17 May 2010
Donnie Brasco dari Ciputat
Badan Intelijen Negara diduga kuat "menanam" seorang intelnya dalam Majelis Mujahidin Indonesia yang dipimpin Abu Bakar Ba'asyir. Berikut ini kisah penyusupan itu.
Hujan jatuh di kawasan Ciputat, Tangerang, dan lelaki itu baru saja hendak meninggalkan rumah. "Anda perlu dengan saya? Boleh, tapi sebentar saja, ya," katanya. Ia sungguh santun. Badannya sedikit besar. Kulitnya putih. Di keningnya membayang titik hitam tanda bekas su]ud. Sore itu ia mengenakan songkok berwarna gelap dan baju takwa berkelir cokelat. Tak jauh dari tempat ia berdiri, tampak dua orang perempuan berjilbab: yang seorang istrinya dan yang seorang lagi anak gadisnya. Di luar rumah, sebuah mobil Kia Visto siap berangkat. "Sebetulnya kami sudah ada acara di tempat lain," katanya.
Di teras rumah yang lumayan besar, ia bercerita tentang dirinya. Seorang lelaki biasa yang sepintas tak istimewa. Muhammad Abdul Haris, 50 tahun: seorang pengurus Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) yang mencari nafkah sebagai guru dan pekerja swasta. Adapun MMI adalah organisasi Islam yang diketuai Abu Bakar Ba'asyir ustad pemimpin Pesantren Ngruki, yang menjadi sorotan karena dituding menjadi simpul terorisme di Indonesia.
Lebih dari sekadar aktivis, setengah tahun terakhir Haris menjadi bahan gunjingan di kalangan penggiat organisasi massa Islam. Tamsil Linrung, pengurus Partai Amanat Nasional yang pernah ditahan di Filipina karena tuduhan membawa bom misalnya, mencurigai dia sebagai intel BIN.
Tak cuma menyusup ke MMI, Haris menjadi kunci bagi tertangkapnya Umar al-Faruq, yang kini menjadi tahanan AS karena dituduh memimpin jaringan Al-Qaidah di Asia Tenggara termasuk Indonesia. Haris pula yang mengantar tim investigasi polisi yang mewawancarai Faruq di Afganistan, setelah majalah Time menulis berita tentang Faruq pada September lalu. Meski mati-matian dibantah Haris dan BIN, peran Abdul Haris ini diakui oleh Kepala Kepolisian RI sendiri. “Tim investigasi itu terdiri atas Brigadir Jenderal Polisi Aryanto Sutadi, Komisaris Besar Polisi Benny Mamoto, dan anggota Badan Intelijen Negara Abdul Haris," kata Kepala Kepolisian RI Jenderal Da'i Bachtiar seperti dikutip situs Liputan6.com, 17 Oktober 2002.
Meski tak persis benar, kisah penyamaran Haris mirip dengan cerita polisi yang menyusup ke sarang mafia Italia dalam film Donnie Brasco: sempurna, tak terlacak, dan baru disadari ketika semuanya berakhir. Dan Haris, sang Brasco dari Ciputat, memulainya pada 1995. Ketika itu, ia bertemu dengan Irfan S. Awwas orang yang belakangan menjadi salah satu Ketua MMI di rumah seorang dai di kawasan Cawang, Jakarta Timur. Haris meyakinkan: bahasa Arabnya bagus dan ia memahami masalah agama dengan baik.
Seperti Irfan, Haris memimpikan syariat Islam tegak di Indonesia. Setelah pertemuan itu, mereka sering bertemu. Ketika Majelis Mujahidin didirikan melalui kongres pertamanya, 5-7 Agustus 2000, Abdul Haris langsung dipercaya menjadi pengurus di Departemen Hubungan Antar-Mujahid (Qism 'Alaqatul Mujahidin). Ini posisi penting karena "di sini diatur hubungan antar-organisasi Islam di dalam dan luar negeri," kata seorang pengurus MMI.
Selama di MMI, Haris menjadi pusat infonnasi. Ia kerap menyerahkan catatan yang disebutnya sebagai info intelijen mengenai kasus Maluku dan Poso. Ia juga mengetahui aktivis Islam Indonesia yang pernah ikut berperang di Afganistan. Meski aktif, anehnya, Haris selalu menghindar jika di foto. Karena itu, dalam dokumentasi MMI, gambar Haris tak pernah ada.
Tak hanya di MMI, ia berkeliling ke aktivis Islam lain. Di Bandung, Abdul Haris mendatangi Lesmana Ibrahim, pensiunan mayor angkatan laut yang mengelola sebuah taman kanak-kanak Islam. Lesmana adalah kawan baik almarhum Haris Fadilah alias Abu Dzar, mertua Al-Faruq. "Saya mengenal dia karena diperkenalkan seorang kawan," kata Lesmana. Di rumah pria itu, Haris menginap dan berbincang tentang gerakan Islam. "Salah satu hal yang dibahas adalah soal Amerika, Israel, dan. terjepitnya muslim Palestina," kata Lesmana Ibrahim.
Beberapa bulan setelah pertemuan itu, Haris datang lagi. Kali ini ia meminta Lesmana menandatangani pernyataan sikap yang intinya mendukung diberlakukannya Piagam Jakarta. Tapi Lesmana menolak. Sampai di sini, baik Lesmana maupun orang-orang MMI tak ada yang curiga kepada Abdul Haris. Kecurigaan baru muncul ketika sejak Juni lalu Haris tiba-tiba menghilang dari komunitas gerakan Islam.
Juni lalu? Itulah saat Faruq ditangkap intelijen BIN di Bogor, Jawa Barat. Dalam keterangan resminya, BIN mengaku penangkapan dilakukan karena Faruq punya masalah keimigrasian. Ketika ditangkap, pria itu sedang bersama Haris. Saat itu Haris sedang mengantar paspor milik istri Faruq, Mira Agustina. Kepada TEMPO, Haris mengaku hanya membantu membuatkan paspor untuk Mira. Dia mengaku mengenal Faruq, tapi membantah keras bahwa dia memata-matai tokoh itu (lihat Abdul Haris:"Saya Orang Swasta Murni").
Tapi ada cerita lain dari Tamsil Linrung. Menurut Tamsil, nama Abdul Haris sebetulnya sudah muncul ketika ia ditahan pemerintah Filipina awal 2002 lalu. Ketika itu, seorang intel Filipina bernama Rueben P. Galban berkali-kali mengaku bahwa informasi tentang Tamsil dan Agus Dwikarna mereka peroleh dari intel Indonesia. "BIN dibantu oleh orang Indonesia yang bernama Abdul Haris," kata Galban seperti ditirukan Tamsil.
Galban adalah perwira polisi berpangkat super-intenden dan merupakan kepala bidang penghubung intelijen asing dalam badan kepolisian Filipina. Galban bahkan menjelaskan sepak terjang Haris, termasuk sejarah kedekatan Haris dengan Faruq. "Ia dikenalkan dengan Faruq oleh seseorang bernama Syawal," kata Tamsil mengutip Galban.
Terkesan kaget, ketika dikonfirmasi, Galban membantah cerita Tamsil Linrung. "BIN tidak memberikan informasi kepada kami. Maaf, ya, sekarang saya amat sibuk," katanya. Lalu, klik, telepon ditutup. Belakangan, Galban bersedia menjawab lebih panjang. "Informasi yang saya bicarakan dengan Tamsil itu saya ketahui dari media massa, bukan informasi intelijen," ujarnya kepada TEMPO melalui telepon internasional.
Sepulang Tamsil dari Filipina, Haris mengontaknya. Dalam sebuah pertemuan, Haris mengatakan bahwa penangkapan Tamsil terjadi karena ada "seseorang" yang melaporkan ke BIN. Haris juga mengaku mendapatkan banyak info tentang gerak-gerik aktivis Islam lainnya seperti Agus Dwikarna dan Fathur Rahman al-Ghozi dari badan intelijen itu. "Ia mengaku membaca kertas yang tercecer ketika sedang memasang karpet di kantor BIN, " kata Tamsil. Kepada TEMPO, Haris mengaku pernah mendapat proyek pengadaan karpet dari BIN.
Kecurigaan Tamsil terbit. Demikian pula tokoh lain yang pernah ditemui Haris. Tapi, seperti dalam Donnie Brasco, semua telah terlambat. "Ia pernah menelepon saya dan mengatakan merasa tidak enak karena sedang bersama Faruq saat Faruq ditangkap," kata Lesmana Ibrahim. "Saya tidak menyangka kalau dia munafik begitu. Saya akui dia baik dan humanis. Karena itu, sungguh saya tidak menyangka," kata Irfan S. Awwas.
Siapakah Haris sesungguhnya? Muhammad Abdul Haris adalah lelaki kelahiran Desa Rowobayem, Purworejo, 8 Mei 1952. Ia pernah kuliah di Jurusan Fikih Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, dan lulus pada 13 Juli 1977. Skripsinya membahas asas legalitas hukum pidana di Indonesia.
Bapak dua anak ini pada 1989-1991 memperdalam bahasa Arab di Riyadh, Arab Saudi. Ia mengaku belajar di Jamiah Malik as-Suud, sebuah universitas di sana. Menurut Hamdi el-Faragh, yang pernah mengajarnya, Haris termasuk mahasiswa yang pintar. Ia menonjol dalam analisis maddah (materi), nahwu-sharaf (tata bahasa), dirasah Islamiyah (studi Islam), serta mata pelajaran ta'bir kitabi dan syafahy (pengungkapan bahasa Arab lisan dan tulisan). Hamdi mengaku mengenal Haris karena ia biasa mengabsen mahasiswa yang ada. Soal dana, Haris mengaku mendapat beasiswa dari pemerintah Arab Saudi.
Tapi penelusuran TEMPO menunjukkan Haris bukan mahasiswa biasa. Seorang sumber BIN sendiri memastikan, di Arab Saudi, Haris dibiayai lembaga intelijen itu. Menurut sumber itu, Haris telah "dipelihara" sejak 15 tahun lalu. Tentang beasiswa pemerintah Arab Saudi kepada Haris, Hamdi el-Faragh membantah, "Dia tidak dibiayai pemerintah Arab Saudi. Ada seorang kafil (penyumbang dana) tetap baginya dari Indonesia, tapi saya tidak tahu siapa." Detail lain dikemukakan Hamdi: "Hanya mahasiswa yang belajar empat tahun (program gelar -Red.) yang mendapatkan beasiswa dari pemerintah Arab Saudi. Sedangkan Abdul Haris hanya belajar dua tahun dalam program non-gelar."
Lalu apa motivasi Haris?, Tak jelas. Seorang aktivis MMI mencurigai Haris mendapat uang dari BIN karena aksinya tersebut. Tapi sulit memastikannya. Rumah Haris di bilangan Ciputat memang bagus --setidaknya bila dibandingkan dengan tetangga sekitarnya—tapi tak ada bukti yang lebih kuat. BIN membantah telah memelihara Haris (lihat wawancara MuchyarYara).
Haris sendiri kini menghilang. Setelah pertemuan dengan TEMPO di sebuah sore yang basah itu, telepon genggam Haris masih bisa dihubungi beberapa kali. Tapi, setelah itu, ia menghilang. Seperti Donnie Brasco, tugasnya telah usai. (tempo.co.id)