21 May 2010

Rekayasa Kasus Terorisme

Legian, Bali

Oleh : Abdurrahman Shiddiq

Orang yang kritis sudah selayaknya tidak mudah termakan berita yang di blow-up media massa sekuler, tentu saja kita harus berfikir dan melihat segala sesuatu secara jernih. Kejernihan dalam berfikir dan melihat berbagai persoalan yang selama ini sedang dan masih terjadi dapat menguak berbagai peristiwa yang sarat dengan keanehan.

Beberapa contoh dalam kasus Al-Ustadz Abu Bakar Ba’asyir misalnya, dihadapan segenap orang yang menghadiri persidangan, beliau divonis bersalah dalam soal (bom Bali) yang tidak ada saksi dan buktinya. Tetapi di media massa diberitakan vonisnya saja tanpa komentar yang benar.

Dalam kasus Fathurrahman Al-Ghozi yang diberitakan tewas dalam tembak-menembak dengan polisi Filipina, ternyata hasil otopsi di Solo (RS Dr. Muwardi) menunjukkan bahwa dia ditembak begitu saja setelah diberi makan. Walaupun begitu, tidak ada media massa yang memberitakan temuan tim dokter forensik yang mengotopsi ini.

Dalam kasus Ustadz Ikhwanuddin, diberitakan bahwa beliau tewas karena “bunuh diri”: dalam keadaan dua tangan terborgol, dapat merebut sebuah senapan M-16 yang terurai dari polisi, lalu memasang magazine, mengokang, lari ke kamar mandi, kemudian mengakhiri hidupnya dengan menembakkan senapan itu ke dadanya sendiri (sic). Berita itu dilansir begitu saja tanpa ada bantahan atau kritikan dari manapun.

Masih banyak contoh-contoh lain yang seharusnya menjadi alasan bagi orang beriman untuk mengkritisi berita yang dilansir media masa.

Sikap yang Diharapkan Terhadap “Teroris”

Lewat berbagai media masa dilancarkan kampanye anti terorisme, baik secara langsung memberikan penerangan-penerangan soal terorisme, maupun dikaitkan dengan berbagai persoalan: pariwisata, pertumbuhan ekonomi, ibadah, kerukunan beragama, dan sebagainya. Sayangnya dalam berbagai kesempatan kampanye anti teror/anti terorisme tersebut belum ada pihak yang dapat memberikan definisi secara jelas, apa dan siapa sebenarnya teroris itu.

Maka untuk menentukan bagaimana sikap terhadap para “teroris”, seharusnya kita definisikan lebih dahulu apa yang dimaksud dengan “teroris(me)”, di samping menyelesaikan (klarifikasi) perkara-perkara yang masih diliputi oleh berbagai kejanggalan, agar kita tidak terjebak dan terperosok ke dalam perbuatan yang nantinya akan menimbulkan penyesalan.

Contoh Perkara yang Harus Dikritisi

Para pelaku Bom Bali I Imam Samdura, Mukhlas, dan Amrozi mengaku sebagai pelaku Bom Bali I dan karenanya dijatuhi hukuman mati.

Yang perlu dikritisi adalah: Apakah benar bom Amrozi yang dibuat dari Chloras Kalicus (Kalium Chlorat, KCIO3), yang adalah merupakan bahan mercon, itu dapat menghancurkan beton, melelehkan besi baja, membuat kawah selebar 7 m di tanah berlapis aspal, mementalkan berapa puluh mobil ke udara, dan seterusnya?.

Perlu ditambahkan bahwa menurut hasil pemeriksaan, bahan mercon yang dibeli Amrozi adalah seberat 2 (dua) ton, yang masih tersimpan di Lamongan (waktu itu) 1 (satu) ton, sedang 1 (satu) ton lainnya yang sempat dipergunakan baru 1 (satu) kwintal.

Sekedar sebagai perbandingan, misalnya bisakah TNI dan ahli bom Indonesia membuat bom sedahsyat itu dari bahan yang sama?

Asmar Latin “Pelaku” Bom Marriot

Diberitakan bahwa Asmar adalah pelaku “bom bunuh diri” di hotel JW Marriott, Jakarta.

Yang perlu dikritisi adalah:

Pertama, dua hari sebelum kejadian, Asmar hilang diculik di hadapan keluarganya. Siapa yang menculik dan apa hubungan dengan pengeboman?.

Kedua, dikabarkan Asmar mengemudikan mobil yang memuat bom, setelah bom meledak kepala Asmar terpental ke lantai 3 atau konon ke lantai 5, lalu di ralat di lantai 4 (atau mungkin ada ralat lagi?) dalam keadaan utuh, sedangkan atap mobil dalam keadaan utuh.
Bagaimana mungkin ada kepala terlempar ke atas dari dalam mobil sedang atap mobil dalam keadaan utuh? Apakah sudah dibuktikan secara ilmiah (misalnya dengan otopsi) bahwa putusnya leher itu tepat setelah ledakan, bukan beberapa jam sebelumnya?

DR. Azahari, Berbagai Tuduhan dan Peristiwa Terbunuhnya
Yang perlu dikritisi adalah:

Pertama, benarkah “Dr. Azahari” otak dan orang yang berada di balik pemboman selama ini?. Belum sempat ada klarifikasi, yang bersangkutan keburu “terbunuh”. Mungkin sebagian orang merasa lega, tetapi tidak urung kejadian itu menyisakan banyak pertanyaan yang tidak mudah dijawab.

Yang terjadi selama ini adalah gencarnya kampanye bahwa dia adalah otak berbagai pemboman, tanpa ada berita pembanding, sehingga opini masyarakat terbentuk seperti itu pula; terjadilah apa yang dinamakan trial by the opinion. Padahal belum ada vonis pengadilan yang berlaku secara tetap (inkracht) yang menyatakan “Dr. Azahari” yang terbunuh itu bersalah melakukan tindak pidana seperti yang dituduhkan kepadanya selama ini. Apa ada “Dr. Azahari” lain?

Kedua, pada waktu kejadian terbunuhnya “Dr. Azahari”, mula-mula dikatakan bahwa tubuhnya hancur terkoyak bom dan tidak bisa dikenali, lalu ditemukan dan dapat diambil sidik jarinya, lalu esol paginya ditemukan mayatnya yang nyaris utuh dengan luka tembak di bagian dada, di sela-sela reruntuhan bangunan rumah yang didiaminya; di kaki mayat terlilit seutas tali. Apa yang sebenarnya terjadi?.

Ketiga, tali di kaki mayat “Dr. Azahari” katanya sengaja dipasang polisi untuk menjaga agar kakinya jangan bergerak, karena khawatir akan memicu beberapa bom yang kemungkinan masih ada di sekitar lokasi. Tali itu dipasang sewaktu “Dr. Azahari” masih hidup atau sudah mati?. Kalau sudah mati, apa memang mayat masih bisa bergerak sehingga bom bisa terpicu? Benarkah seperti yang tampak dalam gambar, bahwa sebagian tali yang melilit kaki mayat itu juga tertindih reruntuhan bangunan?. Jadi, mana yang terlebih dahulu: kaki terlilit tali atau runtuhnya bangunan?

Keempat, di lokasi terbunuhnya “Dr. Azahari” ditemukan 30-40 rangkaian bom. Benarkah rangkaian yang ditemukan itu juga dapat sedahsyat rangkaian bom yang digunakan di Bali (Bom Bali – I) dan di tempat lain?

Kelima, kalau benar “Dr. Azahari” yang melakukan atau menjadi otaknya, belum ada kejelasan dari yang bersangkutan (keburu terbunuh) mengapa dia melakukan perbuatan itu, mengapa tempatnya di Indonesia, mengapa obyeknya tempat wisata, dst. dst.?

Selain fakta-fakta di atas sempat beredar juga beberapa rumor berikut:

Pertama, waktu ada berita pertama tentang terjadinya tembak-menembak di Batu, salah satu TV sempat menyiarkan bahwa tidak terdapat bekas tembak menembak di sekitar TKP. Setelah itu para wartawan diusir dari sekitar lokasi. Keesokan harinya, pada dinding dan beberapa benda di sekitar tempat kejadian sudah terdapat banyak kerusakan bekas tembakan.

Kedua, Menurut beberapa orang di sekitar TKP, mayat yang didapatkan di sana bukanlah mayat orang yang mereka kenal sebagai penghuni rumah kontrakan itu beberapa hari yang sebelumnya.

Ketiga, Tim forensik dari Australia memberitakan bahwa mayat yang ditemukan di TKP ada 3 orang yang masing-masing berusia 24, 24, dan 25 tahun; sedang jumlah mayat yang diberitakan Polri hanya 2 orang dan “Dr. Azahari” berusia 48 tahun.

Pelaku Bom Bali II Video Pengakuan Para Pelaku

Yang perlu dikritisi adalah:

Pertama, benarkah mayat yang ditemukan tanpa kepala di tempat kejadian itu harus berarti pelaku bom tersebut?. Apa tidak mungkin dia berada di sana pada waktu bom itu meledak sehingga dia juga menjadi korban?. Atau bahkan kepala itu sudah ada di sana sebelum bom meledak atau ditaruhkan di sana setelah meledak?

Kedua, benarkah niat mereka memang bunuh diri?, atau mereka di “bunuh diri”kan?

Ketiga, benarkah bahwa semua yang terdapat dalam tayangan video itu para “teroris”? Dalam hal ini, termasuk mereka yang sedang latihan ala militer, loncat naik-turun sepeda motor dengan mengenakan seragam hitam-hitam ala ninja? Kalau benar, siapa saja mereka dan di mana mereka sekarang?. (suara-islam.com)