04 September 2009

ICAF Merilis Sikap Pemberantasan Terorisme

Release 1 September 2009

Pemberantasan Terorisme
Polisi Harus Mempertanggungjawabkan Kepada Tuhan dan Rakyat

Tugas berat polisi, dalam hal ini Kapolri kepada rakyat Indonesia sangat besar guna menjelaskan seputar kasus terorisme agar tidak menimbulkan fitnah di kalangan ummat Islam.

1. Tewasnya Ibrohim di rumah Muh Djahri yang warga Muhammadiyah di Temanggung, tak bisa dijelaskan dengan akal sehat hingga kini. Dengan serbuan 600 personil dan muntahan ribuan pelor panas serta ledakan bom ke rumah reyot milik Muh Djahri, ternyata hanya menyebabkan sebuah peluru rekoset (memantul) yang konon mengenai punggung Ibrohim. Wajah jenasah almarhum Ibrohim pun terlihat bersih saat dipertontonkan kepada media massa. Ada kesan, kematian Ibrohim bukan berlangsung di rumah Muh Djahri. Namun jenasah Ibrohim ditemukan di rumah itu. Alhasil, kematian Ibrohim bukan menyelesaikan persoalan, malah menimbulkan seribu tanda tanya baru, sebenarnya ada apa di balik heroisme aksi penyerbuan tersebut?.

2. Keterlibatan Aris dan Indra terhadap Ibrohim maupun kaitannya dengan pemilik Muh Djahri, sama sekali tidak bisa dijelaskan secara terbuka oleh polisi. Polisi hanya menjelaskan kronologi tersangka yang sudah tewas—yang mana tidak bisa membela diri atas penjelasan polisi. Sedangkan saksi yang masih hidup, yakni Indra dan Aris tak bisa didengar kesaksiannya.

3. Ditangkapnya Mohammad Jibriel juga tidak menjelaskan keterkaitannya dengan bom Marriot II ataupun kejadian sebelumnya. Issu-issu keterlibatan dia dalam pendanaan terhadap pengeboman, tidak bisa dijelaskan polisi. Penangkapan terhadapnya sama sekali tidak mengangkat citra polri, karena ada kesan dipaksakan hanya karena yang bersangkutan terlalu keras dalam bisnis website arrahmah.com yang dikerjakannya selama ini.

4. Pengakuan Abu Jibril usai menjenguk anaknya, bahwa anaknya dalam kondisi lebam-lebam di wajahnya, akibat dipukuli dalam kondisi wajah tertutup, serta tidak diketemukannya kaitan anaknya dengan pengeboman Marriot maupun pendanaan, adalah persis sama terhadap apa yang dialami Abu Bakar Baasyir 3 tahun silam, ketika Abu Bakar akhirnya lebih banyak bersalah bukan karena aksi langsung terorisme, melainkan hanya karena administrasi kependudukan: misalnya pemalsuan KTP, Paspor, dan lain-lain. Mohammad Jibriel pun tampaknya juga akan menerima perlakuan sama, karena menurut Abu Jibril, tuduhan terhadap anaknya hanya soal imigrasi, paspor dan KTP.

5. Apapun yang terjadi, polisi harus menjaga agar Mohammad Jibril nantinya bisa menjelaskan kepada publik, apa sebenarnya yang ia lakukan, agar tidak menambah fitnah baru di kalangan aktifis Islam maupun Ummat Islam. Polisi wajib menjaga agar di akhir kisahnya nanti, Mohammad Jibriel tetap bisa hidup, dan tidak mengagetkan pemberitaan bahwa Mohammad Jibriel akhirnya ditemukan tewas di sebuah rumah, seperti yang dialami Ibrohim.

6. Keselamatan Mohammad Jibriel—apabila dinyatakan terlibat secara hukum, dan juga orang-orang seperti Indra, Aris, dan lain-lain, sepertinya lebih membantu tugas Polri ketimbang mereka akhirnya tewas dengan apapun alasannya oleh aparat.

7. Polisi wajib mempertanggungjawabkan kepada rakyat Indonesia, dan nantinya juga kepada Tuhan, terhadap apapun yang telah dilakukan selama ini. Pertanggungjawabannya bukan hanya dalam bentuk penjelasan sepihak, tetapi juga dalam bentuk pertanggungjawaban yang lebih luas, yakni pertanggungjawaban secara moral. Karena pekerjaan pemberantasan terorisme sangat rentan terhadap fitnah.

8. Pujian dunia internasional kepada keberhasilan pemberantasan terorisme di Indonesia, tidak akan bernilai sedikitpun, apabila di balik pemberantasan itu tidak disertai pertanggungjawaban yang pasti. Karena semua kejadian teror maupun pemberantasannya, tak bisa dihindari, berkaitan dengan nyawa dan isu agama.


Koordinator Indonesian Crime Analyst Forum (ICAF) Pusat Jakarta
Mustofa B. Nahrawardaya
0813 8434 9622
(+62) 21 4444 1424

(voa-islam.com)