30 September 2009

Abdurahman Assegaf Dituding Sebagai Habib Palsu

Tempo Interaktif, Tangerang - Anggota Majelis Mujahidin Indonesia Muhammad Iqbal atau Abu Jibril menuding Habib Abdurahman Assegaf sebagai habib palsu. "Dia bukan habib, dia Preman," ujarnya di Pamulang, hari ini, Rabu (26/8).

Abdurahman Assegaf adalah Ketua Gerakan Umat Islam Indonesia yang tinggal tak jauh dari rumah Abu Jibril di kompleks perumahan Witanaharja, Pamulang. Habib Abdurahman selama ini memiliki paham yang berseberangan dengan Abu Jibril. Abdurahman menyatakan pengajian yang dipimpin Abu Jibril beraliran wahabi radikal karena terkesan eksklusif dan menguasai masjid Al Munawwarah.

Menurutnya, Abdurahman bernama asli Abdul Haris Umarella bin Ismail Umarella asal Ambon. Ia pernah bersekolah di SMP Negeri 2 Mardani Raya, Jakarta Pusat dikenal dengan nama Amsari Omarella, ibunya asal Ambon dan ayahnya berasal dari Makassar.

Kehadiran Abdurahman dinilai telah memprovokasi warga disekitar perumahan Witanaharja. "Sejak habib hadir tahun 2002, rentetan masalah datang dari bom Pamulang dan banyak lagi masalah lainnya," ujar pengurus masjid Al Munawwarah, Trisna Dachlan.

Meski seorang habib, kata Trisna, warga sekitar atau jamaah masjid Al Munwwarah tidak pernah melihat Abdurrahman datang ke Masjid.

Sementara Abdurahman menanggapi ringan tudingan itu." Biarkan saja, mereka mau ngomong apa", katanya. "Mereka yang mengaku ustadz dan imam Masjid tapi sikapnya tidak demikian, bicara kasar dan menghujat orang," kata dia. (tempointeraktif.com)

*****

Kontroversi Habib Palsu

Jakarta - Habib Abdurrahman Assegaf hanya tertawa ketika dikatakan ia telah memalsukan gelar habib di depan namanya. Ia menegaskan tuduhan itu hanya fitnah dari orang-orang yang tidak senang dengan dirinya.

"Yang menentukan habib atau tidaknya seseorang adalah sidang Alawiyyin (keturunan Nabi Muhammad). Bukan Abu Jibril atau konco-konconya," jelas Abdurrahman saat ditemui detikcom, usai memberikan ceramah di salah satu stasiun televisi di Jakarta, beberapa hari lalu.

Abu Jibril, anggota Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), telah menuding Abdurrahman sebagai habib palsu. "Dia bukan habib, dia preman," ujar Abu Jibril kepada wartawan di rumahnya, Komplek Witanaharja, Pamulang, Tangerang Selatan, pekan lalu.

Menurut Abu Jibril, Abdurrahman bernama asli Abdul Haris Umarella bin Ismail Umarella asal Ambon. Selain itu latar belakang Abdurrahman, lanjut Jibril, tidak mencerminkan seseorang yang bergelar habib.

Sebelum Abu Jibril yang menyatakan keraguan gelar "habib" Abdurrahman , Abu Bakar Ba'asyir, pimpinan Ponpes Al Mukmin, Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah sebelumnya juga menyatakan hal senada. Ba'asyir mengatakan kalau Abdurrahman merupakan habib palsu.

"Dia itu orang jelek dan di duga informan atau orang yang dimanfaatkan kelompok lain," jelas Ba'asyir usai berceramah di Semarang, akhir Juli silam.


Tudingan Ba'asyir dan Abu Jibril kalau Abdurrahman bukan seorang habib merujuk masa lalu Abdurrahman yang sebelumnya dikenal sebagai preman yang jauh dari kehidupan Islami.

Keraguan soal gelar kehabiban Abdurrahman juga merebak di internet. Bahkan pemimpin redaksi situs Arrahmah.com, M Fachry menulis di sebuah situs jejaring sosial menyebut, berdasarkan silsilah keluarga Abdurrahman, tidak tepat kalau pria beranak empat tersebut sebagai seorang habib.

"Informasi yang kami terima dari teman sekolahnya di SMPN 2, Mardani Raya-Jakarta Pusat, dia dikenal dengan nama Amsari Omarella. Ibunya berasal dari Ambon, dan ayahnya dari Makasar. Jadi gelar habib yang disandangnya sangat jauh," jelas Fachry.

Masih dari informasi yang diterima Fachry, selepas SMP 2, Abdurrahman melanjutkan sekolah ke SMAN 68 pada 1985 dan kemudian kuliah di Universitas Krisnadwipayana, Pondok Gede, Jakarta Timur.

Dari informasi yang didapat Fachry, selama bersekolah di SMAN 68, sosok Abdurrahman biasa-biasa saja. Selain itu Abdurrahman tidak begitu suka dengan kegiatan Rohis dan tidak mendukung pemakaian Jilbab pada masa itu.

Keanehan lainnya, Abdurrahman sempat menunjukan sertifikat yang menyatakan kini dirinya sudah resmi menjadi seorang habib kepada teman-temannya.

Sementara sumber detikcom yang mengaku mengenal Abdurahman sejak tahun 2000, mengatakan, sebelum muncul di media massa dengan gelar habib, sosok Abdurrahman memang dikenal sebagai preman yang suka mabuk-mabukan.

Saat itu, kata sumber tersebut, Abdurrahman dikenal dengan nama Abdul Haris. Sejak tahun 1990-an Abdul Haris diketahui sering nongkrong di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Selain itu Abdul Haris juga aktif di salah satu ormas kepemudaan.


Kemudian Abdul Haris ditengarai mulai menjadi binaan polisi sejak 2001. Ia diduga dimanfaatkan polisi untuk melakukan aksi Pembusukan dalam setiap aksi yang dilakukan beberapa ormas Islam.

Sumber itu lantas menyebutkan, Abdul Haris alias Abdurrahman telah disusupkan dalam setiap aksi pembubaran Ahmadiyah. Sehingga gerakan untuk membubarkan Ahmadiyah menjadi bias.


"Saat pengepungan kampus Mubarok, milik Ahmadiyah, ia tiba-tiba muncul diiringi sejumlah wartawan dan memberi keterangan pers. Padahal saat perencanaan pengepungan ia tidak terlibat," jelas sumber detikcom, yang merupakan seorang aktivis Komando Laskar Islam (KLI).

Keraguan Nasab atau garis keturunan Abdurrahman yang dianggap bukan berasal dari Timur Tengah, khususnya Yaman dan Arab Saudi membuat beberapa kalangan semakin ragu kalau Abdurrahman bukan habib beneran alias Palsu. Sebab untuk mendapat gelar itu perlu penguraian silsilah keluarganya.

Menurut Habib Abdurrahman Al Habsyi, sebutan atau gelar habib di kalangan Arab-Indonesia dinisbatkan secara khusus terhadap keturunan Nabi Muhammad melalui Fatimah Az-Zahra dan 'Ali bin Abi Thalib. Habib yang datang ke Indonesia mayoritas adalah keturunan Husain bin Fatimah binti Muhammad. Jumlah para habib yang ada di Indonesia diperkirakan lebih dari 1 juta orang.

Mereka sangat dihormati di Indonesia karena dianggap sebagai tali pengetahuan yang murni, karena garis keturunannya yang langsung dari Nabi Muhammad.

Adapun untuk menentukan seseorang itu habib atau bukan adalah Ar-Rabithah atau Jamiat Khair. Organisasi ini memang tugasnya mencatat silsilah keturunan Ahlul Bait (keturunan Nabi Muhammad). "Untuk menentukan apakah seseorang berhak digelari habib harus menyebut paling sedikit 5 keturunannya dari atas atau 5 Bin" jelas Al Habsyi.

Lima nama keturunannya antara lain, ayah, kakek, buyut dan seterusnya. Dari nama-nama yang disebutkan itu, Ar-Rabithah akan mengetahui keterkaitannya dengan nama-nama yang masuk dalam silsilah dari garis keturunan Rasulullah.

Al Habsyi tidak memastikan apakah Abdurrahman merupakan habib atau tidak sebelum melihat sertifikat yang dimiliki pria yang berseteru dengan Abu Jibril itu. "Kalau memang Abdurrahman seorang habib dia harus menunjukan sertifikat kehabiban yang dikeluarkan oleh Ar-Rabithah. Karena itu sebagai bukti otentik," kata Al Habsyi. (detiknews.com)

*****

Siapakah sebenarnya Habib (Palsu) Abdurrahman Assegaf ?

Setelah membuat kontroversi dengan menuduh Nur Hasbi, alumnus Pondok Pesantren Ngruki sebagai sebagai pelaku peledakan di hotel JW Marriot dan Ritz Carlton (yang terbukti ngawur), dia kembali membuat ulah dengan upaya teror di Masjid Al Munawarrah, Pamulang, dan fitnah kepada Ustadz Abu Jibril. Siapakah sebenarnya Abdurrahman Assegaf ?.

Sebelumnya, Ustadz Abu Bakar Ba'asyir pernah menyatakan bahwa Abdurrahman Assegaf merupakan habib palsu yang disewa oleh aparat serta Amerika Serikat atau CIA dengan imbalan uang. Bahkan secara tegas Ustadz Abu Bakar Baasyir pernah mengatakan :

“Abdurrahman Assegaf itu bukan habib, dia itu Preman. Semua habib sudah bilang kepada saya kalau dia bukan seorang habib,” kata Baasyir usai mengisi pengajian di Masjid Al Ikhlas di Semarang, Sabtu (25/7) malam.

Santernya berita bahwa Abdurrahman Assegaf adalah habib palsu sebenarnya sudah beredar luas di dunia maya. Disebut-sebut, Abdurrahman Assegaf bernama asli Abdul Haris Umarella bin Ismail Umarella, putera Tulehu, Ambon.

Bahkan menurut sumber terpercaya arrahmah.com, yang juga merupakan temannya sewaktu bersekolah di SMPN 2, Mardani Raya, daerah Percetakan Negara, Jakarta Pusat, dia dikenal dengan nama Amsari Omarella. Ibunya berasal dari Ambon, dan ayahnya dari Makasar. Dari sini, gelar habib semakin jauh dari Abdurrahman Assegaf alias Abdul Haris, alias Amsari.

Selepas SMP 2, habib palsu ini melanjutkan pendidikan ke SMAN 68 (angkatan 85) dan kuliah di UnKris, Pondok Gede. Masih menurut sumber yang terpercaya, kali ini kawan dia semasa bersekolah di SMAN 68, di Jalan Salemba Raya, Jakarta Pusat, bahwa Abdurrahman Assegaf ini siswa SMAN 68, jurusan IPS. Menurut sumber tersebut habib palsu alias Abdurrahmah Assegaf, alias Amsar terlihat biasa-biasa saja ketika di SMAN 68. Hanya saja menurut sumber tersebut, dia sudah tidak begitu suka dengan kegiatan rohis dan tidak mendukung pemakaian Jilbab pada masa itu.

Tidak diketahui sejak kapan gelar habib bercokol di depan namanya. Menurut kawannya di SMPN 2, Abdurrahman pernah menunjukkan sertifikat yang menyatakan bahwa kini dirinya sudah resmi menjadi seorang habib.


Waspadai Habib Palsu

Kini, semua berpaling kepada ummat, untuk menilai dan bersikap terhadap habib palsu ini. Masalahnya, gelar habib di negeri ini begitu tinggi dan mulia, yang bahkan terkadang sudah di luar koridor syariat Islam. Dikhawatirkan, oknum semacam habib (palsu) Abdurrahman Assegaf ini memanfaatkan dan memanipulasi gelar habib palsunya tersebut untuk kepentingan pribadi, keluarga, maupun kelompoknya. Nama atau para ulama yang memang bergelar habib tentunya akan tercoreng dengan ulah oknum yang mengaku-ngaku habib ini.

Bukan tidak mungkin, ummat akan terpedaya, ikut begitu saja, tanpa kritis melihat dan mempertimbangkan ucapan si habib palsu ini dari sisi Al Qur’an dan As Sunnah. Hal itulah yang saat ini diperlihatkan oleh habib (palsu) Abdurrahman Assegaf, dan harus segera dihentikan. Semoga hal ini bisa menjadi pelajaran berharga untuk ummat, agar tidak mudah tertipu oleh gelar-gelar, dan penampilan, sebagaimana Abdurrahman Assegaf, si habib palsu. (arrahmah.com)


29 September 2009

Mengenal Lebih Dekat Dr. Abdullah Yusuf Azzam

“Syaikh Abdullah Azzam bukanlah orang biasa. Dia mewakili satu bangsa, satu Ummat. Tubuh Ummat ada di dalam dirinya. Setelah kematiannya, para muslimah sejauh ini gagal melahirkan seorang laki-laki yang mampu menggantikan Beliau”.

[Syaikh Usamahh bin Ladin, wawancara dengan TV Al-Jazeera, 1999] “Dialah yang bertanggung jawab membangkitkan kembali Jihad di abad 20 ini”.

[Majalah Time] “Dia tidak hanya mewakili dirinya sendiri, melainkan seluruh Ummat. Ucapannya tidaklah seperti ucapan orang biasa. Sedikit bicaranya, namun kandungannya sangat dalam. Jika engkau menatap matanya, hatimu akan terpenuhi dengan iman dan cinta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala”.

[Ulama Mujahid asal Mekkah] ” Tidak satupun Tanah Jihad di seluruh dunia, tidak seorangpun Mujahid yang berjuang di Jalan Allah, yang tidak terinspirasi oleh hidup, ajaran dan karya Syaikh Abdullah Azzam”.

[Azzam Publications] ” Pada dekade 1980-an, Syuhada Syaikh Abdullah Azzam mencetuskan satu kalimat yang maknanya bergaung di seluruh medan pertempuran Chechnya saat ini. Syaikh Abdullah Azzam Rahmatullah ‘Alaihi menggambarkan bahwa Para Mujahid yang gugur dalam pertempuran bergabung bersama “Kafilah Para Syuhada”.

Abdullah Yusuf Azzam lahir pada tahun 1941 di Desa Asba’ah Al-Hartiyeh, Propinsi Jiniin, Tanah Suci Palestina yang diduduki Israel. Beliau dibesarkan di sebuah rumah yang bersahaja dimana Beliau dididik agama Islam, ditanamkan kecintaan terhadap Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallama, terhadap Mujahid yang berjuang di Jalan-Nya dan terhadap orang-orang yang shaleh yang mencintai kehidupan akhirat. Semasa masih kanak-kanak, Abdullah Azzam sangat menonjol di antara anak-anak lainnya. Beliau sudah mulai menyiarkan dakwah Islam semenjak masih sangat muda. Teman-teman sepergaulan mengenal Beliau sebagai seorang anak yang shaleh.

Beliau telah menunjukkan tanda-tanda yang luar biasa sejak muda dan guru-guru Beliau telah mengenali tanda-tanda ini sejak Beliau masih di Sekolah Dasar. Syaikh Abdullah Azzam dikenal karena ketekunan dan kesungguhannya bahkan sejak masih kecil, Beliau memperoleh pendidikan dasar dan menengah di desanya dan kemudian melanjutkan pendidikan di Sekolah Tinggi Pertanian Khadorri hingga memperoleh gelar. Meskipun Beliau yang termuda di antara teman-temannya, namun Beliau adalah yang terpandai dan terpintar. Setelah menamatkan pendidikannya di Khadorri Beliau bekerja sebagai guru di Desa Adder, Yordania Selatan. Kemudian Beliau menuntut ilmu di Fakultas Syariah, Universitas Damaskus Suriah hingga memperoleh gelar B.A. di bidang Syariah pada tahun 1966.

Ketika tentara Yahudi merebut Tepi Barat pada tahun 1967, Syaikh Abdullah Azzam memutuskan untuk pindah ke Yordania, karena Beliau tidak ingin hidup di Palestina yang berada di bawah pendudukan Yahudi. Melihat bagaimana tank-tank Israel maju memasuki Tepi Barat tanpa mendapatkan perlawanan yang berarti, menimbulkan perasaan bersalah dalam diri Beliau, sehingga membuat Beliau semakin mantap untuk hijrah dengan maksud agar dapat mempelajari ilmu perang.

Pada akhir dekade 1960-an, dari Yordania Beliau bergabung dalam Jihad menentang pendudukan Israel atas Palestina. Tidak lama kemudian Beliau pergi belajar ke Mesir dan memperoleh gelar Master dalam bidang Syariah di Universitas Al-Azhar, Kairo. Pada tahun 1970, setelah Jihad terhenti karena kekuatan PLO diusir keluar dari Yordania, Beliau menjadi dosen di Universitas Yordania di Amman. Setahun kemudian, tahun 1971, Beliau memperoleh beasiswa dari Universitas Al-Azhar dimana Beliau melanjutkan pendidikan S3 dan memperoleh gelar Ph.D dalam bidang Pokok-Pokok Hukum Islam (Ushul-Fiqh) tahun 1973. Selama di Mesir inilah Beliau mengenal keluarga Syuhada Sayyid Qutb (1906-1966).

Syaikh Abdullah Azzam cukup lama turut serta dalam Jihad Palestina. Namun ada hal yang tidak disukainya, yaitu orang-orang yang terlibat di dalamnya sangat jauh dari Islam. Beliau menggambarkan bagaimana orang-orang ini berjaga-jaga sepanjang malam sambil bermain kartu dan mendengarkan musik, dan menganggap bahwa mereka sedang menunaikan Jihad untuk membebaskan Palestina.

Syaikh Abdullah Azzam menyebutkan juga meskipun ada ribuan orang di basis-basis pemukiman, tetapi jumlah orang yang hadir untuk shalat berjama’ah bisa dihitung dengan satu tangan saja. Beliau berusaha mendorong mereka untuk menerapkan Islam sepenuhnya, namun mereka bertahan untuk menolak. Suatu hari Beliau bertanya kepada seorang “Mujahid” secara retoris, agama apa yang ada di belakang revolusi Palestina, “Mujahid” itu menjawab dengan jelas dan gamblang, “Revolusi ini tidak memiliki dasar agama apapun”.

Habislah sudah kesabaran Abdullah Azzam. Beliau kemudian meninggalkan Palestina, pindah ke Saudi Arabia dan mengajar di berbagai universitas di sana.Saat Syaikh Abdullah Azzam menyadari bahwa hanya dengan kekuatan yang terorganisir Ummat ini bisa menggapai kemenangan, lalu Jihad dan senjata adalah kesibukan dan pengisi waktu luangnya.

“Jihad hanya dengan senjata. Tidak dengan Negosiasi, Tidak dengan Perundingan Damai, Tidak dengan Dialog”, kalimat tersebut menjadi semboyan Beliau.

Beliau praktekkan apa yang selalu Beliau kumandangkan, sehingga membuat Beliau menjadi salah satu di antara orang Arab pertama yang bergabung dalam Jihad di Afghanistan melawan Uni Soviet yang komunis. Pada tahun 1980, ketika masih di Saudi Arabia, Abdullah Azzam memperoleh kesempatan berjumpa dengan satu delegasi Mujahidin Afghanistan yang datang untuk menunaikan ibadah Haji. Segera Beliau tertarik dengan kelompok ini dan ingin mengetahui lebih banyak lagi mengenai Jihad Afghanistan. Ketika dijabarkan kepadanya, Beliau merasa inilah yang sudah sejak lama sekali Beliau cari-cari.Beliau segera melepaskan jabatannya sebagai dosen di Universitas King Abdul-Aziz Jeddah Saudi Arabia, dan berangkat menuju Islamabad Pakistan supaya dapat ikut serta dalam Jihad.

Beliau pindah ke Pakistan agar dapat lebih dekat dengan Jihad Afghanistan, dan di sanalah Beliau mengenal pemimpin-pemimpin Mujahidin. Saat-saat pertama berada di Pakistan, Beliau ditunjuk untuk memberikan kuliah di International Islamic University di Islamabad. Namun tidak lama hal ini berlangsung, karena Beliau memutuskan untuk meninggalkan universitas agar bisa mencurahkan seluruh waktu dan energinya untuk Jihad Afghanistan.

Pada permulaan dekade 1980-an, Syaikh Abdullah Azzam langsung turun ke medan Jihad Afghanistan. Di Jihad inilah Beliau merasa puas bisa memenuhi kerinduan dan cinta yang tak terlukiskan untuk berjuang di Jalan Allah, persis seperti suatu kali Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallama bersabda : “Berdiri satu jam dalam pertempuran di Jalan Allah lebih baik daripada berdiri menunaikan shalat selama 60 tahun”.

Terinspirasi oleh Hadits ini, Syaikh Abdullah Azzam beserta keluarganya memutuskan pindah ke Pakistan agar lebih dekat dengan medan Jihad. Tidak lama setelah itu Beliau pindah lagi dari Islamabad ke Peshawar supaya bisa lebih dekat lagi dengan medan Jihad dan Syahid. Di Peshawar, bersama dengan Usamah bin Ladin yang juga teman dekatnya, Syaikh Abdullah Azzam mendirikan Baitul-Anshar (Mujahideen Services Bureau atau Kantor Pelayanan Mujahidin) dengan tujuan untuk menawarkan semua bantuan yang memungkinkan bagi Jihad Afghanistan dan Para Mujahid dengan cara mengadakan dan me-manage berbagai proyek yang menunjang Jihad. Kantor ini juga menerima dan melatih para sukarelawan (Foreign Mujahideen) yang berbondong-bondong datang ke Pakistan untuk ikut serta dalam Jihad dan mengatur penempatan mereka di garis depan.

Dapat diduga, semua hal ini masih belum cukup memuaskan keinginan Syaikh Azzam yang menggebu-gebu berjihad. Keinginan inilah yang akhirnya membawanya pergi ke garis depan. Di medan pertempuran Syaikh Abdullah Azzam mengambil peranan dengan sikap ksatria dalam perjuangan yang penuh dengan pengorbanan yang besar.

Di Afghanistan Beliau jarang menetap di suatu tempat. Beliau selalu berkeliling ke seluruh pelosok negeri mengunjungi hampir seluruh propinsi dan wilayah seperti Logar, Kandahar, Pegunungan Hindukush, Lembah Panshir, Kabul dan Jalalabad. Dalam kunjungan ini, Syaikh Abdullah Azzam menyaksikan secara langsung kepahlawanan orang-orang awam yang telah mengorbankan segala apa yang dimiliki termasuk jiwa mereka demi jayanya Dien Islam.

Di Peshawar, setelah kembali dari berkeliling, Syaikh Azzam selalu berbicara tentang Jihad secara kontinyu. Beliau selalu berdo’a agar Para Komandan Mujahidin yang terpecah belah dapat bersatu padu. Beliau selalu mengundang orang-orang yang belum bergabung dalam pertempuran untuk memanggul senjata dan maju ke garis depan sebelum terlambat.

Abdullah Azzam sangat dipengaruhi oleh Jihad Afghanistan dan Beliaupun sangat besar pengaruhnya pada Jihad ini sejak Beliau mengabdikan diri sepenuhnya dalam perjuangan ini. Beliau menjadi salah satu tokoh yang paling menonjol dan berpengaruh bersama dengan pemimpin-pemimpin bangsa Afghanistan lainnya. Beliau tidak tanggung-tanggung mempromosikan perjuangan Afghanistan ke seluruh dunia, khususnya ke kalangan Ummat Islam.

Beliau berkeliling dunia, menyampaikan panggilan kepada Kaum Muslimin untuk beraksi mempertahankan agama dan Tanah Muslim. Beliau menulis sejumlah buku tentang Jihad, seperti Join the Caravan, Signs of Ar-Rahman in the Jihad of the Afghan, Defence of the Muslim Lands dan Lovers of the Paradise Maidens. Bahkan Beliau turun langsung ke medan Jihad Afghanistan, meskipun usia Beliau telah lebih dari 40 tahun.

Beliau menjelajahi Afghanistan, dari utara ke selatan, dari timur ke barat, menembus salju, mendaki pegunungan, di bawah panas terik matahari dan dingin yang membekukan tulang, dengan menunggang keledai maupun berjalan kaki. Banyak Pemuda yang bersama Beliau kelelahan, namun Syaikh Abdullah Azzam tidak.

Beliau merubah pandangan Ummat Islam terhadap Jihad di Afghanistan dan menjadikan Jihad ini sebagai perjuangan yang Islami yang merupakan kewajiban seluruh Ummat Islam di dunia. Hasil dari usaha ini adalah Jihad Afghanistan menjadi universal dimana Ummat Islam dari seluruh dunia turut serta. Para Pejuang Muslim dari seluruh penjuru dunia secara sukarela berdatangan ke Afghanistan untuk memenuhi kewajiban Jihad dan membela Saudara-saudara Muslimin dan Muslimah mereka yang tertindas.

Kehidupan Syaikh Azzam berkisar hanya kepada satu tujuan, yakni menegakkan Hukum Allah di muka bumi ini, yang merupakan tanggung jawab yang pasti bagi setiap dan segenap Ummat Muslim. Dalam rangka melaksanakan tugas suci dalam hidup ini yaitu menegakkan kembali Khilafah Islamiyyah (negara yang berdasarkan pada hukum Islam), Syaikh Azzam mengkonsentrasikan kepada Jihad (perjuangan bersenjata untuk menegakkan Islam). Beliau berkeyakinan bahwa Jihad wajib dilaksanakan sampai Khilafah Islamiyyah ditegakkan sehingga cahaya Islam menerangi seluruh dunia.

Beliau juga menjaga dan memelihara keluarganya dengan semangat perjuangan yang sama, sehingga istrinya, sebagai contoh, aktif mengurus anak-anak yatim piatu dan aktif dalam berbagai tugas kemanusiaan di Afghanistan. Beliau menolak jabatan di beberapa universitas dengan menyatakan bahwa dirinya tidak akan pernah meninggalkan Jihad kecuali jika gugur di medan perang atau terbunuh. Beliau selalu menekankan kembali bahwa tujuannya yang terakhir adalah membebaskan Tanah Suci Palestina. Dalam hal ini Beliau menyatakan: “Saya tidak akan meninggalkan Tanah Jihad kecuali karena tiga hal. Pertama, saya terbunuh di Afghanistan. Kedua, saya terbunuh di Pakistan. Ketiga, saya diborgol dan diusir dari Pakistan”

Jihad di Afghanistan telah membuat Abdullah Azzam menjadi penyangga utama dalam gerakan Jihad di jaman modern sekarang. Dengan turun langsung dalam Jihad ini dan dengan mempromosikannya serta menjelaskan kendala-kendala yang menghambat gerakan Jihad, Beliau memiliki peranan yang sangat berarti dalam meluruskan pendapat Ummat Islam tentang Jihad dan perlunya menegakkan Jihad. Beliau menjadi panutan bagi generasi muda yang menyambut panggilan Jihad. Beliau amat mementingkan Jihad dan butuh akan Jihad. Sekali waktu Beliau berkata :“Saya merasa seolah-olah berumur 9 tahun. Tujuh setengah tahun dalam Jihad di Afghanistan dan satu setengah tahun dalam Jihad di Palestina. Sisa tahun lainnya tidak berarti sama sekali”.

Dari atas mimbar Syaikh Azzam berulangkali menekankan keyakinannya : “Jihad tidak boleh ditinggalkan sampai hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala saja yang disembah. Jihad akan terus berlangsung sampai Kalimat Allah ditinggikan. Jihad sampai semua orang yang tertindas dibebaskan. Jihad untuk melindungi kehormatan kita dan merebut kembali Tanah kita yang dirampas. Jihad adalah Jalan untuk mencapai kejayaan abadi.

Sejarah dan semua orang yang mengenal dekat Syaikh Abdullah Azzam mencatat keberanian Beliau dalam berbicara tentang kebenaran, dengan mengabaikan segala konsekuensi yang ada.Setiap saat Syaikh Abdullah Azzam mengingatkan seluruh Kaum Muslimin bahwa :“Ummat Islam tidak dapat dikalahkan oleh ummat lainnya. Kita Ummat Islam tidak akan dikalahkan oleh musuh-musuh kita, namun kita bisa dikalahkan oleh diri kita sendiri”.

Syaikh Abdullah Azzam adalah contoh seorang yang berperilaku Islami dengan baik, dengan amal shalehnya, dengan ketaqwaannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan dengan kesederhanaannya dalam segala hal.

Beliau tidak pernah mencemari hubungan baiknya dengan orang lain. Syaikh Azzam selalu mendengarkan pendapat Para Pemuda, Beliau amat disegani dan tidak terbersit sedikitpun rasa takut di dalam hatinya. Beliau selalu berpuasa selang seling hari seperti yang dilakukan Nabi Daud AS. Dan juga selalu menghimbau yang lainnya untuk berpuasa hari Senin dan Kamis.

Syaikh Azzam adalah orang yang selalu berterus terang, tulus dan mulia. Beliau tidak pernah mencaci orang lain atau berbicara yang tidak baik mengenai orang lain.Satu saat sekelompok Muslim yang tidak puas di Peshawar mencap Syaikh Azzam sebagai kafir dan menuduhnya meminta uang dari Kaum Muslimin untuk dihambur-hamburkan. Ketika Syaikh Azzam mendengar hal ini, Beliau tidak mencari dan mendebat mereka, malah mengirimi mereka berbagai hadiah. Namun kelompok tersebut tetap saja mencaci maki, mengumpat dan memfitnah Beliau, dan Beliau terus saja mengirimi mereka hadiah lainnya. Bertahun-tahun kemudian, ketika akhirnya menyadari kesalahannya, mereka berkomentar :

“Demi Allah, kami belum pernah menemui seseorang seperti Syaikh Abdullah Azzam. Beliau tetap saja memberi kami uang walaupun kami selalu mengutuk dan mencaci Beliau”

Selama Jihad Afghanistan berlangsung, Beliau telah berhasil menyatukan berbagai kelompok Mujahidin dalam Jihad ini. Dan tentu saja kebanggaan Beliau terhadap Islam menimbulkan rasa benci di kalangan musuh agama, sehingga musuh membuat rencana untuk menghabisi nyawa Beliau. Pada November 1989, sejumlah bahan peledak TNT diletakkan di bawah mimbar dimana Beliau selalu menyampaikan khutbah setiap hari Jum’at. Demikian besar jumlah peledak tersebut sehingga seandainya meledak akan menghancurkan seluruh Masjid termasuk apa saja dan siapa saja yang ada di dalamnya. Ratusan Muslimin dapat terbunuh. Namun Allah memberikan perlindungan-Nya dan bom tersebut tidak meledak.

Musuh-musuhpun semakin berhasrat melaksanakan rencana gilanya. Mereka mencobanya sekali lagi di Peshawar, tidak lama berselang setelah kejadian tersebut. Ketika itulah Allah Subhanahu wa Ta’ala berkehendak agar Syaikh Abdullah Azzam meninggalkan dunia ini menuju haribaan-Nya (kita berharap demikian Insya Allah). Dan Syaikh wafat dengan cara yang gemilang pada hari Jum’at 24 November 1989 pukul 12.30 siang.

Musuh-musuh Allah meletakkan tiga bom di jalan yang sempit dimana hanya bisa dilewati satu mobil saja. Jalan tersebut adalah jalan yang biasa dilalui oleh Syaikh Abdullah Azzam untuk menunaikan shalat Jum’at. Pada hari Jum’at itu, Syaikh Azzam bersama dengan dua anaknya, Ibrahim dan Muhammad, serta salah seorang anak Syuhada Syaikh Tamim Adnani (salah seorang Pahlawan Jihad Afghanistan lainnya), melalui jalan tersebut. Mobil pun berhenti di mana bom yang pertama berada, dan Syaikh Azzam turun untuk meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki. Musuh-musuh yang sudah menanti segera memicu bom yang telah mereka persiapkan tersebut. Bunyi ledakan dahsyat mengguncang hebat terdengar di seluruh penjuru kota.

Orang-orang berhamburan keluar dari Masjid, dan menyaksikan pemandangan yang mengerikan. Hanya sedikit saja yang tersisa dari kendaraan yang hancur lebur. Tubuh anaknya yang kecil, Ibrahim, terlempar ke udara sejauh 100 meter, demikian pula dengan kedua anak lainnya, beterbangan pada jarak yang hampir sama. Potongan-potongan tubuh mereka tersebar di pohon-pohon dan kawat-kawat listrik. Sementara tubuh Syahid Syaikh Abdullah Azzam tersandar di dinding, tetap utuh dan tidak cacat sama sekali, kecuali sedikit darah terlihat mengalir dari mulut Beliau.

Ledakan itu telah mengakhiri perjalanan hidup Syaikh Abdullah Azzam di dunia, yang telah Beliau lalui dengan baik melalui perjuangan, daya upaya sepenuhnya, dan pertempuran di Jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hal ini semakin menjamin kehidupannya yang sebenarnya dan abadi di Taman Surga -kita memohon kepada Allah demikian, dan menikmatinya bersama dengan teman-teman yang mulia yakni : “Dan barangsiapa yang mena’ati Allah dan Rasul-Nya mereka ini akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu : Para Rasul, Para Shiddiqiin, Orang-orang yang mati Syahid dan Orang-orang Shaleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya” [QS An-Nisaa:69]

Dengan cara seperti inilah Pahlawan Besar dan Penggerak Kebangkitan Islam meninggalkan medan Jihad dan dunia ini, dan tidak akan pernah kembali lagi. Beliau dimakamkan di Makam Para Syuhada Pabi di Peshawar Pakistan, dimana Beliau bergabung bersama-sama dengan ratusan Syuhada lainnya. Semoga Allah menerima Beliau sebagai Syuhada dan menganugerahinya tempat tertinggi di Surga. Pertempuran yang telah Beliau lalui dan telah Beliau perjuangkan tetap berlanjut melawan musuh-musuh Islam. Tidak satupun Tanah Jihad di seluruh dunia, tidak seorangpun Mujahid yang berjuang di Jalan Allah, yang tidak terinspirasi oleh hidup, ajaran dan karya Syaikh Abdullah Azzam Rahmatullah ‘Alaihi.

Kita memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk menerima amal ibadah Beliau dan menempatkan Beliau di Surga Tertinggi. Kita memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk membangkitkan dari Ummat ini. Ulama-Ulama lain sekaliber Beliau, yang menerapkan pengetahuannya di medan perjuangan, bukan hanya menyimpannya di dalam buku dan di dalam Masjid saja.Melalui biografi ini, kami merekam kejadian-kejadian dalam sejarah Islam selama sepuluh tahun terakhir dari tahun 1979 hingga 1989, dan akan terus berlanjut sebagaimana Syaikh Abdullah Azzam berkata :

“Sesungguhnya sejarah Islam tidaklah ditulis melainkan dengan darah Para Syuhada, dengan kisah Para Syuhada, dengan teladan Para Syuhada”. “Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang kafir tidak menyukai. Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk (Al-Quran) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai” [QS At-Taubah: 32-33].

Buku-buku yang ditulis oleh Dr Abdullah Azzam diantaranya ialah :

  • Ayaturrahman fi Jihadil Afghan
  • Addifak ‘an-Aradhil Muslimin min Ahammi Furdhul ‘Iyan (Mempertahankan Bumi Umat Islam - Fardhu Ain Yang Terpenting)
  • Akidah dan Kesannya Dalam Membentuk Masyarakat
  • Adab/Tata-tertib dan Hukum-Hukum Dalam Jihad
  • Islam dan Masa Depan Kemanusian
  • Menara Api Yang Hilang
  • Hukum Berjuang/Beramal Dalam Berjamaah

Sejak Abdullah Azzam syahid, Maktab Khidmat al Mujahidin (terletak di Peshawar) mengumpulkan berbagai petikan khutbah dan ceramahnya kemudian dibukukan sehingga mencapai 50 judul, diantaranya;

  • Seri Tarbiyah Jihadiyyah Wal Bina’ (26 Jilid)
  • Hijrah dan I’dad (3 Juz).
  • Fi Zhilali Suratti Taubah (2 Juz).
  • Fiqh dan Ijtihad dlm Jihad (3 Jilid)
  • Perkataan-Perkataan dari Garisan Api Pertama (3 Jilid)
  • Dibawah Gelora Peperangan (4 Jilid)
  • Pengajaran dari Sirah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallama

Judul-judul di atas adalah merupakan buku-buku yang penting saja sedangkan di sana terdapat berpuluh-puluh lagi buku-buku karangan asy-Syahid dan buku-buku yang ditulis mengenainya. (arrahmah.com)

28 September 2009

Dalam 1 Tahun AS Kosongkan Kantong Sebesar $75 Miliar Untuk Aktivitas Intelijennya



Washington - Pimpinan Intelijen AS telah mengumumkan untuk pertama kalinya mengenai seluruh biaya yang dihabiskan oleh Washington untuk aktivitas intejennya dalam satu tahun.

Direktut Intelijen Nasional, Dennis Blair, mengatakan pada Selasa (15/9) bahwa AS harus mengeluarkan uang sebesar $75 miliar dalam satu tahun untuk aktivitas Intelijennya yang semakin “sibuk” belakangan ini.

Blair memberikan gambaran lengkap sebagaimana yang ia laporkan dalam National Intelegence Strategy tahun 2009, dokumen yang berisi pembahasan mengenai rencana empat tahun mendatang.

Jumlah tersebut merupakan 10% dari dana pertahanan AS tahunan yang totalnya bernilai $650 miliar.

Sejumlah uang yang dipakai oleh 16 agen Intelijen AS dan 200.000 stafnya itu masih menjadi sesuatu yang dirahasiakan pemerintah hingga 2007.

Sedangkan jumlah uang yang dikeluarkan oleh negeri Paman Sam untuk aktivitas Intelijen non-militernya tahun lalu adalah sebesar $47,5 miliar. (arrahmah.com)

27 September 2009

Pernyataan Bagi Rakyat Amerika


Oleh: Syaikh Usamah Bin Ladin Hafidzahullahu Ta’ala ‘Anhu

Segala puji bagi Allah Yang Menciptakan mahkluk untuk beribadah kepada-Nya, memerintahkan mereka untuk berbuat adil, dan Maha Mengabulkan semua doa hamba-Nya yang tertindas dan Maha Berkehendak dalam memberi balasan yang setimpal atas para penindas.

Wahai rakyat Amerika: pesan yang saya sampaikan pada anda adalah untuk mengingatkan anda mengenai alasan penyerangan 11 September, berbagai perang dan ancaman yang terjadi setelahnya, serta berbagai upaya untuk menyingkirkan kaum muslimin dari agama mereka. Saya menghormati keluarga siapapun yang terluka oleh serangan tersebut dan yang baru-baru ini menuntut dilakukannya penyelidikan untuk mengungkap alasan-alasan serangan. Hal itu merupakan langkah awal yang penting dari sekian langkah tepat yang memang sengaja mengarahkan anda pada jalan yang salah selama delapan tahun.

Semua itulah yang akan membawa seluruh rakyat Amerika untuk bergabung dengan mereka (kaum muslimin) karena keterlambatan anda mengetahui alasan tersebut menyebabkan anda harus mengeluarkan biaya mahal, sia-sia tanpa hasil, dan tidak pernah sesuai dengan investasi yang anda keluarkan. Jika administrasi Gedung Putih, salah satu pihak yang terlibat konflik ini, telah meyakinkan anda selama beberapa tahun bahwa perang merupakan sebuah urgensi untuk mewujudkan keamanan anda, ingatlah bahwa banyak orang di luar sana mendesak anda untuk tidak menutup telinga anda dan mendengar argumen lain yang dibutuhkan untuk sampai pada kebenaran.

Izinkan saya memulainya dengan berkata: “Kami telah berkali-kali membuktikan dan menyatakan, selama lebih dari dua dekade ini, bahwa alasan bagi perselisihan dan permusuhan kita bermula dari dukungan sekutu negeri anda, Israel, yang menduduki negeri kami, Palestina”.

Keberpihakan anda dan berbagai macam ketidakadilan lainnyalah yang mendorong kami untuk melakukan serangan 11 September. Jika saja anda mengetahui bahwa ketidakadilan yang kami pikul merupakan rencana Yahudi dengan dukungan dari pemerintahan anda, maka anda akan menyadari bahwa kedua bangsa kita adalah korban politik Gedung Putih, yang dalam kenyataannya merupakan kuda tunggangan bagi segelintir pihak yang memiliki kepentingan, terutama perusahaan besar dan berbagai lobi Israel.

Orang yang paling tepat menjelaskan alasan insiden 11 September ini pada anda adalah salah satu warga negara anda sendiri, mantan agen CIA yang terbukakan hati nuraninya pada usianya yang delapan puluh tahun. Ia memutuskan untuk mengatakan kebenaran meskipun semua ancaman mengincar dirinya dan tak menyurutkan niatnya untuk membeberkan kebenaran di balik 11 September. Sehingga, dia melakukan beberapa hal untuk tujuan itu, salah satunya adalah untuk menulis bukunya: "Apology of a Hired Assassin".

Untuk menjelaskan penderitaan saudara kami di Palestina, belum lama ini pun Obama sendiri mengakui dalam sambutannya di Kairo bagaimana saudara-saudara kami menderita di sana akibat penjajahan dan pengepungan. Masalah menjadi lebih jelas jika anda membaca apa yang ditulis oleh mantan presiden Carter tentang rasisme yang dimiliki oleh orang-orang Israel terhadap rakyat Palestina, dan jika anda juga telah mendengarkan pidatonya beberapa minggu lalu ketika ia mengunjungi Gaza, ia berkata: "Orang-orang dari Gaza diperlakukan lebih seperti binatang daripada seperti manusia." Cukuplah pertolongan Allah. Dialah sebaik-baik Pelindung.

Di sini, kami harus mengambil jeda panjang, bagi siapa saja yang memiliki kemurahan hati, meskipun hanya seberat atom, akan bersimpati dengan orang-orang tua, perempuan, dan anak-anak yang tertindas di bawah pengepungan pembunuh (Israel) ini. Di atas semua itu, kaum Zionis menebarkan bom fosfor putih buatan Amerika pada mereka dan membuat kehidupan mereka menjadi serangkaian tragedi yang tak pernah berujung-yang menyebabkan anak-anak mati dalam pelukan ayah mereka dan dokter karena kekurangan makanan dan obat-obatan, dan tidak ada listrik . Hal ini seharusnya menjadi tamparan dan membuat malu wajah-wajah para pemimpin dunia dan para pengikut mereka yang menerima hal tersebut, dengan berbagai perkiraan, desakan, dan pengaruh lobi Israel di Amerika. Sebagaimana dijelaskan oleh dua warga negara anda, John Mearsheimer dan Stephen Walt dalam buku mereka “The Israel Lobby in the United States”.

Setelah membaca buku-buku yang saya sarankan, mudah-mudahan anda akan sadar akan kebenaran dan akan sangat terkejut mengetahui betapa anda telah disesatkan. Anda juga akan mengetahui bahwa mereka yang membuat pernyataan di Gedung Putih hari ini, mengklaim bahwa perang melawan kami yang urgen bagi keamanan anda, adalah pelaksanaan dari rencana Bush-Cheney dan merupakan taktik politik yang memihak kepentingan perusahaan-perusahaan besar yang beroperasi dengan mengorbankan darah dan perekonomian anda. Mereka adalah orang-orang yang memaksakan perang-perang ini kepada anda, bukan Mujahidin. Kami hanya mempertahankan hak-hak kami untuk membebaskan negeri-negari kami.

Dan jika anda cermati, anda akan mengetahui bahwa Gedung Putih telah diambil alih oleh kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan tertentu, dan upaya-upaya untuk membebaskannya akan lebih baik daripada berjuang keras dalam peperangan untuk membebaskan Irak seperti yang diklaim oleh Bush. Dalam keadaan seperti itu, pemimpin Gedung Putih, siapapun namanya, tampaknya akan selalu menjadi masinis kereta api yang lintasannya telah diletakkan oleh mereka, kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan, supaya ia tidak menggelincirkan kereta tersebut dan menjauhkan ketakutan sebagaimana yang ditemukan pada masa pemerintahan mantan presiden Kennedy dan adiknya.

Singkatnya: Sudah saatnya bagi anda untuk membebaskan diri dari ideologi ketakutan dan teror yang telah dibebankan pada anda oleh para neo-konservatif dan berbagai lobi Israel, serta meja perundingan anda dengan Israel, dan tanyakan pada diri anda sendiri ketika menentukan sikap: apakah keamanan, darah, anak-anak, harta, pekerjaan, rumah, ekonomi, dan reputasi anda lebih berharga? Ataukah keamanan, anak-anak, dan perekonomian Israel yang lebih penting?.

Jika anda memilih keamanan anda dan memutuskan untuk mengakhiri perang -sebagaimana yang ditunjukkan oleh hasil jajak pendapat mayoritas- maka anda harus berusaha mengikat tangan mereka yang juga berusaha mengacaukan keamanan kami. Kami siap untuk bersikap responsif terhadap pilihan semacam itu.

Berikut adalah titik penting yang menuntut perhatian mengenai perang dan keharusan untuk mengakhirinya. Ketika Bush mengambil alih kekuasaan dan mengangkat Menteri Pertahanan yang memiliki andil besar dalam pembunuhan dua juta penduduk di Vietnam, orang-orang bijak telah meramalkan hari dimana Bush sedang bersiap-siap untuk melakukan pembantaian baru selama masa jabatannya, dan itulah apa yang terjadi di Irak dan Afghanistan. Kemudian ketika Obama mengambil alih dan Bush-Cheney lengser, beberapa orang yang ada dalam posisi tinggi Departemen Pertahanan, seperti Gates, Mullen, dan Petraeus, masih bertahan. Orang-orang bijak menyadari bahwa hal itu tidak lain adalah untuk mengendalikan Obama sebagai pihak yang lemah dan tidak akan mampu menghentikan perang sejak ia mengucapkan sumpahnya sebagai presiden.

Sebaliknya, Obama diarahkan untuk menunda penghentian perang itu selama mungkin. Jika dia sudah cukup serius ia akan mempercayakan kepemimpinan kepada mereka yang menentang perang yang sia-sia itu seperti mantan komandan di Irak, Jenderal Sanchez, dan kepala CentCom yang ditekan oleh Bush untuk mengundurkan diri tak lama sebelum meninggalkan Gedung Putih karena ia adalah oposisi perang, dan mengangkat seorang pengganti yang akan mewujudkan dan meningkat strategi perang tersebut.

Kemudian Obama, yang pura-pura bekerja sama dengan Partai Republik, membuat trik besar terhadap anda dengan terus mempertahankan Sekretaris yang paling penting dan berbahaya, orang Cheney, untuk melanjutkan perang.

Akan tiba waktunya bagi anda untuk menyadari bahwa anda tidak mengubah apa pun di Gedung Putih kecuali wajah dan orang-orangnya saja. Dan kenyataan pahit bahwa neo-konservatif masih terus membayang-bayangi anda.

Jika anda menghentikan perang, maka hentikanlah itu. Jika tidak, maka satu-satunya jalan keluar bagi kami adalah meneruskan perang melawan anda di semua wilayah dimanapun seperti yang kami lakukan dengan Uni Soviet selama sepuluh tahun hingga negeri itu hancur dengan izin Allah dan hanya tersisa sebagai sebuah artefak sejarah. Jadi silakan teruskanlah perang ini sebagaimana yang anda inginkan karena anda memperjuangkan harapan yang kosong dan gagalkanlah jika anda beranggapan bahwa perang ini adalah perang yang tidak pernah berakhir hanya demi kepentingan pihak lain.

Jenderal Rusia yang pernah bertempur di Afghanistan telah memperingatkan anda dengan hasil peperangan, sebelum anda memulainya. Tapi sayangnya anda tidak menyukai orang yang memberi nasihat. Sebuah perang yang dibiayai oleh uang pinjaman dengan pinjaman riba yang mengerikan dan moral tentaranya bobrok sehingga mereka banyak melakukan bunuh diri hampir setiap hari adalah perang yang kalah, dengan izin Allah Ta'ala.

Perang ini diresepkan untuk anda oleh dokter Bush-Cheney dengan dalih sebagai obat untuk peristiwa 11 September dan ternyata telah menjadi pahit dan berujung pada kekalahan, rasa yang lebih pahit daripada peristiwa 11 September itu sendiri karena pinjaman terstruktur yang hampir merusak ekonomi seluruh Amerika. Seperti telah dikatakan: Mencari penyakit kadang-kadang lebih mudah daripada mengobatinya.

Dan kami, dengan rahmat Allah Ta'ala, kami memikul senjata di bahu kami dan telah berjuang di kedua kutub kejahatan baik di Timur dan Barat untuk tiga puluh tahun hingga saat ini. Tidak ada satu kasus bunuh diri pun yang pernah terekam di pihak kami. Kami memuji Allah yang Maha Pengasih untuk itu. Hal ini seharusnya membukakan mata anda mengenai ideologi kami, seruan kami, tujuan kami, dan bahwa dengan izin Allah kami tidak akan pernah berhenti untuk membebaskan negeri kami. Senjata kami adalah kesabaran, dan hanya dari Allah kami memperoleh kemenangan. Kami tidak akan pernah menyerah dan berhenti menggenggam al-Aqsa Palestina yang lebih mahal dan tidak akan pernah bisa sebanding dengan apa yang jiwa kami lakukan.

Jadi silahkan jika anda ingin memperpanjang perang sebagaimana yang anda kehendaki, karena kami bersumpah demi Allah, bahwa kami tidak akan pernah bernegosiasi dengan jalan dan dalih apapun atas Palestina.

Perang sengit tidak akan pernah menggentarkan saya
Karena saya tidak lagi lemah
Untuk hal inilah mengapa ibu melahirkan saya

Semoga keselamatan menyertai siapapun yang tidak pernah berhenti mengikuti petunjuk-Nya. (arrahmah.com)

26 September 2009

Sirikit Syah: Media Idealis Hampir Tak ada Lagi

(hidayatullah.com) - Drama penggrebekan Densus 88 di Temanggung, Jawa Tengah, yang memakan waktu 18 jam dan penggrebekan di Jati Asih-Bekasi yang diliput berbagai media, menjadi tontonan gratis sebagian besar orang. Seakan-akan sebuah tayangan yang layak ditonton, atau perlu dipertontonkan. Peliputan tersebut lantas menyisakan banyak pertanyaan penting bagi mantan Ketua Presidium Dewan Kesenian Surabaya, Dra. Sirikit Syah, MA (49).

Perempuan yang pernah mengkampanyekan jurnalisme perdamaian (peace journalism) melalui lembaganya Lembaga Konsumen Media (LKM) --yang merupakan organisasi pemantau media pertama di Indonesia— seolah kecewa terhadap liputan berbagai media (khususnya TV) yang dirasakan lebih cenderung menjadi corong polisi dan kurang independen. “Seperti suting sinetron,” ujar alumnus Westminster University, London (2002) ini. Inilah petikan wawancaranya dengan www.hidayatullah.com.

Menurut Anda, bagaimana liputan media di Indonesia dalam kasus Bom Kuningan kemarin?

Saya melihat banyak media besar hanya mengambil informasi sepihak. Ada penggiringan opini publik melalui strategi penyampaian informasinya polisi yang dilakukan beberapa gelintir media besar. Saya tak menuduh semua media. Salah satu media TV, betul-betul hanya menyampaikan apa yang dikatakan polisi. Jadi nara sumbernya tunggal. Dan secara teori jurnalistik itu tidak baik. Tidak balance dan kurang sahih. Menurut saya perlu diverifikasi ulang.

Pertama, saya lihat nara sumber yang diambil media terbatas. Kedua tidak ada investigasi independen. Kalau ada TV yang berhasil menayangkan penggerebakan, tidak membanggakan. Kesannya, wong dia diajak. Seperti syuting sinetron. Kecuali dalam liputan itu TV datang sendiri, wawancara banyak pihak, atau melakukan investigasi independen. Baru itu disebut mencerdaskan. Tapi dalam kasus kemarin, media tidak melakukannya. Akhirnya media tidak bisa menjadi bagian dari sumber resmi.

Sehari setelah bom meledak di Hotel J.W. Marriot dan Ritz Carlton, media langsung ikut bersama polisi menyebut Nurdin Said sebagai teroris. Tapi ternyata keliru?

Media itu memang bisa melakukan kesalahan. Asal kesalahan itu tidak disengaja. Sepertinya kemarin media tidak mengikuti prosedur. Media tidak melakukan verifikasi, dan tidak melakukan azas praduga tak bersalah. Ketika polisi bilang A, medianya setuju. Jadi sudah trial by the press. Dan ketika terbukti tidak bersalah, tidak ada permohonan maaf dari media, apologi, atau pemulihan nama baik. Menurut saya, ini sangat tidak sopan dalam pergaulan intelek, menyebut-nyebut nama orang sebagai pelaku, tetapi tidak melakukan apologize. Seharusnya memberikan space dan hak jawab untuk memulihkan nama baik mereka.

Mengapa media di Indonesia begitu cepat percaya sumber sepihak? Bahkan untuk beberapa kasus, dirasakan masyarakat sebagai “juru bicara” polisi?

Iya betul. Saya juga agak marah, ketika Kadiv Humas Mabes Polri memberikan pernyataan bahwa media dipakai alat untuk menyuarakan suara “teroris”. Alasan beliau, terlalu banyak media menyuarakan “teroris”. Lho, media mana yang dimaksud? Selama ini justru media menjadi loud speaker kepolisian. Kesan saya, sebetulnya dia memanfaatkan media, tetapi menuduh para “teroris” menggunakan media.

Dalam kasus-kasus seperti ini, apa bedanya pers Indonesia dengan pers asing?

Kalau dalam hal terorisme, media di seluruh dunia sama, akarnya counter terrorism. Dan aksi itu dibiayai luar biasa besar oleh negara kaya, AS dan Eropa. Ada pelatihan dan alat-alat yang canggih. Bedanya dengan Indonesia, kalau media kapitalis itu biasanya pro kepada yang menguntungkan saja. Jadi kalau berita seperti itu banyak yang memberikan sponsor produk pemerintah, dia pro kesitu. Saat ini, media yang idealis hampir tidak ada lagi. Tapi kalau dari reporter-reporter individual, banyak reporter senior di Eropa yang mempertanyakan tuduhan dari negara. Mereka tidak setuju dengan arah pemberitaan. Tapi secara institution corporation, seperti Time dan CNN, masih sangat pro pemerintah dalam project terrorism. Untuk Indonesia, saya tidak suka ketika media di Indonesia mengekor ke media Barat. Memang media kita berlangganan agen berita ke Barat. Mestinya Pimred dan Redpel yang Muslim harus skeptis, jangan asal setuju saja.

Dalam kasus pemberitaan teror, media justru juga dirasakan sebagai pelaku “teror”?

Belakang, media semakin mencemaskan dan membingungkan. Seharusnya media memberi penerangan dan memperjelas apa-apa yang kurang jelas. Misalnya apa betul yang tewas itu Noordin M Top? Tapi media sudah mengatakan Noordin tewas, Noordin tamat. Itu sangat membingungkan.

Dalam kasus bom Kuningan tersebut, media seperti obral stigma, seperti kelompok teroris, fundamentalis, atau kelompok keras. Apa pendapat Anda?

Kalau saya sih, kita (umat Islam) disebut fundamentalis nggak apa-apa. Mereka juga disebut liberalis juga nggak apa-apa. Mereka bilang, “iya memang aku liberalis, so what?”. Kita juga harus begitu. Kita memang harus ‘fundamental’ dalam menjalankan Islam. Tapi kita akan marah jika istilah itu dibelokkan, fundamentalis sudah pasti ‘teroris’. Kenapa being fundamentalist mesti teror? Kenapa mereka ribet sendiri. Mereka selalu cemas, ini ada fundamental teroris. Nah label-label negatif ini sangat mengganggu. Itu sebenarnya aksi politik yang sebetulnya tidak boleh diamini media. Saya baca di media Barat, ada istilah Islamic terrorist. Saya bilang, “Jangan menyinggung-nyinggung Islam itu teroris. Di Irlandia banyak tindakan kekerasan dilakukan orang beragama Katolik. Tapi tidak pernah disebut Katolik Teroris. Di Amerika orang protestan menjadi peledak Oclahoma Building, mereka tidak disebut Protestan Teroris.”

Jadi bagaimana seharusnya media menyikapi labeling seperti itu?

Menurut saya itu label tendensius itu adalah agenda untuk memojokkan umat Islam. Seharusnya media skeptis terhadap istilah itu. Misalnya saya jadi redaktur, saya akan bilang ‘teroris’ saja tanpa Islam. Nah, kenapa ketika kasus di dua hotel (JW. Marriot dan Rizt Carlton) yang dibom itu, hanya dituding nama-nama Islam, kenapa tidak yang lain. Bukannya yang ada di sana ketika itu tidak hanya mereka. Kenapa langsung menjurus ke nama-nama Islam. Lalu CCTV hanya menjurus ke satu orang saja. Maksud saya, jika CCTV bisa mengikuti orang itu saja, bisa jadi ini ada rekayasa atau permainan. Kenapa tidak ditunjukkan yang lainnya juga. Kalau nggak terekam, tapi kenapa kok bisa itu saja?. Herannya, daya kritis seperti ini tidak muncul di media masa. Media hanya menggunakan sumber resmi kedutaan dan kepolisian saja. Media tidak perlu takut. Media tidak akan dibredel. Kalau ada media seperti itu atau takut dengan polisi, berarti ada semacam “konspirasi”.

Pelajaran apa yang harus diambil dari media dalam kasus peliputan Bom Kuningan atau penggerebekan itu?

Pertama, media harus multi angel. Sebab untuk saat ini, harus cover many side, sekadar cover both side saja tidak cukup.

Apa yang Anda tangkap dalam liputan mengenai Noordin M Top?

Menurut saya, dia tokoh rekaan dan fiktif. Saya tidak pinter dalam bidang terorisme. Tapi sampai saat ini, polisi belum bisa meyakinkan saya bahwa Noordin itu benar-benar ada. Tiap tahun Noordin itu berganti gambar, tapi belum bisa tertangkap juga.

25 September 2009

Barat Paling Diuntungkan Stigma Wahhabi

"Apa logikanya, membenarkan gerakan transnasional non-Islam (Barat) leluasa merangsek ke masyarakat kita, sementara gerakan-gerakan transnasional yang Islam malah tidak boleh?"

Dr. Anis Malik Thoha, Mustasyar NU Cabang Istimewa Malaysia.

(hidayatullah.com) - Sejak peristiwa bom Kuningan Juli 2009, istilah Wahabi dan transnasional tiba tiba dibicarakan banyak orang. Berbagai stasiun televisi nasional dan media massa sibuk mengutip ucapan beberapa tokoh tentang hubungan teror bom dengan Wahabi.

Entah sengaja atau tidak, yang jelas dengan bantuan media (khususnya TV) istilah Wahabi tiba-tiba muncul menjadi stigma baru untuk meneror banyak organisasi Islam. Boleh jadi, penyebar stigma ini berharap kaum Muslim Indonesia terpecah belah.

Apa dan mengapa stigma Wahabi ini dimunculkan?. Dan siapa yang untung dengan kasus ini? Kali ini, Hidayatullah mewawancarai Dr Anis Malik Thoha, Khatib 'Aam Syuriah NU Cabang Istimewa Malaysia.

Pria yang masih punya ikatan kekerabatan dengan KH Sahal Mahfudz, Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) ini menyelesaikan S1 di Universitas Islam Madinah. Menyelesaikan gelar masternya di University of the Punjab dan PhD (bidang Comparative Religion) di International Islamic University Islamabad, Pakistan.

Kini, selain menjadi dosen tetap di International Islamic University Malaysia (IIUM), pria yang juga dikenal sebagai pakar pluralisme agama ini sering diundang di berbagai forum internasional guna membicarakan masalah Islam.

Ketika ramai istilah "terorisme", Anis bersikap tegas dihadapan banyak pakar asal Barat. Dalam seminar internasional bertema "Islam: Religion of Peace, Progress and Harmony" di Bangladesh ia mengatakan, Barat (Amerika Serikat) menggunakan kata "terrorism" sebagai senjata politik untuk menguasai dunia Islam. Berikut petikan wawancaranya.

Istilah Wahabi, akhir-akhir ini menjadi polemik oleh sejumlah golongan. Bisakah Anda menjelaskan latar belakang istilah itu?

Saya kurang tertarik membicarakan istilah Wahabi. Sebab, selama ini polemik yang ada cenderung tendensius, emosional, “liar” dan tidak didasarkan pada dasar-dasar berpolemik yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Misalnya, mencoba memahami gerakan ini secara utuh dan benar.

Yang ada lebih cenderung stigmatisasi oleh pihak-pihak yang tidak senang atau merasa eksistensi dan interestnya “terancam”, atau dengan bahasa sekarang: “terteror”, dengan mazhab pemikiran ini. Itu sudah mulai dari sejak zaman Turki Utsmaniyyah, kita lihat bagaimana kebencian pemerintahan Turki pada Wahhabiyyah.

Sayangnya, sebagian besar di antara kalangan Islam di negara kita -saya tidak perlu menunjuk siapa mereka- juga termakan oleh propaganda dan emosi kolektif Utsmaniyyah pada masa itu. Dan sampai sekarang, sikap emosional itu masih terus menguasai diri kita dengan intensitas dan volume yang semakin besar, akibat propaganda Barat yang luar biasa canggihnya yang dikemas dalam bahasa “war on terrorism” atau “perang melawan terorisme”.

Jadi, bagaimana sesungguhnya pengertian istilah itu?

Pengertian istilah yang diberikan untuk gerakan dan pemikiran Islam yang dikembangkan dan dipopulerkan oleh seorang ulama besar dari Saudi Arabia, Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab, pada abad ke-18 tersebut sebetulnya bernuansa negative dan pejorative. Karena sejak semula istilah itu memang dimaksudkan sebagai semacam stigmatisasi terhadap gerakan ini.

Umumnya, penyebutan wahhabi lebih banyak dipakai atau datang dari pihak luar yang bukan pengagum dan pengikut Syaikh Muhammad Bin Abdil Wahhab. Adapun Syaikh Muhammad Bin Abdil Wahhab sendiri dan para pengikutnya lebih sreg menamakan diri pengikut salaf seperti tokoh ulama idaman mereka, yaitu al-Imam Ibnu Taimiyyah.

Anda pernah sekolah di Madinah, adakah hubungan antara pemikiran Syaikh Muhammad Bin Abdil Wahhab dengan tindakan keras atau teror sebagaimana dituduhkan?

Geli sekali rasanya, setiap kali saya membaca atau mengikuti wacana tentang kekerasan (violence), teror, terorisme yang sudah seperti bola liar semenjak Barat melemparkannya ke publik. Karena terlalu gencarnya stigma, kebanyakan kita nyaris tak sempat lagi berpikir dengan nalar yang cerdas dan jernih. Daya nalar kita seakan-akan lumpuh dan nurut aja. Atau bahasa kerennya, semuanya “taken for granted”. Sama dengan kasus terorisme yang dimunculkan Amerika pada dunia Islam. Ini aneh, tapi nyata!

Siapa pun, yang mau membaca sejarah munculnya Wahhabi atau Wahhabisme, akan menemukan bahwa ia sebuah gerakan dakwah yang sesungguhnya mendapat sambutan positif dari seorang raja dan kemudian disebarluaskan. Terlepas setuju atau tidak dengan gerakan ini, hal semacam itu tak ada bedanya dengan apa yang juga dilakukan oleh ideologi-ideologi besar sepanjang zaman. Bahkan termasuk komunisme, sekularisme, dan demokrasi yang sekarang sedang dipropagandakan (dipaksakan) oleh kekuatan global itu.

Tapi mengapa ada sebagian pihak menggiring, adanya bom Kuningan dan Wahabi sebagai bentuk keinginan berdirinya daulah Islamiyyah?

Saya rasa wajar orang/masyarakat Islam menginginkan tatanan yang Islami. Sama dengan masyarakat sekuler yang mati-matian juga menginginkan tatanan dunia yang sekuler.

Kasus ini sama dengan pihak-pihak di belakang lahirnya buku “Ilusi Negara Islam”. Saya melihat, mereka seperti orang yang sudah kehilangan akal dalam merespon atau menyikapi perkembangan di sekelilingnya yang dianggap akan mengancam dirinya. Sangat tendensius dan naif. Bisanya cuma men-stigma, black campaign, membunuh karakter kelompok yang dianggap musuh atau mengganggu eksistensinya. Kalau saya PKS atau HTI (yang dituduh dalam buku itu, red), akan saya sue (tuntut).

Saya tidak habis pikir, LibForAll (yang mendanai dan menerbitkan proyek ini) mengklaim diri liberal dan mendakwahkan liberalisme, kok ternyata sangat konservatif, sektarian dan eksklusif, tidak siap menerima perbedaan.

Fakta ini juga sekaligus semakin membuka mata kita, bahwa buku yang mewanti-wanti atau memberi warning tentang bahaya ideologi atau gerakan transnasional ini ternyata telah terperangkap oleh “kepura-pura tidak tahuannya” sendiri, yaitu mengusung dan menyebarkan ideologi liberalism yang impor itu.

Maksud Anda?

Apa logikanya, membiarkan atau membenarkan gerakan transnasional yang non-Islam (Barat) leluasa merangsek ke masyarakat kita yang Islam, sementara gerakan-gerakan transnasional yang Islam malah tidak boleh?

Siapa paling beruntung soal stigma Wahhabi ini?

Ya, Barat.

Benarkah isu Wahhabi ini muncul untuk mengadu-domba umat Islam?

Memang, berdirinya NU adalah counter terhadap gerakan Wahhabisme dalam level dunia Islam. Namun saya melihatnya, waktu itu, mungkin tokoh-tokoh NU banyak yang secara emosional terbawa oleh warisan sikap resmi Turki Utsmaniyyah terhadap gerakan pemurnian Islam abad 18 di jazirah Arabia itu. Wallahu a’lam.

Betul, sekarang ada saling melempar “bid’ah” dan “kufr” antara yang satu dengan yang lain. Tapi itu sebetulnya, disebabkan kegagalan masing-masing untuk saling memahami satu sama lain. Kalau masalahnya adalah apa yang sering dituduhkan kepada gerakan ini sebagai tajsim dan tasybih terkait dengan ayat-ayat mutasyabihat, menurut saya perlu ditinjau lagi. Sebab, sikap ini sebetulnya bukan pertama kali ditunjukkan oleh pendiri gerakan ini. Sebagaimana diakuinya sendiri, bahwa pendirian ini didasarkan pada pendapat para ulama salaf, yang di antaranya adalah Imam Ahmad Bin Hanbal.

Jadi?

Perlu sikap yang arif dari umat Islam melihat persoalan ini.

24 September 2009

Asep Sobari: Ada Pembajakan Istilah “Islam Transnasional” dan “Wahabi”

NU dan Muhammadiyah juga terpengaruh transnasional. Para pendirinya ada hubungan dengan ulama di Makkah dan Hijaz

(hidayatullah.com) - Istilah Wahabi dan transnasional mendadak terkenal. Tanpa ada angin dan hujan, ia, tiba-tiba dikaitkan dengan teror bom. Uniknya, yang meluncurkan istilah Wahabi bukan orang yang selama ini dikenal intens ada sangkut-pautnya dengan Islam. Lebih merepotkan, media ikut andil mengkampanyekan stigma itu tanpa mengerti benar apa arti sesungguhnya istilah itu berikut dampaknya. “Ada semacam pembajakan istilah “Islam transnasional” dan “Wahabi” akhir-akhir ini,” kata Asep Sobari.

Kali ini, www.hidayatullah.com, mewawancarai peneliti sejarah Islam pada Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS) Asep Sobari, Lc (33). Lulusan Pesantren Modern Darussalam Gontor Ponogoro (1994) dikenal pengamat sejarah Islam. Ia pernah melanjutkan studi di Univ. Islam Madinah (1999), tempat pemikiran Muhammad Syaikh Abdullah bin Wahab berkembang. Kepada www.hidayatullah.com secara panjang lebar Asep menjelaskan ada apa dibalik stigma “Wahabi” dan “transnasional” yang akhir-akhir ini marak dibicarakan.

Istilah wahabi, akhir-akhir ini seolah menjadi polemik oleh sejumlah golongan. Bisakah antum menjelaskan latar belakang istilah itu?

Istilah Wahabi ini istilah yang dimunculkan dan dikaitkan dengan gerakan Muhammad Syaikh Abdullah bin Wahab di Arab Saudi. Menurut saya, dari segi mazhab, sebenarnya Syaikh Abdullah bin Wahab juga menganut mazhab Hambali. Di mana mazhab itu adalah merupakan salah satu dari 4 mazhab lainnya yang diakui oleh seluruh negara. Termasuk NU yang menganut Ahlussunnah Waljamaah (Aswaja). Dalam masalah akidah tidak ada sesuatu yang baru dan melenceng darinya. Yang ada cuma penyegaran dari Ibnu Taimiyah. Pandangan akidanya murni. Makanya dikenal dengan memurnikan tauhid.

Tapi mengapa dikaitkan dengan teror?

Ya itu dia. Jadi letak ekstrim nya di mana? Apalagi dikait-kaitkan dengan ektrimis dan teroris. Kok bisa, dari mana?

Menurut Anda, dari mana penyebutan istilah Wahabi itu?

Sebenarnya istilah ini bukan dinamakan oleh mereka sendiri (Syaikh Muhammad Abdullah Bin Wahab atau kelompoknya), melainkan justru dari pihak golongan luar. Masalahnya, kenapa orang luar yang mengatakan Syaikh Abdullah bin Wahab adalah gerakan Wahabi?. Padahal ia sendiri tidak mengatakan demikian. Nah, kita patut mempertanyakan kepada yang memberi sebutan itu. Menurut mereka Wahabi itu sebenarnya siapa dan apa?. Apa gerakannya apa gagasanya?. Semua itu bisa diskusikan secara ilmiah dan melalui jalur akademis. Sudah banyak literatur yang membahas gagasan-gagasan Syaikh Abdullah Bin Abdul Wahab. Setidaknya, dari situ bisa mengetahui, apa benar Wahabi itu menebarkan aroma teror dan tindakan ekstrimisme sebagaimana disebutkan beberapa orang yang tak mengerti benar.

Bagaimana pandangan Syaikh Abdullah bin Wahab tentang kekerasan, misalnya?

Menurut catatan sejarah, beliau sendiri tidak memiliki gagasan maupun pemikiran seperti itu. Beliau tidak pernah membolehkan pembunuhan. Jangankan pembunuhan terhadap Muslim, di luar Muslim juga diharamkan untuk dibunuh. Jadi, sekali lagi, tidak ada pandangan beliau yang mengidentifikasi sebagai gerakan ektrimisme.

Bagaimana kasus konflik suku dan perang saudara di Arab?

Adapun sejarah perang, praktis semua Negara punya sejarah konflik atau perang. Tapi aneh saja bisa dikaitkan dengan kasus terorisme. Dan apa kaitannya dengan Syaikh Abdullah bin Wahab. Lagi pula saya masih bingung istilah Wahabi itu apa?. Coba yang melontarkan pernyataan itu menjelaskan. Apakah orang yang ada di Saudi atau yang mengikuti pemikiran Syaikh Abdullah Bin Wahab.

Jadi apa sebenarnya yang terjadi dengan munculkan istilah Wahabi itu?

Yang membuat istilah Wahabi sebenarnya adalah orang ataupun gologan di luar kelompok penganut pemikiran Syaikh Abdullah Bin Wahab yang tidak senang dengan gerakannya. Dalam sejarah, ada gerakan rival politiknya, berkaitan dengan Dinasti Ustmaniyah, pemerintah di Hijaz, dan sejumlah perbedaan paham antara mazhab Abdul Wahab dengan ulama Hijaz. Kemudian, muncullah stigma-stigma yang dimunculkan untuk mendeskriditkan Abdullah Bin Wahab. Namun hal itu pernah diluruskan oleh beliau. Jadi, sebetulnya, nama atau istilah Wahabi itu bukan dari dalam, melainkan dari luar untuk memberikan stigma dari nama ini. Untuk lebih menarik, kemudian tokoh gerakan itu dikenal-lah menjadi gerakan Wahabisme, yang pada dasarnya, tidak memiliki keterkaitan dengan Abdullah bin Wahab di Arab Saudi.

Jadi semacam ada pendistorsian sejarah ya?

Ya benar. Ada semacam pendistorsian fakta sejarah. Sekarang ini banyak kelompok gerakan Islam sangat eksis. Sebagian memakai pemikiran Syaikh Abdullah bin Wahab. Namun belum tentu mewakili orisinalitas pemikiran Syaikh bin Abdul Wahab sendiri. Bisa tidak representative. Sama dengan istilah transnasioanal yang sering didengung-dengungkan sekarang ini.

Mereka menyebut istilah transnasional maksudnya apa?. Itu definisi yang tidak jelas. Mendefinisikan ada keterkaitan pola-pola gerakan Islam Indonesia dengan Islam di luar negeri itu terlalu dangkal. Karena pada dasarnya Islam tidak menganut pembedaan lokal atau internasional. Islam tidak mengenal teritorial dan Negara, semua sama. Semuanya dasarnya transnasional. Tokoh-tokoh Islam di manapun, pernah belajar Islam di Timur Tengah. Termasuk tokoh-tokoh NU. Rahmatan lilalamin itu transnasional. Namanya juga rahmatan lillalamin. Jadi menurut saya, ada pembajakan terminologi. Kemudian didefinisikan tertentu untuk kepentingan tertentu. Kita ini Islam rahmatan lil’alamin bukan Islam lokal. NU dan Muhammadiyah juga seperti itu. Justru kalau ada Islam lokal, malah nggak jelas alias Bid’ah. Shalat kan satu dan dasar-dasar pemikirannya kan satu.

Jadi pembagian istilah nasional dan transnasional itu menyesatkan gitu?

Ya. Contoh nyata. Ada buku berjudul “Ilusi Negara Islam”. Buku yang menjadi polemik karena sumbernya mereka sendiri. Ada sih yang merujuk Gus Dur dan Syafii Maarif. Tapi yang jelas, buku ini didukung Libforall, sebuah LSM asing di Indonesia. Menurut saya, ini adalah transnasional paling nyata. Menyebut dengan Islam transnasional dengan kekuatan lokal. Libforall itu bukan lokal, jadi ini harus dikritisi.

NU dan Muhammadiyah juga terpengaruh transnasional. Pendirinya NU ada hubungan dengan transnasional. Para kiai ada hubungan dengan ulama di Makkah, Hijaz dan lainnya. Tokoh-tokoh NU di Indonesia itu punya keterkaitan dengan (almarhum) Syaikh Alawi Al-Maliki di Makkah. Jadi tidak murni mazhab lokal. Selain itu, secara resmi Imam Syafii lahir di Gaza dan besar di Makkah. Lalu belajar di Mesir dan kemudian dipakai di Indonesia, termasuk NU. Toh tidak pernah dipermasalahkan. Apalagi dianggap transnasional.

Jika definisi Islam transnasional adalah sebuah gerakan yang berafiliasi baik secara mazhab dan pemikiran ke ulama Timur Tengah, maka seluruh gerakan Islam di Indonesia adalah transnasional. Jangan lupa, pendiri dua ormas besar ini (Muhammadiyah dan NU) pernah belajar di Timur Tengah dan memakai mazhab mereka.

Lantas, bagaimana dengan pendefinisan beberap pihak tentang Wahabi dan kaitan dengan teror itu?

Ada semacam pembajakan istilah “Islam transnasional” dan “Wahabi” akhir-akhir ini. Apalagi, jika istilah tersebut dikonotasikan negatif, sebagai gerakan penebar teror. Terminologi buatan itu diredefiniskan untuk kepentingan tertentu. Saya tidak menafikan orang yang berfikir kekerasan. Teror mungkin ada. Tetapi terorisme itu dipicu bukan hanya satu faktor saja. Bisa saja orang melakukan kekerasan tapi jangan hanya dibahas dan dirujuk berdasar ciri madzab tertentu. Karena itu sangat tidak arif. Menurut saya, ini stigmatisasi dan kesalahan besar. Sekarang ini, dengan cara memberi stigma, bahkan sampai menyebut cirri-ciri fisik; misalnya mereka yang menggunakan celana pendek atau berjenggot dan lainnya ada sebuah stigmatisasi dengan target-target tertentu. Intinya, ada upaya agar kaum Muslimin kehilangan identitas. Ada usaha agar umat Islam menjadi tersudutkan dan agar orang menjalani Islam menjadi takut. Padahal menghidupkan sunnah kan mulia?!. Apa masalahnya dengan berjenggot dan mencintai Rasulullah, dengan berpakaian yang lebih Islami, dan dari segi-segi kesopanan sudah jelas dari nilai-nilai Islam.

Adakah pihak asing mengintervensi munculnya stigma Wahabi dan Transnasional?

Buku “Ilusi Negara Islam” merupakan bentuk transnasional yang nyata.

Siapa yang diuntungkan dalam kasus ini?

Yang punya kepentingan. Tidak perlu mengatakan pihak siapa. Stigma itu muncul karena ada benturan dua kekuatan. Kekuatan yang dominan yang ingin mapan. Kalau tidak kuat secara argumentasi maka dengan stigma. Dan ini dalam sejarah perjuangan Nabi, sering digunakan oleh kafir Quraisy. Mereka tahu rasulullah tahu, bahwa Rasul adalah al-amin, tapi mulai ajaran baru kemudian yang muncul stigma, bahwa nabi adalah dukun tukang sihir dan lain sebagainya. Plagiat dan lainnya. Karena orang Quraisy tidak bisa melawan secara argumentasi. Mereka ketakutan betul dan mempertahankan kekuaran mereka dengan stigma dan ini sudah Sunnatullah. Islam dikaji ratusan tahun oleh orang barat. Mereka tahu betul. Meski mereka melakukan penggerogotan, Islam terlalu kokoh. Selalu bisa dipatahkan. Meski umat Islam mundur. Tapi mereka tahu, umat Islam memiliki satu kekuatan yang ketika bangkit dan sadar bisa menjadi kekuatan yang tak terkalahkan. Jadi harapannya, stigma itu membuat umat Islam tidak pede atau inferior dan tidak memiliki imunitas.

Bagaimana dengan tuduhan mantan Kepala BIN Hendropriono atau Komandan Densus 88, Suryadarma Salim yang mengatakan, ada hubungan bom dengan pendirian Daulah Islamiyah?

Minta kejelasan yang sejelas-jelasnya pada mereka. Apa yang dimaksud Wahabi oleh mereka?. Sebelum ditanggapi lebih jauh. Apakah betul definisi yang dimiliki oleh Syaikh Abdullah bin Wahab. Mereka menyinggung-nyinggung Daulah Islamiyah. Lha di Arab Saudi sendiri, tidak ada satupun wacana Daulah Islamiyah, apa lagi usaha menggulingkan Negara yang syah selama tidak benar-benar 100 persen kafir. Wong di Saudi demonstrasi saja haram. Kenapa haram, karena dianggap satu tindakan yang menjurus ke tindak satu pemberontakan. Sangat aneh jika Wahabisme dikaitkan dengan pendirian Negara Islam. Menyebut Wahabi saja mereka gak jelas maksudya apa.

23 September 2009

Pers Mengejar Rating, Kaum Muslim Pun Tersakiti

Jika di negara-negara mayoritas non-muslim, pers bisa bertenggang-rasa terhadap masyarakat muslim. Di Indonesia justru pers menyakiti masyarakat muslim

(hidayatullah.com) - Inilah kondisi yang paradoks. Lain di Indonesia, lain pula di Filipina dalam mengambil kebijakan pemberitaan terorisme di media massa.

Awal Februari 2002 berbagai stasiun televisi Filipina menayangkan gambar pemenggalan kepala seorang tentara Filipina oleh anggota kelompok Abu Sayyaf. Tentara itu dipenggal kepalanya di sekitar orang yang tengah shalat. Gambar mengerikan itu menjadi berita hangat, sekaligus menimbulkan protes para orang tua yang khawatir pengaruh gambar itu pada anak-anak.

Presiden Gloria Macapagal Arroyo menggunakan tayangan tersebut untuk menunjukkan kepada publik agar melihat keadaan sebenarnya. “Saya ingin publik melihat wajah dari penjahat ini sebenarnya,” katanya.

Abu Sayyaf adalah kelompok kecil dari gerakan separatis Islam di Filipina selatan yang berbasis di Pulau Basilan. Abu Sayyaf dipimpin Abdurajak Janjalani. Amerika Serikat menuding Abu Sayyaf punya hubungan dengan jaringan Al-Qaeda pimpinan Osama bin Laden.

Abu Sayyaf juga disebut-sebut menyandera dua misionaris berkebangsaan Amerika Serikat dan seorang juru rawat Filipina di hutan Basilan. Untuk itu Amerika Serikat menjanjikan bantuan hampir US$ 100 juta untuk memerangi Abu Sayyaf.

Evelyn O Katigbak dari Center for Media Freedom and Responsibility di Manila menilai, tayangan tadi ditujukan untuk menarik simpati publik dan dukungan tindakan militer. Sejak penyanderaan yang dilakukan Abu Sayyaf di Balikatan, dan rencana Amerika Serikat menerjunkan pasukan membantu Filipina memerangi Abu Sayyaf, politik Filipina memang hangat. Khalayak terbelah antara yang setuju dengan yang tidak setuju dengan kehadiran pasukan asing di sana.

Tayangan itu sendiri menimbulkan efek buruk, terutama terhadap citra Islam. “Pemenggalan kepala, orang yang shalat, bisa menimbulkan efek yang buruk,” kata Evelyn Katigbak. “Meskipun footage itu tidak dimaksudkan secara sengaja menghina Islam, publik bukan hanya membenci tindakan Abu Sayyaf, tapi juga bisa membenci orang Islam keseluruhan.”

Ia memandang, tayangan pemenggalan kepala juga menimbulkan asosiasi negatif terhadap Islam yang dianggap kejam. “Dalam masyarakat di mana penduduk Islam jumlahnya minoritas, pemberitaan soal terorisme demikian bisa menimbulkan kesalahpahaman. Media justru menghadirkan citra yang salah dan menyesatkan tentang satu agama dan ras tertentu.”

Seringkali penyosokan dan stereotip oleh pers menganggap komunitas sebagai satu kesatuan. Seperti orang Afghanistan yang digambarkan sebagai orang yang radikal dan menghalalkan segala cara. Padahal, tak semua orang Islam seperti yang digambarkan. Celakanya, stereotip ini seringkali diikuti oleh pemberian label negatif.

Melinda Quintos de Jesus, juga dari Center for Media Freedom and Responsibility, memberikan contoh pemakaian negative profiling dalam pemberitaan media di Filipina terhadap gerakan Abu Sayyaf. Banyak kepala berita surat kabar di Filipina mengidentifikasi Abu Sayyaf sebagai “penjahat muslim” atau “teroris Islam”.

Bagi de Jesus, ada yang keliru dalam pemberitaan mengenai Abu Sayyaf. Muslim dilihat seakan sebagai sumber masalah. Wartawan tidak sensitif dengan mengaitkan gerakan Abu Sayyaf sebagai personifikasi orang Islam. Kenyataannya, banyak orang Islam yang tidak setuju dengan kekerasan yang dilakukan Abu Sayyaf.

Berkaitan dengan persoalan-persoalan pemberitaan yang bersangkutan dengan agama dan ras, pada tahun 2002 itu pula saat peringatan Hari Pers Sedunia di Filipina, Unesco menggelar Konferensi Internasional tentang Media dan Terorisme. Oliver F. Clarke, Direktur Koran The Gleaner, Jamaica yang mengawali presentasi, menyebutkan, meliput terorisme harus dengan kepekaan dan profesionalitas tinggi. Media harus sensitif, terutama ketika berhubungan dengan ras atau agama.

Berita yang dimaksudkan mengkritik kelompok teroris, jika tak hati-hati bisa mengarah kepada penyosokan negatif terhadap ras atau agama tertentu. Tanpa memperhatikan hal-hal semacam itu, pemberitaan terorisme bisa menimbulkan masalah baru. Apalagi kalau media dibaca oleh khalayak yang beragam.

Begitulah pengamat media dan tokoh media asing memperhatikan sensitifitas suatu pemberitaan, terutama yang bersangkutan dengan ras dan agama. Sebaliknya dengan apa yang terjadi di Indonesia, yang mayoritas berpenduduk muslim, pemberitaan mengenai terorisme seakan-akan royal dengan penyosokan dan pengkaitan dengan agama. Ini terlontar dari ucapan aparat keamanan atau media. Padahal, rasio antara jumlah penduduk muslim dan pelaku terorisme, amat sangat kecil.

Ambil contoh ketika terjadi peristiwa ledakan bom di Hotel Marriot dan Ritz Charlton di Jakarta pada Jumat pagi (17/7), secara tidak langsung mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Abdullah Mahmud Hendropriyono menuding pelakunya kelompok Wahabi. Saat diwawancarai sebuah TV swasta via sambungan telepon Jumat malam, ia mengatakan, pemerintah hendaknya lebih mengantisipasi gerakan Wahabi di Indonesia.

Dalam pemberitaan ini, media pun tidak melakukan klarifikasi ulang berkaitan penyebutan Wahabi. Padahal dengan menyebut istilah Wahabi ini, malah justru bisa menimbulkan persoalan di masyarakat. Kategori Wahabi ini sangat longgar sekali.

Ada sebagian masyarakat yang menganggap kelompok Wahabi adalah kelompok atau golongan yang tidak suka dengan kegiatan tahlil dan ziarah kubur. Ini tentu bisa menimbulkan benturan antar ormas keagamaan yang memiliki kebiasaan berbeda. Sementara di antara ormas keagamaan itu masing-masing pasti tidak mengembangkan kegiatan yang bersifat teror, kecuali hanya mengembangkan kegiatan pendidikan dan dakwah.

Tak salah jika kemudian Ketua PP Muhammadiyah Dr. Yunahar Ilyas menyebutkan, ajaran yang dikembangkan Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab (yang dianggap Wahabi, Red) adalah ajaran memurnikan tauhid. Tak ada hubungannya dengan tindakan teror. (www.hidayatullah.com, Selasa (4/8).

Sementara Ketua Umum DDII KH Syuhada Bahri mengungkapkan, ada keinginan dari kelompok tertentu yang tidak ingin melihat Islam berkembang maju. Caranya, dengan mengkaitkan aksi teror dengan ajaran Wahabi.

“Ajaran Wahabi itu mengajak untuk kembali kepada ajaran yang bersumber dari al-Quran dan Sunnah,” katanya. Kalau ajaran Wahabi ini dilaksanakan dan diketahui oleh umat Islam secara sadar, akan menjadi kekuatan yang dahsyat yang bisa membawa umat kepada kemajuan. Umat Islam tidak akan terpuruk jika berpegang kepada Al-Quran dan Sunnah.

Dia menjelaskan, dahulu yang dianggap Wahabi itu organisasi Muhammadiyah, Persis, dan al-Irsyad. Dia mempertanyakan, apakah organisasi-organisasi Islam ini mau disebut teroris. Padahal organisasi Islam tersebut telah lama memberikan kontribusi nyata untuk negeri ini.

Kekurangpekaan media terhadap sensitivitas di masyarakat, juga terjadi saat aparat menahan 17 anggota Jamaah Tabligh berkewarganegaraan Filipina yang sedang melakukan Khuruj (perjalanan dakwah dari masjid ke masjid) beberapa waktu lalu. Dari anggota Jamaah Tabligh tersebut, sembilan orang ditangkap di Purbalingga dan delapan orang di Solo. Dalam pemberitaan itu media bahkan menyebut-nyebut penggunaan jubah terhadap 17 orang yang ditahan itu.

Bahkan busana dan penampilan umat Islam pun menjadi bahan pembahasan di media massa. Sampai-sampai salah satu aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL), Novriantoni Kahar di sebuah stasiun TV, Jumat, (21/8) malam, berkomentar lepas dari adab beragama dengan mendesak agar sebagian umat Islam sementara waktu melepaskan simbol-simbol Islam. Yang dimaksudkan simbol-simbol Islam itu berjenggot, jubah, dan cadar.

Tampak sekali upaya-upaya menanggulangi aksi terorisme telah berjalan di luar relnya. Media dan aparat keamanan bergerak jauh menyinggung sensitivitas yang ada di masyarakat, terutama berkaitan dengan wilayah pelaksanaan ibadah.

Ketua PBNU, Said Aqil Siradj, sampai berpendapat, stigmatisasi negatif dan banyaknya kasus salah tangkap sebagai fenomena fitnah. Padahal, sebelum aksi teroris terjadi, sebagian besar masyarakat menghormati orang yang mengenakan sejumlah simbol keagamaan itu. Hal itu karena menunjukkan simbol ketaatan kepada sunnah Rasul. Saat ini, sejumlah simbol itu malah diidentikkan dengan teroris. ''Ayah saya sendiri berjenggot. Saat shalat Jumat, ayah saya bergamis. Ini yang dinamakan zaman fitnah,'' katanya.

Said juga menyesalkan, stigmatisasi negatif atas pesantren karena memang tidak benar. Pesantren merupakan lembaga pendidikan untuk mendidik santri menjadi teladan bagi keluarga dan bangsa. Karena itu, tidak bisa menggeneralisasi kesalahan yang dilakukan segelintir alumnus pesantren sebagai alasan menstigmatisasi negatif semua pesantren.

''Di Indonesia, ada 15 ribu pesantren. Masak, kalau misalnya 1-2 pesantren terlibat, puluhan ribu dianggap terlibat,'' katanya. Ia mengimbau polisi tidak menggeneralisasi simbol keagamaan sebagai teroris.

Menurut Zainal Arifin Emka, mantan Wakil Pemimpin Redaksi Harian Surabaya Post yang kini menjadi Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Surabaya-Akademi Wartawan Surabaya, pemberitaan media massa terhadap kasus terorisme bukan hanya tidak bijak, tapi juga serampangan dan tidak sensitif. Karena itu wajar kalau pemberitaan terorisme bukan memunculkan kesadaran, tapi justru memperkuat kecurigaan bahwa ada rekayasa kepentingan di balik aksi terorisme itu sendiri.

“Kalau penyebutan simbol-simbol agama seperti itu dilakukan oleh Sydney Jones (analis terorisme dari International Crisis Group), saya masih bisa memahami. Konyolnya atau bodohnya, ada presenter televisi yang menanyai reporternya di lapangan dengan pertanyaan: apakah si tersangka teroris itu suka mengaji, sering ke surau, menjadi imam shalat, dan kadang-kadang berkhotbah. Identifikasi seperti itu hanya menyakitkan umat Islam, sekaligus mengadu domba dan membangun sikap curiga di masyarakat,” katanya.

Sedang menurut Pemimpin Redaksi www.eramuslim.com Mashadi, pemberitaan terkait terorisme yang gencar dilakukan berbagai stasiun televisi, salah satu tujuannya sebagai upaya mengejar rating. “Mereka hidup dari iklan, maka dibuatlah program-program, termasuk program berita, yang dapat memperoleh rating tinggi,” ungkapnya di Jakarta.

Isu terorisme adalah isu yang saat ini hangat diberitakan. Itu sebabnya stasiun televisi berlomba-lomba menayangkan berita terkait terorisme yang bersifat eksklusif, beda, aneh, dan terbaru. Jangan heran kalau banyak media televisi mengait-ngaitkan liputannya dengan beberapa hal, meski sama sekali tidak ada kaitannya dengan isu terorisme.

Hal senada disampaikan Ismail Yusanto, Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Saat ini, berita terorisme sangat diminati para pemirsa. “Ini bisa kita saksikan dari penayangan secara live penggrebekan Densus 88 di Temanggung oleh beberapa stasiun televisi. Jutaan pemirsa selama belasan jam tersihir oleh tayangan itu,” katanya.

Banyaknya pemirsa yang menonton, jelas Ismail, tentu akan mempengaruhi rating program berita tersebut.

22 September 2009

Dialog Dengan Abu Rusdan :Bedakan, Jihad dengan Terorisme

Detasemen Khusus 88 Antiteror kembali mengungkap jaringan terorisme dengan menangkap beberapa orang di sebuah rumah di Jalan Dwikora Nomor 2110 Palembang. Atas penangkapan itu, nama JI kembali terseret dan diduga ada dibelakangnya.

Dari pengungkapan itu, Densus berhasil menemukan 20 bom, 16 di antaranya siap ledak, serta puluhan kilogram bahan peledak yang disembunyikan di plafon rumah.

Benarkah JI kembali terlibat? tim Trijaya dalam acara Jakarta First Channel (JFC) telah melakukan perbincangan dengan mantan terdakwa yang dituduh sebagai anggota JI Thoriqudin alias Abu Rusdan alias Hamzah.

Dalam perbincangan itu, Abu Rusdan kembali menegaskan kalau JI tidak ada kaitannya dengan tindak kekerasan seperti yang dialamatkan sejumlah pengamat.

Menurutnya, JI adalah jaringan Islam yang tidak menganut kekerasan. Kalaupun ada yang mengatasnamakan JI, itu hanya segelintir orang yang ingin menjatuhkan nama JI.

Berikut petikan wawancaranya:

Mungkin Anda mengikuti tertangkapnya dua orang di Palembang. Anda yang pernah mendapat tuduhan sebagai anggota Jaringan Islamiya (JI) melihat ini bagaimana?

Kalau apa yang saya pahami, JI adalah sebagai institusi, sebenarnya tidak pernah terlibat masalah terorisme dimanapun juga. Mungkin ada pihak tertentu yang terlibat tindak kekerasan dalam bahasa yang dikenal masyarakat sebagai terorisme, dan mengaku sebagai JI. Saya tidak paham bagaimana mereka mengaitkannya. Sebab, yang saya pahami JI adalah kegiatan-kegiatan keislaman yang berhubungan dengan Abdullah Sungkar (alm) itu tidak ada kaitannya dengan tindak kekerasan.

Menurut Anda Pandangan soal JI mengarah kepada terorisme?

Jadi begini. Masalahnya komplek, kita harus telusuri dari awal, ada sekelompok pemuda muslim yang mereka itu dididik untuk jihad di Afghanistan. Semangat jihad dan kemampuan secara teknis menggunakan senjata dan bahkan bahan peledak itu memerlukan ruang untuk mempraktekkan itu, sementara kondisi sosial, ekonomi, dan budaya tidak memungkinkan itu berkembang.

Apa yang terjadi di Palembang, ada bahan bom yang dirakit. Dengan itu, apa Noordin M Top sekarang cukup leluasa merencanakan serangan?

Kalau kita teliti jujur dan apa adanya seperti di Palembang, belum ada action, hanya semacam mengumpulkan bahan-bahan, itu kalau benar. Apa yang kita dengar di media masa atau pengumpulan senjata, bahan peledak, apalagi katakanlah kelompok Noordin M Top, orang biasa saja melakukan hal itu hari ini bisa, hanya karena kebetulan orang yang memegang, dicurigai ada hubungannya dengan Noordin, maka persoalannya menjadi lain.

Sekarang ini Amrozi akan di eksekusi, apakah benar akan ada semacam balas dendam dari JI "garis keras" jilid dua?

Kalau kita berbicara JI itu sebenarnya tidak ada garis keras dan lunak, JI ya JI. Artinya, kalau ada yang membagi, saya pikir adalah pengamat yang tidak paham mengenai apa yang terjadi di tubuh JI, baik dari pengamat swasta atau yang lain. Adapun ada jilid dua atau ada dendam itu tidak kita kenal dalam ajaran islam, artinya, siapapun yang berkomitmen dengan prinsip dasar ajaran JI tidak mungkin akan membuat tindakan balas dendam apabila, Amrozi, Mukhlas, Imam Samudra di eksekusi. Sebab, apa yang dilakukan pemerintah terhadap ikhwan bertiga adalah risiko perjuangan yang kita pahami bersama. Siapapun yang terlibat JI, yang berpegang prinsip JI tidak kenal balas dendam.

Lalu, yang Anda ketahui apakah Noordin M Top masih berada di Indonesia?

Saya tidak tahu persis. Tapi kalau semacam analisa, tempat yang paling aman bagi Noordin saat ini adalah di Indonesia hari ini.

Kenapa aman? sulit dideteksi atau bagaimana?

Pertama, selama berada di Indonesia, kemudian setelah peristiwa belakangan yang membuat beliau berada di Indonesia, mau keluar dari Indonesia juga tertutup semua. Kalau dia mau aman ada dua tempat, yang pertama di Mindanau dan yang kedua di Afganistan. Sementara ke Afganistan tidak mungkin dan ke Mindanau tidak ada beritanya. Sementara temen yang ada di Mindanau yang dicurigai sebgai bagian tindak kekerasan seperti Abdul Masin dll juga di Mindanau. Jadi kemungkinan besar Noordin ada di Indonesia, masih.

Apakah kemungkinan Noordin di Indonesia dan kemudian yang di Palembang ditangkap yang diduga terkait dengan Noordin bisa leluasa melakukan aksinya mereka, terutama menjelang pemilu?

Kalau target 2009, siapapun entah Noordin atau siapa yang mau bergerak ibadah jihad, tidak pernah mentargetkan seperti itu, apakah pemilu atau yang lain yang sifatnya adalah kegiatan politik sementara tidak pernah menjadi ukuran bagi siapaun yang terlibat dalam jihad fisabililillah untuk menjadikannya sebagai target. Kalau ada, misalnya ada yang mengaku menggunakan isu politik lokal sebagai momentum, justru kita waspada, justru mereka ditunggangi. Sebab, kaum muslimin yang bergerak di dalam jihad, sebenarnya tidak pernah berpikir masalah isu politik lokal dan lainnya.

Sebenarnya mereka tidak punya target ke pemilu? kalau begitu isu apa yang mereka perhatikan?

Jadi kalau mengikuti yang diajarkan agama Islam dalam ibadah jihad, ada langkah-langkah yang baik, menyampaikan dakwah yang benar dan sebagainya. Kalau misalnya ada sekolompok orang islam, misalnya Noordin, mereka mengunakan isu politik lokal, justru kita harus waspada apakah ditunggangi oleh kepentingan politik lokal yang mempunyai kepentingan itu.

Apakah ada semacam permainan, bisa jadi misalnya intelijen yang memperkeruh suasana?

Kita mengambil semacam perbandingan, bahwa Al-Qaidah, yang bergerak dalam jihad sudah mempunyai organisasi yang rapi dan jaringan yang rapi, itupun tidak menutup kemungkinan untuk sebuah operasi tertentu mereka bisa melaksanakan sesuatu yang tidak ditunggangi diluar kendali mereka. Apalagi di Indonesia, kita tahu sendiri, bahwa kelompok yang bergerak dalam bidang jihad yang 'menggunakan kekuatan persenjataan' itu tidak sekuat Al-Qaidah dalam oraganisasinya, perencanaanya, dan sarana dan prasarananya, sangat mungkin ditunggangi oleh kepentingan politik tertentu tanpa sepengatuan para pelakunya. Sangat mungkin.

Apakah Anda sendiri melihat, dengan menggunakan kekerasan, terorisme yang dihubungkan dengan jihad, seperti apa?

Kalau memenuhi persyaratan yang diajarkan Islam itu sah secara syariat Islam, kalau untuk itu kan perlu dikaji. Kalau tidak memenuhi persyaratan-persyaratan mereka bersemangat ibadah jihad, tapi mereka melakukan sebuah kekeliruan. Menurut pandangan saya, orang-orang seperti ini harus diberitahu, kita harus ada dialog. Memberitahu mereka jihad fii sabilillah adalah ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk melakukannya harus taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jadi pengertiannya, ini adalah masalah ibadah, kalau kita mencanangkan jihad adalah ibadah itu artinya kita sudah mencanangkan sebuah tujuan. Di dalam Islam, tujuan itu yang menentukan cara, bukan tujuan yang menghalalkan cara. Kalau tujuannya ibadah kepada Allah harus mengikuti Allah Subhanahu wa Ta’ala. (muslimdaily.net)

21 September 2009

Gelar Syuhada Amrozi Cs, Tidak Perlu Label MUI

Bola panas peristiwa pembunuhan Amrozi Cs. masih bergulir kencang. Polemik hingga kini belum berhenti, dan media pun masih melirik untuk mengeksplorasi berita. Sedang di kalangan masyarakat bawah, banyak yang menyatakan pro, simpati, dan dukungan terhadap Amrozi Cs, terlepas dari salah atau tidaknya mereka di mata hukum, dan sebagian juga mengkhawatirkan ekses dari dibunuhnya para pelaku bom Bali tersebut akan berakibat yang lebih buruk. Namun ada pandangan menarik dari salah salah satu tokoh yang kebetulah ikut serta dalam pemakaman di Lamongan. Beliau adalah Ustadzadz Abdul Rachim Ba'asyir yang sehari-hari menjadi pengajar di Pondok Pesantren Al Mukmin Ngruki sekaligus menjadi Ketua Sariyyah Da'wah dan I'lam Jamaah Ansharut Tauhid, sebuah jamaah Islam yang baru-baru ini diproklamasikan oleh Ustadz Abu Bakar Ba'asyir. Berikut petikan wawancaranya.

Semenjak gonjang-ganjing tanggal eksekusi mati ketiga Mujahid Bali beredar luas, media seakan teralihkan ke masalah tersebut. Dan kini ketika foto jenasah Amrozi Cs beredar, seolah media berebut untuk mendapatkan dan menampilkannya dalam media mereka. Menurut pandangan Ustadz bagaimana?

Ya itu biasa persaingan media. Itu persaingan sehat dan wajar di dunia media. Cuma kita sayangkan kalau ada pihak yang punya keinginan untuk mencari keuntungan - bila hal ini terjadi - seperti menjual foto itu demi keuntungan pribadi, maka ini akan menjadi preseden tidak baik.

SBY berkomentar bahwa eksekusi Amrozi Cs dengan dukungan yang luar biasa dari masyarakat itu adalah akibat dari pengaruh mass media yang terlalu mengekspose beritanya. Terkesan pemerintah kewalahan menghadapi opini media soal dukungan kepada mereka ? Pendapat anda?

Ya... itu kan respon wajar dari masyarakat. Bagi ana (saya) pemerintah kuwalat dalam masalah ini. Toh eksekusi mereka itu tak sepi dari keinginan pemerintah untuk cari keuntungan, dan sepertinya memang sudah dapat. Nah... mosok mau hasilnya gak mau resikonya.. itu urek (curang) namanya. Yang perlu digaris-bawahi adalah jawaban opini ini datangnya bukan dari manusia tapi langsung dari Rabbul 'Alamin melalui karomah yang memang biasanya Allah turunkan pada para syuhada. Nah, hal inilah yang nampaknya tidak diprediksi oleh pemerintah sebelumnya, bahwa Allah itu bisa turunkan karomah. Mereka 'kan orang-orang sekuler yang gak percaya sama hal-hal begini. Bahkan mungkin mereka nilai hal ini seperti ini tahayul. Namun bagi para Mujahidin sudah sangat faham dengan hal ini karena pemandangan karomah itu hal wajar terjadi di dunia Mujahid dan Syuhada. Sebenarnya Ustadz Abu Bakar Ba'asyir sendiri juga sudah sempat mengingatkan ketika beliau diwawancara oleh berbagai media bahwa kalau pemerintah ngotot ingin eksekusi, pasti akan ada hal-hal yang di luar dugaan pemerintah akan terjadi. Atau dalam bahasa lain beliau sebutkan "saya khawatir kalau ada bala' yang turun."

Respon masyarakat ini apakah bukti jika masyarakat telah menerima syariat jihad?

Menurut ana (saya) belum sejauh itu. Masyarakat masih butuh bimbingan lagi. Kita tau 'kan sejauh mana parahnya kejahiliyahan masyarakat kita ini. Memang karomah itu pada prinsipnya, seperti yang diterangkan oleh Syaikh Abdullah Azzam - komandan sekaligus guru para Mujahidin di dunia-red, diturunkan kepada masyarakat yang imannya lemah dan tujuannya memang untuk meningkatkan nilai iman mereka. Maka biasanya mereka yang bisa melihat hal ini akan mengambil iktibar dan imannya akan meningkat. Tapi kalau hatinya buta, ya sudah, akan tetap buta bahkan akan terus melawan hingga Allah Subhanahu wa Ta’ala akan turunkan bala' atau azab-Nya. Karomah itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada hamba-hamba-Nya yang Sholih. Kalau para Anbiya’ itu namanya Mukjizat, tapi secara fungsi kedua hal itu sama, yaitu untuk meningkatkan keimanan. Nah, lihat saja pada kisah-kisah para Nabi. Selama ini kaum yang sudah diberi petunjuk berbagai Mukjizat lalu mereka tetap tidak mau beriman, ya ujungnya bakal dihancurkan. Tapi bagi mereka yang mengambil I’tibar akan diselamatkan. Begitu juga karomah ini, fungsinya sama, tinggal bagaimana kita aja, mau ngeyel terus atau mau mengambil iktibar. Masing-masing akan ada konsekuensi dan hasilnya sendiri-sendiri.

Lantas bagaimana dengan sikap MUI yang mengambil pendapat tidak populer dengan menolak mendukung opini bahwa mereka adalah syuhada?

Menurut saya para ulama di MUI bukan tidak tahu tentang hal ini. Tapi mungkin ada suatu tekanan bagi mereka hingga mereka tidak berani mengeluarkan pernyataan yang sejujurnya. Hal ini terlihat bahwa di beberapa kalangan MUI sendiri berbeda pendapat. Saya dengar Kyai Cholil Ridwan tetap menganggap mereka syuhada. Begitu pula dengan beberapa kyai MUI di daerah, bahkan juga berpendapat demikian. Ini buktinya bahwa pernyataan resmi MUI itu sarat tekanan atau kepentingan pihak-pihak tertentu. Tapi apapun alasannya, yang perlu digarisbawahi adalah bahwa para syuhada tidak butuh label MUI. Biarlah label MUI itu cukuplah untuk produk makanan yang akan dijual di pasar saja lah.

Apakah anda mencium aroma perang media antar media sekuler dan Islam, dan MUI adalah salah satu korban dari perang media tersebut?

Bagi ana (saya), peperangan ini bukan perang antar media. Namun peperangan yang terjadi justru antara kekufuran dan keimanan. Media hanya terompet-terompet yang berbunyi nyaring yang lebih menyemarakkan lagi genderang perang ideologi itu. Toh masing-masing media itu juga ternyata membawa berbagai kepentingan dan pesan tertentu. Ada yang kepentingannya duniawi, dan ada yang ukhrawi. Jadi wajar dong kalau kemudian ada tarik-menarik antara kepentingan-kepentingan tersebut.

Wah berarti saat ini kondisi aktivis Islam berada di atas angin dong?

Ya ini sebuah pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang sedang turun bagi mereka. Maka seharusnya kalangan aktivis Islam benar-benar harus pandai menggunakan kesempatan ini untuk lebih mengajak umat ke arah jalan yang lurus dan benar. Bukan malah dijadikan ajang provokasi yang nantinya menjerumuskan orang yang punya niat baik tapi polos ke dalam gurita intelijen yang jahat. Ini harus benar-benar diwaspadai. (muslimdaily.net)

Menurut anda apa yang wajib kita manfaatkan dalam momentum syahidnya ketiga Mujahid bali ini?

Pertama, mengingat kematian. Bahwa kematian itu hanya sekali dan kitalah yang memilih di mana kematian kita itu akan kita lalui. Apakah di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala atau di jalan syetan. Kedua, betapa besarnya Rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala ini. Di mana kita lihat Allah Subhanahu wa Ta’ala masih ingin mengingatkan bangsa ini dengan karomah-karomah. Padahal bangsa ini sudah begitu nakal dan kelewat batas, yang seharusnya sudah diazab, tapi masih saja Allah Subhanahu wa Ta’ala mau memberi peringatan. Maka hal ini harus disyukuri. Dalam arti diambil hikmahnya sebaik mungkin. Ketiga, hendaknya hal ini dijadikan sebagai peringatan yang mengingatkan bangsa ini, bahwa permainan Dajjal benar-benar sedang menari-nari dihadapan mata mereka. Di mana kebaikan telah digambarkan sebagai keburukan, dan keburukan digambarkan sebagai kebaikan hingga kita sebagai umat Islam harus waspada terhadap permainan busuk ini supaya tidak tersesat dan termasuk golongan orang yang merugi.