21 May 2010

Mujahid Media Itu Harus Eksis dan Terdepan

Muhammad Jibriel Abdul Rahman

Ironisnya, Ikhwani fillah, perang media propaganda mereka ini didukung oleh media-media yang katanya “Islami”

Segala Puji Bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala atas segala karunia-Nya berupa kenikmatan iman, takwa, dan keistiqomahan buat para mujahid-mujahid yang berjuang di jalan-Nya. Sholawat dan salam buat junjungan besar kita, komandan mujahid, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beserta keluarga dan para sahabat-sahabatnya. Amma ba’du.

Dengan izin Allah, ana bisa menulis kembali untuk ikhwah dan akhwat sekalian. Walaupun hanya sebatas kata-kata Tahridh (penyemangat), namun Insya Allah bermanfaat buat kalian dalam menjadi sosok Mujahid media ke depan.

Ikhwani wa Akhwati fillah!

Memang perjuangan ini amatlah berat, penuh hal-hal yang membuat kaum muslimin sesak apabila melihat penindasan-penindasan kaum munafik, kafir, dan sebagainya terhadap umat ini. Penindasan yang mereka lakukan bukan saja pada fisik melalui invasi militer dan kekuatan-kekuatan yang lain. Namun juga didukung oleh media-media sekuler antek-antek Yahudi, dengan sarana propaganda jijik lagi keji melalui TV, media internet, surat kabar, dan sebagainya.

Ironisnya, Ikhwani fillah, perang media propaganda mereka ini didukung oleh media-media yang katanya “Islami”, tapi keterpihakan terhadap kaum muslimin begitu minim, bahkan tidak adil sama sekali.

Subhanallah, bagi umat Islam, terutama mujahid media Islam, netralitas kita adalah keberpihakan kita terhadap kaum muslimin dan pejuang-pejuang Islam yang membela kaum muslimin, dengan harta dan jiwa. Menabrak pakem yang telah dibuat oleh kaum sekuler dan kafir ini adalah sebuah kemuliaan buat Islam dan Izzatul Islam.

Coba Anda renungkan dengan baik saudara-saudaraku. Semua aturan media internasional itu dibikin oleh kaum zionis, dari aturan jurnalistik kenetralan, hal-hal humanis, serta keberpihakan media kepada negara-negara penjajah. Semua itu bentuk penjajahan jiwa buat jurnalis-jurnalis Islam di dunia. Mereka yang membuat sumber-sumber berita, dan kita yang mengutip untuk kita publish, seperti AP, Reuters, AFP, CNN, BBC, dan lain-lain. Kebanyakan kita berkiblat kepada sumber berita itu, mulai dari pengambilan, penyodoran, bahkan gaya atau lifestyle yang mereka buat.

Terus terang, selama lima tahun ana berkecimpung dalam dunia media ini, walaupun secara khusus ana bukan jurnalis yang hebat, bahkan masuk sekolah jurnalis saja tidak pernah, namun dengan izin Allah, dengan dibantu orang-orang yang ikhlas, ana bisa menabrak pakem yang dibuat kaum sekuler ini. Semua ini ikhwan, bisa terjadi bukan karena kita menguasai ilmu jurnalistik, tapi harus lebih dari itu.

Untuk menjadi jurnalis Islam yang hebat, itu sangat mudah. Semua itu harus bermula dari jiwa yang bersih, hati yang bersih, dan hanya meletakkan Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas segala-galanya. Kita bertauhid kepada-Nya, serta menjadikan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai suri tauladan hidup, dengan Al-Quran dan-Hadis sebagai pegangan hidup. Demi Allah, kalian akan hebat bilamana itu semua kalian laksanakan.

Mengapa harus memerlukan jiwa yang bersih?, karena dengan jiwa yang bersih, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberikan kita sebuah mata hati yang bisa melihat antara yang haq dan bathil, kebenaran dan kesesatan. Yang bisa membedakan, mana yang Islam dan mana yang kafir serta munafik. Tanpa hati yang bersih, maka kebatilan selalu terdepan, sedangkan kebenaran tersingkir hanya demi memuaskan musuh-musuh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka konsep cek dan ricek, atau dengan kata lain tabayyun ini sangatlah penting. Wajib bagi jurnalis-jurnalis Islam bertabayyun dalam setiap hal, dan bisa memberikan yang terbaik buat Islam dan kaum muslimin, walaupun orang kafir membenci dan memboikot. Jangan hanya gara-gara orang tidak ingin beriklan di media kita, kita sanggup mengorbankan kebenaran ke arah sesuatu yang samar-samar atau bohong.

Yang kedua, meletakkan Allah di atas segalanya. Dan poin ini sangatlah penting. Di sinilah banyak di antara kita, dari jurnalis muslim kadang ragu dalam hal kebenaran. Bahkan takut menyampaikan kebenaran itu, karena masih merasa manusia lebih besar dari Allah, takut kepada bos, pemerintah, dan penegak hukum thaghut.

Apabila kebenaran itu disampaikan, maka mungkin akan diintimidasi bahkan ditangkap. Saudaraku, ingatlah jika manusia ini berkumpul untuk memberikan kemadhorotan (mencelakakan) kepada kamu, mereka tidak akan bisa kecuali dengan izin Allah. Allahu akbar!! Allah Maha Besar, tidak ada yang lebih besar dari-Nya. Jangan takut, maka bergantunglah kepada-Nya dan bijaksanalah.

Ketiga, menjadikan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai suri tauladan. Ia benar, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan contoh terbaik buat umat Islam dalam segala hal, perhatikan QS. Al-Fath ayat 29.

“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan Dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka...”

Ayat tersebut menggambarkan sikap dan keberpihakan kita, serta loyalitas kepada sesama muslim. Keras terhadap orang kafir dan lembut terhadap sesama orang Islam. Ini perlu kebijaksanaan para mujahid itu sendiri. Intinya, sebelum menulis sesuatu berita atau artikel, kita harus mempertimbangkan dampaknya untuk kaum muslimin. Jika itu sebuah kebenaran, maka harus disampaikan walau pahit, tapi harus bijaksana dan lembut. Namun jika menyampaikan kekalahan-kekalahan orang kafir, harus tegas, karena itu akan membuat kaum muslimin bangga karena sebuah kabar gembira.

Dan terakhir, kembali kepada Al-Quran dan As-Sunnah. Apapun masalahnya atau argumentasinya, jika kita berselisih atau bingung dalam memposisikan sesuatu, maka kembalikanlah kepada kitabullah wa sunnatu rosulullah (Al Quran dan As Sunnah), karena di situlah petunjuk dari sang pencipta dan tauladan buat umat manusia. Insya Allah, jika kita istiqomah dalam segala hal ini, kita akan sukses dunia akhirat.

Ikhwah fillah!

Maka oleh itu, jangan kalian merasa kecil dan tidak bersemangat dalam membela agama Allah ini. Jika belum berkesempatan untuk berjuang di medan laga, maka kita bisa berjihad di medan maya dan sejenisnya, sehingga Dien ini hanya milik Allah.

Sebelum ana mengakhiri tahridh ini, ana ingin menukil beberapa kata dari seorang mujahid agung, Dr. Ayman Az Zawahiri dalam bukunya “At-Tabriah; Mengapa Mujahid Media Itu harus Eksis dan Media Islam Harus Menjadi Yang Terdepan.” Ada tiga poin yang dikutip:


1. Untuk menjawab syubhat-syubhat (fitnah) kaum kafir dan antek-anteknya dengan bukti yang benar.
2. Menjawab segala asumsi dan opini media kafir dan sekuler dengan fakta.
3. Membangkitkan rasa percaya diri umat ini, bahwasanya eksistensi umat itu masih ada.

Alhamdulillah, semoga tulisan ini bermanfaat saudaraku sekalian yang ana cintai karena Allah. Ikhlas, sabar, istiqomah dan optimislah untuk menjadi manusia yang terbaik untuk umat ini. Bersatulah dan pupuklah ukhuwah dengan sesama jurnalis dan kaum muslim yang lain. Selalu menasehati dalam kebenaran dan kesabaran. Doakan ana istiqomah dan terlepas dari fitnah yang dilemparkan musuh-musuh Islam. Allahu maulana wala maulaalahum! Allah pelindung kita dan mereka (orang kafir) tidak punya perlindungan. Wallahu ‘lam bishshawab!

Dari saudara kalian, Muhammad Jibriel AR

(hidayatullah.com)

Rekayasa Kasus Terorisme

Legian, Bali

Oleh : Abdurrahman Shiddiq

Orang yang kritis sudah selayaknya tidak mudah termakan berita yang di blow-up media massa sekuler, tentu saja kita harus berfikir dan melihat segala sesuatu secara jernih. Kejernihan dalam berfikir dan melihat berbagai persoalan yang selama ini sedang dan masih terjadi dapat menguak berbagai peristiwa yang sarat dengan keanehan.

Beberapa contoh dalam kasus Al-Ustadz Abu Bakar Ba’asyir misalnya, dihadapan segenap orang yang menghadiri persidangan, beliau divonis bersalah dalam soal (bom Bali) yang tidak ada saksi dan buktinya. Tetapi di media massa diberitakan vonisnya saja tanpa komentar yang benar.

Dalam kasus Fathurrahman Al-Ghozi yang diberitakan tewas dalam tembak-menembak dengan polisi Filipina, ternyata hasil otopsi di Solo (RS Dr. Muwardi) menunjukkan bahwa dia ditembak begitu saja setelah diberi makan. Walaupun begitu, tidak ada media massa yang memberitakan temuan tim dokter forensik yang mengotopsi ini.

Dalam kasus Ustadz Ikhwanuddin, diberitakan bahwa beliau tewas karena “bunuh diri”: dalam keadaan dua tangan terborgol, dapat merebut sebuah senapan M-16 yang terurai dari polisi, lalu memasang magazine, mengokang, lari ke kamar mandi, kemudian mengakhiri hidupnya dengan menembakkan senapan itu ke dadanya sendiri (sic). Berita itu dilansir begitu saja tanpa ada bantahan atau kritikan dari manapun.

Masih banyak contoh-contoh lain yang seharusnya menjadi alasan bagi orang beriman untuk mengkritisi berita yang dilansir media masa.

Sikap yang Diharapkan Terhadap “Teroris”

Lewat berbagai media masa dilancarkan kampanye anti terorisme, baik secara langsung memberikan penerangan-penerangan soal terorisme, maupun dikaitkan dengan berbagai persoalan: pariwisata, pertumbuhan ekonomi, ibadah, kerukunan beragama, dan sebagainya. Sayangnya dalam berbagai kesempatan kampanye anti teror/anti terorisme tersebut belum ada pihak yang dapat memberikan definisi secara jelas, apa dan siapa sebenarnya teroris itu.

Maka untuk menentukan bagaimana sikap terhadap para “teroris”, seharusnya kita definisikan lebih dahulu apa yang dimaksud dengan “teroris(me)”, di samping menyelesaikan (klarifikasi) perkara-perkara yang masih diliputi oleh berbagai kejanggalan, agar kita tidak terjebak dan terperosok ke dalam perbuatan yang nantinya akan menimbulkan penyesalan.

Contoh Perkara yang Harus Dikritisi

Para pelaku Bom Bali I Imam Samdura, Mukhlas, dan Amrozi mengaku sebagai pelaku Bom Bali I dan karenanya dijatuhi hukuman mati.

Yang perlu dikritisi adalah: Apakah benar bom Amrozi yang dibuat dari Chloras Kalicus (Kalium Chlorat, KCIO3), yang adalah merupakan bahan mercon, itu dapat menghancurkan beton, melelehkan besi baja, membuat kawah selebar 7 m di tanah berlapis aspal, mementalkan berapa puluh mobil ke udara, dan seterusnya?.

Perlu ditambahkan bahwa menurut hasil pemeriksaan, bahan mercon yang dibeli Amrozi adalah seberat 2 (dua) ton, yang masih tersimpan di Lamongan (waktu itu) 1 (satu) ton, sedang 1 (satu) ton lainnya yang sempat dipergunakan baru 1 (satu) kwintal.

Sekedar sebagai perbandingan, misalnya bisakah TNI dan ahli bom Indonesia membuat bom sedahsyat itu dari bahan yang sama?

Asmar Latin “Pelaku” Bom Marriot

Diberitakan bahwa Asmar adalah pelaku “bom bunuh diri” di hotel JW Marriott, Jakarta.

Yang perlu dikritisi adalah:

Pertama, dua hari sebelum kejadian, Asmar hilang diculik di hadapan keluarganya. Siapa yang menculik dan apa hubungan dengan pengeboman?.

Kedua, dikabarkan Asmar mengemudikan mobil yang memuat bom, setelah bom meledak kepala Asmar terpental ke lantai 3 atau konon ke lantai 5, lalu di ralat di lantai 4 (atau mungkin ada ralat lagi?) dalam keadaan utuh, sedangkan atap mobil dalam keadaan utuh.
Bagaimana mungkin ada kepala terlempar ke atas dari dalam mobil sedang atap mobil dalam keadaan utuh? Apakah sudah dibuktikan secara ilmiah (misalnya dengan otopsi) bahwa putusnya leher itu tepat setelah ledakan, bukan beberapa jam sebelumnya?

DR. Azahari, Berbagai Tuduhan dan Peristiwa Terbunuhnya
Yang perlu dikritisi adalah:

Pertama, benarkah “Dr. Azahari” otak dan orang yang berada di balik pemboman selama ini?. Belum sempat ada klarifikasi, yang bersangkutan keburu “terbunuh”. Mungkin sebagian orang merasa lega, tetapi tidak urung kejadian itu menyisakan banyak pertanyaan yang tidak mudah dijawab.

Yang terjadi selama ini adalah gencarnya kampanye bahwa dia adalah otak berbagai pemboman, tanpa ada berita pembanding, sehingga opini masyarakat terbentuk seperti itu pula; terjadilah apa yang dinamakan trial by the opinion. Padahal belum ada vonis pengadilan yang berlaku secara tetap (inkracht) yang menyatakan “Dr. Azahari” yang terbunuh itu bersalah melakukan tindak pidana seperti yang dituduhkan kepadanya selama ini. Apa ada “Dr. Azahari” lain?

Kedua, pada waktu kejadian terbunuhnya “Dr. Azahari”, mula-mula dikatakan bahwa tubuhnya hancur terkoyak bom dan tidak bisa dikenali, lalu ditemukan dan dapat diambil sidik jarinya, lalu esol paginya ditemukan mayatnya yang nyaris utuh dengan luka tembak di bagian dada, di sela-sela reruntuhan bangunan rumah yang didiaminya; di kaki mayat terlilit seutas tali. Apa yang sebenarnya terjadi?.

Ketiga, tali di kaki mayat “Dr. Azahari” katanya sengaja dipasang polisi untuk menjaga agar kakinya jangan bergerak, karena khawatir akan memicu beberapa bom yang kemungkinan masih ada di sekitar lokasi. Tali itu dipasang sewaktu “Dr. Azahari” masih hidup atau sudah mati?. Kalau sudah mati, apa memang mayat masih bisa bergerak sehingga bom bisa terpicu? Benarkah seperti yang tampak dalam gambar, bahwa sebagian tali yang melilit kaki mayat itu juga tertindih reruntuhan bangunan?. Jadi, mana yang terlebih dahulu: kaki terlilit tali atau runtuhnya bangunan?

Keempat, di lokasi terbunuhnya “Dr. Azahari” ditemukan 30-40 rangkaian bom. Benarkah rangkaian yang ditemukan itu juga dapat sedahsyat rangkaian bom yang digunakan di Bali (Bom Bali – I) dan di tempat lain?

Kelima, kalau benar “Dr. Azahari” yang melakukan atau menjadi otaknya, belum ada kejelasan dari yang bersangkutan (keburu terbunuh) mengapa dia melakukan perbuatan itu, mengapa tempatnya di Indonesia, mengapa obyeknya tempat wisata, dst. dst.?

Selain fakta-fakta di atas sempat beredar juga beberapa rumor berikut:

Pertama, waktu ada berita pertama tentang terjadinya tembak-menembak di Batu, salah satu TV sempat menyiarkan bahwa tidak terdapat bekas tembak menembak di sekitar TKP. Setelah itu para wartawan diusir dari sekitar lokasi. Keesokan harinya, pada dinding dan beberapa benda di sekitar tempat kejadian sudah terdapat banyak kerusakan bekas tembakan.

Kedua, Menurut beberapa orang di sekitar TKP, mayat yang didapatkan di sana bukanlah mayat orang yang mereka kenal sebagai penghuni rumah kontrakan itu beberapa hari yang sebelumnya.

Ketiga, Tim forensik dari Australia memberitakan bahwa mayat yang ditemukan di TKP ada 3 orang yang masing-masing berusia 24, 24, dan 25 tahun; sedang jumlah mayat yang diberitakan Polri hanya 2 orang dan “Dr. Azahari” berusia 48 tahun.

Pelaku Bom Bali II Video Pengakuan Para Pelaku

Yang perlu dikritisi adalah:

Pertama, benarkah mayat yang ditemukan tanpa kepala di tempat kejadian itu harus berarti pelaku bom tersebut?. Apa tidak mungkin dia berada di sana pada waktu bom itu meledak sehingga dia juga menjadi korban?. Atau bahkan kepala itu sudah ada di sana sebelum bom meledak atau ditaruhkan di sana setelah meledak?

Kedua, benarkah niat mereka memang bunuh diri?, atau mereka di “bunuh diri”kan?

Ketiga, benarkah bahwa semua yang terdapat dalam tayangan video itu para “teroris”? Dalam hal ini, termasuk mereka yang sedang latihan ala militer, loncat naik-turun sepeda motor dengan mengenakan seragam hitam-hitam ala ninja? Kalau benar, siapa saja mereka dan di mana mereka sekarang?. (suara-islam.com)

Menggugat Akal-akalan Isu Terorisme

Rumah Mohjahri

Seorang pamen polisi dari Mabes Polri pernah bertanya kepada saya kenapa tiap ada momen-momen tertentu selalu ada teroris ditangkap atau ditembak?.

Misalnya saja kasus penembakan Dul Matin di Pamulang saat ramai-ramainya kebijakan “bail out Bank Century” dibahas Pansus BC di DPR. Bagaimana menurut pendapat ustadz?

Lho itu kan kerjaan Densus 88?. Kok anda polisi di Mabes Polri malah bertanya kepada saya?. Perwira polisi itu lalu bercerita mengeluhkan bahwa di instansinya densus itu unit yang unthouchable!.

Langkah-langkah densus 88 selama ini memang selalu mengundang tanda tanya masyarakat. Sebab terjadi berbagai keanehan dalam penanganan terorisme oleh mereka. Sebut saja drama pengepungan rumah Mohzahri, kakek-kakek lugu anggota Muhammadiyah di Temanggung selama 17 jam oleh 600 polisi yang diumumkan sebelumnya adalah dalam rangka melumpuhkan Nurdin M Top dan disiarkan langsung oleh suatu TV swasta. Perlu diingat sebelumnya konon Nurdin mengumumkan di internet sebagai pimpinan Tanzhim Al Qaidah Asia Tenggara. Ternyata tidak ada perlawanan sama sekali dari rumah tua milik petani nun jauh di desa di Jawa Tengah itu. Dan hatta Kapolri Jenderal BHD turun ke lapangan dengan helicopter, yang didapat konon hanya tukang bunga, Ibrahim. Sungguh ini akal-akalan yang sangat menggelikan.

Akal-akalan itu pula yang terjadi pada kasus Air Setiawan yang menurut keterangan keluarganya pada hari Jumat jam 13.30 wib masih di Solo, lalu dikabarkan oleh polisi bahwa dia membawa bom dalam mobil dari Solo ke Jakarta dan sekitar jam 10 malam hari itu kontak senjata dengan polisi di Jatiasih dan didor hingga tewas. Aneh. Juga Air Setiawan dikatakan sebagai residivis pelaku Bom Marriot 1. Padahal, yang sebenarnya tidak demikian. Menurut keluarganya, Air pada tahun 2004 ditangkap polisi dikaitkan dengan peledakan Marriot 1. Namun setelah keluarganya mencarinya bersama LBH. Air dilepaskan dan tidak pernah diadili apalagi divonis sebagai terpidana.

Demikian pula kesaksian Munawaroh, istri Agus Susilo, guru pesantren Al Kahfi Mojosongo Solo yang dihabisi oleh desnsus 88 di rumahnya, dekat lokasi pesantren. Menurut penuturan Munawaroh kepada TPM Solo, dia keluar bersama suaminya, begitu masuk rumah ternyata diberondong pasukan densus. Agus tewas. Anehnya, ada dua mayat lagi yang tidak dia ketahui kapan masuknya, yakni mayat Nordin M Top dan Urwah. Demikian juga kematian-kematian lain seperti Dr. Azhari dan Asmar Latin Sani menyimpan tanda-tanya masyarakat.

Tatkala Densus 88 berasyik-masyuk menangkapi para aktivis Jamaah Ansharut Tauhid di kantor mereka di kawasan Pejaten Jakarta, menembaki mereka di jalan tol Cikampek dan di Cawang, juga menangkapi sejumlah orang di Sukoharjo Solo, maka pertanyaan dan gugatan masyarakat atas tindakan densus 88 semakin memuncak. Bahkan Ketua MK Mahfudz MD melihat fenomena kasus terorisme akhir-akhir ini seperti kasus Komando Jihad.

Dalam sejumlah ceramah pengajian di daerah-daerah di seputar Solo baru-baru ini saya mendapatkan pertanyaan yang gencar tentang sikap apa yang harus diambil oleh umat Islam dalam keadaan umat Islam dizalimi dan apa yang harus dilakukan terhadap para penguasa yang munkar?. Saya bisa merasakan marahnya umat atas tindakan sewenang-wenang di atas. Juga umat tidak percaya atas berbagai isu terorisme yang dikembangkan polisi.

Dan saya melihat ketidakpercayaan rakyat terhadap pernyataan resmi Kapolri sebagai hal yang wajar. Ada dua alasan yang menguatkan anggapan saya itu. Pertama, saya termasuk tokoh yang diundang Mabes Polri untuk mendapatkan penjelasan pemerintah tentang aktivitas terorisme di Indonesia tepat seminggu sebelum bom Bali 1 meledak. Kedua, dalam rangka menutupi rekayasa yang sebenarnya atas Bibit Chandra dalam kasus cicak vs buaya, menurut mantan Kabareskrim Susno Duaji, Kapolri Jenderal BHD telah bohong 5 kali dalam sehari. (lihat: Sehari Kapolri Bohong Lima Kali).

Oleh karena itu, saya harus menjawab pertanyaan-pertanyaan rakyat jelata itu. Saya katakan bahwa, para anggota densus 88 dan siapapun yang terlibat dalam tindakan penghilangan nyawa orang-orang tak berdosa harus segera bertaubat dan meminta halalnya kepada keluarga korban. Sebab, kalau tidak, mereka akan menjadi orang yang bangkrut di akhirat. Karena, sebagaimana disebut dalam suatu hadits bahwa di akhirat akan ada orang yang membawa pahala sebesar gunung lalu datang orang kedua yang meminta pahala tersebut untuk dipakai menutupi dosanya. Ternyata dosa orang kedua itu tidak habis, lalu diberikan kepada orang pertama sehingga orang pertama itu dimasukkan ke dalam neraka. Orang yang kedua adalah orang yang dizalimi, dan orang yang pertama itu adalah orang yang menzaliminya tanpa sempat mendapatkan maaf atas perbuatannya.

Oleh karena itu, umat harus menggugat tindakan Densus 88 yang main tangkap dan main tembak serta tindakan kesewenang-wenangan lainnya. Gugatan umat ini wajar dan akan berdampak positif bagi ketenteraman dan keadilan di negeri ini. Dan terlepasnya negeri ini dari azab akibat sebuah kemungkaran yang berlaku umum. Lebih dari itu, gugatan ini akan mewujudkan pertolongan kita kepada para aktivis yang selama ini dizalimi sebagai “teroris” dan para anggota Densus yang kalau tidak dicegah dari kezaliman bisa menjadi manusia bangkrut di akhirat kelak. Wallahua’lam! (suara-islam.com)

20 May 2010

Teroris dan Embedded Journalist


Oleh: Mochtar W. Oetomo (Staf Pengajar Fisib Universitas Trunojoyo)

Perang melawan teroris kembali mengharu-biru jagat media kita pekan lalu. Melalui aksi pengge rebekan dan baku tembak di Cawang, Jakarta Timur, dan di Cikampek, Jawa Barat, pasukan Detasemen Khusus 88 Polri berhasil menewaskan Saptono dan Maulana serta menangkap beberapa terduga teroris lainnya. Dua hari berikutnya, secara beruntun Polri juga melakukan penggerebekan di Sukoharjo dan Solo, Jawa Tengah, dan beberapa terduga teroris dapat diamankan (12-15 Mei 2010).

Semua peristiwa perang melawan teroris tersebut secara dramatis dapat diikuti oleh publik melalui siaran langsung televisi dan laporan media-media lainnya. Melalui media pulalah pemahaman publik tentang teroris dengan segala aksi penumpasannya terbangun. Dalam konteks inilah saya merasa perbincangan tentang embedded journalist (wartawan yang menempel) menjadi relevan dan layak untuk diketengahkan.

Istilah embedded journalist muncul pertama kali saat terjadi perang Irak beberapa tahun lampau. Konsep ini digunakan untuk menjelaskan munculnya fenomena ratusan wartawan yang diikutsertakan pemerintah AS dalam kesatuan-kesatuan militernya yang menyerbu Irak. Dari barak-barak militer AS, para wartawan melaporkan jalannya perang. Dengan sumber berita sepihak, sudut pandang searah, dan tentu saja doktrin ideologis yang sarat kepentingan.

Sebagaimana pemerintah AS, Polri pun agaknya menyadari betul betapa embedded journalist sangat efektif sebagai mesin komunikasi politik. Untuk itulah, selain hadir secara intensif melalui berbagai jumpa pers, Polri membuka ruang seluas-luasnya bagi para wartawan yang ingin ikut serta dalam kesatuan-kesatuan operasional Densus 88 saat melakukan aksi penyisiran dan penyergapan ke lokasi yang diduga menjadi sarang teroris, seperti di Cawang, Cikampek, Sukoharjo, dan Solo.

Primary Definers

Segala teknik dan ragam liputan langsung televisi saat pasukan Polri baku tembak dengan para teroris melahirkan drama perang antara superhero dan perusuh. Polri sebagai tokoh protagonis di satu pihak, dan para teroris sebagai tokoh antagonis di pihak lain. Polri sadar betul bahwa perang melawan terorisme lebih merupakan perang informasi dibanding perang fisik.

Gambaran positif tentang Polri dan pemerintah adalah sebuah keniscayaan yang ha rus dibangun dan dimenangi. Apalagi akhir-akhir ini citra Polri dan pemerintah jatuh hingga ke titik nadir seiring merebaknya kasus mafia hukum, makelar kasus, dan kasus penangkapan serta penahanan Susno Duadji yang mendapat reaksi beragam dari publik.

Dalam bahasa Stuart Hall (1994), Polri atau pemerintah dengan demikian menjadi satu-satunya pendefinisi (primary definers) tentang apa, siapa, di mana, kapan, meng

apa, dan bagaimana terorisme itu. Citra terorisme sesungguhnya adalah apa yang dicitrakan oleh Polri melalui media yang kemudian ditangkap dan dipersepsikan oleh publik. Berangkat dari fenomena inilah kemudian lahir banyak pertanyaan sinis kepada media atau embedded journalist.

Pertanyaan yang paling mendasar tentu berkisar pada persoalan etika dan profesionalisme media. Sebab, dengan menjadi embedded journalist, wartawan kesulitan untuk menghasilkan berita yang seimbang (cover both sides). Aksi terorisme dalam skala apa pun barangkali memang sulit dibenarkan. Tapi, tindakan yang hanya mendefinisikan mereka dari satu sudut pandang dan tidak memberi ruang bagi mereka untuk berkomunikasi politik sama halnya memperbesar api dalam sekam.

Memang ada beberapa keuntungan mustahak dengan menjadi embedded journalist. Pertama, dengan ikut serta dalam satuan tempur yang dikoordinasikan, tentu saja banyak jatah biaya peliputan bisa dikurangi dibanding jika harus berangkat sendiri menuju medan penyergapan dan mencari sumber-sumber lain di tempat yang berbeda dan berjauhan. Dalam konteks ini, tekanan ekonomi-politik media masih cukup ampuh bagi wartawan Indonesia. Apalagi jika dalam koordinasi selalu dilemparkan doktrin tentang kepentingan keamanan dan martabat bangsa di kancah internasional. Kedua, terjaminnya keamanan. Meliput peristiwa di medan pertempuran seperti saat penyergapan tentu mengandung banyak risiko keselamatan. Maka, melaporkan dengan cara memunggungi peristiwa tempur di balik barisan pasukan Densus 88 dan ditambah pengawasan melekat dari pasukan menjadi sebuah jaminan keselamatan yang menjanjikan. Ketiga, dekat dengan obyek dan sumber berita. Barangkali alasan inilah yang paling relevan bagi seorang embedded journalist. Dengan kompetisi media yang makin keras, keharusan menyampaikan berita dengan lebih cepat dan menarik adalah sebuah keniscayaan.

Dengan menjadi embedded journalist, wartawan langsung bisa melaporkan berita dari medan peristiwa dan mewawancarai sumber berita dengan cepat karena sudah siap sedia di lokasi. Meskipun obyek berita dan sumber berita itu hanya dari satu sisi (baca: Polri), paling tidak wartawan tak harus cemas karena selalu bisa menghasilkan berita setiap hari, setiap saat, dan setiap waktu ketika laporannya dibutuhkan. Satu sisi Maka, jangan heran jika kini ada pembalikan opini publik yang luar biasa seiring dengan keberhasilan pasukan Densus 88 dalam berbagai aksi penyergapan, baku tembak, dan penangkapan terduga teroris.

Kesuksesan Polri saat menyergap dan menembak mati Saptono dan Maulana seakan menjadi puncak kedahsyatan pasukan Densus 88, setelah mereka juga berhasil menewaskan gembong teroris lainnya seperti Dr Azahari, Noor Din M. Top, dan Dulmatin. Dalam sejarahnya, barangkali belum pernah Polri mendapatkan dukungan publik sebesar saat mereka melakukan perang terhadap terorisme seperti sekarang ini.
Dan jangan heran pula jika, di media, kita hanya mendapatkan berita-berita atau laporan-laporan wartawan di seputar lokasi penyergapan dengan segala akibat dan jumlah korban cuma dari satu sisi, dengan sumber berita dan sumber data hanya dari jajaran Polri.

Embedded journalist memiliki waktu yang sangat sempit untuk melakukan sebuah liputan yang komprehensif. Karena itu, juga jangan heran jika sulit sekali kita menemukan suara-suara dari para pelaku yang selama ini kita anggap teroris, atau minimal dari kerabat dekat atau keluarga mereka. Bahkan juga sulit kita menemukan suara-suara masyarakat di sekitar lokasi penyergapan yang hidupnya menjadi seperti tersandera, karena adanya aktivitas tempur dengan segala standar keamanan ala militer.

Di tengah segala bentuk perdebatan yang mungkin muncul soal fenomena ini, yakni antara kepentingan nasional dan profesionalisme media, barangkali ada satu hal yang perlu diingat. Wartawan adalah sebuah profesi. Dan profesi apa pun pasti mengandung konsekuensi-konsekuensi dan risiko-risiko. Apakah itu risiko pembiayaan, keamanan, ataupun tingkat kesulitan obyek berita. Jika tidak, bagaimana mungkin berita yang layak, yakni yang memiliki nilai berita, obyektif, aktual, komprehensif, dan inspiratif, bisa didapat. Jangan sampai penihilan ruang komunikasi politik bagi para teroris di media justru semakin menumbuhsuburkan aksi terorisme. Bukankah sejarah telah membuktikan?. Meski terus dicaci-maki dan gembong-gembongnya diberangus habis, aksi terorisme tak pernah mati. (korantempo.com)

19 May 2010

Ba'asyir, Bafana dan Intel

Faiz Abu Bakar Bafana

Kesaksian Faiz Abu Bakar Bafana melalui teleconference pada persidangan Ba'asyir menegaskan, bahwa "Kami hadir bersama ustadz dalam sebuah rapat dimana ustadz memerintahkan Mukhlas untuk membunuh Megawati." Rapat itu dipimpin oleh Ba'asyir. Namun, Mukhlas tidak bersedia karena merasa tidak mampu.

Sayangnya Ba'asyir tidak menanggapi kesaksian Faiz Abu Bakar Bafana itu, padahal banyak kelemahan di sana-sini. Mungkin sudah begitu aturan yang digariskan tim pembela hukum Ba'asyir.

Faiz Abu Bakar Bafana bertemu Ba'asyir di Malaysia, ketika ustadz dalam pelarian dikejar-kejar setan Orde Baru. Benarkah Ba'asyir merupakan pimpinan JI (Jama'ah Islamiyah)? Memang benar. Lihat posting ber-subject "Mengenai Jama'ah Islamiyah" yang dimuat milis Sabili pada Friday, November 15, 2002 7:21 AM.

JI versi Ba'asyir (dan Sungkar) adalah pengajian biasa, bukan kelompok teroris. JI pimpinan Ba'asyir sama sekali tidak punya format kekerasan, tidak radikal. Sebagai kelompok pengajian biasa, mereka sama sekali tidak ada upaya sterilisasi terhadap kemungkinan masuknya virus intel seperti Faiz Abu Bakar Bafana.

Kira-kira, samalah Faiz Abu Bakar Bafana itu dengan Abdul Haris, intel BIN yang disusupkan ke Majelis Mujahidin Indonesia.

Dulu, Republika mengabarkan, setelah Idul Fitri 1423 H sosok Abdul Haris akan ditampilkan sebagai saksi (yang memberatkan) Ba'asyir. Namun entah mengapa, rencana itu tidak jadi. Mungkin karena kedok Abdul Haris sudah keburu dibuka oleh pers.

Perlu diketahui, Abdul Haris sudah menjadi agen dan menyusup ke berbagai gerakan Islam sejak badan intelijen masih bernama BAKIN yang salah satu periode kepemimpinannya dijabat oleh ZA Maulani.

Faiz Abu Bakar Bafana sejak awal menampilkan kesan sebagai orang pergerakan biasa (bukan intel), yang bergabung ke dalam lingkaran Abdullah Sungkar + Abu Bakar Ba'asyir karena ghirah dan ukhuwah (begitulah kesan yang ia bentuk sejak awal). Apalagi didukung oleh sikap politik Mahathir yang menerima pelarian politik dari Indonesia.

Sikap Mahathir berubah setelah ia bermusuhan dengan Anwar Ibrahim dan merasa terancam kedudukannya. Mulailah Faiz Abu Bakar Bafana menjadi antek Mahathir, yang selanjutnya secara lebih intensif menjadi planted agent di lingkaran Abdullah Sungkar + Abu Bakar Ba'asyir.

Format JI AS+ABB tetap non radikal. Tidak ada kaitan dengan Hambali maupun Imam Samudera dll. Hambali memang pernah menjadi bagian dari JI AS+ABB sebelum akhirnya pecah tahun 1999.

Karena group ABB non radikal, Hambali melepaskan diri. JI yang radikal selain kelompok Hambali adalah kelompok Abu Rushdan. Hambali sudah mati. Abu Rushdan sudah ditangkap.

Kelompok Abu Rushdan tidak terlibat kasus Bali. Mereka radikal di Poso, Ambon dan Filipina, untuk membela kaum Muslimin yang teraniaya. Abu Rushdan ditangkap, meski tidak terlibat kasus Bali, karena ia pernah melindungi Sarjio (peracik amunisi kasus peledakan Bali, yang digunakan oleh kelompok Imam Samudera).

Sarjio adalah salah seorang pelaku kasus Bali, yang pada saat dalam pelarian mendapat perlindungan dari Abu Rushdan. Abu Rushdan punya atasan bernama Abu Fatih yang hingga kini masih bebas (belum tertangkap). Namun demikian, Abu Rushdan menjadi motor penggerak dan policy maker bagi kelompoknya.

Hambali selain berstatus sebagai WNI juga warga negara Malaysia. Ia orang dekatnya As'ad Waka BIN (orang kedua setelah Hendropriyono). Waktu Gus Dur Presiden, As'ad dikenal sebagai orang dekatnya Gus Dur. Hambali juga merupakan planted Agent yang ditanamkan ke dalam gerakan Islam radikal (baik di Indonesia maupun Malaysia).

Sarjio salah seorang pelaku peledakan Bali sudah banyak memberi pengakuan kepada POLRI soal sumber-sumber bahan peledak untuk kasus Bali. Bahkan Sarjio siap jika POLRI meminta reka-ulang tentang bagaimana ia meracik bahan peledak untuk kasus Bali. RDX yang diracik Sarjio sumber-sumber (bahannya) berasal dari Mabes TNI.

Karena itulah Sarjio tidak pernah dijadikan saksi untuk persidangan kasus Bali, misalnya untuk persidangan Amrozy.

Harian Republika sering mengungkap keganjilan persidangan kasus Bali. Apakah ini ada kaitannya dengan dipecatnya 15 wartawan Republika oleh Erick Tohir baru-baru ini?

Mengapa begitu mudah Ba'asyir disusupi intel? Karena niat mereka cuma satu, yaitu mensosialisasikan perlunya penerapan syari'at Islam. Bahkan kepada intel sekalipun. Ini alasan yang pertama.

Alasan kedua, karena pada umumnya mereka tidak punya sense dan knowledge yang memadai soal dunia (tipudaya) intelijen.

Ketiga, banyak sekali dari kalangan "islam pergerakan" atau "islam garis keras" yang bisa dibeli. Seperti Nurhidayat (kasus Lampung 1989).

Informasi berikut ini dapat menjadi salah satu penjelas bagi alasan ketiga di atas. Tentang, keterlibatan SBY + Mendagri dalam kasus pembunuhan Abu Jihad alias Teungku Fauzi Hasbi (putra Hasbi Geudong). Teungku Fauzi Hasbi adalah Intel Madya BIN. Teungku Fauzi Hasbi orang dekatnya As'ad (Waka BIN). Ia sudah menjadi "islam garis keras" sekaligus intel sejak lembaga itu bernama BAKIN.

Menurut Irfan S. Awwas, dalam sebuah tulisannya di Jawa Pos edisi Jumat 27 Desember 2002, berjudul "ICG dan Kesaktian Sidney Jones", dikatakan bahwa: ".Laporan itu hanya menggambarkan bahwa Teungku Fauzi Hasbi (paman Al Chaidar) masih menjalin komunikasi dengan Syafrie hingga kini. Juga digambarkan Hasbi punya kedekatan dengan A.M. Hendropriyono (kepala BIN). Padahal, hingga kini dia masih menjalin kontak tidak saja dengan Syafrie, bahkan dengan banyak petinggi militer aktif dan purnawirawan seperti Wiranto (mantan Pangab). Karena itulah, GAM pimpinan Teungku Fauzi Hasbi oleh kalangan Islam pergerakan disebut GAM made in militer untuk membedakannya dengan GAM lainnya."

Pelaksana pembunuhan Abu Jihad adalah orang BIN, melibatkan beberapa nama tokoh "islam garis keras" seperti Nur Hidayat (provokator kasus Lampung 1989), Gaos Taufik (tokoh NII faksi Ajengan Masduki). Menurut Laporan ICG 8 Agustus 2002, Gaos Taufik adalah pejuang Darul Islam dari Jawa Barat yang kemudian menetap di Medan; kemudian terkait gerakan Komando Jihad, menurut laporan dialah yang melantik Abdullah Umar dan Timsar Zubil. Kini, Gaos Taufik berdomisili di Tangerang.

Teungku Fauzi Hasbi dibunuh di Ambon bersama 2 rekannya dari NII faksi Ajengan Masduki. Mereka adalah Ahmad Saridup dan Agus Saputra. Keduanya bisa mendampingi Teungku Fauzi Hasbi atas rekomendasi dari Nurhidayat.

Teungku Fauzi Hasbi dan dua rekannya sebelum dibunuh di Ambon, ditugaskan oleh BIN untuk melakukan bisnis di sana. Sersan Jawali (intel Kodim setempat) menjadi fasilitator selama Teungku Fauzi Hasbi (dan dua rekannya) menjajagi "bisnis" di Ambon. Padahal, Teungku Fauzi Hasbi ditugaskan ke Ambon untuk dibunuh. Dua orang yang menyertai Teungku Fauzi Hasbi dan ikut dibunuh merupakan "bonus" yang diberikan Nurhidayat karena keduanya merupakan seteru Nurhidayat.

Saya berkesimpulan, masalah radikalisme (terorisme) yang berkaitan dengan gerakan Islam, tidak sepenuhnya murni. Lebih banyak merupakan rekayasa, dengan dua cara.

Pertama, memasukkan intel seperti Bafana, Hambali, Al-Farouq, atau Abdul Haris ke dalam gerakan Islam, dan menjadikannya radikal, kemudian ditumpas.

Kedua, membina orang dalam menjadi partner. Seperti yang mereka lakukan terhadap Teungku Fauzi Hasbi, Nurhidayat dan Sudarsono (provokator kasus Lampung 1989), Ahmad Yani Wahid (petinggi Jama'ah Imran, Kasus Cicendo Bandung, dan Pembajakan Woyla).

Tujuannya, adalah menciptakan hantu teroris yang berasal dari "islam garis keras" atau "islam fundamentalis" atau "islam radikal". (Syaifuddin Bidakara)

Mengenai Jama’ah Islamiyah


Oleh: Umar Abduh (Mantan Napol kasus Imran/Cicendo/Woyla, penulis buku "Al Zaytun Sesat" dan "Al Zaytun Gate")

Jama’ah Islamiyah memang bukan organisasi maya, keberadaannya memang riil setidaknya sejak 1979, berpusat di Mesir, dan merupakan pecahan dari Ikhwanul Muslimin (IM) pimpinan Hasan Al Banna.

IM sendiri merupakan harakah Islamiyah yang sudah ada sejak tahun 1936. Tahun 1947-1948 IM berhasil mengusir pendudukan Inggris, Perancis dan Rusia di kawasan Terusan Suez. Militansi IM membuat pemerintah Mesir mendapat tekanan internasional. Akibatnya, pemerintah Mesir banyak melakukan tindakan represif terhadap aktivis IM, antara lain melakukan pembunuhan terhadap para pemimpin IM seperti Hasan Al Banna ditembak mati tahun 1950-an, Abdul Qadir Audah dihukum mati (1954) dan Sayyid Quthb dihukum gantung pada tahun 1965.

Jama'ah Islamiyah dibawah pimpinan Omar Abdur Rahman pernah dituduh pemerintah AS sebagai dalang peledakan gedung WTC di Kenya tahun 1998. Menurut Amerika, aksi itu dilakukan bekerja sama dengan Osamah bin Laden. Setelah sebelumnya, sekitar 1997 pernah pula dituding sebagai dalang peledakan pangkalan militer AS di Saudi Arabia dan kamp militer AS Libanon.

Metodologi dan sistem Jama'ah Islamiyah telah banyak diadopsi atau setidaknya memberi inspirasi bagi banyak harakah Islamiyah di seluruh dunia, termasuk di Indonesia dan kawasan ASEAN.

Gerakan DI/TII pimpinan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (SMK) merupakan gerakan politik Islam militan, yang sistem dan metodologinya berbeda dengan IM maupun pecahannya (Jama'ah Islamiyah). Namun, salah satu faksi neo DI/TII (atau NII) pasca SMK di bawah pimpinan Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba'asyir mulai mengadopsi atau terinspirasi oleh metodologi dan sistem ini sekitar tahun 1995.

Meski Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba'asyir pernah memberikan Tadzkirah -sebagaimana Djohan Effendi mengutip majalah Nidaul Islam (lihat KOMPAS edisi 7 November 2002)-- yang semangatnya sama dengan Ja'ma'ah Islamiyah, bukan berarti mereka secara formal-struktural adalah bagian dari Jama'ah Islamiyah pimpinan Omar Abdur Rahman. Apalagi sampai menjuluki mereka sebagai Imam (spiritual) gerakan Jama'ah Islamiyah untuk kawasan Indonesia.

Meski Jama'ah Islamiyah pimpinan Omar Abdur Rahman dituduh oleh Amerika pernah bekerja sama melakukan aksi peledakan terhadap fasilitas militer AS, institusi itu sama sekali bukan bagian dari struktur Al Qaedah. Karena nama Al Qaedah sendiri baru dimunculkan AS tahun 2000 pasca tragedi Oklahoma yang ternyata dilakukan oleh Timothy Mc Veigh (warga negara AS) bukan Al Qaedah. Hingga kini tuduhan keterlibatan Al Qaedah terhadap tragedi Oklahoma tidak dapat dibuktikan, begitu pula tuduhan adanya hubungan antara Al Qaedah dengan Jama'ah Islamiyah pimpinan Omar Abdur Rahman.

Sampai sejauh ini Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba'asyir memang tidak pernah menjadi bagian dari harakah Jama'ah Islamiyah pimpinan Omar Abdur Rahman. Kesamaan dalam ideologi, meotodologi, sistem berharakah dan kesamaan dalam memposisikan syari'at Islam di dalam konteks kehidupan bernegara, adalah hal yang lumrah dan sama sekali tidak bisa dikatakan adanya kaitan dari sebuah jaringan.

Metodologi dan sistem berharakah serta bagaimana memposisikan syari'at Islam di dalam konteks kehidupan bernegara, tidak bisa dikaitkan dengan dengan "sikap keras" yang mewarnai perjalanan harakah Jama'ah Islamiyah pimpinan Omar Abdur Rahman ataupun sikap berani Osamah bin Laden terhadap Barat (Amerika).

Dapatkah kita mengatakan bahwa TNI atau ABRI adalah institusi tukang jagal dengan merujuk kepada kasus pembantaian tahun 1984 (kasus Tanjung Priok 12 September 1984)? Tentu tidak tepat. Karena, meski doktrin, metodologi dan sistem yang digunakan sama, akan menghasilkan "warna" yang berbeda, mengingat "warna" tadi lebih banyak ditentukan oleh siapa pemimpinnya dan kepentingan politik yang menyertainya.

Dapatkah kita menyebut adanya sebuah jaringan antara TNI (atau ABRI) kita dengan militer AS, karena sistem dan metodologi yang digunakan sama? Dapatkah kita membebani dosa militer AS yang memborbardir Afghanistan kepada milter kita, hanya karena banyak perwira kita yang bersekolah di AS?

Lihatlah bagaimana santun dan teduhnya komunitas Partai Keadilan (PK) yang elemen terbesarnya adalah komunitas Tarbiyah (Ikhwanul Muslimin versi Indonesia), yang juga mengadopsi atau terinspirasi oleh metodologi dan sistem berharakah Ikhwanul Muslimin Mesir pimpinan Syaikh Sa'id Hawwa'. Padahal metodologi dan sistem berharakah yang sama juga ditemukan pada Jama'ah Islamiyah pimpinan Omar Abdur Rahman.

Selain PK, yang sewarna dengan itu adalah SHT (Shabab Hizbut Tahrir), Ponpes Hidayatullah di Kalimantan Timur, Ponpes Ngruki, dan ponpes-ponpes lain yang dikelola oleh para alumninya. Dan masih banyak lagi termasuk KPPSI (Komite Persiapan Penegakan Syari'at Islam) di Sulawesi Selatan, atau MMI (Majelis Mujahidin Indonesia) yang lahir Agustus 2000 di Yogyakarta. Kalau dikatakan bahwa JI ada di Indonesia, secara sistem dan metodologis bisa dimengerti. Namun secara riil dan formal-struktural sama sekali sangat menggelikan dan terlalu naif.

Meski sistem dan metodologinya sama, namun antara SHT, MMI, Hidayatullah, PK, KPPSI, dan Ngruki, tidak punya kaitan formal-struktural, selain jalinan iman semata. Begitu juga dengan KMM (Kumpulan Mujahidin Malaysia) pimpinan Abu Jibril juga tidak ada pertalian formal-struktural meski Abu Jibril merupakan salah seorang penggagas dan bahkan ikut menjabat pada Lajnah Tanfidziyah MMI.

Yang ada kaitan dengan Fathurrohman Al-Ghozi dan Hambali adalah KMM pimpinan Abu Jibril. Secara struktural Abu Jibril sudah pisah dengan Abdullah Sungkar (dan Abu Bakar Ba'asyir) sejak tahun 1995 ketika Sungkar menyatakan lepas dari DI/TII (NII) dan mengadopsi manhaj IM atau Jama'ah Islamiyah pimpinan Omar Abd. Rahman.

Kenyataannya, semua institusi itu sama sekali tidak mempunyai kaitan formal-struktural, apalagi mempunyai grand design tertentu yang harus dioperasikan secara serentak dan terpadu. Kesemua institusi itu sama sekali independen dan tidak bisa disamakan (digeneralisir) sebagai JI di kawasan Asia Tenggara.

Semua kesesatan informasi ini bersumber dari analisa dan investigasi Sidney Jones Direktur ICG (Interenational Crisis Group) untuk Indonesia, yang tanpa menggunakan ukuran yang jelas berusaha mengkaitkan semua institusi itu sebagai JI bahkan mengkaitkan kegiatan masa lalu Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba'asyir sebagai program JI. Padahal istilah JI baru muncul di dalam ruang persidangan khususnya persidangan Abdullah Sungkar (1979) saja dan tidak pada persidangan lainnya. Nama JI sama sekali tidak pernah digunakan sebagai nama institusi (gerakan) oleh mereka yang disangkakan. (Berita Buana, Rabu, 13 November 2002, hal. 5)

18 May 2010

Dasamuka yang Gemar Menyaru


Sebagai sosok yang begitu penting, Umar al-Faruq sama membingungkannya seperti tokoh dunia pewayangan Dasamuka --sang raksasa yang memiliki banyak wajah. Oleh kalangan intelijen, khususnya Badan Intelijen Negara (BIN) dan Dinas Rahasia Amerika (CIA), dia. diyakini bagai operator Al-Qaidah di Indonesia. CIA secara khusus menyebut tokoh ini mengakui terlibat dalam berbagai peledakan bom di Indonesia dan ikut serta dalam plot membunuh Presiden Megawati Soekarnoputri. Berdasar pengakuan Al-Faruq itu pula polisi belakangan menangkap Abu Bakar Ba'asyir, tokoh yang disebutnya memberikan perintah melakukan semua kejahatan tadi.

Namun penelusuran TEMPO menunjukkan: sejumlah orang yang dipercaya mengenal Al-Faruq --sebagian di antaranya adalah sumber resmi—terbukti tidak sependapat tentang detail dari riwayat hidupnya. Kapan dan di manakah dia dilahirkan? Benarkah dia tidak bisa berbahasa Indonesia? Kenapa dia bisa memiliki tiga KTP di kota berbeda? Apa sebenarnya aktivitas dia sehari-hari?

Banyak pertanyaan itu hanya akan terjawab jika saja aparat Indonesia tidak menyerahkan Al-Faruq kepemerintah AS. Dan kini, andai Al-Faruq bisa dihadirkan, semua kesaksian yang bertabrakan di bawah ini bisa dijelaskan.

Dinas Rahasia Amerika (CIA)Al-Faruq ditangkap di Indonesia 5 Juni lalu dan diserahkan kepada CIA untuk diinterogasi. Setelah berdiam tiga bulan, menurut dokumen CIA yang dikutip majalah Time, Al-Faruq buka mulut seperti ini.

• Lahir di Kuwait, 24 Mei 1971.

• Dikenal dengan nama Al-Faruq al-Kuwaiti.

• Tokoh kunci Al-Qaidah di Asia Tenggara.

• Berperan membekingi dana gerakan Jamaah Islamiyah yang tokohnya menjadi incaran di Malaysia dan Singapura.

• Sejak 1990-an mengikuti latihan Al-Qaidah di kamp Khaldan, Afganistan.

• Kenal dekat dengan pemimpin kamp, Al-Mughira al-Gaza'iri., dan tangan kanan Usamah bin Ladin, Abu Zubaidah. Dia juga mengaku kenal dengan Ibn Al-Shakyl al-Libi, yang kata dia pernah memerintahkan serangan ke pusat-pusat kepentingan Amerika di Asia Tenggara.

• Pergi ke Filipina Selatan dan membantu MILF (Front Pembebasan Islam Moro) serta tinggal di kamp Abu Bakar pada 1995.

• Membantu Agus Dwikarna (sekarang di tahanan Filipina karena dituduh membawa peledak saat masuk Filipina) melahirkan Lasykar Jundullah, kelompok Islam militan Makassar yang terlibat dalam kekerasan melawan warga Kristen di Poso, Sulawesi.

• Mendalangi sejumlah aksi peledakan gereja di Indonesia pada malam Natal 2000.

• Mendalangi kerusuhan antar-agama di Poso dan Ambon.

• Merencanakan penyerangan bom bunuh diri terhadap kapal perang Amerika yang berlabuh di Surabaya, akhir Mei lalu.

• Dua kali merencanakan membunuh Presiden Megawati Soekarnoputri.


Kepolisian RI

Pada 11 Oktober setelah memperoleh izin dari C1A, Kepolisian Republik Indonesia mengirim tim yang beranggotakan Superintenden Benny Mamoto dan Brigjen Aryanto Sutadi (Direktur Tindak Pidana Umum Markas Besar Polri) untuk menginterogasi Al-Faruq di Kabul, Afganistan.

Seperti kita baca dari berita acara pemeriksaan Abu Bakar Ba'asyir, interogasi terhadap Al-Faruq dilakukan dalam bahasa Inggris yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Para interogator Indonesia banya mengumpankan 35 pertanyaan yang dijawab Al-Faruq dengan "yes" atau "no". Al-Faruq hanya sekali menjawab "no", yakni ketika dia ditanya apakah merasa dipaksa dalam interogasi, dan dia menjawab semua pertanyaan di bawah ini dengan "yes".

• Apakah nama Anda Ahmad Muhammad alias Faruq al-Kuwaiti alias Mahmud bin Ahmed Muhammed Sagaf alias Umar Faruq?

• Anda memakai nama Mahmud bin Ahmad Assegaf ketika berada di Indonesia?

• Apakah Anda lahir di Irak?

• Apakah Anda warga negara Kuwait?

• Anda masuk ke Indonesia sejak 1998 dari Filipina?

• Anda memimpin Koperasi "Rashid" di Ambon, yang dibiayai oleh Al-Moudi, Direktur Yayasan Al-Haramayn di Indonesia?

• Anda bertemu Abu Bakar Ba'asyir di Ambon ketika Anda memimpin koperasi itu?

• Anda menerima uang dan tiket dari Abu Zubaidah untuk pergi dari Peshawar (Pakistan) ke Filipina?

• Anda berencana menyerang kepentingan Amerika di Indonesia?

• Benarkah Abu Bakar Ba'asyir merestui serangan ke Kedutaan Besar Amerika di Jakarta?

• Benarkah Abu Bakar Ba'asyir merestui menggunakan anggota Jamaah Islamiyah untuk menyerang kepentingan Amerika di Asia Tenggara?

• Benarkah ikut merencanakan peledakan bom di sejumlah gereja pada malam Natal 2000?


Mira Agustina

Perempuan bercadar ini menikah dengan Al-Faruq pada 26 Juli 1999. Mira, santri Pondok Al-Muttaqien, Jepara, Jawa Tengah, dijodohkan oleh ayahnya (almarhum), Haris Fadillah. Bersama dua anaknnya dari perkawinannya dengan Al-Faruq, Mira kini tinggal di Desa Cijambu, Cijeruk, Bogor, Jawa Barat.

Majalah Time yang mengutip dokumen CIA menunjuk Mira dari Cijeruk itulah istri dari Al-Faruq yang kini ditawan di Baghram, pangkalan Amerika di Afganistan. Namun, ketika ditunjukkan fotokopi gambar Al-Faruq, Mira sendiri mengatakan "tidak mengenalnya".

Inilah Al-Faruq versi Mira.

• Bernama asli Mahmud bin Ahmad Assegaf, namun sering dipanggil Abu Faruq.

• Seorang keturunan Arab yang lahir di Ambon, 24 Mei 1971.

• Fasih berbahasa Indonesia dengan logat Ambon.

• Semua keluarga sudah meninggal, dan Faruq punya ayah angkat di Kuwait yang juga sudah meninggal.

• Sehari-hari berdagang mutiara dan kayu gaharu.

• Senang menonton televisi, terutama film laga dan program flora-fauna.

• Tidak mengenakan pakaian gamis ala Islam ketika keluar rumah sehari-hari.


Dody M. Wibowo

Kepala Imigrasi Kelas I Makassar ini pejabat yang bertanggung jawab saat Al-Faruq mengajukan aplikasi paspor. Menurut Dody, Al-Faruq ditangkap dan dikarantina di Makassar karena bersikap mencurigakan: tidak bisa berbahasa Indonesia.

Inilah AI-Faruq versi Dody.

• Al-Faruq mengajukan permohonan paspor dengan nama Faruq Ahmad.

• Memiliki akta kelahiran dengan nama Faruq Ahmad, lahir di Ujung Pandang (nama lama Makassar), 10 Desember 1966.

• Memegang KTP Makassar dengan nomor 21.5005.101266.0001, yang berlaku dari 8 Februari 1999 hingga 10 Desember 2002.

• Tinggal di Makassar dari 8 Februari 1998 hingga Februari 1999 di Jalan Veteran Selatan Lorong 2/2A. (Warga setempat yang diwawancarai TEMPO mengatakan tidak mengenal nama Faruq, dan menyatakan tidak pernah ada pria yang menyewa rumah tersebut.)

• Kepada petugas imigrasi, Faruq mengaku datang dari Pakistan dan masuk ke Malaysia, kemudian ke Indonesia. Saat di Malaysia, Faruq kehilangan paspor Pakistan. Dia masuk Indonesia secara ilegal pada Februari 1998, untuk berdakwah sebagai mubalig.


Kantor Wali Kota Ambon

Al-Faruq pernah tinggal di Ambon. Dokumen dari kantor ini mendukung kesaksian Mira, bahwa Al-Faruq:

• Bernama Mahmud bin Ahmad Assegaf, lahir di Ambon, 24 Mei 1971.

• Memiliki KTP Ambon nomor 25.5002.240571.0001.

• Alamat di BTN Kebun Cengkeh Blok 04 no 2 RT 004/RW 005, Batu Merah, Sirimau, Ambon. (Dari penelusuran TEMPO, tidak banyak tetangga yang mau bercerita tentang Al-Faruq, tapi ada seorang tokoh muda muslim yang menyatakan Al-Faruq sering berdakwah di masjid-masjid, membangkitkan semangat solidaritas keislaman di Maluku.)

Ayi Nugraha

Kepala Sub-Direktorat Penindakan Keimigrasian Direktorat Jenderal Imigrasi Departemen Kehakiman. Ayi menunjukkan fotokopi paspor dan KTP Al-Faruq dengan alamat Jakarta:

• Kantor imigrasi Jakarta Timur mengeluarkan paspor Al-Faruq 27 Februari 2002 atas nama Ahmad Assegaf dengan foto Al-Faruq seperti yang diberitakan media.

• Dia membawa KTP nomor 09.5401.240571.85277 dengan alamat RT 03/RW 07, Kelurahan Utan Kayu Selatan, Matraman, Jakarta Timur.


Ali Al-Dafiri

Kuasa usaha Kedutaan Besar Kuwait di Jakarta ini memberikan dua keterangan berbeda tentang kewarganegaraan Al-Faruq.

• Al-Faruq memiliki paspor Irak dan lahir 1969 dengan nama Mahmud Ahmad Muhammad Al-Rasyid.

• Dia masuk ke Kuwait pada 1985 dan bekerja di sana hingga meninggalkan Kuwait tahun 1995. (Namun ketika dihubungi TEMPO lagi pekan lalu, Al-Dafiri menyatakan Faruq lahir di Kuwait dan meninggalkan Kuwait pada 1995.)

Sebagian keluarganya masih di Kuwait, namun tetap bukan warga negara Kuwait. (Majalah TEMPO Edisi 25 November – 1 Desember 2002, hal. 69 - 87)

Jejak Intelijen di Balik Al-Farouq


Banyak misteri dalam pengakuan itu. Siapa sebenarnya Al-Faruq? Kenapa Badan Intelijen Negara (BIN), yang menangkapnya atas tuduhan pelanggaran imigrasi, membiarkan dia jatuh ke tangan CIA? Kenapa Al-Faruq tidak diadili di sini jika benar ia telah membuat kejahatan besar di Indonesia?

Kenapa pula Abdul Haris, seorang aktivis Majelis Mujahidin Indonesia yang ditangkap bersama Al-Faruq, dilepas begitu saja? Benarkah dia tokoh yang disusupkan BIN ke dalam Majelis Mujahidin Indonesia untuk menjaring Ba’asyir dan kawan-kawan? Berikut ini investigasi TEMPO.

DI atas latar warna biru toska, gambar burung garuda dikitari bintang-bintang kecil terpampang pada kulit muka buku kecil itu. Mereka yang kerap berhubungan dengan dunia intelijen akan mudah mengenalinya sebagai simbol Badan Intelijen Negara (BIN). Dan pada bagian bawah sampul itu tercantum kata-kata "Sangat Rahasia".

Buku. kecil setebal 12 halaman itu, yang disalin isinya pekan lalu oleh wartawan TEMPO, memang memuat informasi yang tidak banyak diketahui umum. Sebagian isinya membeberkan rencana jahat sekelompok teroris untuk membunuh Megawati Soekarnoputri sebanyak dua kali, yakni ketika Megawati masih wakil presiden dan setelah menjadi presiden.

Seperti kita ketahui, pembunuhan itu tidak pernah terjadi. Namun, buku kecil itu bercerita lebih banyak dari sekadar plot dan skenario. Dia juga menghadirkan aktor-aktor.

Salah satu aktor adalah Syawal alias Salim Yasin alias Abu Seta, pria asal Makassar yang disebut dalam buku itu pernah berjihad di Afganistan. Dialah salah satu teroris yang, menurut buku itu, berencana membunuh Megawati pada Mei 1999. Adalah Syawal pula orang pertama yang dikontak ketika Umar al-Faruq alias Mahmud bin Assegaf, pria asal Kuwait itu, datang ke Indonesia.

Dan kisah selebihnya sudah menjadi rahasia umum. Majalah Time pada edisi 23 September 2002 memuat laporan utama yang mengguncangkan, membuat kisah yang semula hanya menjadi kasak-kusuk lingkungan intelijen itu terkuak ke kalangan publik. Mengutip antara lain dokumen Dinas Rahasia Amerika (CIA), majalah itu menulis pengakuan lengkap Al-Faruq, yang pernah tercatat sebagai penduduk Desa Cijambu, Kecamatan Cijeruk, Jawa Barat. Lebih dari sekadar operator, menurut Time, Al-Faruq adalah petinggi Al-Qaidah untuk kawasan Asia Tenggara.

Di samping terlibat dalam dua kali rencana pembunuhan terhadap Megawati, menurut majalah itu Al-Faruq mengaku terlibat dalam peledakan bom di sejumlah kota di Indonesia pada malam Natal tahun 2000 serta merencanakan peledakan sejumlah sarana milik AS di Singapura dan Indonesia. Semua aksi ini ia lakukan dengan bantuan Abu Bakar Ba'asyir, pemimpin Pondok Pesantren Ngruki, Solo.

Nyanyian Al-Faruq yang direkam oleh CIA itu segera mendatangkan hasilnya di Jakarta. Pengakuan itu membuat polisi punya alasan menahan Abu Bakar Ba'asyir, Ketua Majelis Mujahidin Indonesia yang juga disebut-sebut sebagai pemimpin spiritual Jamaah Islamiyah. Belakangan, polisi Indonesia memang membantah penangkapan Ba'asyir melulu berdasar nyanyian Al-Faruq, tapi berdasar pula kesaksian warga Malaysia yang ditahan pemerintah Singapura, Faiz bin Abu Bakar Bafana (lihat TEMPO 18 November 2002).

Bagaimanapun, Faruq menjadi orang pertama yang "bernyanyi" tentang Ba'asyir dan membuat ustad ini ditahan polisi pada 18 Oktober lalu, beberapa hari setelah ledakan bom hebat mengguncang Legian, Bali.

Tapi, siapa sebenarnya Al-Faruq, yang menurut buku kecil BIN itu kini ditawan di pangkalan militer milik Amerika Serikat di Baghram, Afganistan?

Penelusuran TEMPO atas tokoh ini lebih banyak memunculkan pertanyaan baru ketimbang membuatnya jernih. Sejumlah dokumen resmi menyebut dia lahir di Indonesia dan warga negara negeri ini. Sumber lain menyebut dia lahir di Irak atau Kuwait dan memiliki paspor Kuwait. Yang hampir pasti, ia memiliki kartu tanda penduduk, akta kelahiran, dan kartu keluarga di empat lokasi: Ambon, Makassar, Jakarta, dan Bogor (lihat Dasamuka yang Suka Menyaru).

Siapa pun Al-Faruq, ia kini populer sebagai teroris besar dengan rencana yang sangat jahat, seperti ingin membunuh presiden serta belasan orang dalam kasus bom Natal. Tapi kenapa dia kini berada di dalam tahanan Amerika, bukan di balik jeruji Indonesia sehingga bisa menjawab sebagian dari misteri hidupnya? Bukankah ia ditangkap di Indonesia, oleh aparat Indonesia?

Al-Faruq diciduk pada 5 Juni 2002 di Masjid Raya Bogor. Alasan resmi penangkapannya adalah pelanggaran dokumen imigrasi.

Menteri Kehakiman Yusril Izha Mahendra menjelaskan dalam pertemuan dengan anggota DPR Oktober silam, Faruq dideportasi karena, sebagai orang Timur Tengah yang mengaku warga negara Indonesia, ia tak bisa menunjukkan surat bukti kewarganegaraan Indonesia. Al-Faruq dihijrahkan ke Malaysia dengan pesawat Malaysia Airlines beberapa saat setelah ia dibekuk. Dan Muchyar Yara, Asisten Kepala BIN Bidang Hubungan Masyarakat, mengatakan Al-Faruq dideportasi ke Malaysia atas permintaannya sendiri (lihat Misteri Hari Terakhir).

Malaysia, Amerika Serikat, Guantanamo, Kuba. Atau Baghram, Afganistan. Entah di mana Al-Faruq sesungguhnya berada sekarang. Sebab, kisahnya ke Malaysia pun boleh jadi cuma fiksi. Seorang pejabat BIN kepada TEMPO beberapa waktu lalu mengatakan: "Faruq sebetulnya tidak diekstradisi ke Malaysia, tapi langsung diangkut ke Amerika Serikat," ujamya.

Aparat BIN, menurut sumber itu, mencap sendiri paspor Faruq seperti seolah-olah dia pergi ke Malaysia. "Dengan begitu, orang akan yakin dia terbang dulu dari Indonesia, ke Malaysia, baru ke Amerika Serikat," katanya. Padahal, pada kenyataannya Al-Faruq diangkut langsung ke sebuah pesawat militer Amerika yang sudah menunggu di Bandara Halim Perdanakusumah. Prosedur istimewa? Tidak sepenuhnya begitu dan toh ini bukan pertama kali.

Sejumlah media asing, majalah Time edisi 18 Maret 2002, misalnya, menyebut adanya kerja sama yang baik antara intelijen Indonesia dan Amerika dalam "perang melawan teror". Al-Faruq bukanlah hasil tangkapan Indonesia pertama yang kemudian disetor ke Amerika.

Harian The Australian menulis tentang seorang Pakistan bernama Hafiz Muhammad Sasa Iqbal yang ditangkap dalam operasi intelijen Indonesia pada 9 Januari 2002 dan "dideportasi" ke Mesir atas permintaan CIA.

Dalam penjelasan resminya kepada Koran Tempo (edisi 25 Februari 2002), Kapolri Da'i Bachtiar mengatakan: "Iqbal adalah titipan dari pihak imigrasi yang pernah diperiksa polisi. Dia juga disebut-sebut punya kaitan dengan jaringan Al-Qaidah sehingga dideportasi ke luar negeri." Tapi pengakuan Faruq membuat kisah pengirimannya ke luar negeri menjadi lebih kontroversial dibanding Iqbal. Banyak pihak, termasuk media massa, mempersoalkan mengapa Indonesia menyerahkan begitu saja orang yang dituding melakukan kejahatan besar di Indonesia ke tangan orang asing.

Profesor emeritus Daniel S. Lev, bekas dosen Universitas Washington di Seattle dan seorang pengamat senior masalah Indonesia, termasuk yang memandang aneh pelepasan Al-Faruq itu. "Semestinya ia diadili di Indonesia," kata Lev, yang pernah mengkaji sistem hukum Indonesia serta mendalami masalah hak asasi manusia dan perbandingan politik. "Bukankah perbuatan pidana yang dituduhkan itu terjadi di Indonesia, bukan Amerika? Atas dasar apa dia diserahkan ke Amerika?"

Lev mengatakan, dia mengendus ada permainan tapi tidak tahu persis permainan apa. "Saya tanya ke orang-orang di Washington. Tapi mereka juga mengaku tidak tahu," ujamya. "Pemerintahan Bush memang aneh. Tetapi yang lebih aneh lagi adalah Jakarta, mengapa pemerintah rela begitu saja menyerahkan orang ini."

imageJangankan Daniel Lev. Mira Agustina, istri Al-Faruq, pun mengaku penuh diliputi tanda tanya ketika suaminya tiba-tiba menghilang begitu saja sejak 4 Juni lalu.

Subuh pada 5 Juni, dua orang berbadan tegap serta berjaket hitam yang mengaku aparat imigrasi memberondong masuk rumahnya di Cijeruk, Bogor. Menurut Oman Komariah, ibu Mira, ada sekitar 20 pria dengan perawakan dan pakaian serupa yang menunggu di halaman rumah. "Mereka minta diantar ke kamar Faruq dan akan segera membawa Al-Faruq," kata Oman. Tapi Al-Faruq tidak ada. Para tamu akhirnya hanya membawa sejumlah barang dan berkas milik tuan rumah.

Ketua rukun warga setempat, Ukus Sewaka, yang datang mendekat karena mendengar suara gaduh, mencoba menanyakan identitas para tamu asing itu, tapi dijawab singkat dan sangar: "Dari imigrasi pusat!" Tatkala Ukus mau mencatat nomor mobil mereka --empat Mitsubishi Kuda dan satu Panther asal Jakarta dan Bogor-- mereka mencegahnya. Itu membuat Ukus mengerut dan tak berani ikut masuk ke rumah Mira ketika terjadi penggeledahan. "Abdi sieun (saya takut)," ujarnya.

Muchyar Yara dari BIN mengatakan penggerebekan dan penangkapan Al-Faruq dilakukan lembaganya bersama aparat imigrasi. Tapi, kata Yara, BIN-lah yang melakukan koordinasi. "Penangkapan itu memang kami yang mengarahkan," tuturnya. Alasan keimigrasian bisa jadi bukan dalih utama. "Kami memperoleh informasi awal dari intelijen Filipina, Singapura, dan Amerika bahwa ada orang asing di kampung (Cijambu, Kecamatan Cijeruk, Bogor) yang terlibat dalam jaringan terorisme," Yara melanjutkan.

Menteri Koordinator Polkam, Susilo Bambang Yudhoyono, membenarkan kesaksian Muchyar Yara. Dalam pernyataannya di Bandung, 20 September lalu, Yudhoyono mengatakan: "Pemerintah tahu pasti rencana dan penangkapan Al-Faruq. Sebab, pekerjaan itu dilakukan intelijen Indonesia setelah melakukan investigasi untuk memerangi terorisme."

Al-Faruq, menurut Muchyar Yara, ditangkap oleh suatu tim di bawah komando Mayor Andika, seorang perwira Kopassus yang diperbantukan ke BIN. Kebetulan atau tidak, sang Mayor adalah menantu Kepala BIN Letnan Jenderal (Purn.) Hendropriyono. Dengan kata lain, ini lebih mirip operasi polisi. BIN rupanya tidak hanya melakukan pengumpulan data intelijen, tapi juga menangkapi orang --sebuah praktek yang ganjil.

Masih ada kejanggalan lain. Pihak imigrasi sendiri membantah terlibat. Direktur Jenderal Imigrasi Iman Santoso, yang tengah berada di Jerman saat itu, mengatakan tidak tahu masalah dan alasan penangkapan. Al-Faruq. Sementara itu, Kepala Humas Direktorat Jenderal Imigrasi Ade Endang Dahlan juga menegaskan pihak imigrasi tidak mengetahui ataupun terlibat dalam penangkapan tersebut.

Kepolisian Republik Indonesia memang belakangan mengirirnkan dua petugasnya ke Afganistan untuk memeriksa Al-Faruq guna kepentingan penyidikan terhadap Abu Bakar Ba'asyir. "Tapi mereka manbantah keterlibatannya dalam penangkapan Al-Faruq sendiri. "Tidak pernah ada penangkapan itu," kata Kepala Humas Polri Brigjen Saleh Sa'af kepada Tempo News Room, awal Juli lalu. Belakangan, seorang perwira tinggi di Mabes Polri membisikkan hal ini kepada TEMPO: "BIN tak melibatkan polisi." Menurut pejabat itu, setelah ditangkap, BIN menyerahkan Faruq ke polisi. Namun polisi tak bisa menemukan bukti pelanggarann.ya kecuali soal pemalsuan dokumen imigrasi itu. Lalu, soal deportasi ke Amerika itu?

"Penyerahan ke Amerika itu tidak lepas dari desakan negara adikuasa tersebut,” kata sumber di Polri tersebut. "Dan ini membuktikan bahwa nuansa politis dari kasus ini semakin jelas." Tekanan politis ini pula yang barangkali membuat BIN akhirnya merelakan jeri.h-payah memburu Al-Faruq yang mereka lakukan dilakukan melalui penyadapan jaringan telepon internasional (lihat Jejak Seluler Meringkus Faruq).

Gunjingan terhadap BIN makin keras ketika sebuah fakta lain muncul dalam penangkapan Faruq. Seorang pria bernama Abdul Haris dibekuk bersamanya, tapi kemudian dibebaskan. Kepada TEMPO, yang sempat mewawancarainya, Haris mengaku persangkutannya dengan Faruq hanya karena urusan paspor. "Saya mengenal Faruq karena membantu menguruskan paspor isterinya, Mbak Mira," ujarnya.

Namun, penelusuran TEMPO menemukan indikasi kuat bahwa dia bukan sekadar "calo paspor": dia orang BIN yang ditanam dalam Majelis Mujahidin Indonesia.

Dalam Majelis Mujahidin, Haris duduk sebagai pengurus di Departemen Hubungan Antar-Mujahid --sebuah posisi strategis yang mengatur hubungan antar-organisasi Islam di dalam dan di luar negeri. Namun, pada saat yang sama, bahkan Polri sendiri mengatakan Haris adalah anggota BIN. Dalam pernyataan resminya yang dilansir oleh situs Liputan6.com, Kapolri Da'i Bachtiar menyatakan Haris adalah orang BIN yang menemani dua polisi berangkat ke Afganistan untuk menemui Al-Faruq. Berita ini juga disiarkan beberapa kali oleh SCTV.

Kepada TEMPO, Haris sendiri membantah dia orang BIN. Demikian pula Muchyar Yara, yang mendukung pernyataan Haris dalam soal itu. Tapi, Yara mengatakan Haris adalah kawan lama Hendropriyono –sebuah fakta yang membuat kalangan Majelis Mujahidin bisa saja memiliki alasan untuk curiga.

Maklumlah, ada bebacapa "kebetulan" yang menyusahkan organisasi itu. Abdul Haris menghilang dari pertemuan dan kegiatan Majelis Mujahidin bersamaan dengan hilangnya Faruq. Ihwal menghilangnya Haris sebenarnya disadari oleh aktivis MMI. "Sudah sekitar enam bulan Haris tidak aktif. Kami memang mendapat kabar bahwa dia seorang agen yang disusupkan, tapi kami tidak gegabah mempercayainya sebelum diklarifikasi,"ujar Irfan S Awwas, Ketua Tanfidziyah MMI.

Sementara itu, Faruq, yang ternyata disetor kepada CIA, kini menyanyikan pengakuan yang menyudutkan Ba'asyir dan membuatnya ditahan polisi. "Haris itu orangnya baik dan humanis, tapi saya tak mengira dia itu munafik," kata Elang Lesmana Ibrahim, seorang aktivis Islam dari Bandung, yang beberapa kali bertemu Haris (lihat Donnie Brasco dari Ciputat).

Sejarah intelijen Indonesia memang mencatat kelompok-kelompok radikal Islam, sebagai salah satu "kerikil dalam sepatu" yang terus-menerus ada. Dan bukan hal baru kalangan intelijen menanam agennya ke organisasi Islam dengan tujuan melumpuhkannya. "Sejak masa Orde Baru, kelompok Islam selalu dipermainkan," kata Daniel Lev. "Dari sudut pandang intelijen seperti BIN –dulu Bakin-- orang-orang radikal Islam berguna sekali karena gampang digerakkan dan dipakai."

Hendropriyono sendiri bukan sekali ini bersilangan riwayat hidupnya dengan gerakan radikal Islam. Pada akhir dasawarsa 1980, ketika masih menjadi Komandan Korem di Lampung, dia memimpin operasi menumpas Gerakan Warsidi sebuah kelompok yang dituduh ingin mendirikan negara Islam. Darah tumpah di situ, dan Human Rights Watch menyebutnya sebagai "The Butcher of Lampung".

Kini, Hendropriyono, yang belakangan ini dikenal akrab dengan sejumlah tokoh Islam, bukan lagi tentara lapangan. Dia memimpin BIN, lembaga intelijen yang belakangan ini memperoleh kekuasaan besar setelah keluarnya Perpu Anti- terorisme pada 18 Oktober lalu.

Hendropriyono tak bersedia memenuhi permintaan wawancara TEMPO. Muchyar Yara, yang diminta mewakilinya, menolak tuduhan BIN atau Hendropriyono menanam Haris untuk menjaring Ba'asyir. “Tapi, jika benar Haris orang BIN, apakah itu sesuatu yang salah?" kata Muchyar. "Bukankah yang dimata-matai itu orang asing yang bikin kekacauan, di Poso, Ambon, dan sebagainya?" (lihat "Haris Teman Lama Hendro")

Al-Faruq yang dimata-matai bisa saja orang asing. Dan Al-Faruq, melalui sebuah rekaman video yang diperoleh BIN, barangkali benar pemah melatih orang-orang Islam dalam sebuah kamp di Poso. Tapi, Ba'asyir adalah warga negara Indonesia yang sudah terkena getah dari pengakuan Al-Faruq di depan CIA.

Ini bahkan bukan sekadar nasib seorang Ba'asyir yang tudingan terhadapnya masih harus dibuktikan di pengadilan kelak. Ini menyangkut hendak dikemanakan badan intelijen Indonesia.

Beberapa hari setelah ledakan dahsyat di Legian, Bali, pemerintahan Megawati mengeluarkan peraturan pemerintah tentang pemberantasan tindak pidana terorisme. Peraturan itu memberikan peran lebih besar lagi kepada Kepala BIN, yang pada pemerintahan Megawati memiliki posisi setara menteri kabinet. Dan kini, setelah Bali, Megawati memberi BIN wewenang untuk melakukan koordinasi atas semua badan intelijen yang ada di berbagai departemen dan kepolisian.

Posisi BIN juga bisa lebih kuat lagi mengingat data intelijen yang dijaring melalui kegiatan mata-mata, seperti penyadapan dan penyusupan, kini bisa diterima sebagai alat untuk menahan seorang tersangka teroris, meskipun keabsahan data itu harus diuji oleh pengadilan.

Setelah serangan teror di Bali, meski semula enggan, Indonesia akhirnya harus terlibat dalam barisan perang melawan terorisme yang dipimpin Amerika. Banyak negara lain juga melakukannya dengan, antara lain, mengadopsi undang-undang anti-terorisme. Namun, seperti dilaporkan Human Rights Watch awal tahun ini, "perang melawan terorisme" ternyata banyak pula disalahgunakan oleh rezim- rezim otoriter untuk menindas oposisi dan para pengkritik.

Membuat badan intelijen yang punya akuntabilitas adalah salah satu cara menghindari ekses seperti itu. (Majalah TEMPO Edisi 25 November – 1 Desember 2002, hal. 69 - 87)

Umar Al-Faruq itu Direkrut oleh CIA


Oleh: DR. A.C. Manullang

SEBUAH ledakan granat mengguncang Jakarta, Senin (23/9) dini hari. Lokasi peristiwanya sangat dekat dengan mess Kedutaan Besar Amerika Serikat di Menteng, Jakarta Pusat. Orang pun lalu mengaitkan peristiwa ini dengan isu terorisme yang dua pekan ini santer diberitakan media massa. Termasuk kemungkinan peranan Amerika Serikat sebagai salah satu sasaran teror. Tapi betulkah demikian?

Pengamat intelijen dan bekas Direktur Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN), DR. A.C. Manullang, menilai bom itu memang disengaja dan memang dimaksudkan untuk memperlihatkan bahwa terorisme memang ada di negeri ini.

Kepada Yostinus Tomi Aryanto dari Tempo News Room yang mewawancarainya, Selasa siang, doktor di bidang sosiologi dan politik itu menganalis bahwa yang paling berkepentingan dengan tujuan itu adalah Amerika Serikat. Teror bom itu, kata Manullang, tak bisa dipisahkan dari skenario besar Amerika dalam kampamyenya memerangi terorisme internasional. Dalam proyek itu, Indonesia merupakan salah satu titik strategis.

Dia punya teori, “Di sini mudah merekrut teroris,” kata intelijen yang 14 tahun belajar anti-teror di Jerman. Menullang juga mengatakan bahwa bukan tidak mungkin Umar Al-Faruq, yang sedang ditahan CIA dan diberitakan pernah mengancam keselamatan Presiden Megawati, adalah agen didikan Amerika sendiri.

Dalam pembicaraan melalui sambungan telepon, intelijen yang menolak menyebutkan kepanjangan dari singkatan “A.C.” di depan nama marganya itu, menjawab semua pertanyaan dengan nada tinggi. Sesekali ia terkekeh jika ada hal yang dianggapnya lucu atau aneh dan patut ditertawakan. Berikut petikannya.

Apa analisis Anda terhadap tuduhan badan intelijen Amerika, CIA, yang mengatakan Indonesia merupakan sarang terorisme dan penyebaran agen Al-Qaidah?

Masalah terorisme dan Al-Qaidah itu bukan hanya yang sekarang ada. Malah saya sudah katakan lebih jauh lagi. Sejak empat tahun lalu Indonesia sudah menjadi sarang teroris.

Dari mana itu diketahui?

Bukan tidak mungkin Amerika Serikat ini merekrut orang-orang Indonesia untuk dijadikan agen-agen pelaksana grand strategy-nya.

Maksud saya, apa yang Anda maksud dengan sudah ada terorisme di Indonesia sejak empat tahun lalu?

Buktinya, Umar Al-Faruq itu sudah banyak merekrut orang-orang di Indonesia. Orang-orang ini tidak menyadari telah direkrut dalam satu paket bersama Umar Al-Faruq. Dan saya katakan, bukan tidak mungkin Umar Al-Faruq sendiri adalah produk rekrutmen CIA. Sekarang, dalam permainan atau kasus ini, Indonesia mengatakan bahwa Umar Al-Faruq diketahui oleh Badan Intelijen Negara dari CIA, sehingga bisa ditangkap. Saya ingin katakan di sini, pasti dan sudah pas bahwa Umar Al-Faruq sendiri ada di tangan seorang agen intelijen kita. Itu jauh hari sebelum ini. Al-Faruq ini dikatakan sebagai orang Al-Qaidah di Asia Tenggara. Tetapi, intelijen kita sudah mengetahui jauh hari sebelum ini, bahwa dia berhubungan dengan pembantu utama Usamah Bin Ladin yang bernama Hussein. Jadi, Al-Faruq sudah melaksanakan banyak rekrutmen. Ini dibuktikan dengan adanya hubungan dia dengan Agus Dwikarna.

Kalau sudah bisa berhubungan dengan Agus Dwikarna, apalagi dengan yang lain. Istrinya yang ada di Bogor, dengan segala macam, dan dengan yang di daerah lain. Tetapi, Anda harus tahu, bahwa pekerjaan intelijen itu: Anda boleh tahu siapa dan di mana Umar Al-Faruq itu. Tetapi, Anda tidak pernah tahu bagaimana dia bekerja. Jadi, Al-Faruq itu, menurut saya dan dari informasi yang ada di intelijen, sudah banyak merugikan Islam sendiri. Karena apa? Sebab dia itu binaan CIA sendiri.

Anda yakin Al-Faruq ini agen binaan CIA yang disusupkan di Al-Qaidah?

Ya. Dia disusupkan di Al-Qaidah. Dan Umar Al-Faruq sendiri tidak pernah sadar bahwa dia telah direkrut oleh CIA.

Maksudnya?

Rekrutmen (dalam) intelijen itu orangnya tidak sadar. Juga Anda sendiri. Mengapa saya bersedia bicara dengan saudara. Karena saya ingin BIN bersama-sama dengan anda bekerja untuk memberikan informasi yang benar kepada negara kita ini. Itulah rekrutmen. Nah, sekarang, berkaitan dengan bom yang ada di Menteng kemarin, itu hanya memberikan indikasi agar masyarakat resah. Kedua, menunjukkan bahwa Megawati sudah tidak punya kuasa apa-apa lagi. Dan ketiga, untuk menunjukkan bahwa di Indonesia ini terorisnya masih eksis.

Apakah itu ada hubungannya dengan upaya meminta Abu Bakar Ba’asyir agar dikirim ke Amerika?

Betul.

CIA sendiri mencantumkan Ba’asyir sebagai salah satu teroris dalam daftar mereka dan menjadi target operasi mereka.

Itu betul. Tapi (jika dilakukan) salah besar. Tidak ada dan tidak boleh kita mengekstradisi Abu Bakar Ba’asyir ke Amerika. Sebab, menurut data intelijen Indonesia, tidak ada petunjuk Ba’asyir mempunyai indikasi sebagai teroris internasional atau nasional. Bahwa ada kesan dia keras, kan boleh saja orang keras (tertawa). Jadi tidak benar (dia teroris).

Lo lalu, siapa dong yang Anda maksud sebagai orang-orang yang direkrut Umar Al-Faruq di Indonesia?

Yang direkrut itu tentunya orang-orang yang tidak terkenal. Kalau terkenal seperti Abu Bakar itu, yang sudah kuat, sudah sulit direkrut (tertawa terkekeh). Kalau tukang becak yang ngebom kemarin, itu gampang. Tetapi, kalau pemerintah Indonesia mengatakan bahwa terorisme itu tidak ada, itu keliru. Data intelijen mengatakan itu sudah lama ada. Nah, sekarang, kenapa Amerika menggebu-gebu dengan terorisme ini di Indonesia? Karena orang Indonesia dianggap paling gampang direkrut jadi agen, tergantung kepentingan politiknya. Contohnya, sekarang banyak orang demonstrasi anti-Amerika. Alasannya, karena Amerika anti-teroris, yang seolah diidentikkan dengan Islam. Tetapi, ini harus Anda tulis, itulah sasaran atau target intelijen Amerika, yaitu supaya di Indonesia bangkit sentimen anti-Amerika.

Apa tujuannya?

Tujuannya, kalau sentimen anti-Amerika yang menggebu itu bangkit, maka dia akan mendaftar orang dan berkata kepada pemerintah Indonesia, terutama kepada BIN, “Inilah orang-orang teroris di pesantren-pesantren itu. Maka izinkanlah kami datang menangkapnya, bersama-sama Anda,” begitu. Jadi, kalau terus-menerus kita demo di sini, bukan tidak mungkin Indonesia menjadi Afganistan kedua. Oleh karena itu, Megawati ini sudah tidak punya apa-apa. Yah, lebih baik lengser.

Posisi Indonesia itu se-strategis apa dalam konteks strategi besar Amerika, sepengetahuan Anda dari kacamata intelijen?

Dalam konteks Amerika mengobarkan anti-terorisme, targetnya di Indonesia adalah: Indonesia sangat potensial untuk dijadikan sarang terorisme. Kenapa? Indonesia ini militan. Agama Islamnya radikal. Banyak LSM-LSM yang ekstrim kiri dan ekstrim kanan. Dan,kita paling lemah intelijennya. Kenapa lemah? Karena tak ada duit (tertawa terkekeh panjang). Saya bilang pada Pak Hendro (Kepala BIN, red.), “Mana bisa kerja lu. Nggak ada duit lu. Beda dengan zaman Soeharto dulu.” Jadi Amerika sangat senang dengan keributan-keributan di Indonesia sekarang ini. Inilah yang saya katakan, dalam bahasa intelijen, CIA berhasil membentuk Indonesia sebagai tension of local conflict, artinya konflik lokal yang bisa dikendalikan oleh dia. Yang meskipun ada konflik, tetapi tidak sampai menyala. Tidak seperti konflik di Kalimantan yang tak terkendali itu. Ini bisa dikendalikan. Dipegang dan diatur. Sehingga bukan tidak mungkin mereka juga membuat bom itu, mengingat perlunya disitir atau dinyatakan bahwa di Indonesia ini masih berkeliaran teroris.

Selain perekrutan, indikasi lain apa yang lebih jelas dari adanya operasi intelijen Amerika?

Antara lain hampir seluruh laporan dari Indonesia ini: mengenai buruh, petani, tenaga kerja, kelaparan, dan sebagainya itu lengkap di Amerika. Siapa yang membuat itu? Dari mana? Ya dari yang direkrut itu tadi. Itulah bedanya intelijen dengan bukan. Kami bisa bedakan antara yang direkrut dan yang bukan. Kalau dia berkata bisa, sedangkan saya bilang tidak. Itu omong kosong. Karena saya setingkat dengan mereka. Sama-sama sekolah di Eropa. Tahu apa mereka (tentang) bangsaku ini.

Peran agen-agen itu terbuka atau semuanya tertutup?

Operasi intelijen itu ada dua macam: terbuka seperti pers dan pejabat-pejabat seperti konsul-konsulnya. Kedutaan Amerika itu adalah orang-orang yang sudah direkrut CIA, kecuali duta besarnya. Itu yang terbuka. Maka mereka bisa bertemu siapa saja untuk memperoleh informasi. Sedangkan yang tertutup ada juga. Namanya operasi klandestin. Itu sangat berat. Karena Anda tidak mengetahui kalau mereka mencari sesuatu seperti dokumen dari Anda. Bisa melalui istri atau orang-orang dekat.

Artinya, bisa juga melalui bantuan lembaga-lembaga seperti LSM?

Betul. Melalui bantuan itu disampaikan maksud-maksud mereka. Caranya, LSM itu menuntut turunnya Megawati. Itu salah satu faktor.

Anda dua kali menyebut Megawati mesti turun. Apa faktor dari Megawati yang membuat Amerika menghendakinya harus turun?

Megawati itu pada awalnya dianggap bisa menjadi perpanjangan tangan dari Amerika. Tetapi ternyata dia tidak bisa tegas terhadap Islam. Sampai sekarang kerjanya hanya rusuh saja. Tidak ada kekuatannya. Maka, berkali-kali ini saya kemukakan, bagaimanapun, cepat atau lambat, harus segera muncul orang kuat dari negeri ini. Yang bisa menarik bangsa ini keluar dari keterpurukan. Dan di dukung militer.

Menurut anda, siapa orang kuat itu?

Oh, ada orangnya. Ada itu desain kami. Sudah dipersiapkan lama.

Dari kalangan militer atau sipil?

Itu tidak masalah. Tetapi yang di dukung militer.

Oke, kembali ke soal terorisme. Apa target jangka pendek Amerika di sini?

Bagaimana membentuk segera peluang agar mereka bisa masuk di sini. Itu target jangka pendek. Jadi kalau benar di sini ada teroris, mereka segera bisa bergerak masuk.

Komitmen Amerika pada Megawati untuk memberikan bantuan militer dan kepolisian beberapa waktu lalu, menurut Anda apakah berhubungan dengan operasi intelijen ini?

Tentu ada. Cuma, apakah sudah dicairkan? Saya lihat belum. Karena apa? Terorisme masih jalan. Keamanan belum jalan.

Lalu peran BIN dalam operasi ini di mana?

Tugas mereka, sebenarnya, harus mampu mendeteksi secara dini segala permasalahan, terutama berkaitan dengan kegiatan terorisme dan Al-Qaidah ini. Lalu melaporkannya kepada Presiden Megawati. Kemudian Megawati memerintahkan kepada polisi dan jajarannya yang lain untuk menanganinya lebih lanjut.

Tapi kenapa dalam kasus Al-Faruq, BIN yang justru melakukan penangkapan di Bogor, lalu CIA yang memprosesnya?

Penangkapan di Bogor itu sudah betul. Sebab mereka mengetahui Umar Al-Faruq, dan inilah salah BIN, hanya salah dalam menggunakan paspor. Inilah keteledoran BIN. Aturannya, dia tidak boleh di ekspor kepada CIA atau ke negara manapun yang dia kehendaki, tanpa diinterogasi dulu.

Jadi mestinya di interogasi di sini?

Ya. Di interogasi dulu dong.

Kok ini baru tiga hari ditangkap langsung dikirim?

Ini yang … (bergumam). Makanya pernyataan Al-Faruq, seperti diungkap CIA itu, belum tentu benar. Itu untuk tujuan Amerika semua. Dan untuk itu kita diobok-obok ini. (tempo.co.id)

TVOne, Metro TV, dan Monolog Polisi


Barangkali kita semua masih ingat ketika reporter Metro TV Nurudin Lazuardi berada satu pesawat dengan Sjahril Djohan dalam penerbangan Singapura-Jakarta. Nurudin satu-satunya wartawan yang “berhasil” mewawancara Sjahril dan mengabadikan kepulangan mantan diplomat yang diduga markus itu. Mudah ditebak: Metro diberi informasi eksklusif oleh Polri. Pada saat yang sama TVOne sedang punya hubungan tidak enak dengan Polri akibat dugaan markus palsu dalam tayangan Apa Kabar Indonesia Pagi. Sebelumnya, untuk kasus-kasus terorisme, TVOne menjadi “yang terdepan dalam mengabarkan”. Wartawan TVOne, Ecep S Yasa, selalu menempel pada Densus 88 ketika aksi-aksi penyergapan dilakukan. Ketika Amrozi cs dieksekusi, TVOne yang pertama kali memastikan terpidana mati teroris itu sudah ditembak mati.

Tetapi apa harga yang harus dibayar TVOne dan Metro TV setelah mereka mendapat informasi dan fasilitas eksklusif dari Polri? Tidak ada makan siang gratis . Di tengah kontroversi penahanan Susno dan belitan markus di tubuh Polri, tiba-tiba “teroris” itu muncul kembali. Dan rupanya kini giliran TVOne dan Metro TV yang harus “memberi sesuatu” kepada Polri. Dalam penyergapan “teroris” yang penuh kejanggalan ini, kedua TV itu menjadi corong Polri. Mereka menelan mentah-mentah apa saja yang ke luar dari mulut Polri. Selain menampilkan gambar-gambar “kegesitan” Densus, TVOne dan Metro juga menyajikan berbagai dialog dengan “pengamat terorisme” yang menggambarkan hebatnya Polri dan Densus dan menggambarkan betapa Presiden dan pejabat tinggi sedang dalam ancaman. Kedua TV itu membiarkan Polri melakukan pertunjukan monolog.

Bukan tanpa alasan jika banyak pihak seperti Mahfud MD, Ketua Mahmakah Konstitusi, mengkhawatirkan penyergapan “teroris” ini sekedar upaya pengalihan isu. Dan bukan tanpa alasan pula jika Kompas edisi Jumat 14 Mei yang lalu tidak menempatkan peristiwa penyergapan ini dalam headline, tidak juga muncul di halaman pertama. Kompas menempatkannya di halaman 26, halaman Metropolitan, dengan judul: Polisi Tewaskan 5 Orang. Headline Kompas hari itu justru: Susno Duadji Terus Melawan.

Lihat: Dagelan Penggerebekan Teroris

Hal menarik lain, konferensi pers kali ini, selain langsung disampaikan Kapolri, juga dihadiri Menko Polhukam Djoko Suyanto. Padahal biasanya untuk peristiwa penyergapan yang tidak melibatkan tokoh teroris kelas berat, konferensi pers hanya dilakukan Kadiv Humas Mabes Polri. Ada apa? Polri mungkin berpikir bahwa Menko Polhukam harus dihadirkan dalam konferensi pers untuk memberi kesan bahwa ini penyergapan yang serius. Tetapi sebaliknya kita bisa berpikir: penyergapan ini penuh sandiwara sehingga Polri memerlukan Menko Polhukam untuk meyakinkan publik.

Saya tidak bermasud mengecilkan bahaya teroris di Indonesia atau menafikan keberhasilan Polri mengakhiri petualangan Noordin dan Dulmatin. Tetapi jika “penyergapan teroris” digunakan sebagai upaya pengalihan isu atau digunakan sebagai upaya untuk mendapatkan atau mempertahankan alokasi dana, maka hal-hal seperti ini harus kita kutuk keras. Dan tugas media untuk memberikan perspektif kepada publik, tidak menelan mentah-mentah penjelasan sepihak. Hal seperti ini hanya bisa dilakukan jika media menjaga jarak dengan sumber berita (Polri) dengan menjalin relasi yang proporsional. (kompasiana.com)



Wawancara dengan Abdul Haris

Saya Orang Swasta Murni

Abdul Haris

Dari mana Anda kenal keluarga Al-Faruq?
Kebetulan saya kenal paman Mira (Mira Agustina, istri Al-Faruq -Red.). Namanya Muhabbah. Dia pedagang bakso di Bogor. Kami pernah beberapa kali bertemu. Dengan Faruq, saya bertemu pas mengurus paspor Mbak Mira.

Mengapa Anda sampai tertangkap bersama Al-Faruq di Masjid Raya Bogor?
Saya berjanji bertemu untuk menyerahkan paspor Mira kepada Faruq karena Mira waktu itu ada di Tanjung Pinang. Cuma, saya sayangkan, sebelum saya menyerahkan paspor itu, rupanya Faruq sudah merasa kalau sedang dicari. Cuma dia tidak berceritera, akhirnya saya ikut kena getahnya. Kalau tahu begitu, saya serahkan saja paspor itu ke pamannya Mira.

Bagaimana kronologinya?
Saat itu sekitar tanggal 5 Juni. Faruq meminta paspor itu dibawa ke Rawamangun. Belum satu jam, dia menelepon saya dan minta saya mengantarkannya ke bandara. Baru saya mau meluncur ke sana, dia meralat lagi. Sudah, kalau begitu ditunggu saja di Masjid Raya Bogor. Jadi, dia yang menentukan tempat, saya hanya mengikuti. Saya heran, mau menyerahkan paspor istrinya kok minta tempat ketemunya berpindah-pindah dan tidak berani datang ke imigrasi langsung. Saya menduga dia sudah tahu dirinya diikuti terus sejak awal.

Akhirnya Anda berdua bertemu di Bogor?
Ya, di Masjid Raya Bogor selepas salat asar. Ketika kami sedang mengobrol, datang beberapa orang mau menangkap Faruq. Mereka mengaku dari imigrasi dan tidak bersenjata.

Berapa jumlah mereka?
Saya tidak tahu persis. Peristiwanya cepat sekali. Mereka bilang Faruq ditangkap karena memalsukan paspor. Kami langsung diborgol dan dibawa dengan mobil terpisah. Mata saya ditutup selama perjalanan hingga masuk ke sebuah ruangan selama kurang-lebih satu jam. Waktu itu pakai mobil Kijang. Celakanya, waktu itu Faruq membawa uang Rp 27 juta sehingga saya dikenai tuduhan menjual paspor sangat mahal. Padahal, perjanjian kami, saya mendapat upah sekitar satu juta rupiah.

Berapa lama Anda ditahan?
Saya ditahan selama dua malam satu hari, dan diperiksa terpisah dengan Faruq. Pertemuan terakhir kami ya ketika mengobiol di masjid sebelum ditangkap.

Apa saja yang mereka tanyaban kepada Anda?
Soal perkenalan dengan Faruq. Saya bilang hanya membantu membuatkan paspor istrinya, Mira. Lalu dicek silang dengan Faruq. Untunglah Faruq melindungi saya karena dia tidak omong macam-macam, misalnya saya ini orang MMI, Majelis Mujahidin Indonesia. (Keputusan Kongres I MMI pada 5-7 Agustus 2000 menetapkan Abdul Haris sebagai anggota Departemen Hubungan Antar-Mujahid -Red.)

Kalau urusannya sama-sama cuma soal paspor, kok anda kemudian dilepas dan Faruq terus ditahan?
Mereka yakin bahwa saya hanya orang yang mencari duit.

Anda ikut tim Mabes Polri ketika menginterogasi Al-Faruq?
Saya heran dikait-kaitkan dengan itu. Nama Abdul Haris kan banyak sekali, tapi yang jelas bukan saya. Saya sendiri kan bukan siapa-siapa, ha-ha-ha.

Anda kan fasih berbahasa Arab dan kenal Al-Faruq?
Bahasa Arab saya kurang begitu bagus.

Faruq itu warga negara Indonesia atau asing?
Kalau saya perhatikan sih bukan. Kosakata Indonesia-nya sedikit sekali dan patah-patah. Kami berkomunikasi dalam bahasa Arab.

Kami mendapat informasi, Anda memperoleh proyek pemasangan karpet dan gorden di kantor Badan Intelijen Nasional?
Saya memang pernah mendapat proyek pengerjaan karpet di BIN.

Ini informasi lain yang kami peroleh: Anda pernah menyodorkan daftar nama orang yang dicari dan bakal ditangkap BIN kepada Hendro?
Masya Allah, saya ini orang swasta murni. Hidup saya kan dari satu kontrak ke kontrak lainnya. Kok informasinya aneh-aneh begitu? Tidak, tidak pernah saya melakukan hal itu.

Anda belajar di Riyadh selama dua tahun (1989-1991). Kami mendapat informasi Anda dibiayai Badan Intelijen Negara (ketika itu Bakin)?
Ha-ha-ha, isunya kok aneh-aneh begitu. Beasiswa saya dari pemerintah Arab Saudi. Teman-teman seangkatan saya banyak. Ada yang dari Yayasan Al-Masturiah, ada juga yang dari Muhammadiyah. Jadi, beasiswa itu memang untuk banyak orang.

Kabar itu muncul karena beberapa kalangan orang mencurigai Anda orang BIN yang ditanam di MMI?
Saya orang swasta murni. Istri saya seorang guru. Saya hidup dari kontrakan.

Apakah Anda mendapat mobil Kia Carnival dari BIN karena sukses membantu penangkapan Faruq?
Masya Allah, kejam sekali informasinya. Tanya saja ke Irfan Awwas (Ketua Umum MMI), kapan saya punya mobil dan jenisnya. (Majalah TEMPO Edisi 25 November – 1 Desember 2002, hal. 69 - 87)