15 May 2010

Terorisme di Indonesia Bukan Fenomena Baru


Oleh: Busro Muqodas

Terorisme di Indonesia, mulai Bom Bali 2002 hingga serangan Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton pada 17 Juli 2009, sesungguhnya bukan fenomena yang baru muncul. Akar pengeboman tidak bisa dikuak tanpa melacak latar belakang sejarah terorisme di Indonesia.

Dari penelusuran yang ada, sulit dibantah terorisme di Indonesia adalah pola yang terus berulang, meskipun mungkin formatnya sedikit berbeda. Terorisme jelas sebuah refleksi dari konstruksi pemahaman keagamaan dan ideologi. Pemahaman itu dikembangkan melalui pelatihan kader cenderung bersifat eksklusif, normatif, dan doktriner.

Model-model pelatihan kader yang bersifat eksklusif ini biasanya mudah diinfiltrasi.

Infiltrasi terhadap kelompok Islam yang bersifat eksklusif muncul pada kasus Komando Jihad (1967-1985). "Kasus Komando Jihad konstruksinya hampir sama dengan kasus-kasus terorisme yang muncul belakangan ini. Ada infiltrasi-infiltrasi operasi intelijen," ungkap Ketua Komisi Yudisial, Busro Muqodas, dalam diskusi Memotong Akar Terorisme dan Gerakan Islam Transnasional di Indonesia di PP Muhammadiyah, Rabu (2/9).

Sejumlah kesaksian ketika itu menyebutkan, Komando Jihad adalah operasi intelijen yang disebut Operasi Khusus (Opsus) Ali Moertopo. Komando Jihad diklaim Pemerintahan Orde Baru bertujuan membentuk Negara Islam Indonesia. Dikatakan, kelompok ini menentang Pancasila dan UUD 1945.

Komando Jihad menjadi bagian dari rekayasa penguasa untuk melanggengkan kekuasaan. Karena pada waktu itu dikhawatirkan terjadinya kebangkitan kekuatan politik Islam. Keberadaan Komando Jihad telah membuat umat Islam pada waktu itu berada dalam tekanan. Khotbah-khotbah salat Jumat saat itu hampir selalu dalam intaian intelijen. Jika ada khotbah yang mengkritisi pemerintah langsung dipanggil militer dengan tuduhan membahayakan keamanan negara.

Kepastian bahwa Komando Jihad menjadi bagian operasi intelijen baru diperoleh Busro ketika ia berkesempatan mewawancarai Kabakin Soetopo Yuwono. "Betul, dik," jawab Soetopo, ketika ditanya Busro apakah benar Komando Jihad ini suatu gerakan sangat eksklusif. Soetopo bahkan mengaku sempat menasihati Ali Moertopo agar tidak meneruskan operasi itu. "Saya bilang, Li (Ali Moertopo) jangan menspekulasikan umat Islam. Itu biaya sosial dan politiknya terlampau mahal," kata Soetopo, sebagaimana ditirukan Busro.

Dana Fa'i

Tetapi, operasi itu ternyata tetap saja dilancarkan. Menariknya, mereka yang terjebak di dalam Komando Jihad adalah orang-orang yang punya keterbatasan pemikiran keagamaan yang terbuka atau inklusif. "Metode-metode ijtihad sama sekali tidak biasa digunakan. Mereka cenderung berpikir secara hitam putih, dan tidak ada dialog. Kelompok-kelompok dogmatis ini sangat apriori dengan fenomena di luar cara pandang (mindset) mereka," kata Busro, yang pernah jadi pengacara salah satu anggota Kelompok Jihad.

Dalam melakukan operasi dan aktivitasnya, ada kesamaan model terorisme pada masa lalu dengan masa kini terlihat dari adanya penggunaan dana fa'i, yakni harta "orang-orang kafir" yang dirampas untuk membiayai aktivitas terorisme. Dalam sebuah kasus terorisme terkini, sempat terbetik berita perampokan di Pekalongan yang uangnya dipakai untuk membiayai para teroris mendirikan negara Islam di Indonesia.

Ini persis dengan fenomena pada masa Komando Jihad pada era Orde Baru. Misalnya, duit hasil penembakan dan perampokan Rektor UNS Dr Parmanto serta Zainuddin, bendahara IAIN Sunan Kalijaga, disebut-sebut dipakai sebagai modal mendirikan negara Islam."Dana fa'i dipolitisasi. Dan, sekarang fenomena itu muncul kembali," tegas Busro. Wajar jika lalu disimpulkan, ada konstruksi yang sama antara aktivitas Islam radikal yang dulu dan terorisme yang merebak sekarang.

Sementara itu, peneliti politik LIPI Riefqi Muna mengatakan, terorisme muncul ketika teologi dipahami secara sempit. Ayat-ayat kitab suci yang menyerukan jihad, dieksploitasi sedemikian rupa oleh para teroris, sehingga tidak sesuai lagi dengan orisinalitas dan otentisitas wahyu itu sendiri.

Sepanjang ada model pemahaman keagamaan yang dogmatis dan pelatihan kader bersifat eksklusif, kelompok radikal apapun bisa muncul dan ini bukan monopoli Islam saja. Pengeboman Oklahoma di AS oleh fundamentalis Timothy McVeigh, terorisme di Irlandia Utara serta serangan teror gas syaraf oleh Aum Shinri-kyo dipimpin Shoko Asahara di Jepang misalnya, merupakan sederet bukti. (suarapembaruan.com)