19 May 2010

Mengenai Jama’ah Islamiyah


Oleh: Umar Abduh (Mantan Napol kasus Imran/Cicendo/Woyla, penulis buku "Al Zaytun Sesat" dan "Al Zaytun Gate")

Jama’ah Islamiyah memang bukan organisasi maya, keberadaannya memang riil setidaknya sejak 1979, berpusat di Mesir, dan merupakan pecahan dari Ikhwanul Muslimin (IM) pimpinan Hasan Al Banna.

IM sendiri merupakan harakah Islamiyah yang sudah ada sejak tahun 1936. Tahun 1947-1948 IM berhasil mengusir pendudukan Inggris, Perancis dan Rusia di kawasan Terusan Suez. Militansi IM membuat pemerintah Mesir mendapat tekanan internasional. Akibatnya, pemerintah Mesir banyak melakukan tindakan represif terhadap aktivis IM, antara lain melakukan pembunuhan terhadap para pemimpin IM seperti Hasan Al Banna ditembak mati tahun 1950-an, Abdul Qadir Audah dihukum mati (1954) dan Sayyid Quthb dihukum gantung pada tahun 1965.

Jama'ah Islamiyah dibawah pimpinan Omar Abdur Rahman pernah dituduh pemerintah AS sebagai dalang peledakan gedung WTC di Kenya tahun 1998. Menurut Amerika, aksi itu dilakukan bekerja sama dengan Osamah bin Laden. Setelah sebelumnya, sekitar 1997 pernah pula dituding sebagai dalang peledakan pangkalan militer AS di Saudi Arabia dan kamp militer AS Libanon.

Metodologi dan sistem Jama'ah Islamiyah telah banyak diadopsi atau setidaknya memberi inspirasi bagi banyak harakah Islamiyah di seluruh dunia, termasuk di Indonesia dan kawasan ASEAN.

Gerakan DI/TII pimpinan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (SMK) merupakan gerakan politik Islam militan, yang sistem dan metodologinya berbeda dengan IM maupun pecahannya (Jama'ah Islamiyah). Namun, salah satu faksi neo DI/TII (atau NII) pasca SMK di bawah pimpinan Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba'asyir mulai mengadopsi atau terinspirasi oleh metodologi dan sistem ini sekitar tahun 1995.

Meski Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba'asyir pernah memberikan Tadzkirah -sebagaimana Djohan Effendi mengutip majalah Nidaul Islam (lihat KOMPAS edisi 7 November 2002)-- yang semangatnya sama dengan Ja'ma'ah Islamiyah, bukan berarti mereka secara formal-struktural adalah bagian dari Jama'ah Islamiyah pimpinan Omar Abdur Rahman. Apalagi sampai menjuluki mereka sebagai Imam (spiritual) gerakan Jama'ah Islamiyah untuk kawasan Indonesia.

Meski Jama'ah Islamiyah pimpinan Omar Abdur Rahman dituduh oleh Amerika pernah bekerja sama melakukan aksi peledakan terhadap fasilitas militer AS, institusi itu sama sekali bukan bagian dari struktur Al Qaedah. Karena nama Al Qaedah sendiri baru dimunculkan AS tahun 2000 pasca tragedi Oklahoma yang ternyata dilakukan oleh Timothy Mc Veigh (warga negara AS) bukan Al Qaedah. Hingga kini tuduhan keterlibatan Al Qaedah terhadap tragedi Oklahoma tidak dapat dibuktikan, begitu pula tuduhan adanya hubungan antara Al Qaedah dengan Jama'ah Islamiyah pimpinan Omar Abdur Rahman.

Sampai sejauh ini Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba'asyir memang tidak pernah menjadi bagian dari harakah Jama'ah Islamiyah pimpinan Omar Abdur Rahman. Kesamaan dalam ideologi, meotodologi, sistem berharakah dan kesamaan dalam memposisikan syari'at Islam di dalam konteks kehidupan bernegara, adalah hal yang lumrah dan sama sekali tidak bisa dikatakan adanya kaitan dari sebuah jaringan.

Metodologi dan sistem berharakah serta bagaimana memposisikan syari'at Islam di dalam konteks kehidupan bernegara, tidak bisa dikaitkan dengan dengan "sikap keras" yang mewarnai perjalanan harakah Jama'ah Islamiyah pimpinan Omar Abdur Rahman ataupun sikap berani Osamah bin Laden terhadap Barat (Amerika).

Dapatkah kita mengatakan bahwa TNI atau ABRI adalah institusi tukang jagal dengan merujuk kepada kasus pembantaian tahun 1984 (kasus Tanjung Priok 12 September 1984)? Tentu tidak tepat. Karena, meski doktrin, metodologi dan sistem yang digunakan sama, akan menghasilkan "warna" yang berbeda, mengingat "warna" tadi lebih banyak ditentukan oleh siapa pemimpinnya dan kepentingan politik yang menyertainya.

Dapatkah kita menyebut adanya sebuah jaringan antara TNI (atau ABRI) kita dengan militer AS, karena sistem dan metodologi yang digunakan sama? Dapatkah kita membebani dosa militer AS yang memborbardir Afghanistan kepada milter kita, hanya karena banyak perwira kita yang bersekolah di AS?

Lihatlah bagaimana santun dan teduhnya komunitas Partai Keadilan (PK) yang elemen terbesarnya adalah komunitas Tarbiyah (Ikhwanul Muslimin versi Indonesia), yang juga mengadopsi atau terinspirasi oleh metodologi dan sistem berharakah Ikhwanul Muslimin Mesir pimpinan Syaikh Sa'id Hawwa'. Padahal metodologi dan sistem berharakah yang sama juga ditemukan pada Jama'ah Islamiyah pimpinan Omar Abdur Rahman.

Selain PK, yang sewarna dengan itu adalah SHT (Shabab Hizbut Tahrir), Ponpes Hidayatullah di Kalimantan Timur, Ponpes Ngruki, dan ponpes-ponpes lain yang dikelola oleh para alumninya. Dan masih banyak lagi termasuk KPPSI (Komite Persiapan Penegakan Syari'at Islam) di Sulawesi Selatan, atau MMI (Majelis Mujahidin Indonesia) yang lahir Agustus 2000 di Yogyakarta. Kalau dikatakan bahwa JI ada di Indonesia, secara sistem dan metodologis bisa dimengerti. Namun secara riil dan formal-struktural sama sekali sangat menggelikan dan terlalu naif.

Meski sistem dan metodologinya sama, namun antara SHT, MMI, Hidayatullah, PK, KPPSI, dan Ngruki, tidak punya kaitan formal-struktural, selain jalinan iman semata. Begitu juga dengan KMM (Kumpulan Mujahidin Malaysia) pimpinan Abu Jibril juga tidak ada pertalian formal-struktural meski Abu Jibril merupakan salah seorang penggagas dan bahkan ikut menjabat pada Lajnah Tanfidziyah MMI.

Yang ada kaitan dengan Fathurrohman Al-Ghozi dan Hambali adalah KMM pimpinan Abu Jibril. Secara struktural Abu Jibril sudah pisah dengan Abdullah Sungkar (dan Abu Bakar Ba'asyir) sejak tahun 1995 ketika Sungkar menyatakan lepas dari DI/TII (NII) dan mengadopsi manhaj IM atau Jama'ah Islamiyah pimpinan Omar Abd. Rahman.

Kenyataannya, semua institusi itu sama sekali tidak mempunyai kaitan formal-struktural, apalagi mempunyai grand design tertentu yang harus dioperasikan secara serentak dan terpadu. Kesemua institusi itu sama sekali independen dan tidak bisa disamakan (digeneralisir) sebagai JI di kawasan Asia Tenggara.

Semua kesesatan informasi ini bersumber dari analisa dan investigasi Sidney Jones Direktur ICG (Interenational Crisis Group) untuk Indonesia, yang tanpa menggunakan ukuran yang jelas berusaha mengkaitkan semua institusi itu sebagai JI bahkan mengkaitkan kegiatan masa lalu Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba'asyir sebagai program JI. Padahal istilah JI baru muncul di dalam ruang persidangan khususnya persidangan Abdullah Sungkar (1979) saja dan tidak pada persidangan lainnya. Nama JI sama sekali tidak pernah digunakan sebagai nama institusi (gerakan) oleh mereka yang disangkakan. (Berita Buana, Rabu, 13 November 2002, hal. 5)