16 May 2010

Intel Nabi dan Intel Zaman Komji


Intel di era Nabi jauh berbeda dengan intel di saat kasus Komji. Meski masa itu sudah berusia lebih dari 1400 tahu, intel Nabi jauh lebih berakhlak dan lebih manusiawi

Hidayatullah.com--Juni tahun 2002, sebuah peristiwa penting terjadi di Masjid Raya Bogor. Seorang pria keturunan Timur Tengah, ditangkap karena pelanggaran dokumen imigrasi. Pria bernama Umar al Faruq, yang pernah tercatat sebagai penduduk Desa Cijambu, Kecamatan Cijeruk, Jawa Barat, disebut-sebut TIME , punya hubungan dengan petinggi Al-Qaidah untuk kawasan Asia Tenggara.

Ia bahkan ikut dikait-kaitkan dengan rencana pembunuhan Megawati, dianggap terlibat dalam peledakan bom di sejumlah kota di Indonesia pada malam Natal tahun 2000, serta merencanakan peledakan sejumlah sarana milik AS di Singapura dan Indonesia. Siapa sesungguhnya Umar al Faruq? Tidak jelas hingga sekarang.

Selain Umar al Faruq, dalam kasus penangkapan tujuh tahun silam itu, tersangkut pula nama Abdul Haris, yang kemudian ikut dibebaskan oleh pihak intelijen.

Kepada Majalah TEMPO, Haris mengaku bahkan sempat ikut mengurus paspor. "Saya mengenal Faruq karena membantu menguruskan paspor isterinya, Mbak Mira," ujarnya.

Namun, penelusuran TEMPO menemukan indikasi kuat bahwa dia bukan sekadar "calo paspor": dia orang BIN yang ditanam dalam Majelis Mujahidin Indonesia (MMI).

Siapa Abdul Haris? Haris tak lain adalah pengurus di Departemen Hubungan Antar-Mujahid, sebuah posisi strategis yang mengatur hubungan antar-organisasi Islam di dalam dan di luar negeri.

Sebagaimana dikutip TEMPO dalam Edisi 25 November-1 Desember 2002, menyebutkan, Muchyar Yara, Asisten Kepala BIN Bidang Hubungan Masyarakat, mengaku Haris tak lain adalah seorang agen BIN yang telah "ditanamkan" untuk mengawasi gerak-gerik berbagai jaringan Islam, termasuk MMI.

“Haris adalah teman lama Hendropriyono sejak masih menjadi Panglima Daerah Militer Jaya, bahkan mungkin sejak masih kolonel. Hubungan antara Haris dan Pak Hendro (Jenderal TNI (Purn) Abdullah Mahmud Hendropriyono, red) sebatas teman. Tapi, tidak benar Haris ikut ditangkap bersama Al-Faruq,” ujar Muchyar Yara kepada TEMPO.

Pria bernama lengkap Muhammad Abdul Haris adalah lulusan IAIN, pernah menempuh pendidikan di Madinah untuk meraih gelar Lc. Ia adalah perwira sebuah angkatan di lingkungan TNI dan melanjutkan studi ke Madinah, sebagai salah salah satu tugas yang harus ia jalankan.

Selama di MMI, Haris mengurusi pusat informasi. Ia kerap menyerahkan catatan yang disebutnya sebagai ‘info intelijen’ mengenai kasus Maluku dan Poso. Ia juga mengetahui aktivis Islam Indonesia yang pernah ikut berperang di Afghanistan. Meski aktif, anehnya, Haris selalu menghindar jika difoto. Karena itu, dalam dokumentasi MMI, gambar Haris tak pernah ada.

Soal Abdul Haris ini diakui pernah diakui Ketua Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Irfan S Awwas, suatu kali. Menurut Irfan, keberadaan Haris tiba-tiba hilang seiring ditangkapnya Umar al-Faruq dan dijebloskannya Ustad Abubakar Ba’asyir ke penjara.

"Sudah sekitar enam bulan Haris tidak aktif. Kami memang mendapat kabar bahwa dia seorang agen yang disusupkan, tapi kami tidak gegabah mempercayainya sebelum diklarifikasi," ujarnya.

Rekayasa

Sejarah hubungan intelijen Indonesia dengan kelompok-kelompok rekaan dalam Islam bukan sesuatu yang baru. Dan bukan hal baru kalangan intelijen menanam agennya ke organisasi Islam dengan tujuan melumpuhkannya. Pernyataan ini pernah disampaikan Profesor Emiritus dari Universitas Washington, AS, Prof. Dr. Daniel S Lev.

"Sejak masa Orde Baru, kelompok Islam selalu dipermainkan," kata Daniel Lev. "Dari sudut pandang intelijen seperti BIN –dulu Bakin-- orang-orang radikal Islam berguna sekali karena gampang digerakkan dan dipakai," ujarnya dikutip TEMPO suatu ketika.

Dalam buku “Pangkopkamtib Jenderal Soemitro Dan Peristiwa 15 Januari 1974”, oleh Heru Cahyono, (Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1998), secara rinci menjelaskan bagaimana peran-peran intelijen memainkan peran terhadap kaum Muslim.

Permainan intelijen terhadap kalangan Islam cukup terkemuka, ketika Opsus (Operasi Khusus) melalui Ali Moertopo melakukan rekayasa terhadap Parmusi (Partai Muslimin Indonesia), wadah aspirasi politik golongan Islam modernis yang berbasis masa bekas partai Masjumi. Sementara terhadap Islam tradisional dilakukan penggalangan melalui organisasi massa GUPPI (Gabungan Usaha Pembaharuan Pendidikan Islam), yang mana selanjutnya secara efektif menggarap massa Islam tradisional untuk ditarik masuk Golkar.

Terhadap Islam, pemerintah Orde Baru dan Angkatan Darat khususnya, sejak awal menyadari mengenai kemungkinan naiknya pamor politik kekuatan Islam. Jatuhnya kekuatan ekstrim kiri PKI –yang kemudian secara formal diperkuat dengan keputusan pembubaran PKI—secara politis mengakibatkan naiknya pamor politik Islam sehingga terjadilah ketidakseimbangan (imbalance). Sayap Islam yang sedang mendapat angin, kemudian cenderung hendak memperkuat posisinya. Padahal disadari oleh Angtakan Darat ketika itu bahwa di dalam sayap Islam dinilai ada bibit-bibit “ekstrimisme” yang potensial.

Intelijen ketika itu berusaha ‘menghancurkan’ PKI, menekan sayap Soekarno, dan ‘mencegah’ naiknya pamor Islam. Tugas Opsus kala itu adalah menyelesaikan segala sesuatu dengan cara mendobrak dan “merekayasa”.

Dalam buku “Konspirasi Intelijen dan Gerakan Islam Radikal”, (penyunting Umar Abduh 2003), kebijakan intelijen yang berpijak pada prinsip "kooptasi, konspirasi dan kolaborasi (galang, rektrut, bina, tugaskan, dan binasakan)" telah mampu 'menjebak' anggota NII. Intelijen juga berhasil melakukan ‘pembusukan’ Islam tahun 1977 dengan merekrut Danu Moh. Hasan dan Ateng Djaelani sebagai agen, yang akhirnya memunculkan kasus Komando Jihad (Komji). Danu yang semula divonis 10 tahun, dinyatakan bebas tahun 1979. Namun dikabarkan tewas diracun arsenikum. Intel juga dianggap menyusupkan Hasan Baw ke gerakan Warman tahun 1978-1979.

“Komando Jihad adalah hasil penggalangan Ali Moertopo melalui jaringan Hispran di Jatim. Tapi begitu keluar, langsung ditumpas oleh tentara, sehingga menjelang akhir 1970-an ditangkaplah sejumlah mantan DI/TII binaan Ali Moertopo seperti Hispran, Adah Djaelani Tirtapradja, Danu Mohammad Hasan, serta dua putra Kartosoewiryo, Dodo Muhammad Darda dan Tahmid Rahmat Basuki.

Kelak ketika pengadilan para mantan tokoh DI/TII itu digelar pada tahun 1980, terungkap beberapa keanehan. Pengadilan itu sendiri dicurigai sebagai upaya untuk memojokkan umat Islam. Dalam kasus persidangan Danu Mohammad Hassan [tds] umpamanya, dalam persidangan ia mengaku sebagai orang Bakin. “Saya bukan pedagang atau petani, saya pembantu Bakin.” [Pangkopkamtib Jenderal Soemitro Dan Peristiwa 15 Januari 1974, Tahun 1998].

Tahun 1981 Bakin (Sekarang BIN) sukses menyusupkan salah satu anggota kehormatan intelnya (berbasis Yon Armed) bernama Najammudien ke dalam gerakan Jama'ah Imran yang dikenal kasus pembacajakan pesawat Woyla.

"Pancingan" intel juga dianggap melahirkan kasus pembunuhan massal umat Islam yang dikenal “Peristiwa Tanjung Priok”, 12 September 1984. Tahun 1986, intel kembali dinilai melakukan rekayasa dengan memasukkan agennya bernama Syhahroni dan Syafki, mantan preman Blok M, dalam gerakan Usrah NII pimpinan Ibnu Thayyib. Alhasil, gerakan-gerakan "rekayasa" yang dimunculkan itulah yang akhirnya melahirkan stigma kekerasan dan gerakan ekstrim di kalangan Islam.

Penyusupan

Intel di zaman Nabi juga mirip intel-intel zaman sekarang. Al kisah, setelah Kabilah Hauzan mendengar bahwa Mekah sudah dikuasai oleh kaum Muslimin, Malik bin Auf An Nashri, salah satu pemuka kabilah mengumpulkan para pemuka lainnya. Mereka sepakat melakukan penyerangan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan kaum Muslimin. Seperti biasanya, sebelum berangkat mereka mengirim beberapa mata-mata. Akan tetapi, mata-mata itu gagal dan tercerai berai, karena berhadapan dengan seorang penunggang kuda yang tidak mereka kenal.

Sebaliknya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengirim Abdullah bin Abi Hadrad Al Aslami, untuk menyusup, dan bermukim di Hauzan. Selama tinggal di sana, beliau berhasil mendapatkan informasi yang berasal dari pembesar Hauzan, Malik bin Aufah An Nashri. Informasi itu menyangkut semua hal yang terjadi di sana, termasuk kesepakatan mereka untuk melakukan serangan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Akhirnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memutuskan membawa 12 ribu pasukan menuju Hauzan. Sesampai di lembah Hunain, ternyata pasukan Musyrikin sudah menunggu terlebih dahulu, hingga berkecamuklah Perang Hunain pada tahun ke-8 setelah hijrah, pasca Fathu Mekah. Yang membedakan, intelijen di zaman Nabi tak pernah merekayasa untuk menjatuhkan reputasi seseorang –apalagi terhadap kelompok kaum Muslim— dibanding intelijen masa kini. Mungkin, itu adalah cerminan intel berakhlak dan tidak berakhlak. (hidayatullah.com)