17 May 2010

Wawancara dengan Muchyar Yara

Haris Teman Lama Hendro


Tak cuma urusan menangkal teror yang membuat Badan Intelljen Negara (BIN) super sibuk belakangan ini. Para petinggi Pejaten, markas besar lembaga mata-mata itu, kini juga harus bekerja ekstra keras menangkis berbagai tuduhan yang dialamatkan kepadanya. Meski belum satu pun yang didukung bukti konkret, oleh sebagian kalangan Kepala BIN Hendropriyono gencar dituding telah ikut "bermain" dalam gelombang penangkapan sejumlah tersangka teroris belakangan ini, atas pesanan intelljen asing, khususnya Amerika Serikat.

Suara sumbang itu mulai keras terdengar saat penangkapan Tamsil Linrung dan Agus Dwikarna di Filipina beberapa waktu lalu. Diyakini banyak kalangan, BIN-lah sejatinya yang berada di balik operasi menggaruk Tamsil dan Agus, dua tokoh Komite Penegak Syariat Islam dan Komite Penanggulangan Krisis (Kompak) yang keras dicurigai telah ikut mengobarkan perang sipil di Poso. Sebagaimana dikutip kantor berita Antara, adalah Hendro sendiri yang pada pertengahan Desember tahun lain menyatakan sebuah indikasi ke arah itu: "Ada orang Al-Qaidah yang ditangkap di Spanyol. Pemerintah Spanyol yang memberi tahu Indonesia soal Al-Qaidah berlatih di Poso."

Syak wasangka ke arah tokoh yang kini berada di pucuk lembaga intelijen ini bukan tanpa latar sejarah. Berbagai literatur, antara lain studi International Crisis Group, telah menunjukkan betapa Ali Moertopo, Ketua Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) di awal rezim Soeharto, telah giat memata-matai dan "memainkan" kelompok Islam militan untuk kepentingan politik Orde Baru. "Mereka (kelompok Islam garis keras) semacam kartu yang bisa dipakai oleh orang yang berambisi berbuat sesuatu," kata Indonesianis Daniel Lev.

Dan sebagaimana halnya Ali, Hendro juga merupakan sosok yang punya pergaulan amat luas di kalangan ini. Persinggungan Hendro, pensiunan letnan jenderal berusia 57 tahun, dengan kelompok Islam radikal berawal saat ia menjabat Komandan Komando Resor Militer (Korem) 043/Garuda Hitam, Lampung. Ketika itu, 7 Februari. 1989, pasukannya menyerbu Desa Talangsari, yang dicurigai merupakan markas Kumpulan Warsidi, salah satu kelompok Islam militan, dan menewaskan sedikitnya 246 orang.

Dari situlah ia mengembangkan sayap. Dimulai pada awal 1990-an saat ia duduk di kursi Direktur A (bidang dalam negeri) Badan Intelijen Strategis --lembaga mata-mata militer-- Hendro aktif melakukan pendekatan dengan para tokoh eks Talangsari. Dan penggalangan itu telah menunjukkan hasil. Di kalangan Islam militan lalu dikenal sejumlah orang yang kerap disebut-sebut sebagai "binaan Hendro".

Kecurigaan ke arah itu kini mumlbul kembali seiring munculnya nama Abdul Haris dalam drama penangkapan Al-Faruq, warga Kuwait yang diyakini CIA sebagai salah satu pentolan Al-Qaidah, yang ditangkap di Bogor oleh satuan gabungan intelijen Indonesia sebelum kemudian dideportasi ke tahanan Amerika di Afganistan. Penelusuran mingguan ini menduga, Haris tak lain adalah seorang agen BIN yang telah "ditanamkan" untuk mengawasi gerak-gerik berbagai jaringan Islam berhaluan keras, termasuk Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) yang dipimpin Abu Bakar Ba'asyir.

Untuk mengetahui apakah penyusupan ini merupakan sebuah kisah sukses operasi intelijen dalam menangkal terorisme ataukah tak lebih dari sekadar sebuah permainan spionase demi kepentingan yang lain, TEMPO mewawancarai Muchyar Yara, Asisten Kepala BIN Bidang Hubungan Masyarakat. Berikut petikannya.

Apa peran BIN dalam penangkapan Umar al-Faruq?

Informasi memang dari kami. Tapi yang melakukan penangkapan adalah pihak imigrasi, lalu dideportasi. BIN hanya menyertai.

Bersama Al-Faruq, ditangkap juga Abdul Haris, seorang aktivis Majelis Mujahidin Indonesia (MMI).

Haris adalah teman lama Hendropriyono sejak masih menjadi Panglima Daerah Militer Jaya, bahkan mungkin sejak masih kolonel. Hubungan antara Haris dan Pak Hendro sebatas teman. Tapi, tidakbenar Haris ikut ditangkap bersama Al-Faruq.

Jadi, Haris adalah teman yang kemudian di bina menjadi agen untuk disusupkan ke organisasi Islam?

Enggaklah. Tapi, seandainya dia orang yang bekerja untuk BIN, lalu kenapa? Yang dimata-matai kan orang asing (Al-Faruq), tukang bikin kekacauan di Poso, Ambon.

Haris juga berada di lingkungan Ba'asyir, yang disebut-sebut sebagai tokoh Jamaah Islamiyah dan dikaitkan dengan terorisme internasional.

Terus kenapa? Apakah tidak boleh BIN mengamati Ba'asyir? Benarkah langkah itu diambil atas pesanan dari CIA?

Ya, tidak benar. Soal Al-Faruq, kita memang mendapat informasi dari intelijen Filipina dan Singapura bahwa Faruq itu teroris. Tapi waktu itu tidak bisa kita buktikan. Dari CIA juga masuk informasi seperti itu, tapi bukan berarti ada order. Yang terbukti ketika ditangkap hanya pelanggaran imigrasi. Maka, sanksinya hanya dideportasi. Kalau saja waktu itu ada bukti kuat (terlibat terorisme), pasti langsung kami serahkan ke polisi. Yang ada di tangan saat itu cuma kontak telepon antara Agus Dwikarna dan Al-Faruq. Lalu, apa salahnya?

Bukankah ada bukti rekaman video Faruq seperti yang pernah dipertontonkan Hendro ke Komisi Pertahanan Dewan Perwakilan Rakyat?

Bukti itu baru didapat September lalu, setetah Faruq dideportasi.

Kembali ke Haris. Benarkah ia di rekrut langsung oleh Hendro karena pergaulannya yang luas di kalangan Islam militan?

Yang saya tahu, mereka berkawan sejak dulu. Tapi, untuk urusan pekerjaan kantor, setahu saya tidak pernah ada Abdul Haris. Begitu juga sewaktu Pak Hendro masih di Badan Intelijen Strategis. Kalau yang akan Anda katakan adalah bahwa informan tak harus seorang anggota resmi BIN, itu betul.

Jadi, dia informan BIN dalam penangkapan Faruq?

Tidak. Dia tak tahu-menahu soal penangkapan Faruq. Yang dilakukannya hanya menjual tiket pesawat ke Malaysia untuk Faruq.

Haris teman lama Hendro, tapi malah menjual tiket pesawat untuk Faruq. Cuma kebetulan?

Ini bukan pekerjaan Pak Hendro. Dia tidak tahu apa-apa soal ini.

Jadi, Haris sama sekali tidak terkait dengan penangkapan Faruq?

Dalam konteks penangkapan Faruq, baik informasi awal maupun penangkapannya, tidak ada peran Haris. Menurut Pak Hendro, dia mengetahui Haris pernah mengurus tiket Faruq baru setelah Faruq dideportasi.

Lalu, siapa yang ditangkap bersama Faruq?

Setahu saya, yang ditangkap bareng Faruq itu pemuda masjid di sana yang kebetulan sedang berjalan bersama Faruq. Jadi, bukan Haris yang teman Pak Hendro itu.

Namanya juga Abdul Haris?

Enggak tahu juga tuh. Mungkin saja namanya sama. Kalau Haris yang Anda maksud adalah pemuda masjid yang ditangkap bersama Faruq, berarti dia sudah dilepaskan. Tapi, jika Haris yang dimaksud adalah orang yang mengurus paspor dan menjual tiket ke Faruq, dia tidak ikut ditangkap.

Benarkah Haris pernah mendapat proyek pemasangan karpet di kantor BIN?

Saya tidak tahu persis. Saya kira kok tidak ada proyek pemasangan karpet di BIN akhir-akhir ini. Mungkin sudah lama kali ya.

Benarkah Haris aktif di MMI?

Yang saya tahu, dia memang aktivis berbagai organisasi dan gerakan Islam.

Kabarnya, dia juga pernah mendapat beasiswa ke Riyadh dari Bakin pada sekitar tahun 1990-an?

Tidaklah.

Menurut sumber kami di kepolisian, Haris masuk dalam daftar yang dikirim BIN ke polisi supaya segera ditangkap. Benar?

Tidak mungkin. Kalaupun ya, pasti tidak termasuk Haris itu. Seratus persen tidak mungkin ada surat seperti itu dari BIN ke kepolisian. Ada sebabnya, tapi saya tak bisa menjelaskannya. (tempointeraktif.com)