18 May 2010

Jejak Intelijen di Balik Al-Farouq


Banyak misteri dalam pengakuan itu. Siapa sebenarnya Al-Faruq? Kenapa Badan Intelijen Negara (BIN), yang menangkapnya atas tuduhan pelanggaran imigrasi, membiarkan dia jatuh ke tangan CIA? Kenapa Al-Faruq tidak diadili di sini jika benar ia telah membuat kejahatan besar di Indonesia?

Kenapa pula Abdul Haris, seorang aktivis Majelis Mujahidin Indonesia yang ditangkap bersama Al-Faruq, dilepas begitu saja? Benarkah dia tokoh yang disusupkan BIN ke dalam Majelis Mujahidin Indonesia untuk menjaring Ba’asyir dan kawan-kawan? Berikut ini investigasi TEMPO.

DI atas latar warna biru toska, gambar burung garuda dikitari bintang-bintang kecil terpampang pada kulit muka buku kecil itu. Mereka yang kerap berhubungan dengan dunia intelijen akan mudah mengenalinya sebagai simbol Badan Intelijen Negara (BIN). Dan pada bagian bawah sampul itu tercantum kata-kata "Sangat Rahasia".

Buku. kecil setebal 12 halaman itu, yang disalin isinya pekan lalu oleh wartawan TEMPO, memang memuat informasi yang tidak banyak diketahui umum. Sebagian isinya membeberkan rencana jahat sekelompok teroris untuk membunuh Megawati Soekarnoputri sebanyak dua kali, yakni ketika Megawati masih wakil presiden dan setelah menjadi presiden.

Seperti kita ketahui, pembunuhan itu tidak pernah terjadi. Namun, buku kecil itu bercerita lebih banyak dari sekadar plot dan skenario. Dia juga menghadirkan aktor-aktor.

Salah satu aktor adalah Syawal alias Salim Yasin alias Abu Seta, pria asal Makassar yang disebut dalam buku itu pernah berjihad di Afganistan. Dialah salah satu teroris yang, menurut buku itu, berencana membunuh Megawati pada Mei 1999. Adalah Syawal pula orang pertama yang dikontak ketika Umar al-Faruq alias Mahmud bin Assegaf, pria asal Kuwait itu, datang ke Indonesia.

Dan kisah selebihnya sudah menjadi rahasia umum. Majalah Time pada edisi 23 September 2002 memuat laporan utama yang mengguncangkan, membuat kisah yang semula hanya menjadi kasak-kusuk lingkungan intelijen itu terkuak ke kalangan publik. Mengutip antara lain dokumen Dinas Rahasia Amerika (CIA), majalah itu menulis pengakuan lengkap Al-Faruq, yang pernah tercatat sebagai penduduk Desa Cijambu, Kecamatan Cijeruk, Jawa Barat. Lebih dari sekadar operator, menurut Time, Al-Faruq adalah petinggi Al-Qaidah untuk kawasan Asia Tenggara.

Di samping terlibat dalam dua kali rencana pembunuhan terhadap Megawati, menurut majalah itu Al-Faruq mengaku terlibat dalam peledakan bom di sejumlah kota di Indonesia pada malam Natal tahun 2000 serta merencanakan peledakan sejumlah sarana milik AS di Singapura dan Indonesia. Semua aksi ini ia lakukan dengan bantuan Abu Bakar Ba'asyir, pemimpin Pondok Pesantren Ngruki, Solo.

Nyanyian Al-Faruq yang direkam oleh CIA itu segera mendatangkan hasilnya di Jakarta. Pengakuan itu membuat polisi punya alasan menahan Abu Bakar Ba'asyir, Ketua Majelis Mujahidin Indonesia yang juga disebut-sebut sebagai pemimpin spiritual Jamaah Islamiyah. Belakangan, polisi Indonesia memang membantah penangkapan Ba'asyir melulu berdasar nyanyian Al-Faruq, tapi berdasar pula kesaksian warga Malaysia yang ditahan pemerintah Singapura, Faiz bin Abu Bakar Bafana (lihat TEMPO 18 November 2002).

Bagaimanapun, Faruq menjadi orang pertama yang "bernyanyi" tentang Ba'asyir dan membuat ustad ini ditahan polisi pada 18 Oktober lalu, beberapa hari setelah ledakan bom hebat mengguncang Legian, Bali.

Tapi, siapa sebenarnya Al-Faruq, yang menurut buku kecil BIN itu kini ditawan di pangkalan militer milik Amerika Serikat di Baghram, Afganistan?

Penelusuran TEMPO atas tokoh ini lebih banyak memunculkan pertanyaan baru ketimbang membuatnya jernih. Sejumlah dokumen resmi menyebut dia lahir di Indonesia dan warga negara negeri ini. Sumber lain menyebut dia lahir di Irak atau Kuwait dan memiliki paspor Kuwait. Yang hampir pasti, ia memiliki kartu tanda penduduk, akta kelahiran, dan kartu keluarga di empat lokasi: Ambon, Makassar, Jakarta, dan Bogor (lihat Dasamuka yang Suka Menyaru).

Siapa pun Al-Faruq, ia kini populer sebagai teroris besar dengan rencana yang sangat jahat, seperti ingin membunuh presiden serta belasan orang dalam kasus bom Natal. Tapi kenapa dia kini berada di dalam tahanan Amerika, bukan di balik jeruji Indonesia sehingga bisa menjawab sebagian dari misteri hidupnya? Bukankah ia ditangkap di Indonesia, oleh aparat Indonesia?

Al-Faruq diciduk pada 5 Juni 2002 di Masjid Raya Bogor. Alasan resmi penangkapannya adalah pelanggaran dokumen imigrasi.

Menteri Kehakiman Yusril Izha Mahendra menjelaskan dalam pertemuan dengan anggota DPR Oktober silam, Faruq dideportasi karena, sebagai orang Timur Tengah yang mengaku warga negara Indonesia, ia tak bisa menunjukkan surat bukti kewarganegaraan Indonesia. Al-Faruq dihijrahkan ke Malaysia dengan pesawat Malaysia Airlines beberapa saat setelah ia dibekuk. Dan Muchyar Yara, Asisten Kepala BIN Bidang Hubungan Masyarakat, mengatakan Al-Faruq dideportasi ke Malaysia atas permintaannya sendiri (lihat Misteri Hari Terakhir).

Malaysia, Amerika Serikat, Guantanamo, Kuba. Atau Baghram, Afganistan. Entah di mana Al-Faruq sesungguhnya berada sekarang. Sebab, kisahnya ke Malaysia pun boleh jadi cuma fiksi. Seorang pejabat BIN kepada TEMPO beberapa waktu lalu mengatakan: "Faruq sebetulnya tidak diekstradisi ke Malaysia, tapi langsung diangkut ke Amerika Serikat," ujamya.

Aparat BIN, menurut sumber itu, mencap sendiri paspor Faruq seperti seolah-olah dia pergi ke Malaysia. "Dengan begitu, orang akan yakin dia terbang dulu dari Indonesia, ke Malaysia, baru ke Amerika Serikat," katanya. Padahal, pada kenyataannya Al-Faruq diangkut langsung ke sebuah pesawat militer Amerika yang sudah menunggu di Bandara Halim Perdanakusumah. Prosedur istimewa? Tidak sepenuhnya begitu dan toh ini bukan pertama kali.

Sejumlah media asing, majalah Time edisi 18 Maret 2002, misalnya, menyebut adanya kerja sama yang baik antara intelijen Indonesia dan Amerika dalam "perang melawan teror". Al-Faruq bukanlah hasil tangkapan Indonesia pertama yang kemudian disetor ke Amerika.

Harian The Australian menulis tentang seorang Pakistan bernama Hafiz Muhammad Sasa Iqbal yang ditangkap dalam operasi intelijen Indonesia pada 9 Januari 2002 dan "dideportasi" ke Mesir atas permintaan CIA.

Dalam penjelasan resminya kepada Koran Tempo (edisi 25 Februari 2002), Kapolri Da'i Bachtiar mengatakan: "Iqbal adalah titipan dari pihak imigrasi yang pernah diperiksa polisi. Dia juga disebut-sebut punya kaitan dengan jaringan Al-Qaidah sehingga dideportasi ke luar negeri." Tapi pengakuan Faruq membuat kisah pengirimannya ke luar negeri menjadi lebih kontroversial dibanding Iqbal. Banyak pihak, termasuk media massa, mempersoalkan mengapa Indonesia menyerahkan begitu saja orang yang dituding melakukan kejahatan besar di Indonesia ke tangan orang asing.

Profesor emeritus Daniel S. Lev, bekas dosen Universitas Washington di Seattle dan seorang pengamat senior masalah Indonesia, termasuk yang memandang aneh pelepasan Al-Faruq itu. "Semestinya ia diadili di Indonesia," kata Lev, yang pernah mengkaji sistem hukum Indonesia serta mendalami masalah hak asasi manusia dan perbandingan politik. "Bukankah perbuatan pidana yang dituduhkan itu terjadi di Indonesia, bukan Amerika? Atas dasar apa dia diserahkan ke Amerika?"

Lev mengatakan, dia mengendus ada permainan tapi tidak tahu persis permainan apa. "Saya tanya ke orang-orang di Washington. Tapi mereka juga mengaku tidak tahu," ujamya. "Pemerintahan Bush memang aneh. Tetapi yang lebih aneh lagi adalah Jakarta, mengapa pemerintah rela begitu saja menyerahkan orang ini."

imageJangankan Daniel Lev. Mira Agustina, istri Al-Faruq, pun mengaku penuh diliputi tanda tanya ketika suaminya tiba-tiba menghilang begitu saja sejak 4 Juni lalu.

Subuh pada 5 Juni, dua orang berbadan tegap serta berjaket hitam yang mengaku aparat imigrasi memberondong masuk rumahnya di Cijeruk, Bogor. Menurut Oman Komariah, ibu Mira, ada sekitar 20 pria dengan perawakan dan pakaian serupa yang menunggu di halaman rumah. "Mereka minta diantar ke kamar Faruq dan akan segera membawa Al-Faruq," kata Oman. Tapi Al-Faruq tidak ada. Para tamu akhirnya hanya membawa sejumlah barang dan berkas milik tuan rumah.

Ketua rukun warga setempat, Ukus Sewaka, yang datang mendekat karena mendengar suara gaduh, mencoba menanyakan identitas para tamu asing itu, tapi dijawab singkat dan sangar: "Dari imigrasi pusat!" Tatkala Ukus mau mencatat nomor mobil mereka --empat Mitsubishi Kuda dan satu Panther asal Jakarta dan Bogor-- mereka mencegahnya. Itu membuat Ukus mengerut dan tak berani ikut masuk ke rumah Mira ketika terjadi penggeledahan. "Abdi sieun (saya takut)," ujarnya.

Muchyar Yara dari BIN mengatakan penggerebekan dan penangkapan Al-Faruq dilakukan lembaganya bersama aparat imigrasi. Tapi, kata Yara, BIN-lah yang melakukan koordinasi. "Penangkapan itu memang kami yang mengarahkan," tuturnya. Alasan keimigrasian bisa jadi bukan dalih utama. "Kami memperoleh informasi awal dari intelijen Filipina, Singapura, dan Amerika bahwa ada orang asing di kampung (Cijambu, Kecamatan Cijeruk, Bogor) yang terlibat dalam jaringan terorisme," Yara melanjutkan.

Menteri Koordinator Polkam, Susilo Bambang Yudhoyono, membenarkan kesaksian Muchyar Yara. Dalam pernyataannya di Bandung, 20 September lalu, Yudhoyono mengatakan: "Pemerintah tahu pasti rencana dan penangkapan Al-Faruq. Sebab, pekerjaan itu dilakukan intelijen Indonesia setelah melakukan investigasi untuk memerangi terorisme."

Al-Faruq, menurut Muchyar Yara, ditangkap oleh suatu tim di bawah komando Mayor Andika, seorang perwira Kopassus yang diperbantukan ke BIN. Kebetulan atau tidak, sang Mayor adalah menantu Kepala BIN Letnan Jenderal (Purn.) Hendropriyono. Dengan kata lain, ini lebih mirip operasi polisi. BIN rupanya tidak hanya melakukan pengumpulan data intelijen, tapi juga menangkapi orang --sebuah praktek yang ganjil.

Masih ada kejanggalan lain. Pihak imigrasi sendiri membantah terlibat. Direktur Jenderal Imigrasi Iman Santoso, yang tengah berada di Jerman saat itu, mengatakan tidak tahu masalah dan alasan penangkapan. Al-Faruq. Sementara itu, Kepala Humas Direktorat Jenderal Imigrasi Ade Endang Dahlan juga menegaskan pihak imigrasi tidak mengetahui ataupun terlibat dalam penangkapan tersebut.

Kepolisian Republik Indonesia memang belakangan mengirirnkan dua petugasnya ke Afganistan untuk memeriksa Al-Faruq guna kepentingan penyidikan terhadap Abu Bakar Ba'asyir. "Tapi mereka manbantah keterlibatannya dalam penangkapan Al-Faruq sendiri. "Tidak pernah ada penangkapan itu," kata Kepala Humas Polri Brigjen Saleh Sa'af kepada Tempo News Room, awal Juli lalu. Belakangan, seorang perwira tinggi di Mabes Polri membisikkan hal ini kepada TEMPO: "BIN tak melibatkan polisi." Menurut pejabat itu, setelah ditangkap, BIN menyerahkan Faruq ke polisi. Namun polisi tak bisa menemukan bukti pelanggarann.ya kecuali soal pemalsuan dokumen imigrasi itu. Lalu, soal deportasi ke Amerika itu?

"Penyerahan ke Amerika itu tidak lepas dari desakan negara adikuasa tersebut,” kata sumber di Polri tersebut. "Dan ini membuktikan bahwa nuansa politis dari kasus ini semakin jelas." Tekanan politis ini pula yang barangkali membuat BIN akhirnya merelakan jeri.h-payah memburu Al-Faruq yang mereka lakukan dilakukan melalui penyadapan jaringan telepon internasional (lihat Jejak Seluler Meringkus Faruq).

Gunjingan terhadap BIN makin keras ketika sebuah fakta lain muncul dalam penangkapan Faruq. Seorang pria bernama Abdul Haris dibekuk bersamanya, tapi kemudian dibebaskan. Kepada TEMPO, yang sempat mewawancarainya, Haris mengaku persangkutannya dengan Faruq hanya karena urusan paspor. "Saya mengenal Faruq karena membantu menguruskan paspor isterinya, Mbak Mira," ujarnya.

Namun, penelusuran TEMPO menemukan indikasi kuat bahwa dia bukan sekadar "calo paspor": dia orang BIN yang ditanam dalam Majelis Mujahidin Indonesia.

Dalam Majelis Mujahidin, Haris duduk sebagai pengurus di Departemen Hubungan Antar-Mujahid --sebuah posisi strategis yang mengatur hubungan antar-organisasi Islam di dalam dan di luar negeri. Namun, pada saat yang sama, bahkan Polri sendiri mengatakan Haris adalah anggota BIN. Dalam pernyataan resminya yang dilansir oleh situs Liputan6.com, Kapolri Da'i Bachtiar menyatakan Haris adalah orang BIN yang menemani dua polisi berangkat ke Afganistan untuk menemui Al-Faruq. Berita ini juga disiarkan beberapa kali oleh SCTV.

Kepada TEMPO, Haris sendiri membantah dia orang BIN. Demikian pula Muchyar Yara, yang mendukung pernyataan Haris dalam soal itu. Tapi, Yara mengatakan Haris adalah kawan lama Hendropriyono –sebuah fakta yang membuat kalangan Majelis Mujahidin bisa saja memiliki alasan untuk curiga.

Maklumlah, ada bebacapa "kebetulan" yang menyusahkan organisasi itu. Abdul Haris menghilang dari pertemuan dan kegiatan Majelis Mujahidin bersamaan dengan hilangnya Faruq. Ihwal menghilangnya Haris sebenarnya disadari oleh aktivis MMI. "Sudah sekitar enam bulan Haris tidak aktif. Kami memang mendapat kabar bahwa dia seorang agen yang disusupkan, tapi kami tidak gegabah mempercayainya sebelum diklarifikasi,"ujar Irfan S Awwas, Ketua Tanfidziyah MMI.

Sementara itu, Faruq, yang ternyata disetor kepada CIA, kini menyanyikan pengakuan yang menyudutkan Ba'asyir dan membuatnya ditahan polisi. "Haris itu orangnya baik dan humanis, tapi saya tak mengira dia itu munafik," kata Elang Lesmana Ibrahim, seorang aktivis Islam dari Bandung, yang beberapa kali bertemu Haris (lihat Donnie Brasco dari Ciputat).

Sejarah intelijen Indonesia memang mencatat kelompok-kelompok radikal Islam, sebagai salah satu "kerikil dalam sepatu" yang terus-menerus ada. Dan bukan hal baru kalangan intelijen menanam agennya ke organisasi Islam dengan tujuan melumpuhkannya. "Sejak masa Orde Baru, kelompok Islam selalu dipermainkan," kata Daniel Lev. "Dari sudut pandang intelijen seperti BIN –dulu Bakin-- orang-orang radikal Islam berguna sekali karena gampang digerakkan dan dipakai."

Hendropriyono sendiri bukan sekali ini bersilangan riwayat hidupnya dengan gerakan radikal Islam. Pada akhir dasawarsa 1980, ketika masih menjadi Komandan Korem di Lampung, dia memimpin operasi menumpas Gerakan Warsidi sebuah kelompok yang dituduh ingin mendirikan negara Islam. Darah tumpah di situ, dan Human Rights Watch menyebutnya sebagai "The Butcher of Lampung".

Kini, Hendropriyono, yang belakangan ini dikenal akrab dengan sejumlah tokoh Islam, bukan lagi tentara lapangan. Dia memimpin BIN, lembaga intelijen yang belakangan ini memperoleh kekuasaan besar setelah keluarnya Perpu Anti- terorisme pada 18 Oktober lalu.

Hendropriyono tak bersedia memenuhi permintaan wawancara TEMPO. Muchyar Yara, yang diminta mewakilinya, menolak tuduhan BIN atau Hendropriyono menanam Haris untuk menjaring Ba'asyir. “Tapi, jika benar Haris orang BIN, apakah itu sesuatu yang salah?" kata Muchyar. "Bukankah yang dimata-matai itu orang asing yang bikin kekacauan, di Poso, Ambon, dan sebagainya?" (lihat "Haris Teman Lama Hendro")

Al-Faruq yang dimata-matai bisa saja orang asing. Dan Al-Faruq, melalui sebuah rekaman video yang diperoleh BIN, barangkali benar pemah melatih orang-orang Islam dalam sebuah kamp di Poso. Tapi, Ba'asyir adalah warga negara Indonesia yang sudah terkena getah dari pengakuan Al-Faruq di depan CIA.

Ini bahkan bukan sekadar nasib seorang Ba'asyir yang tudingan terhadapnya masih harus dibuktikan di pengadilan kelak. Ini menyangkut hendak dikemanakan badan intelijen Indonesia.

Beberapa hari setelah ledakan dahsyat di Legian, Bali, pemerintahan Megawati mengeluarkan peraturan pemerintah tentang pemberantasan tindak pidana terorisme. Peraturan itu memberikan peran lebih besar lagi kepada Kepala BIN, yang pada pemerintahan Megawati memiliki posisi setara menteri kabinet. Dan kini, setelah Bali, Megawati memberi BIN wewenang untuk melakukan koordinasi atas semua badan intelijen yang ada di berbagai departemen dan kepolisian.

Posisi BIN juga bisa lebih kuat lagi mengingat data intelijen yang dijaring melalui kegiatan mata-mata, seperti penyadapan dan penyusupan, kini bisa diterima sebagai alat untuk menahan seorang tersangka teroris, meskipun keabsahan data itu harus diuji oleh pengadilan.

Setelah serangan teror di Bali, meski semula enggan, Indonesia akhirnya harus terlibat dalam barisan perang melawan terorisme yang dipimpin Amerika. Banyak negara lain juga melakukannya dengan, antara lain, mengadopsi undang-undang anti-terorisme. Namun, seperti dilaporkan Human Rights Watch awal tahun ini, "perang melawan terorisme" ternyata banyak pula disalahgunakan oleh rezim- rezim otoriter untuk menindas oposisi dan para pengkritik.

Membuat badan intelijen yang punya akuntabilitas adalah salah satu cara menghindari ekses seperti itu. (Majalah TEMPO Edisi 25 November – 1 Desember 2002, hal. 69 - 87)