21 May 2013

[Bagian 1] Kebohongan Pemerintah Tentang Subsidi BBM


Oleh: Anthony Budiawan

Seorang Sultan dari Negeri RI memiliki tanah yang sangat subur tetapi awalnya tidak sadar atas karunia tersebut. Sultan didatangi oleh orang asing yang ingin mengelola tanah nan subur tersebut dengan cara bagi hasil dengan pembagian 30% untuk asing dan 70% untuk Sultan.


Dari pengelolaan tanah tersebut diperoleh hasil sebanyak 100 unit Produk MB per tahun dengan pembagian 30 unit untuk pengelola (mitra asing) dan 70 unit untuk Sultan. Dengan demikian, Sultan memperoleh 70 unit MB tanpa mengeluarkan biaya sama sekali (biaya = Rp 0). Sultan merasa sangat beruntung dengan kerja sama tersebut.

Sultan sadar bahwa Produk MB ini sangat dibutuhkan oleh rakyatnya, dan berjanji akan menggunakannya demi kepentingan, dan untuk kesejahteraan, Rakyat RI. Oleh karena itu, Sultan memutuskan untuk menjual Produk MB tersebut di dalam negeri dengan harga jual eceran Rp 1.000 per unit, sehingga Sultan memperoleh Pendapatan sebesar Rp 70.000 (untuk 70 unit), tanpa mengeluarkan biaya pengelolaan tanah (produksi). Untuk menjual Produk tersebut kepada masyarakat, Sultan memerlukan Biaya Operasional (Logistik, Distribusi, dll) sebesar Rp 10.000 per tahun, sehingga tingkat keuntungan Sultan menjadi sebesar Rp 60.000, seperti perhitungan berikut ini:

Pendapatan (Penerimaan) Rp 70.000 (70 unit @ Rp 1.000)
Biaya Operasional (Logistik, Distribusi, dll) Rp 10.000 -/-
Laba (atau Surplus) Rp 60.000

Penciptaan istilah “Subsidi”

Sultan diberitahu oleh Para Pembantunya bahwa harga Produk MB di luar negeri ternyata Rp 2.000 per unit. Namun, Sultan sadar sekali bahwa harga jual tersebut terlalu tinggi untuk di dalam negeri.

Sultan adalah seorang yang sangat kreatif, dan berpikir untuk mendirikan sebuah perusahaan, PT Pert-MB, yang ditugaskan khusus untuk menjual dan mendistribusikan Produk MB di dalam negeri. Karena harga Produk MB di luar negeri sebesar Rp 2.000 per unit, maka Sultan memutuskan untuk menjualnya kepada PT Pert-MB dengan harga internasional tersebut. Tetapi, Sultan sangat sadar bahwa rakyatnya tidak mampu membeli Produk MB dengan harga Rp 2.000 per unit, dan menginstruksikan kepada PT Pert-MB untuk menjualnya kepada rakyat dengan harga Rp 1.000.

PT Pert-MB tidak ada pilihan lain dan harus mentaati keputusan ini, yaitu membeli Produk MB dari Sultan dengan harga Rp 2.000 per unit dan menjualnya kepada masyarakat dengan harga Rp 1.000 per unit. Oleh karena itu, PT Pert-MB tentu saja akan mengalami kerugian sebesar Rp 1.000 per unit atau Rp 70.000 untuk 70 unit. Ditambah Biaya Operasional sebesar Rp 10.000 per tahun maka total kerugian PT Pert-MB akan menjadi Rp 80.000, di mana kerugian ini akan diganti sepenuhnya oleh Sultan dengan istilah “Subsidi MB”. Dengan bangga Sultan kemudian berkata kepada rakyatnya bahwa sekarang Sultan memberi “Subsidi MB” kepada masyarakat (melalui PT Pert-MB) sebesar Rp 80.000 per tahun. “Subsidi MB”inilah yang selalu dikomunikasikannya kepada masyarakat, dan masyarakat sangat senang atas kebaikan hati Sultan.

Pembukuan PT Pert-MB

Penjualan MB kepada masyarakat Rp 70.000 (70 unit @ Rp 1.000)
Pembelian MB dari Sultan Rp 140.000 (70 unit @ Rp 2.000) -/-
Rugi Penjualan sebelum Biaya Operasional Rp 70.000
Biaya Operasional (Logistik, Distribusi, dll) Rp 10.000 +/+
Total Kerugian yang harus di-“subsidi” Rp 80.000
“Subsidi” dari Sultan Rp 80.000 -/-
Total Rp 0 (nihil)

Akan tetapi, benarkah demikian? Seorang ekonom, KKG, yang sangat kritis terhadap hitung-hitungan seperti ini dibuat terheran-heran, dan bertanya-tanya, mengapa negeri nan subur ini memerlukan subsidi Produk MB dari Sultan: pada awalnya Sultan memperoleh Laba (Surplus) sebesar Rp 60.000, tetapi kemudian berbalik menjadi memberi “Subsidi” sebesar Rp 80.000 (yang dikomunikasikan kepada masyarakat sebagai Kerugian), sedangkan di dalam praktek sehari-hari KKG tidak melihat ada perubahan apapun pada penjualan Produk MB di dalam negeri, baik dalam jumlah produksi, konsumsi maupun harga per unit produk MB.

Selidik punya selidik, KKG kemudian memperoleh fakta dari Nota Keuangan Sultan di mana tercatat ada Pendapatan yang berasal dari penjualan Produk MB kepada PT Pert-MB sebesar Rp 140.000 per tahun, yaitu 70 unit @ Rp 2.000. Di samping itu, dalam Nota Keuangan yang sama KKG juga melihat ada Belanja “Subsidi MB” kepada PT Pert-MB sebesar Rp 80.000 per tahun.

Dengan demikian, Sultan seharusnya masih memperoleh Surplus sebesar Rp 60.000 (persis seperti pada awal transaksi sebelum PT Pert-MB didirikan).
Nota Keuangan Sultan terkait Produk MB
Pendapatan (dari PT Pert-MB) Rp 140.000 (70 unit @ Rp 2.000)
“Subsidi MB” (kepada PT Pert-MB) Rp 80.000 (lihat pembukuan PT Pert-MB di atas) -/-
Laba (Surplus) Rp 60.000

Oleh karena itu, KKG kemudian mengambil kesimpulan bahwa subsidi yang di-claim oleh Sultan selama ini sebenarnya hanyalah sebuah ilusi saja, imajinasi saja. Subsidi tersebut sebenarnya tidak pernah ada. Faktanya, Sultan malah memperoleh Laba (Surplus) sebesar Rp 60.000 per tahun seperti perhitungan yang ada dalam Nota Keuangan Sultan yang ditampilkan oleh KKG di atas.