(eramuslim.com) - Umat Islam sudah sebulan lebih disuguhi pemberitaan seputar terorisme. Sebagian merasa jenuh. Sebagian lagi memandang media sudah kelewat batas dalam penyajian berita. Aparat juga cenderung membabi-buta dalam menyasar obyek-obyek yang diduga terkait dengan terorisme ini, misalnya melakukan pengawasan terhadap agenda-agenda dakwah, bahkan menyisir ke sejumlah pesantren yang dianggap potensial melahirkan pikiran-pikiran radikal.
Efek Media dan Tindakan Aparat
Perlu disadari, media punya kemampuan melakukan penyesatan opini, termasuk dalam isu terorisme. Celakanya, dalam isu terorisme ini, media cenderung terus-menerus mengaitkannya Islam dan kaum Muslim. Hal ini ditambah dengan tindakan aparat di lapangan yang cenderung berlebihan dalam menyikapi isu terorisme. Semua ini pada akhirnya melahirkan efek-efek negatif dalam kehidupan masyarakat, khususnya kaum Muslim.
Pertama: melahirkan sikap saling curiga di tengah-tengah umat, bahkan bisa memunculkan sikap saling memfitnah. Sikap ini jelas-jelas sangat tidak terpuji dan diharamkan oleh Islam. Kedua, melahirkan tindakan melawan hukum (main hakim sendiri) terhadap pihak lain hanya karena curiga atau rasa khawatir yang berlebihan. Ketiga, melahirkan rasa takut di kalangan umat Islam terhadap agamanya sendiri.
Cap “radikal”, “fundamentalis”, “ekstremis” dll seolah menjadi virus yang mematikan dan harus dihindari oleh kaum Muslim. Akibatnya, sadar atau tidak, kepribadian umat bergeser menjadi kepribadian yang tidak lagi berpegang teguh pada Islam, karena khawatir mendapatkan label-label negatif tersebut. Dalam jangka panjang, kepribadian umat yang cenderung tidak mau terlalu terikat dengan Islam ini akan melahirkan potret umat Islam yang suram karena makin jauh dari Islam.
Politik “Belah Bambu”
Di balik isu terorisme yang cenderung terus-menerus dimunculkan sebetulnya ada propaganda untuk menguatkan satu arus pemikiran dan sikap tertentu, yakni yang selama ini diklaim oleh sejumlah kalangan sebagai “Islam moderat”, seraya terus-menerus mengucilkan kelompok-kelompok lain yang dituduh “Islam radikal”.
Padahal semua istilah tersebut tidak dikenal dalam Islam. Baik istilah “Islam moderat” atau “Islam radikal” hanyalah ciptaan Barat penjajah demi kepentingan mereka: memecah-belah kaum Muslim. “Islam moderat” tidak lain adalah Islam yang bisa menerima semua unsur peradaban Barat seperti demokrasi, HAM, pluralisme, kebebasan, sekularisme dll. “Islam moderat” inilah yang dikehendaki Barat. Sebaliknya, Islam yang anti peradaban Barat akan langsung mereka cap sebagai “Islam radikal”.
Tidak aneh jika Barat, juga menuduh kelompok-kelompok yang memperjuangkan Islam kâffah melalui penerapan syariah Islam secara total melalui institusi Khilafah sebagai kelompok “Islam radikal”. Inilah yang terbaca dari ungkapan sejumlah pejabat/mantan pejabat di negara-negara Barat sendiri, seperti pernah diucapkan mantan Menhan AS Donald Rumsfeld (Washingtonpost.com, 5/2/2005).
Lebih dari sekadar “strategi lunak” dengan menggunakan pelabelan seperti di atas, “strategi kasar” juga dimainkan, misalnya dalam bentuk teror dan intimidasi terhadap para pengemban dakwah Islam, juga pengawasan terhadap pesantren.
Lebih jauh, langkah-langkah lain juga mungkin dilakukan, misalnya memberangus media yang menyuarakan Islam dengan lantang. Dalam hal ini, kita bisa belajar dari konspirasi untuk membungkam situs ar-rahmah.com. Lebih dari itu, mencuatnya kasus “Bom Marriott II juga kemudian dijadikan alasan untuk bersikap represif atas nama UU Keamanan Negara, UU Anti Terorisme, dll.
Isu Terorisme: Skenario Global AS
Sejak Peledakan Gedung WTC 11 September 2001, AS telah memanfaatkan isu terorisme sebagai bagian dari skenario globalnya untuk melemahkan Islam dan kaum Muslim. Untuk itu, para peneliti kemudian menganjurkan beberapa pilihan langkah bagi AS, antara lain:
1. Mempromosikan jaringan ”Islam moderat” untuk melawan gagasan-gagasan radikal. Menurut mereka, terwujudnya suatu jaringan Muslim moderat internasional sangatlah penting untuk menyebarkan gagasan-gagasan moderat ke seluruh Dunia Islam dan untuk memberikan perlindungan terhadap kelompok-kelompok moderat. Jika perlu, AS membantu kaum moderat yang kekurangan sumberdaya dalam menciptakan jaringan seperti itu.
2. Merusak jaringan “Islam radikal”. AS perlu memahami karakteristik jaringan “Islam radikal” dan komunitas-komunitas pendukungnya; bagaimana mereka berkomunikasi dan merekrut anggota serta apa saja kelemahan yang mereka miliki. Strategi “belah bambu” akan dapat menyasar celah-celah ini, dengan memecah-belah kelompok-kelompok radikal dan membantu Muslim moderat untuk memegang kendali.
3. Membantu reformasi pesantren dan masjid. Satu perkara yang urgen bagi AS dan komunitas internasional ialah mendukung usaha-usaha reformasi yang dapat memastikan bahwa pesantren-pesantren hanya memberikan pendidikan yang modern dan luas serta keterampilan yang sesuai dengan tuntutan pasar. Di sisi lain, meski pihak luar mungkin merasa enggan untuk terlibat dalam urusan-urusan agama, banyak cara yang dapat dilakukan untuk mendukung usaha pemerintah dan organisasi-organisasi Muslim moderat guna memastikan bahwa masjid-masjid tidak lagi berfungsi sebagai basis ideologi Islam radikal.
4. Menyeimbangkan perang melawan terorisme dengan kebutuhan untuk mempromosikan stabilitas di negara-negara Muslim moderat. AS sebaiknya memastikan bahwa langkah-langkah yang ditempuhnya tidak dimanfaatkan kaum radikal, yang menggambarkan langkah-langkah AS itu sebagai perang melawan Islam. AS harus menunjukkan bahwa langkah-langkahnya itu tidak dimaksudkan untuk memperkuat rezim otoriter atau opresif, tetapi untuk mempromosikan perubahan yang demokratis.
5. Berupaya melibatkan umat Islam dalam proses politik. Meski selalu ada potensi bahaya dari partai Islam terhadap kebebasan yang demokratis, jika kelak berkuasa, pelibatan partai-partai tersebut dalam institusi-institusi demokrasi secara terbuka dalam jangka panjang akan mendorong lahirnya sikap moderat.
Perang Melawan Islam
Meski sepertinya isu terorisme dimanfaatkan oleh AS untuk menguatkan “Islam moderat”, umat Islam harus memahami, bahwa target akhir “perang melawan terorisme” adalah perang melawan Islam itu sendiri. Pasalnya, terorisme yang dimaksudkan oleh Amerika tidak lain adalah Islam—baik “moderat” atau “radikal”—dan tidak ada pengertian lain. Noam Chomsky menyebut permainan stigma Barat ini sebagai “newspeak” untuk membatasi pandangan dan realita sehingga ketika kata-kata teroris, fundamentalis, ekstremis, dan kelompok radikal diucapkan maka konotasinya tidak jauh dari negeri-negeri Islam.
Lebih dari itu, dalam Dokumen RAND Corporation 2006 bertajuk, “Building Moderate Muslim Networks” disebutkan bahwa kemenangan AS yang tertinggi hanya bisa dicapai ketika ideologi Islam terus dicitraburukkan di mata mayoritas penduduk di tempat tinggal mereka dan di hadapan kelompok yang diam-diam menjadi pendukungnya. Karena itulah, di antara cara Barat penjajah mencitraburukkan ideologi Islam adalah dengan menyebutnya sebagai “ideologi para ekstremis”, sebagaimana pernah diungkapkan mantan Presiden AS George W Bush; bahkan sebagai “ideologi setan”, sebagaimana pernah dinyatakan oleh mantan PM Inggris Tony Blair.
Dalam pidatonya pada Konferensi Kebijakan Nasional Partai Buruh Inggris (2005), Blair menjelaskan ciri ideologi setan, yaitu: (1) Menolak legitimasi Israel; (2) Memiliki pemikiran bahwa syariah adalah dasar hukum Islam; (3) Kaum Muslim harus menjadi satu kesatuan dalam naungan Khalifah; (4) Tidak mengadopsi nilai-nilai liberal dari Barat.
Walhasil, mereka yang selama ini diposisikan sebagai “Islam moderat” pun—selama mereka masih menolak penjajah Israel, menjadikan syariah Islam sebagai dasar hukum, menghendaki persatuan Islam dan enggan mengadopsi nilai-nilai liberal Barat—seharusnya tidak boleh merasa aman dari target “perang melawan terorisme” yang dilancarkan AS dan sekutunya. Sebab, saat ini pun sesungguhnya perang tersebut telah menyasar ke kalangan “Islam moderat”, bahkan sejak beberapa tahun lalu.
Kita masih ingat, tahun 2005 lalu muncul wacana untuk melakukan sidik jari para santri di pesantren-pesantren. Tentu saja, pemilik pesantren yang paling besar di Tanah Air adalah NU. Belakangan, pesantren Muhammadiyah pun kena sasaran; diobok-obok oleh aparat; seperti yang menimpa salah satu pesantren Muhammadiyah di Blitar. Padahal selama ini baik NU maupun Muhammadiyah diposisikan sebagai “moderat”.