20 May 2010

Teroris dan Embedded Journalist


Oleh: Mochtar W. Oetomo (Staf Pengajar Fisib Universitas Trunojoyo)

Perang melawan teroris kembali mengharu-biru jagat media kita pekan lalu. Melalui aksi pengge rebekan dan baku tembak di Cawang, Jakarta Timur, dan di Cikampek, Jawa Barat, pasukan Detasemen Khusus 88 Polri berhasil menewaskan Saptono dan Maulana serta menangkap beberapa terduga teroris lainnya. Dua hari berikutnya, secara beruntun Polri juga melakukan penggerebekan di Sukoharjo dan Solo, Jawa Tengah, dan beberapa terduga teroris dapat diamankan (12-15 Mei 2010).

Semua peristiwa perang melawan teroris tersebut secara dramatis dapat diikuti oleh publik melalui siaran langsung televisi dan laporan media-media lainnya. Melalui media pulalah pemahaman publik tentang teroris dengan segala aksi penumpasannya terbangun. Dalam konteks inilah saya merasa perbincangan tentang embedded journalist (wartawan yang menempel) menjadi relevan dan layak untuk diketengahkan.

Istilah embedded journalist muncul pertama kali saat terjadi perang Irak beberapa tahun lampau. Konsep ini digunakan untuk menjelaskan munculnya fenomena ratusan wartawan yang diikutsertakan pemerintah AS dalam kesatuan-kesatuan militernya yang menyerbu Irak. Dari barak-barak militer AS, para wartawan melaporkan jalannya perang. Dengan sumber berita sepihak, sudut pandang searah, dan tentu saja doktrin ideologis yang sarat kepentingan.

Sebagaimana pemerintah AS, Polri pun agaknya menyadari betul betapa embedded journalist sangat efektif sebagai mesin komunikasi politik. Untuk itulah, selain hadir secara intensif melalui berbagai jumpa pers, Polri membuka ruang seluas-luasnya bagi para wartawan yang ingin ikut serta dalam kesatuan-kesatuan operasional Densus 88 saat melakukan aksi penyisiran dan penyergapan ke lokasi yang diduga menjadi sarang teroris, seperti di Cawang, Cikampek, Sukoharjo, dan Solo.

Primary Definers

Segala teknik dan ragam liputan langsung televisi saat pasukan Polri baku tembak dengan para teroris melahirkan drama perang antara superhero dan perusuh. Polri sebagai tokoh protagonis di satu pihak, dan para teroris sebagai tokoh antagonis di pihak lain. Polri sadar betul bahwa perang melawan terorisme lebih merupakan perang informasi dibanding perang fisik.

Gambaran positif tentang Polri dan pemerintah adalah sebuah keniscayaan yang ha rus dibangun dan dimenangi. Apalagi akhir-akhir ini citra Polri dan pemerintah jatuh hingga ke titik nadir seiring merebaknya kasus mafia hukum, makelar kasus, dan kasus penangkapan serta penahanan Susno Duadji yang mendapat reaksi beragam dari publik.

Dalam bahasa Stuart Hall (1994), Polri atau pemerintah dengan demikian menjadi satu-satunya pendefinisi (primary definers) tentang apa, siapa, di mana, kapan, meng

apa, dan bagaimana terorisme itu. Citra terorisme sesungguhnya adalah apa yang dicitrakan oleh Polri melalui media yang kemudian ditangkap dan dipersepsikan oleh publik. Berangkat dari fenomena inilah kemudian lahir banyak pertanyaan sinis kepada media atau embedded journalist.

Pertanyaan yang paling mendasar tentu berkisar pada persoalan etika dan profesionalisme media. Sebab, dengan menjadi embedded journalist, wartawan kesulitan untuk menghasilkan berita yang seimbang (cover both sides). Aksi terorisme dalam skala apa pun barangkali memang sulit dibenarkan. Tapi, tindakan yang hanya mendefinisikan mereka dari satu sudut pandang dan tidak memberi ruang bagi mereka untuk berkomunikasi politik sama halnya memperbesar api dalam sekam.

Memang ada beberapa keuntungan mustahak dengan menjadi embedded journalist. Pertama, dengan ikut serta dalam satuan tempur yang dikoordinasikan, tentu saja banyak jatah biaya peliputan bisa dikurangi dibanding jika harus berangkat sendiri menuju medan penyergapan dan mencari sumber-sumber lain di tempat yang berbeda dan berjauhan. Dalam konteks ini, tekanan ekonomi-politik media masih cukup ampuh bagi wartawan Indonesia. Apalagi jika dalam koordinasi selalu dilemparkan doktrin tentang kepentingan keamanan dan martabat bangsa di kancah internasional. Kedua, terjaminnya keamanan. Meliput peristiwa di medan pertempuran seperti saat penyergapan tentu mengandung banyak risiko keselamatan. Maka, melaporkan dengan cara memunggungi peristiwa tempur di balik barisan pasukan Densus 88 dan ditambah pengawasan melekat dari pasukan menjadi sebuah jaminan keselamatan yang menjanjikan. Ketiga, dekat dengan obyek dan sumber berita. Barangkali alasan inilah yang paling relevan bagi seorang embedded journalist. Dengan kompetisi media yang makin keras, keharusan menyampaikan berita dengan lebih cepat dan menarik adalah sebuah keniscayaan.

Dengan menjadi embedded journalist, wartawan langsung bisa melaporkan berita dari medan peristiwa dan mewawancarai sumber berita dengan cepat karena sudah siap sedia di lokasi. Meskipun obyek berita dan sumber berita itu hanya dari satu sisi (baca: Polri), paling tidak wartawan tak harus cemas karena selalu bisa menghasilkan berita setiap hari, setiap saat, dan setiap waktu ketika laporannya dibutuhkan. Satu sisi Maka, jangan heran jika kini ada pembalikan opini publik yang luar biasa seiring dengan keberhasilan pasukan Densus 88 dalam berbagai aksi penyergapan, baku tembak, dan penangkapan terduga teroris.

Kesuksesan Polri saat menyergap dan menembak mati Saptono dan Maulana seakan menjadi puncak kedahsyatan pasukan Densus 88, setelah mereka juga berhasil menewaskan gembong teroris lainnya seperti Dr Azahari, Noor Din M. Top, dan Dulmatin. Dalam sejarahnya, barangkali belum pernah Polri mendapatkan dukungan publik sebesar saat mereka melakukan perang terhadap terorisme seperti sekarang ini.
Dan jangan heran pula jika, di media, kita hanya mendapatkan berita-berita atau laporan-laporan wartawan di seputar lokasi penyergapan dengan segala akibat dan jumlah korban cuma dari satu sisi, dengan sumber berita dan sumber data hanya dari jajaran Polri.

Embedded journalist memiliki waktu yang sangat sempit untuk melakukan sebuah liputan yang komprehensif. Karena itu, juga jangan heran jika sulit sekali kita menemukan suara-suara dari para pelaku yang selama ini kita anggap teroris, atau minimal dari kerabat dekat atau keluarga mereka. Bahkan juga sulit kita menemukan suara-suara masyarakat di sekitar lokasi penyergapan yang hidupnya menjadi seperti tersandera, karena adanya aktivitas tempur dengan segala standar keamanan ala militer.

Di tengah segala bentuk perdebatan yang mungkin muncul soal fenomena ini, yakni antara kepentingan nasional dan profesionalisme media, barangkali ada satu hal yang perlu diingat. Wartawan adalah sebuah profesi. Dan profesi apa pun pasti mengandung konsekuensi-konsekuensi dan risiko-risiko. Apakah itu risiko pembiayaan, keamanan, ataupun tingkat kesulitan obyek berita. Jika tidak, bagaimana mungkin berita yang layak, yakni yang memiliki nilai berita, obyektif, aktual, komprehensif, dan inspiratif, bisa didapat. Jangan sampai penihilan ruang komunikasi politik bagi para teroris di media justru semakin menumbuhsuburkan aksi terorisme. Bukankah sejarah telah membuktikan?. Meski terus dicaci-maki dan gembong-gembongnya diberangus habis, aksi terorisme tak pernah mati. (korantempo.com)