08 January 2010

Paradoks Israel


Oleh: Shabana Syed (jurnalis Inggris)

Sangat nampak bahwa Israel memenuhi criteria dari apa yang Samuel Huntington tulis dalam teorinya yang dijuduli dengan “Clash of the Civilizations” (Perang Peradaban) yang menyatakan bahwa perang antara dunia Islam dan dunia Barat memang tidak terelakkan. Yang membuat banyak orang ketakutan saat ini adalah dampak buruk dari pembantaian yang terjadi di Gaza.

Tidak ada lagi pihak yang bisa mengalahkan jumlah korban setelah peristiwa 11 September yaitu penyerangan menara kembar selain Israel. Semenjak kejadian tanggal 11 September 2001 itu, digencarkanlah di mana-mana slogan “Perang Melawan Teror”. Bahkan sampai sekarang, pembunuhan dan serangan yang membuat banyak warga Palestina mengalami cacat tubuh di Gaza, tetap saja disebut sebagai sebuah usaha untuk melaksanakan “Perang Melawan Teror”.

Untuk melihat betapa apa yang dilakukan Israel adalah hanya untuk mengabdi kepada dunia Barat, Menteri Luar Negeri Tzipi Livni menyamakan Hamas dengan “Poros fundamentalis Islam yang jahat yang bekerjasama dengan Iran dan Hisbullah.” Menurutnya, aksi yang dilakukan Israel tidak memiliki kepentingan dengan penguasaan Tepi Barat, blokade makanan dan obat-obatan yang dilakukan di Gaza, atau fakta bahwa Israel telah membunuh dan memenjarakan hampir semua petinggi Hamas. Alih-alih dia malah mengatakan dengan penuh percaya diri:” Israel adalah bagian dari dunia yang merdeka yang selalu akan melawan ekstrimis dan teroris. Sedangkan Hamas bukan.”

Klaim Israel bahwa pertempuran yang mereka lakukan adalah usaha untuk melawan roket Hamas sudah tersebar dan merupakan sebuah kebohongan yang dimuat dalam media dan seringkali digembar-gemborkan oleh pemerintahan Barat dan mereka sama sekali tidak pernah mengungkap kebenaran yang terjadi di Gaza.

Saat gambar-gambar yang mengerikan tentang warga Palestina yang sekarat dan konvoy bantuan yang terus menerus dibom, sehingga warga Palestina selalu kekurangan obat dan makanan dan dijadikan sebagai headline di mana-mana, semua orang sekarang ini menyadari bahwa Gaza pada kenyataannya adalah sebuah penjara dimana lebih dari satu setengah juta orang berada dalam kondisi kelaparan yang parah. Blockade yang dilakukan oleh Israel di laut dan di darat memiliki arti bahwa tak ada makanan dan obat-obatan yang bisa masuk ke Gaza. Permasalahannya semakin hari semakin berat, bukan hanya kelaparan, tetapi juga kurangnya pasokan listrik dan air, pengangguran dan penyakit akibat kelaparan, serangan roket dan juga kematian.

Perang terakhir yang dilancarkan Israel di Gaza telah mengundang banyak kritik dari Negara-negara di Timur Tengah, dan menunjukkan bahwa Israel tidak memiliki itikad untuk berdamai, karena damai artinya Israel harus mengembalikan wilayah-wilayah yang selama ini sudah mereka jajah.

Setelah tanggal 11 September, Israel mendapatkan katebelece untuk melakukan terror dan menyengsarakan warga Palestina. Perang Libanon yang terjadi tahun 2006 yang dilancarkan oleh Israel ditujukan untuk membunuh sebanyak-banyaknya warga tak berdosa agar Israel mendapat sokongan dari Amerika. Selama perang Libanon, Amerika dan bangsa-bangsa Barat mem-veto gencatan senjata, memperbolehkan Israel untuk terus menerus melanjutkan pembantaian sebagaimana yang sedang mereka lakukan saat ini di Gaza.

Kebijakan Israel yang paling utama adalah penjajahan, dan hal ini terbukti dengan terus menerusnya terjadi pencurian lahan di Tepi Barat, bersama-sama dengan penghancuran rumah-rumah warga palestina, melumpuhkan ekonomi warga Palestina, dan membentuk dinding perbedaan ras. Dan jika ada orang yang bertanya-tanya apa yang diinginkan oleh Ehud Olmert dari serangan ke Gaza, inilah jawabannya: Selain karena ingin memenangkan pemilu di Israel sendiri, Olmert sebetulnya memiliki dua tujuan yang lain: pertama untuk menteror warga Palestina dan membunuhi mereka, menghancurkan ketahanan mereka; yang kedua, dan inilah yang terpenting, menangguhkan segala rencana untuk membuat perjanjian damai. Ini adalah paradox dari perang Israel yang sangat kejam.

Israel ingin dominasi, bukan menyelenggarakan perdamaian.
Jonathan Cook, dalam bukunya “Blood and Religion,” (Darah dan Agama) menuding bahwa Israel memiliki pseudo-democracy (demokrasi semu) yang kejahatannya pada orang-orang Palestina merupakan program turun menurun dalam program Zionis untuk membangun sebuah kawasan Israel yang lebih besar, sebuah kondisi militer yang diperluas dan dimana akhirnya yang mereka inginkan di Israel hanya darah Yahudi dan keyakinan Yahudi.

Dalam bukunya yang berjudul “Israel and the Clash of Civilizations,” (Israel dan Perang Peradaban), dia mengatakan, “perang Iraq sama parahnya dengan apa yang dilakukan oleh Zionis sebagaimana juga yang dilakukan oleh Amerika dan memang keduanya –Amerika dan Israel—menyebarkan perselisihan dan penghancuran di dunia Muslim dan Arab.”

Dia juga menjelaskan tentang hal yang terjadi pada tahun 1980an, saat dimana keamanan Negara Yahudi mengembangkan ide mereka untuk meruntuhkan Negara-negara lain di Timur Tengah melalui sebuah kebijakan yang menimbulkan konflik agama dan etnik.

"Kebijakan yang akhirnya mereka laksanakan adalah mengekspos radikalisme Islam dan mereka memandang hal ini sebagai strategi yang sangat positif, dan dengan munculnya Hamas di wilayah jajahan, Israel sudah berhasil membuat Negara-negara Barat menjadi mewaspadai dan melabeli Islam sebagai sebuah ancaman global, sehingga proses penyerangan warga Palestina ini dipandang oleh Negara-negara Barat sebagai hal yang harus dilakukan untuk melawan ekstrimisme Islam.”

Saat Israel terus menerus melakukan pertumpahan darah di Gaza, Israel tahu bahwa hal itu pasti menimbulkan dampak pada orang-orang Muslim di dunia. Penyerangan ini menjadi bahan yang bisa membakar emosi orang Islam dan mereka berharap bahwa kemarahan ini akan membuat orang-orang Islam bertindak dengan melakukan penyerangan ke dunia Barat, dan hal ini akan menunjukkan kepada dunia bahwa Muslim begitu radikal dan ekstrim. “Ketidakadilan yang dilihat sendiri oleh orang Muslim dan membuat mereka marah akan membangkitkan kebencian mereka dan memancing mereka untuk berbuat sesuatu. Lalu dunia akan memandang bahwa Muslim sangat ekstrim dan pemahaman ini akan menyebar dan menimbulkan perang peradaban.”

Jika kita hendak belajar dari sejarah, ingatlah bahwa sejarah selalu berulang. Oleh karenanya, sebelum Israel mengoceh tentang radikalisme lebih jauh lagi, kita harus ingat dengan inti dari tulisan seorang wartawan Inggris Alan Hart yang menyatakan bahwa “Zionisme: Musuh Nyata Yahudi”, yang memperingatkan:”Anti semitisme sekarang sedang tumbuh lagi. Keironisan dan tragedi yang terjadi saat ini adalah raksasa yang sedang tidur yang dibangunkan kembali oleh negara Zionis yang mengagungkan dirinya sendiri, arogansi kekuatan negaranya, dan penghinaannya atas hukum dan hak asasi manusia yang sudah diakui dunia internasional. [muslimdaily.net]