16 May 2010

Penyusup dari Telik Sandi Negara



Fauzi Hasbi

Sebuah buku berjudul Konspirasi Gerakan Islam & Militer di Indonesia yang melaporkan keterlibatan intelijen dalam jaringan Islam radikal. Masih butuh verifikasi ulang.

Kerusuhan Ambon, Maluku, telah merenggut ribuan nyawa manusia. Salah seorang di antaranya bernama Abu Jihad alias Tengku Fauzi Hasbi. Lelaki asal Aceh ini tewas secara misterius pada 22 Februari 2003, bersama dua kawannya Edy Saputra dan Ahmad Syaridup.

Abu Jihad, diculik dari hotel Nisma di Waihaong, Ambon, oleh orang tak dikenal. Ketiganya telah dibunuh pada cara sadis. Mayatnya disembunyikan di bawah tanah tidak jauh dari Akademi Islam STAIN, Kebun Cengkeh, Ambon. Pada 21 Mei 2003 delapan orang ditangkap oleh polisi sebagai tersangka dalam kasus ini, di antaranya seorang intel polisi bernama Mohamad Syarif Tarabubun.

Pelaku utama gerombolan itu, bernama Herumanto alias Yanto, mengantar polisi ke tempat ketiga jenazah dikuburkan. Kemudian diadakan penggalian, dan ketiga jenazah itu diserahkan kepada keluarga di Medan dan Jakarta. Walaupun kepada polisi Yanto nyatakan bahwa motivasi pembunuhan itu adalah untuk mendapatkan uang (dan memang, melalui ATM di BCA Yanto tarik 48 juta rupiah dari rekening Abu Jihad –sekaligus mengekspose pelakunya), namun diduga bahwa alasan utama pembunuhan ini ialah pertentangan intern dalam organisasi Jamaah Islamiyah.

Sydney Jones dari International Crisis Group dalam laporannya 11 Desember 2002, “Indonesia Backgrounder: How The Jemaah Islamiyah Terrorist Network Operates,” menyebut Abu Jihad sebagai ketua Jemaah Islamiyah (JI) Asia Tenggara.

Akan tetapi putera Abu Jihad Lamkaruna mengaku bahwa tidak ada hubungan antara ayahnya dengan organisasi JI. Ayahnya adalah pejuang untuk Aceh Merdeka, dan datang ke Ambon dalam rangka perdagangan cengkeh.

Siapakah Abu Jihad sebenarnya? Pada sekitar Mei tahun 1999 atas prakarsa Badan Intelijen Negara (BIN) Abu Jihad dan beberapa elite faksi NII (Negara Islam Indonesia) yang berlainan, antara lain faksi Ajengan Masduki, faksi Tahmid, faksi Abu Toto menggelar Syuro terbatas untuk rekonsiliasi NII, yang diselenggarakan di Cisarua, Bogor, Agustus 1999. Itulah laporan dari buku berjudul Konspirasi Gerakan Islam & Militer di Indonesia, yang disunting oleh sosiolog George Junus Aditjondro. Dalam buku tersebut dituliskan bahwa Abu Jihad adalah anggota TNI (Tentara Nasional Indonesia) yang dipekerjakan di BIN, untuk menyusup ke GAM dan beberapa gerakan Islam radikal. Dari surat-surat yang didapat FORUM, Abu Jihad memang ditugaskan untuk tugas-tugas rahasia tersebut. Surat tersebut datang dari BIN dan Kodam Bukit Barisan.

Nah, soal kematiannya pun, ada yang menduga dihabisi oleh sesama intel karena tugasnya sebagai intel sudah selesai pula.

Kasus Abu Jihad, hanyalah salah satu sosok tentang penyusupan intel dalam tubuh organisasi Islam radikal.

Sosok lain adalah Abdul Haris yang pernah ditangkap pada 2002 di Bogor bersama Umar Al-Faruq. Umar dianggap dalang dalam serangkaian aksi kekerasan di tanah air. Dia kemudian di bawa ke Baghram, Afghanistan, setelah sebelumnya dipenjara di Guantanamo, Kuba. Tapi yang mengagetkan, justeru Abdul Haris malah dilepas. Bahkan, ketika tim penyelidik Mabes Polri ditugaskan untuk menginterogasi Umar, Haris bersama Benny Mamoto dan Gories Mere dari Mabes Polri ikut ke sana.

Karena perannya sebagai intel bocor, maka lelaki yang kini tinggal di Ciputat tersebut, telah berganti nama dengan Ahmad Harris dan tidak pernah dimunculkan lagi.

Model penyusupan seperti ini sudah lama diarsiteki oleh almarhum Ali Moertopo di era Orde Baru dan kemudian dilanjutkan oleh Benny Moerdani. Rekayasa kooptasi intelijen seperti ini, sebenarnya berjalan sangat telanjang, namun kondisi kelemahan di seluruh segi yang dimiliki ummat Islam justru sangat dominan.

Menurut laporan yang tidak diterbitkan ini, keberhasilan menjadikan pecundang para laskar NII sejak tahun 1975 hingga sekarang menjadi bukti akurat adanya kontrol kuat tangan militer-intelijen terhadap gerakan NII tersebut. Dari seluruh rekayasa politik dan operasi intelijen tersebut boleh dikata tak ada yang gagal satu pun. Dalam waktu yang bersamaan pihak intelijen-militer juga berhasil membina dan menyusupkan Hasan Baw dan Prof Parmanto ke dalam gerakan Warman yang saat itu bersama-sama dengan Abdullah Umar dan Farid Ghazali tahun 1978-1979, yang juga melakukan gerakan radikal. Parmanto berhasil dieksekusi Abdullah Umar dan Bambang Sispoyo, melalui modus perampokan, sedang Hasan Baw berhasil dieksekusi Farid Ghazali, Farid sendiri akhirnya tewas oleh aparat tahun 1982.

Tahun 1981 BAKIN (Badan Koordinasi Intelijen Negara) menyusupkan satu anggota kehormatan intelnya, (berasal dari kesatuan Batalyon Artileri Medan-Yon Armed) bernama Najamuddin ke dalam gerakan Jama’ah Imran, melalui aksi provokasi dengan menyerahkan setumpuk dokumen rahasia.

Cara ini dilanjutkan oleh intel Najamuddin dengan merekayasa aksi radikal ekstrem dalam wujud kekerasan bersenjata oleh kelompok ini. Modal awal senjata kelompok ini pun hasil pemberian Najamuddin, dan terjadilah penyerangan terhadap Polsek Cicendo, Bandung. Kemudian berlanjut dengan aksi pembajakan pesawat DC-9 Garuda Woyla di Thailand, setelah sebelumnya kelompok ini menghabisi nyawa Najamuddin, yang tercatat resmi sebagai anggota intelijen BAKIN tersebut.

Penumpasan aksi pembajakan ini ditangani langsung oleh Benny Moerdani yang kemudian mencuatkan namanya ke pentas perpolitikan di tanah air.

Pada tahun 1986 intelijen berhasil kembali menyusupkan agen sipilnya Syahroni dan Syafki mantan preman Blok M, Jakarta Selatan, dalam gerakan Usrah NII pimpinan Ibnu Thayib yang menghasilkan lebih 15 orang NII masuk penjara. Pada tahun 1988, terhitung kurang lebih satu tahun menjelang meledaknya kasus Cihideung, Talangsari Way Jepara, Lampung, salah satu kader intelijen militer yang bertugas di Kodam Jaya Letkol. Hendropriyono mempersiapkan proyek rekayasa intelijen tersebut seraya mengingatkan kepada beberapa komunitas kelompok gerakan agar jangan ada yang ikut terlibat ke Lampung, karena ia telah diperintahkan untuk melibas tandas gerakan tersebut, setelah kelak menjadi Komandan Korem Garuda Hitam, Lampung.

Pada tahun 1986 pihak intelijen juga merekrut kembali Prawoto alias Abu Toto, kader muda NII bentukan Ali Murtopo yang sedang buron dan berada di negeri bagian Sabah Malaysia. Tujuannya, untuk disusupkan kembali ke dalam gerakan NII LK (Lembaga Kerasulan) pada tahun 1987, pada saat itu di bawah kepemimpinan Abdul Karim Hasan. Masuknya kembali Abu Toto ternyata berhasil mempengaruhi dan meyakinkan Abdul Karim Hasan untuk kembali kepada manhaj NII sekaligus menggerogoti dan membusukkan kultur, doktrin struktur organisasi dan sistem kewilayahan NII. Momentum kembalinya Abu Toto sejak tahun 1987 inilah akhirnya menyegarkan gerakan NII kooptasi intelijen untuk bangkit sekaligus mempercepat terjadinya perpecahan dalam struktur NII secara besar-besaran.

Sementara itu, gerakan JI di Indonesia (menurut Kepala Desk Antiteror Menkopolhukham Ansyaad Mbai, berasal dari NII) diduga banyak dikaitkan dengan aksi bom di tanah air.

Ada beberapa nama mencuat seperti Zulkarnaen alias Arif Sunarso dan Hambali yang merupakan elite tertinggi dalam struktur JI faksi tersebut. Struktur di atas Hambali dan Zulkarnaen sebagai koordinator juga masih ada lagi, yaitu nama Abdul Haris dan Abu Jihad. Keduanya berasal dari komunitas Badan Intelijen Negara, Abdul Haris tercatat masih resmi sebagai anggota organik BIN yang disusupkan ke dalam inner circle struktur NII atau JI pimpinan Abdullah Sungkar dan Abubakar Ba’asyir di Malaysia sejak 1991, sementara Abu Jihad tercatat resmi sebagai agen binaan Militer dan Intelijen sejak 1978 yang juga mampu menempel ketat jama’ah Abdullah Sungkar - Abubakar Ba’asyir di Malaysia sejak 1986, namun tragis, Abu Jihad berhasil dihabisi secara canggih di Ambon.

Azahari dan Noordin Mohamad Top yang berada dalam struktur JI faksi Hambali-Zulkarnaen hanya berperan sebagai tim ahli –ahli di bidang peracikan bom, sementara posisi Imam Samudra, Dulmatin, Mukhlas, dan kawan-kawan adalah sebagai tim pelaksana.

Buku ini juga mempertanyakan jika sikap, tekad dan kemampuan Polri yang hanya diarahkan untuk menangkap dan menindak jaringan para pelaku terror bom di sektor bawah.

IMAN FIRDAUS
Sumber : FORUM KEADILAN: No. 31, 4 Desember 2005, hal. 21-22.