18 May 2010

TVOne, Metro TV, dan Monolog Polisi


Barangkali kita semua masih ingat ketika reporter Metro TV Nurudin Lazuardi berada satu pesawat dengan Sjahril Djohan dalam penerbangan Singapura-Jakarta. Nurudin satu-satunya wartawan yang “berhasil” mewawancara Sjahril dan mengabadikan kepulangan mantan diplomat yang diduga markus itu. Mudah ditebak: Metro diberi informasi eksklusif oleh Polri. Pada saat yang sama TVOne sedang punya hubungan tidak enak dengan Polri akibat dugaan markus palsu dalam tayangan Apa Kabar Indonesia Pagi. Sebelumnya, untuk kasus-kasus terorisme, TVOne menjadi “yang terdepan dalam mengabarkan”. Wartawan TVOne, Ecep S Yasa, selalu menempel pada Densus 88 ketika aksi-aksi penyergapan dilakukan. Ketika Amrozi cs dieksekusi, TVOne yang pertama kali memastikan terpidana mati teroris itu sudah ditembak mati.

Tetapi apa harga yang harus dibayar TVOne dan Metro TV setelah mereka mendapat informasi dan fasilitas eksklusif dari Polri? Tidak ada makan siang gratis . Di tengah kontroversi penahanan Susno dan belitan markus di tubuh Polri, tiba-tiba “teroris” itu muncul kembali. Dan rupanya kini giliran TVOne dan Metro TV yang harus “memberi sesuatu” kepada Polri. Dalam penyergapan “teroris” yang penuh kejanggalan ini, kedua TV itu menjadi corong Polri. Mereka menelan mentah-mentah apa saja yang ke luar dari mulut Polri. Selain menampilkan gambar-gambar “kegesitan” Densus, TVOne dan Metro juga menyajikan berbagai dialog dengan “pengamat terorisme” yang menggambarkan hebatnya Polri dan Densus dan menggambarkan betapa Presiden dan pejabat tinggi sedang dalam ancaman. Kedua TV itu membiarkan Polri melakukan pertunjukan monolog.

Bukan tanpa alasan jika banyak pihak seperti Mahfud MD, Ketua Mahmakah Konstitusi, mengkhawatirkan penyergapan “teroris” ini sekedar upaya pengalihan isu. Dan bukan tanpa alasan pula jika Kompas edisi Jumat 14 Mei yang lalu tidak menempatkan peristiwa penyergapan ini dalam headline, tidak juga muncul di halaman pertama. Kompas menempatkannya di halaman 26, halaman Metropolitan, dengan judul: Polisi Tewaskan 5 Orang. Headline Kompas hari itu justru: Susno Duadji Terus Melawan.

Lihat: Dagelan Penggerebekan Teroris

Hal menarik lain, konferensi pers kali ini, selain langsung disampaikan Kapolri, juga dihadiri Menko Polhukam Djoko Suyanto. Padahal biasanya untuk peristiwa penyergapan yang tidak melibatkan tokoh teroris kelas berat, konferensi pers hanya dilakukan Kadiv Humas Mabes Polri. Ada apa? Polri mungkin berpikir bahwa Menko Polhukam harus dihadirkan dalam konferensi pers untuk memberi kesan bahwa ini penyergapan yang serius. Tetapi sebaliknya kita bisa berpikir: penyergapan ini penuh sandiwara sehingga Polri memerlukan Menko Polhukam untuk meyakinkan publik.

Saya tidak bermasud mengecilkan bahaya teroris di Indonesia atau menafikan keberhasilan Polri mengakhiri petualangan Noordin dan Dulmatin. Tetapi jika “penyergapan teroris” digunakan sebagai upaya pengalihan isu atau digunakan sebagai upaya untuk mendapatkan atau mempertahankan alokasi dana, maka hal-hal seperti ini harus kita kutuk keras. Dan tugas media untuk memberikan perspektif kepada publik, tidak menelan mentah-mentah penjelasan sepihak. Hal seperti ini hanya bisa dilakukan jika media menjaga jarak dengan sumber berita (Polri) dengan menjalin relasi yang proporsional. (kompasiana.com)