02 January 2010

Dugaan Keterlibatan SBY


Fakta di Balik Kriminalisasi KPK

Apa yang terjadi selama ini sebetulnya bukanlah kasus yang sebenarnya, tetapi hanya sebuah ujung dari konspirasi besar yang memang bertujuan mengkriminalisasi institusi KPK. Dengan cara terlebih dahulu mengkriminalisasi pimpinan, kemudian menggantinya sesuai dengan orang-orang yang sudah dipilih oleh “sang sutradara”, akibatnya, meskipun nanti lembaga ini masih ada namun tetap akan dimandulkan.

Agar anda semua bisa melihat persoalan ini lebih jernih, mari kita telusuri mulai dari kasus Antasari Azhar. Sebagai pimpinan KPK yang baru, menggantikan Taufiqurahman Ruqi, gerakan Antasari memang luar biasa. Dia main tabrak kanan dan kiri, siapa pun dibabat, termasuk Aulia Pohan besan presiden SBY.

Antasari yang disebut-sebut sebagai orangnya Megawati (PDIP), ini tidak pandang bulu karena siapapun yang terkait korupsi langsung disikat. Bahkan, beberapa konglomerat hitam — yang kasusnya masih menggantung sebelum era Antasari, sudah masuk dalam agenda pemeriksaaanya.

Tindakan Antasari yang hajar kanan-kiri, dinilai Jaksa Agung Hendarman sebagai bentuk balasan dari sikap Kejaksaan Agung yang tebang pilih, di mana waktu Hendraman jadi Jampidsus, dialah yang paling rajin menangkapi Kepala Daerah dari Fraksi PDIP. Bahkan atas sukses menjebloskan Kepala Daerah dari PDIP, dan orang-orang yang dianggap orangnya Megawati, seperti ECW Neloe, maka Hendarman pun dihadiahi jabatan sebagai Jaksa Agung.

Setelah menjadi Jaksa Agung, Hendarman makin resah, karena waktu itu banyak pihak termasuk DPR menghendaki agar kasus BLBI yang melibatkan banyak konglomerat hitam dan kasusnya masih terkatung-katung di Kejaksaan dan Kepolisian untuk dilimpahkan atau diambil-alih KPK.

Tentu saja hal ini sangat tidak diterima kalangan kejaksaan, dan Bareskrim, karena selama ini para pengusaha ini adalah tambang duit bagi para aparat Kejaksaan dan Kepolisian, khususnya Bareskrim. Sekedar diketahui Bareskrim adalah supplier keuangan untuk Kapolri dan jajaran perwira polisi lainnya.

****

Sikap Antasari yang berani menahan besan SBY, sebetulnya membuat SBY sangat marah kala itu. Hanya, waktu itu ia harus menahan diri, karena dia harus menjaga citra, apalagi momen penahanan besannya mendekati Pemilu, di mana dia akan mencalonkan lagi.

SBY juga dinasehati oleh orang-orang dekatnya agar moment itu nantinya dapat dipakai untuk bahan kampanye, bahwa seorang SBY tidak pandang bulu dalam memberantas korupsi.

SBY terus mendendam, apalagi, setiap bertemu menantunya, Anisa Pohan suka menangis sambil menanyakan nasib ayahnya. Dendam SBY yang membara inilah yang dimanfaatkan oleh Kapolri dan Jaksa Agung untuk mendekati SBY, dan menyusun rencana untuk “melenyapkan” Antasari.

Tak hanya itu, Jaksa Agung dan Kapolri juga membawa konglomerat hitam pengemplang BLBI (seperti Syamsul Nursalim, Agus Anwar, Liem Sioe Liong, dan lain-lainnya), dan konglomerat yang tersandung kasus lainnya seperti James Riadi (kasus penyuapan yang melibatkan salah satu putra mahkota Lippo, Billy Sindoro terhadap oknun KPPU dalam masalah Lipo-enet/Astro, di mana waktu itu Billy langsung ditangkap KPK dan ditahan), Harry Tanoe (kasus NCD Bodong dan Sisminbakum yang selama masih mengantung di KPK), Tommy Winata (kasus perusahaan ikan di Kendari, Tommy baru sekali diperiksa KPK), Sukanto Tanoto (penggelapan pajak Asian Agri), dan beberapa konglomerat lainnya.

Para konglomerat hitam itu berjanji akan membiayai pemilu SBY, namun mereka minta agar kasus BLBI, dan kasus-kasus lainnya tidak ditangani KPK.

Jalur pintas yang mereka tempuh untuk “menghabisi Antasari“ adalah lewat media. Waktu itu sekitar bulan Februari-Maret 2008 semua wartawan Kepolisian dan juga Kejaksaan (sebagian besar adalah wartawan bodrex – wartawan yang juga doyan suap) diajak rapat di Hotel Bellagio Kuningan.

Ada dana yang sangat besar untuk membayar media, di mana tugas media mencari sekecil apapun kesalahan Antasari. Intinya media harus mengkriminalisasi Antasari, sehingga ada alasan menggusur Antasari. Nyatanya, tidak semua wartawan itu “hitam”, namun ada juga wartawan yang masih putih, sehingga gerakan mengkriminalisasi Antasari lewat media tidak berhasil.

Antasari sendiri bukan tidak tahu gerakan-gerakan yang dilakukan Kapolri dan Jaksa Agung yang di back-up SBY untuk menjatuhkannya. Antasari bukannya malah nurut atau takut, justru malah menjadi-jadi dan terkesan melawan SBY. Misalnya Antasari yang mengetahui Bank Century telah dijadikan “alat” untuk mengeluarkan uang negara untuk membiayai kampanye SBY, justru berkoar akan membongkar skandal bank itu.

Antasari sangat tahu siapa saja operator–operator Century, di mana Sri Mulyani dan Boediono bertugas mengucurkan uang dari kas negara, kemudian Hartati Murdaya, dan Boedi Sampoerna, (adik Putra Sampoerna) bertindak sebagai nasabah besar yang seolah-olah menyimpan dana di Century, sehingga dapat ganti rugi, dan uang inilah yang digunakan untuk biaya kampanye SBY.

Tentu saja, dana tersebut dijalankan oleh Hartati Murdaya, dalam kapasitasnya sebagai Bendahara Partai Demokrat, dan diawasi oleh Edhie Bhaskoro plus Djoko Sujanto (Menko polhukam) yang waktu itu jadi Bendahara Tim Sukses SBY.

Modus penggerogotan uang Negara ini agar rapi, maka harus melibatkan orang bank (agar terkesan Bank Century diselamatkan pemerintah), maka ditugaskanlah Agus Martowardoyo (Dirut Bank Mandiri), yang kabarnya akan dijadikan Gubernur BI ini. Agus Marto lalu menyuruh Sumaryono (pejabat Bank Mandiri yang terkenal licin) untuk memimpin Bank Century saat pemerintah mulai mengalirkan uang 6,7 T ke Bank Century.

*****

Antasari bukan hanya akan membongkar Century, tetapi dia juga mengancam akan membongkar proyek IT di KPU, di mana dalam tendernya dimenangkan oleh perusahaannya Hartati Murdaya (Bendahara Demokrat).

Antasari sudah menjadi bola liar, ia membahayakan bukan hanya SBY tetapi juga Kepolisian, Kejaksaan, dan para konglomerat, serta para inner-circle SBY. Akhirnya Kapolri dan Kejaksaan Agung membungkam Antasari. Melalui para intel akhirnya diketahui orang-orang dekat Antasari untuk digunakan menjerat Antasari.

Orang pertama yang digunakan adalah Nasrudin Zulkarnaen. Nasrudin memang cukup dekat Antasari sejak Antasari menjadi Kajari, dan Nasrudin masih menjadi pegawai. Maklum Nasrudin ini memang dikenal sebagai Markus (Makelar Kasus). Dan ketika Antasari menjadi Ketua KPK, Nasrudin melaporkan kalau ada korupsi di tubuh PT. Rajawali Nusantara Indonesia (induk Rajawali Putra Banjaran).

Antasari minta data-data tersebut, Nasrudin menyanggupi, tetapi dengan catatan Antasari harus menjerat seluruh jajaran direksi PT Rajawali, dan merekomendasarkan ke Menteri BUMN agar ia yang dipilih menjadi dirut PT RNI, begitu jajaran direksi PT RNI ditangkap KPK. Antasari tadinya menyanggupi transaksi ini, namun data yang diberikan Nasrudin ternyata tidak cukup bukti untuk menyeret direksi RNI, sehingga Antasari belum bisa memenuhi permintaan Nasrudin.

Seorang intel polisi yang mencium kekecewaan Nasrudin, akhirnya mengajak Nasrudin untuk bergabung untuk melindas Antasari. Dengan iming-iming, jasanya akan dilaporkan ke Presiden SBY dan akan diberi uang yang banyak, maka skenario pun disusun, di mana Nasrudin disuruh mengumpan Rani Juliani untuk menjebak Antasari.

Rupanya dalam rapat antara Kapolri dan Kejaksaan, yang diikuti Kabareskrim, dilihat kalau skenario menurunkan Antasari hanya dengan umpan perempuan, maka alasan untuk mengganti Antasari sangat lemah. Oleh karena itu tercetuslah ide untuk melenyapkan Nasrudin, di mana dibuat skenario seolah-olah yang melakukan adalah Antasari.

Agar lebih sempurna, maka dilibatkanlah pengusaha Sigit Hario Wibisono. Mengapa polisi dan kejaksaan memilih Sigit, karena seperti Nasrudin, Sigit adalah kawan Antasari, yang kebetulan juga akan dibidik oleh Antasari dalam kasus penggelapan dana di Departemen Sosial sebasar Rp 400 miliar.

Sigit yang pernah menjadi staf ahli di Depsos ini ternyata di duga kuat menggelapakan dana bantuan Tsunami sebesar Rp 400 miliar. Sebagai teman, Antasari, mengingatkan agar Sigit lebih baik mengaku, sehingga tidak harus “dipaksa KPK”. Nah Sigit yang juga punya hubungan dekat dengan Polisi dan Kejaksaan, mengaku merasa ditekan Antasari.

Di situlah kemudian Polisi dan Kejaksaan melibatkan Sigit dengan meminta untuk memancing Antasari ke rumahnya, dan diajak ngobrol seputar tekanan-tekanan yang dilakukan oleh Nasrudin. Terutama, yang berkait dengan “terjebaknya” Antasari di sebuah hotel dengan istri ketiga Nasrudin.

Nasrudin yang sudah berbunga-bunga, tidak pernah menyangka, bahwa akhirnya dirinyalah yang dijadikan korban, untuk melengserkan Antasari selama-lamanya dari KPK. Dan akhirnya disusun skenario yang sekarang seperti diajukan polisi dalam BAP-nya.

Kalau mau jujur, eksekutor Nasrudin bukanlah tiga orang yang sekarang ditahan polisi, tetapi seorang polisi (Brimob) yang terlatih.

Lalu bagaimana dengan Bibit dan Chandra?

Kepolisian dan Kejaksaan berpikir dengan dibuinya Antasari, maka KPK akan melemah. Dalam kenyataannya, tidak demikian. Bibit dan Chandra, termasuk yang rajin meneruskan pekerjaan Antasari. Seminggu sebelum Antasari ditangkap, Antasari pesan wanti-wanti agar apabila terjadi apa-apa pada dirinya, maka penelusuran Bank Century dan IT KPU harus diteruskan.

Itulah sebabnya KPK terus akan menyelidiki Bank Century, dengan terus melakukan penyadapan-penyadapan. Nah, saat melakukan berbagai penyadapan, nyangkutlah Susno yang lagi terima duit dari Boedi Sampoerna sebesar Rp 10 miliar, saat Budi mencairkan tahap pertama sebasar US $18 juta atau Rp. 180 miliar dari Bank Century.

Sebetulnya ini bukan berkait dengan peran Susno yang telah membuat surat ke Bank Century (itu dibuat seperti itu biar seolah–olah uang komisi), duit itu merupakan pembagian dari hasil jarahan Bank Century untuk para perwira Polri. Hal ini bisa dipahami, soalnya polisi kan tahu modus operandi pembobolan uang negara melalui Century oleh inner-circle SBY.

Bibit dan Chandra adalah dua pimpinan KPK yang intens akan membuka skandal bank Bank Century. Nah, karena dua orang ini membahayakan, Susno pun ditugasi untuk mencari-cari kesalahan Bibit dan Chandra. Melalui seorang Markus (Eddy Sumarsono) diketahui, bahwa Bibit dan Chandra mengeluarkan surat cekal untuk Anggoro. Maka dari situlah kemudian dibuat Bibit dan Chandra melakukan penyalahgunaan wewenang.

Nah, saat masih dituduh menyalahgunakan wewenang, rupanya Bibit dan Chandra bersama para pengacara terus melawan, karena alibi itu sangat lemah, maka disusunlah skenario terjadinya pemerasan. Di sinilah Antasari dibujuk dengan iming-iming, ia akan dibebaskan dengan bertahap (dihukum tapi tidak berat), namun dia harus membuat testimoni, bahwa Bibit dan Chandra melakukan pemerasan.

Berbagai cara dilakukan, Anggoro yang memang dibidik KPK, dijanjikan akan diselesaikan masalahnya Kepolisian dan Jaksa, maka disusunlah berbagai skenario yang melibatkan Anggodo, karena Anggodo juga selama ini sudah biasa menjadi Markus.

Persoalan menjadi runyam, ketika media mulai mengeluarkan sedikit rekaman yang ada kalimat RI 1-nya. Saat dimuat media, SBY konon sangat gusar, juga orang-orang dekatnya, apalagi Bibit dan Chandra sangat tahu kasus Bank Century. Kapolri dan Jaksa Agung konon ditegur habis Presiden SBY agar persoalan tidak meluas, maka ditahanlah Bibit dan Chandra.

Tanpa diduga, rupanya penahaan Bibit dan Chandra mendapat reaksi yang luar biasa dari publik maka Presiden pun sempat keder dan menugaskan Denny Indrayana untuk menghubungi para pakar hukum untuk membentuk Tim Pencari Fakta (TPF). Demikian, sebetulnya bahwa ujung persoalan adalah SBY, Jaksa Agung, Kapolri, Joko Suyanto, dan para konglomerat hitam, serta inner-circle SBY (pengumpul duit untk pemilu legislatif dan presiden).

Rasanya Ending Persoalan Ini Akan Panjang, Karena SBY Pasti Tidak Akan Berani Bersikap.

Satu catatan, Anggoro dan Anggodo, termasuk penyumbang Pemilu yang paling besar. Jadi mana mungkin Polisi atau Jaksa, bahkan Presiden SBY sekalipun berani menangkap Anggodo.


Dr. Soesilo Bambang Yudhoyono