak, dan orang tua di dalam Masjid Al-Muhajirin di Galela, Halmahera, dibantai secara keji. Kejinya pembantaian itu hanya bisa disaingi oleh kebiadaban PM Israel Ariel Sharon yang pernah membantai para pengungsi muslim Palestina yang juga terdiri dari orang tua, wanita, dan anak-anak di Sabra dan Shatila (1983).

Kisah pembantaian terhadap umat Islam oleh “tentara merah” tersebut nyatanya tak kunjung henti. Sekitar pertengahan Juni-Juli 2000 para santri pesantren Walisongo di Poso, Sulawesi Tengah, giliran menjadi korban pembantaian yang mengerikan. Tidak pernah terjadi pemandangan yang mengenaskan seperti ketika puluhan mayat santri tersebut terapung-apung di sungai, darah berceceran di pesantren Walisongo. Dari serangkaian pembantaian terhadap umat Islam tersebut, muncullah pertanyaan sederhanan: apa kesalahan mereka (umat Islam) sehingga mereka harus dibantai?.

Kenyataan inilah yang kemudian membangkitkan perlawanan dari para “alumni Afghan” untuk membantu saudaranya seiman dari ancaman pembantaian berikutnya. Pertanyaan sederhana pun muncul: apa salahnya para “alumni Afghan” itu ikut membantu saudaranya di Ambon dan Poso dari bahaya pembunuhan, pengusiran, dan penangkapan oleh musuh-musuh Islam, sebagaimana mereka dulu pernah membantu saudaranya seiman di Afghanistan yang ternyata membawa kemenangan?. Sementara itu harus diakui aparat TNI-Polri sendiri ketika itu, tak sanggup melindungi umat Islam dari pembantaian tersebut. Percaya atau tidak, peran para alumni tersebut telah banyak menolong eksistensi umat Islam di wilayah tersebut dari politik etnic-cleansing yang diterapkan secara sistematis.

Masalahnya sekarang adalah muncul opini sesat (disinformasi) yang semakin kuat menyusul berbagai tragedi bom di tanah air pasca-runtuhnya gedung kembar WTC (11/9/2001) yang dikaitkan dengan para aktivis muslim yang dulu pernah 'nyantri' di Afghan. Kini, tak kurang dari dua puluh lima 'alumni' yang ditahan aparat kepolisian dengan berbagai tuduhan yang mirip dan bermuara pada UU Antiteroris nomor 15 tahun 2003. Sebagian mereka telah dilepas, tetapi sebagian lain justru ditangkap kemudian. Modus penangkapannya hampir sama, yaitu “dijemput” di suatu tempat tanpa surat penangkapan dan penahanan lalu diangkut ke suatu tempat.

Di tempat tersebut berbagai penyiksaan fisik mereka alami. Setelah itu mereka berpindah tempat dengan siksaan yang berbeda, yakni dengan bujukan uang sebagai imbalan atas pengakuan yang dipaksakan. Anda jangan membayangkan mereka bisa didampingi oleh pengacara selama penyelidikan berlangsung atau dijenguk anggota keluarga. Tim polisi antiterori itu menggunakan UU tersebut sebagai payung hukum yang menghalalkan segala cara, asalkan tujuan mereka tercapai, yaitu menjerat mereka dengan tuduhan terlibat aksi terorisme. Setelah tujuh hari ditahan, sebagian mereka terpaksa dilepas lagi, karena memang tidak ada bukti bahwa melakukan apa yang disangkakan. Mereka pun kembali ke rumahnya tanpa kompensasi apa pun. Sementara istri, anak, dan keluarganya yang telah menderita selama itu hanya mampu mengurut dada atas kezaliman yang mendera mereka.

Perlakuan aparat inilah yang kemudian memunculkan pertanyaan: apa salah mereka terhadap bangsa ini?. Mereka mencintai bangsa ini. Mereka makan dari tumbuhan yang tumbuh di negeri ini. Mereka minum dari air yang mengalir di negeri ini. Mereka mencintai negeri ini. Mereka bukan teroris! Memang, sebagai muslim, mereka melaksanakan ajaran-ajaran Islam. Tidak lebih dari itu!

Sementara itu, di depan mata kepala kita, banyak konglomerat hitam yang telah merampok uang rakyat ratusan triliun rupiah sehingga memporakporandakan perekonomian nasional kita justru mendapat SP3, release and discharge, bahkan sebagian lagi lolos tanpa bekas. Para 'aktivis' crime lord itu justru diperlakukan bagai raja, disambut dan dicium bagai idola. Pada saat yang bersamaan seorang ulama sepuh, Ustad Abubakar Ba'asyir (65) justru diperlakukan bagai penjahat kelas kakap. Beliau diambil paksa dari pembaringannya di RS PKU Muhammadiyah Solo (28/10/2002), dua pekan pasca-bom Bali. Bahkan ketika beliau ingin kencing pun dilarang ke toilet, beliau dipaksa kencing di dalam sebuah botol bekas kemasan air minum.

Rezim negeri ini telah mengulangi kesalahan yang sama dengan pendahulunya (Orla-Orba). Para pemimpinnya berlaku zalim kepada umat Islam dan ulama. Partai-partai hanya berpikir bagaimana bisa berkuasa pada 2004. Para anggota parlemen lebih banyak bernegosiasi untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Mereka melupakan sekelompok kecil yang benar-benar mencintai negeri ini dari berbagai intervensi musuh (baca: rezim Amerika dan sekutunya). Namun kini mereka justru diopinikan sebagai teroris. Padahal, kalau sampai negeri ini diserang AS, merekalah yang akan membela negeri ini sampai titik darah penghabisan, tanpa mengenal kompromi melawan penjajah tersebut! Adakah orang atau kelompok yang mau peduli terhadap nasib puluhan “alumni Afghan” tersebut?. [swaramuslim.net]