(hidayatullah.com) - Drama penggrebekan Densus 88 di Temanggung, Jawa Tengah, yang memakan waktu 18 jam dan penggrebekan di Jati Asih-Bekasi yang diliput berbagai media, menjadi tontonan gratis sebagian besar orang. Seakan-akan sebuah tayangan yang layak ditonton, atau perlu dipertontonkan. Peliputan tersebut lantas menyisakan banyak pertanyaan penting bagi mantan Ketua Presidium Dewan Kesenian Surabaya, Dra. Sirikit Syah, MA (49).
Perempuan yang pernah mengkampanyekan jurnalisme perdamaian (peace journalism) melalui lembaganya Lembaga Konsumen Media (LKM) --yang merupakan organisasi pemantau media pertama di Indonesia— seolah kecewa terhadap liputan berbagai media (khususnya TV) yang dirasakan lebih cenderung menjadi corong polisi dan kurang independen. “Seperti suting sinetron,” ujar alumnus Westminster University, London (2002) ini. Inilah petikan wawancaranya dengan www.hidayatullah.com.
Menurut Anda, bagaimana liputan media di Indonesia dalam kasus Bom Kuningan kemarin?
Saya melihat banyak media besar hanya mengambil informasi sepihak. Ada penggiringan opini publik melalui strategi penyampaian informasinya polisi yang dilakukan beberapa gelintir media besar. Saya tak menuduh semua media. Salah satu media TV, betul-betul hanya menyampaikan apa yang dikatakan polisi. Jadi nara sumbernya tunggal. Dan secara teori jurnalistik itu tidak baik. Tidak balance dan kurang sahih. Menurut saya perlu diverifikasi ulang.
Pertama, saya lihat nara sumber yang diambil media terbatas. Kedua tidak ada investigasi independen. Kalau ada TV yang berhasil menayangkan penggerebakan, tidak membanggakan. Kesannya, wong dia diajak. Seperti syuting sinetron. Kecuali dalam liputan itu TV datang sendiri, wawancara banyak pihak, atau melakukan investigasi independen. Baru itu disebut mencerdaskan. Tapi dalam kasus kemarin, media tidak melakukannya. Akhirnya media tidak bisa menjadi bagian dari sumber resmi.
Sehari setelah bom meledak di Hotel J.W. Marriot dan Ritz Carlton, media langsung ikut bersama polisi menyebut Nurdin Said sebagai teroris. Tapi ternyata keliru?
Media itu memang bisa melakukan kesalahan. Asal kesalahan itu tidak disengaja. Sepertinya kemarin media tidak mengikuti prosedur. Media tidak melakukan verifikasi, dan tidak melakukan azas praduga tak bersalah. Ketika polisi bilang A, medianya setuju. Jadi sudah trial by the press. Dan ketika terbukti tidak bersalah, tidak ada permohonan maaf dari media, apologi, atau pemulihan nama baik. Menurut saya, ini sangat tidak sopan dalam pergaulan intelek, menyebut-nyebut nama orang sebagai pelaku, tetapi tidak melakukan apologize. Seharusnya memberikan space dan hak jawab untuk memulihkan nama baik mereka.
Mengapa media di Indonesia begitu cepat percaya sumber sepihak? Bahkan untuk beberapa kasus, dirasakan masyarakat sebagai “juru bicara” polisi?
Iya betul. Saya juga agak marah, ketika Kadiv Humas Mabes Polri memberikan pernyataan bahwa media dipakai alat untuk menyuarakan suara “teroris”. Alasan beliau, terlalu banyak media menyuarakan “teroris”. Lho, media mana yang dimaksud? Selama ini justru media menjadi loud speaker kepolisian. Kesan saya, sebetulnya dia memanfaatkan media, tetapi menuduh para “teroris” menggunakan media.
Dalam kasus-kasus seperti ini, apa bedanya pers Indonesia dengan pers asing?
Kalau dalam hal terorisme, media di seluruh dunia sama, akarnya counter terrorism. Dan aksi itu dibiayai luar biasa besar oleh negara kaya, AS dan Eropa. Ada pelatihan dan alat-alat yang canggih. Bedanya dengan Indonesia, kalau media kapitalis itu biasanya pro kepada yang menguntungkan saja. Jadi kalau berita seperti itu banyak yang memberikan sponsor produk pemerintah, dia pro kesitu. Saat ini, media yang idealis hampir tidak ada lagi. Tapi kalau dari reporter-reporter individual, banyak reporter senior di Eropa yang mempertanyakan tuduhan dari negara. Mereka tidak setuju dengan arah pemberitaan. Tapi secara institution corporation, seperti Time dan CNN, masih sangat pro pemerintah dalam project terrorism. Untuk Indonesia, saya tidak suka ketika media di Indonesia mengekor ke media Barat. Memang media kita berlangganan agen berita ke Barat. Mestinya Pimred dan Redpel yang Muslim harus skeptis, jangan asal setuju saja.
Dalam kasus pemberitaan teror, media justru juga dirasakan sebagai pelaku “teror”?
Belakang, media semakin mencemaskan dan membingungkan. Seharusnya media memberi penerangan dan memperjelas apa-apa yang kurang jelas. Misalnya apa betul yang tewas itu Noordin M Top? Tapi media sudah mengatakan Noordin tewas, Noordin tamat. Itu sangat membingungkan.
Dalam kasus bom Kuningan tersebut, media seperti obral stigma, seperti kelompok teroris, fundamentalis, atau kelompok keras. Apa pendapat Anda?
Kalau saya sih, kita (umat Islam) disebut fundamentalis nggak apa-apa. Mereka juga disebut liberalis juga nggak apa-apa. Mereka bilang, “iya memang aku liberalis, so what?”. Kita juga harus begitu. Kita memang harus ‘fundamental’ dalam menjalankan Islam. Tapi kita akan marah jika istilah itu dibelokkan, fundamentalis sudah pasti ‘teroris’. Kenapa being fundamentalist mesti teror? Kenapa mereka ribet sendiri. Mereka selalu cemas, ini ada fundamental teroris. Nah label-label negatif ini sangat mengganggu. Itu sebenarnya aksi politik yang sebetulnya tidak boleh diamini media. Saya baca di media Barat, ada istilah Islamic terrorist. Saya bilang, “Jangan menyinggung-nyinggung Islam itu teroris. Di Irlandia banyak tindakan kekerasan dilakukan orang beragama Katolik. Tapi tidak pernah disebut Katolik Teroris. Di Amerika orang protestan menjadi peledak Oclahoma Building, mereka tidak disebut Protestan Teroris.”
Jadi bagaimana seharusnya media menyikapi labeling seperti itu?
Menurut saya itu label tendensius itu adalah agenda untuk memojokkan umat Islam. Seharusnya media skeptis terhadap istilah itu. Misalnya saya jadi redaktur, saya akan bilang ‘teroris’ saja tanpa Islam. Nah, kenapa ketika kasus di dua hotel (JW. Marriot dan Rizt Carlton) yang dibom itu, hanya dituding nama-nama Islam, kenapa tidak yang lain. Bukannya yang ada di sana ketika itu tidak hanya mereka. Kenapa langsung menjurus ke nama-nama Islam. Lalu CCTV hanya menjurus ke satu orang saja. Maksud saya, jika CCTV bisa mengikuti orang itu saja, bisa jadi ini ada rekayasa atau permainan. Kenapa tidak ditunjukkan yang lainnya juga. Kalau nggak terekam, tapi kenapa kok bisa itu saja?. Herannya, daya kritis seperti ini tidak muncul di media masa. Media hanya menggunakan sumber resmi kedutaan dan kepolisian saja. Media tidak perlu takut. Media tidak akan dibredel. Kalau ada media seperti itu atau takut dengan polisi, berarti ada semacam “konspirasi”.
Pelajaran apa yang harus diambil dari media dalam kasus peliputan Bom Kuningan atau penggerebekan itu?
Pertama, media harus multi angel. Sebab untuk saat ini, harus cover many side, sekadar cover both side saja tidak cukup.
Apa yang Anda tangkap dalam liputan mengenai Noordin M Top?
Menurut saya, dia tokoh rekaan dan fiktif. Saya tidak pinter dalam bidang terorisme. Tapi sampai saat ini, polisi belum bisa meyakinkan saya bahwa Noordin itu benar-benar ada. Tiap tahun Noordin itu berganti gambar, tapi belum bisa tertangkap juga.