Ketua Umum Pengurus Besar Nadlatul Ulama (PBNU) Hasyim Muzadi, mengatakan percaya adanya sinyalemen keterlibatan pihak gereja dalam upaya pemisahan wilayah Papua dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), seperti yang diungkapkan Dubes Indonesia untuk Australia Hamzah Thayeb pada raker di DPR beberapa waktu lalu.
"Kalau ada keterlibatan pihak gereja itu bukan hal baru, karena dulu hal itu juga terjadi di Timor Timur," kata Ketua Umum PBNU Hasyim sebelum menerima rombongan Sekjen Uni Eropa Javier Solana di kantor PBNU Jakarta, Jumat (21/4).
Namun menurut Ketum PBNU Hasyim Muzadi, ia lebih senang menyebut oknum gereja daripada institusi gereja di Papua yang melakukannya.
Keyakinan Hasyim didasari pengalamannya sendiri, saat menghadiri sidang Dewan Gereja-gereja Dunia di Brasil, Maret 2006 lalu. Menurut Hasyim pada petemuan tersebut, tiga pendeta dari 16 pendeta utusan yang datang dari gereja Papua telah terang-terangan menyatakan keinginan agar Papua pisah dari Indonesia.
Ketiga pendeta Papua tersebut terdiri atas satu pendeta perempuan dan dua pendeta laki-laki. Namun isu tersebut tidak berkembang di forum. Hal itu terjadi karena ia bersama pengurus PGI Pendeta Andrean Dewanggu dan Sekum Pendeta Richard Daulay berhasil meredam isu tersebut baik di tingkat komisi maupun sidang pleno.
"Ketika berbicara di pleno, saya kembali menekankan bahwa Papua tetap merupakan bagian tak perpisahkan dari NKRI dan meminta masalah ini tidak dibahas lebih lanjut," kata Hasyim.
Sebelumnya Dubes RI untuk Australia Tengku Hamzah Thayeb dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi I DPR RI Selasa (18/4) mengatakan adanya keterlibatan jaringan gereja dalam separatisme Papua. Menurut Tengku Hamzah, Persekutuan Gereja Australia (Uniting Church in Australia/UCA) mendukung kampanye pemisahan Papua dengan menebarkan informasi soal adanya genosida atau pembunuhan massal di Papua. Para petinggi UCA, kata dia, mendapat info itu dari jaringan gereja di Papua.
"Ini informasi akurat," tandas Hamzah.
Sementara Menteri Pertahanan, Juwono Sudarsono, berharap agar isu genosida yang dihembuskan UCA tidak menjadi isu bernuansa SARA di Indonesia.
Menurut Juwono, masyarakat Indonesia harus menyadari bahwa Australia menganut sistem demokrasi. Artinya, kata dia, setiap LSM dan kelompok gereja di Australia bebas memperjuangkan sesuatu di luar wilayah negaranya, termasuk mempersoalkan masalah politik dan sosial di negara lain.
Yang membuat Indonesia terganggu, lanjut Juwono, kampanye itu terkesan mewakili seluruh masyarakat Australia dan didukung pemerintah. Dia sendiri menyangsikan sikap seluruh masyarakat Australia seperti itu. Juwono beralasan bahwa LSM itu memang pekerjaannya mencari-cari kesalahan negara lain untuk mendapat sokongan dana.
"Walau mereka harus mawas diri untuk mengurus orang-orang pribumi di dalam negerinya sendiri," kata Juwono. (gatra.com)