Oleh: Irfan S Awwas
Amnesti International melaporkan, jurang pemisah antara Muslim dan non-Muslim semakin dalam yang dipicu oleh strategi diskriminasi kontraterorisme negara-negara Barat. Laporan yang dikeluarkan di London, Inggris, 23 Mei 2007 itu, menunjuk pelanggaran HAM banyak terjadi di Irak dan Afghanistan oleh pasukan internasional yang dipimpin agresor Amerika Serikat. Kondisi itu secara tidak langsung telah mengubah geopolitik dunia.
Menurut Ketua Amnesti Internasional, Irene Kahn, politik ketakutan meningkatkan upaya penentangan terhadap HAM. Perang melawan teror dan perang Irak dengan banyak pelanggaran HAM, meningkatkan perbedaan dalam hubungan internasional. "Lima tahun setelah tragedi 11 September, AS menganggap dunia sebagai sebuah medan tempur yang besar dalam perang melawan terorisme," kata Khan.
Menyimak laporan tersebut dan banyaknya kejahatan kemanusiaan yang dilakukan AS, pantaslah jika publik Indonesia menuntut pemerintah (dalam hal ini Mabes Polri) untuk meninjau ulang keterlibatan Indonesia dalam misi global war on terrorism yang dilancarkan Amerika Serikat, Inggris, Australia, dan Singapura. Membiarkan Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror sebagai alat Amerika untuk menangkap aktivis Muslim yang diduga terlibat terorisme, hanya akan menjadi pukulan berat bagi upaya penegakan hak asasi manusia.
Sejak UU Antiterorisme No 15 tahun 2003, disahkan oleh DPR, korbannya adalah aktivis Muslim. Pihak non-Muslim yang melakukan aksi teror, belum pernah menjadi sasaran UU tersebut. Karena itu, sangat disayangkan pernyataan Kadiv Humas Mabes Polri, Irjen Sisno Adiwinoto, yang bersifat provokatif, dan dapat meningkatkan kondisi traumatis masyarakat. Mabes Polri menuding Tim Pembela Muslim (TPM), yang jadi pembela keluarga Yusron, sebagai bagian dari jaringan teroris.
Penangkapan Yusron Mahmudi yang diindikasikan polisi sebagai Abu Dujana, 9 Juni 2007 di Banyumas, memang tragis. Densus 88 menembak kaki Yusron di depan kedua anaknya yang berteriak histeris sambil menangis. Pola penangkapan menggunakan cara-cara brutal, agaknya disesuaikan dengan agenda, target, dan orientasi pihak asing, seperti yang diperagakan di Guantanamo atau penjara-penjara Amerika di Irak maupun Afghanistan. Tujuannya untuk mengesankan betapa berbahayanya para teroris itu. Boleh jadi juga sebagai alat promosi, bahwa keberhasilan menangkap Abu Dujana, membuktikan heroisme aparat keamanan.
Dikesankan Hebat
Penonjolan segala atribut militan pada tersangka teroris oleh polisi, berpotensi menyesatkan opini untuk membangkitkan kebencian masyarakat. Sebagaimana di zaman orde baru, upaya menciptakan musuh negara melalui isu antisubversi, sekarang pencitraan buruk dilakukan lewat isu terorisme untuk mengesankan bahwa di tubuh gerakan Islam masih tersimpan potensi berbahaya. Dengan begitu, segala tindakan represif terhadap kelompok yang distigma sebagai Jamaah Islamiyah (JI) dianggap absah.
Pengamat Intelijen, Dynno Chressbon, memasukkan Abu Dujana bersama Dulmatin, Noordin M Top, Zulkarnaen, dan Aris Munandar sebagai five star (lima bintang) jaringan teroris di Asia Tenggara. Mereka dianggap simpul jaringan pelaku teror Poso, Ambon, Bali, dan Jakarta. Bahkan, informan polisi berkewarganegaraan Malaysia, Nasir Abbas, yang mengaku dirinya aktivis JI yang 'tobat' menyebut Abu Dujana sebagai orang cermat, cerdas, dan kreatif. Pemimpin yang luar biasa sempurna dengan penuh inisiatif, orang yang dapat dijadikan sebagai sumber inspirasi.
Kepolisian mempromosikan nama Abu Dujana sebagai manusia berbahaya, militan JI, jago perakit bom, dan dimasukkan dalam daftar 10 orang buronan teroris. Masih kurang menyeramkan, ditambah lagi, Abu Dujana sebagai motor penggerak JI bersama pemimpin lainnya, yakni Dulmatin dan Umar Patek. Keduanya lolos dari baku tembak dan penyergapan dengan pasukan khusus Filipina, Januari 2007 di Mindanao.
Namun, segala cerita kehebatan Abu Dujana, ternyata isapan jempol belaka, ibarat kucing disangka harimau. Baru tiga hari dalam tahanan polisi, ia mulai ngoceh tentang segala aktivitas terornya, dan kronologi keterlibatannya di JI. Sikap yang sama sekali tidak menunjukkan militansi seorang teroris sebagaimana dipropagandakan polisi. Patut dipertanyakan, Yusron Mahmudi yang ditangkap di Banyumas, dan kemudian disebut Abu Dujana itu benar-benar teroris yang berbahaya, atau hanya teroris versi Mabes Polri? Sebab, tidak ada indikasi sebagai sosok militan dalam dirinya. Menurut koordinator TPM, Mahenderadatta, dari seluruh BAP para tersangka kasus terorisme dan fakta persidangan, nama Abu Dujana tidak pernah muncul.
Harus Disikapi
Kemunculan Sidney Jones di setiap penangkapan tersangka teroris patut dicurigai. Pengetahuannya tentang simpul teroris, pola rekrutmen, dan peta wilayah gerakan kelompok Islam garis keras yang diidentifikasi sebagai teroris, cukup luas.
Sebagai corong Amerika, ia lihai menanamkan ketakutan di benak masyarakat. Dalam publikasi ICG, Sidney mengindikasikan Pulau Jawa sebagai wilayah potensial lahirnya terorisme. "Kultur gerakan atau organisasi di pulau yang melahirkan banyak wali itu masih sangat kuat. Karena itu, tidak mustahil berbagai gerakan tumbuh, dan bahkan sebagai tempat yang aman untuk persembunyian teroris," katanya.
Sidney Jones mengesankan Walisongo sebagai benih penyemai terorisme. Pernyataan seperti ini merupakan penghinaan terhadap bangsa Indonesia dan Walisongo khususnya, maka para ulama tidak boleh diam menyikapi pernyataan ini. Selain itu, dia mengisyaratkan adanya skenario memandulkan Islam dari Indonesia agar tidak lagi muncul para pengemban dakwah penerus misi Islam Walisongo. Segala ini membuktikan satu hal, bahwa Sidney memiliki andil besar dalam menciptakan jaringan terorisme Amerika di Indonesia. Sinyalemen itu dikhawatirkan menjadi rekomendasi Densus 88 Antiteror untuk semakin meningkatkan pengawasan dan intimidasi terhadap gerakan Islam di negeri ini.
Fenomena Sidney Jones, kemudian Nasir Abbas, dianggap punya legitimasi kuat untuk membentuk public opinion, baik kaitannya dengan terorisme maupun JI. Dalam kaitan ini, ucapan Dr Tim Behrend, peneliti dan Guru Besar di Universitas Auckland, New Zealand, patut diperhatikan. "Bersamaan dengan globalisasi tata keamanan baru berdasarkan kepentingan dan tafsir politik Amerika, muncul pula ajang penyelenggaraannya, sebuah ruang yang terbentuk dan dipertahankan bukan saja lewat proses-proses politik, tetapi secara mendasar melalui dinamika sebuah pasaran baru, sebut saja pasaran ilmu sekuritas atau pasaran industri terorisme."
Selanjutnya Behrend menulis dalam Risalah Mujahidin bahwa tiidak mengherankan di dunia pascakolonial ini bahwa mayoritas pakar yang memperoleh dan menjual keahlian di pasar ini berasal atau berafiliasi dengan AS dan sekutunya. Ahli Indonesia tidak begitu laku di pasar baru ini, kecuali sebagai narasumber atau asisten yang suaranya berpaduan dengan koor Barat yang berhasil menembus pasar. (Riol)
Ikhtisar
- Laporan Amensti Internasional yang menyebutkan bahwa di Afghanistan dan Irak banyak terjadi pelanggaran HAM yang dilakukan pasukan internasional pimpinan Amerika.
- Kondisi ini semestinya menjadi bahan pemikiran bagi pemerintah Indonesia untuk memikirkan kembali partisipasinya dalam proyek global perang melawan terorisme gagasan Amerika.
- Kesan bahwa pemerintah Indonesia hanya menuruti keinginan Amerika dalam iasu terorisme terasa sangat kuat.
- Islam banyak sekali mendapatkan kerugian dari program perang melawan teroris bikinan Amerika tersebut.