12 September 2009
1 Syawal 1419 H, Prahara Ambon Kelabu
Tragedi Ambon telah lewat sebulan. Namun, asapnya masih belum pupus benar. Meski berangsur pulih, denyut kehidupan di Ambon masih belum normal. Apalagi, darah masih terus tumpah di beberapa tempat di sekitar Kepulauan Maluku. Lagi-lagi, seperti pada tragedi Iedul Fitri kelabu, korbannya kebanyakan juga kaum muslimin. Seperti diketahui, dalam prahara Ambon, kaum muslimin menjadi kebiadaban kaum kafirin. Mereka dibantai dan disiksa dengan cara amat keji. Sejumlah kaum muslimah diperkosa. Sementara puluhan ribu orang menjadi pengungsi lantaran rumah dan toko mereka dibakar. Belum lagi belasan masjid yang dihancurkan atau dibakar.
Namun tak banyak yang tahu, di tengah segala kengerian itu terjadi peristiwa-peristiwa yang menakjubkan. Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan bala tentara-Nya ketika umat Islam nyaris jadi korban. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang turun saat perang Badar berkecamuk belasan abad silam terbukti di bumi jihad Ambon: “Ingatlah, ketika kamu memohon pertolongan kepada Rabbmu, lalu diperkenankanNya bagimu. Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepadamu dengan sepuluh ribu malaikat yang datang berturut-turut.” (QS. Al-Anfaal: 9)
Kejadian-kejadian menakjubkan itu diceritakan oleh KH Abdul Aziz Arbi, MA, Imam Besar Masjid Jami’ Al-Fatah, Ambon, kepada wartawan Sabili, M. Lili Nur Aulia dan Rizki Ridyasmara yang menemuinya, Ahad pagi (20/2) di Jakarta. Dalam wawancara selama satu setengah jam, Ustadz Abdul Aziz menuturkan kesaksiannya tentang turunnya bantuan Allah berupa sepasukan mujahidin cilik berjubah dan bersongkok putih. “Saya terpaksa mengungsikan istri dan kelima anak saya karena situasi Ambon yang masih sangat rawan. Tapi saya akan segera kembali ke sana”, tutur alumnus Universitas Ummul Qura, Makkah, ini. Berikut uraiannya:
Ribuan Jundullah Cilik
Pada malam pertama kerusuhan Ambon, 19 Januari 1999, yang bertepatan dengan 1 Syawal 1419 H, saya berada di rumah bersama keluarga di dalam kompleks Masjid Raya Al-Fatah. Suasana malam itu terasa amat mencekam. Tiap setengah jam sekali terdengar tiang listrik dipukul bertalu-talu -tanda adanya serangan dari pihak Nasrani. Ibu-ibu dan anak-anak semuanya dicekam ketakutan yang luar biasa. Para penyerang itu menggunakan berbagai macam senjata. Mereka berteriak-teriak bengis. Itu terjadi sepanjang malam. Tak pernah berhenti. Kita hanya bisa menahan serangan mereka.
Pada malam kedua, saya dijemput dua puluh tentara Kostrad. Saya diberi tahu bahwa saya adalah orang pertama yang akan dibunuh. Saat itu terjadi penyerangan yang cukup hebat terhadap Masjid Raya Al-Fatah. Sejak malam hingga dini hari, orang-orang Nasrani itu menyerang kita secara bergelombang. Mereka bersenjatakan panah-panah api dan racun, parang, tombak, batu, kayu, besi, senapan berburu, bom molotov, hingga bom ikan. Pasukan Muslim hanya berbekal senjata seadanya: parang, kayu, batu, dan senjata apa saja yang bisa diraih. Ada kalanya kita mendesak mereka, namun sewaktu-waktu mereka ganti mendesak kita.
Sekitar pukul 24.00 hingga pukul 01.00 malam waktu setempat, umat Islam terdesak mundur. Musuh-musuh Islam, Nasrani-nasrani itu, maju hingga mencapai pagar Masjid Raya. Mereka benar-benar ingin menghancur-leburkan Masjid Raya kebanggaan kota Ambon itu. Di dalam masjid berkumpul lima ribuan pengungsi yang kebanyakan terdiri dari ibu-ibu dan anak kecil. Para penyerang itu tampak sudah sedemikian dekat dengan pagar masjid. Beberapa dari mereka bahkan telah melompati pagar. Umat Islam panik bercampur marah. Para pengungsi histeris ketakutan. Gambaran kehancuran masjid dan pembantaian pengungsi sudah terbayang di depan pelupuk mata. Keadaan sudah sedemikian gawat. Nyaris tanpa harapan.
Entah mengapa, tiba-tiba para penyerang itu berbalik dan lari terbirit-birit. Kelihatannya mereka sangat ketakutan. Kita sama sekali tidak menyangka. Sungguh kita tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ternyata mereka menyaksikan apa yang tidak bisa kita lihat. Ini kita ketahui melalui cerita seorang Nasrani yang berhasil ditawan: “Saya melihat ribuan kanak-kanak berusia sekitar sepuluh tahun, memakai baju dan songkok putih berlari kencang keluar dari dalam masjid ke arah kita. Seorang tua berjubah dan bersorban putih dengan tongkat di tangannya tampak memimpin pasukan itu. Jumlahnya sangat besar dan keberaniannya sangat luar biasa. Itulah yang membuat kami takut dan berbalik lari meninggalkan masjid”. Subhanallah, Allahu Akbar ! Itu terjadi pada malam Kamis.
Tiupan Malaikat
Pada malam Jum’at, Masjid Al-Fatah kembali diserang. Kali ini mereka menyerang dari Jalan Baru - jalan ini terletak di depan masjid. Dengan memanfaatkan tiupan angin yang mengarah ke Masjid Al-Fatah, penyerangan dilakukan dengan membakar beberapa rumah di ujung selatan Jalan Baru. Mereka menggunakan anak panah yang menyala. Namun, ketika mereka menghujani rumah-rumah Muslim dengan ratusan anak panah berapi, panah-panah itu malah jatuh ke rumah-rumah Nasrani tetangganya. Tapi karena saat itu angin bertiup sangat kuat, rumah-rumah Muslim yang letaknya bersebelahan ikut terbakar.
Api merembet dengan cepat ke arah masjid. Tiupan angin kian mempercepat rembetan itu. Penduduk berhamburan keluar menyelamatkan diri ke Masjid Al-Fatah. Penduduk Muslim yang laki-laki bertempur di bawah kobaran api yang membubung tinggi, menahan gelombang serbuan kaum kafirin yang berusaha menerobos ke Masjid. Di Masjid, para pengungsi kembali panik. Kaum ibu berteriak histeris. Anak-anak menangis ketakutan. Hawa malam itu terasa sedemikian panas. Bercampur rasa kalut dan pasrah.
Melihat keadaan demikian, saya perintahkan semua wanita yang ada di dalam masjid mengenakan pakaian sholatnya. Saya komandokan mereka bertakbir mengagungkan nama Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allahu Akbar ! Allahu Akbar ! Allahu Akbar ! Gemuruh takbir kian lama kian kompak bergemuruh. Takbir yang diteriakkan oleh jiwa yang pasrah dan sungguh-sungguh mengharap pertolongan Allah membahana hingga ke luar masjid. Warga di Gang Diponegoro dan Batu Merah yang terletak di dekat Al-Fatah menangis saat mendengar takbir yang begitu memilukan. Kita bertakbir dari pukul 23.00 hingga 01.00 malam.
“Di malam yang penuh ketakutan itu, orang-orang yang berada di sekitar Masjid tiba-tiba dikejutkan oleh sebersit cahaya terang berwarna biru yang jatuh dari langit. Bola cahaya itu membelah kepekatan malam, meluncur tepat di atas Masjid Raya Al-Fatah. Entah apa sebabnya, tiba-tiba angin berbalik arah dan berhembus amat sangat kencang. Yang tadinya bertiup ke arah Masjid, kini berbalik seratus delapan puluh derajat menuju Gereja Silo. Seandainya angin masih tetap meniup ke arah Masjid, bukan tidak mungkin seluruh rumah Muslim akan habis. Tapi dengan ijin Allah Subhanahu wa Ta’ala angin itu berbalik, dan akhirnya membakar Gereja Silo yang berjarak kurang lebih tiga ratus meter dari Al-Fatah”.
Curangnya Pemda Ambon, khususnya petugas pemadam kebakaran, mereka telah memarkir dua unit mobil pemadam kebakaran di samping Gereja Silo, namun tidak di Masjid Al-Fatah. Mereka memadamkan api yang menjilat Gereja Silo.
Kita di Masjid tetap mengumandangkan takbir. Itu membuat orang-orang kafir makin kalap. Mereka kian bengis menyerang kita. Seorang pengungsi berkata kepada saya, “Ustadz, hentikan takbir. Mereka makin kalap menyerang”. Takbir sejenak kita hentikan. Namun setelah berhenti, mereka tetap menyerang kita. Takbir akhirnya kita lanjutkan. Kita kembali menyusun pertahanan. Dengan takbir tersebut, kita memompa semangat jihad kawan-kawan. Mereka akhirnya bisa kita pukul mundur.
“Entah mengapa, seiring dengan terpukulnya pasukan kafir itu, angin kembali bertiup kencang menuju Gereja Silo. Api kembali membakar gereja itu”. Mobil-mobil pemadam kebakaran-pun berusaha keras memadamkan api kembali. Itu terjadi pada malam Jum’at, 22 Januari 1999. Kita tidak bakar gereja, mereka sendirilah yang membawa-bawa api.
Ribuan Mujahidin Berjubah Putih
Pada hari Jum’at, 23 Januari 1999, masyarakat Desa Hitu - kurang lebih berjarak 25 km dari Ambon - ingin pergi ke Ambon bergabung dengan Muslim lainnya membela Agama Allah yang telah diinjak-injak kaum kafirin. Mereka baru mengerti, pengiriman orang-orang Nasrani dari kampung-kampung ke Ambon sebelum ‘Iedul Fitri ternyata mengandung rencana busuk. Pada Hari Raya, jumlah Muslimin di Ambon berkurang drastis karena banyak yang mudik. Sedang orang-orang kafir bertambah banyak. Itu sebabnya mereka berani menyerang umat Islam.
Kabar yang beredar di masyarakat Desa Hitu dan sekitarnya menyebutkan bahwa dalam penyerangan Kamis malam, Masjid Raya Al-Fatah telah membakar dan saya - Imam Masjid tersebut - telah terbunuh oleh orang-orang Kristen. Kaum Muslimin Desa Hitu itu berkata, “Kalau Masjid Raya telah terbakar dan Ustadz telah terbunuh, untuk apa lagi kita hidup ! Mari bersama-sama kita jihad fi sabilillah !”
Di Ambon, jika orang ingin jihad fi sabilillah, mereka melakukan upacara ritual dulu: mereka mandi membersihkan segala najis yang mungkin masih melekat di sekujur tubuh, disusul dengan berwudhu, lalu mengenakan baju perang berupa jubah putih - dari Desa Hitu, Mamala, Maurela, dan Wakal - yang berjumlah sekitar empat puluh orang mulai bergerak. Mereka tidak banyak. Orang yang sungguh-sungguh siap untuk jihad fi sabilillah bukanlah orang sembarangan. Mereka harus mengerti betul apa hakikat jihad fi sabilillah tersebut.
Setibanya di Paso, mereka dihadang barikade pasukan Brimob. Pasukan Brimob itu memberi tahu bahwa Masjid Raya Al-Fatah tidak terbakar. Namun pemberitahuan itu tidak membuat pasukan jubah putih itu surut langkah. Mereka telah siap berjihad. Karena tidak mau kembali ke Hitu, akhirnya pasukan Brimob tersebut melepaskan beberapa tembakan ke arah mereka. “Namun aneh, tak sebutir peluru pun sanggup menembus jubah putih mereka. Peluru terakhir yang ditembakkan malah mental dan berbalik menuju aparat yang menembaknya. Ini diakui oleh si penembaknya sendiri”.
Anggota Brimob itu menuturkan, “Setelah menembak mereka, peluru itu langsung mental, berbalik ke saya. Untung saya cepat menghindar. Setelah itu seluruh badan ini bergetar hebat. Gemetar. Senjata yang saya pegang jatuh. Akhirnya saya bilang sama komandan dan bahwa mereka ini bukan orang-orang biasa”. Dalam penglihatan pasukan Brimob itu, empat puluh orang pasukan jubah putih tampak berjumlah ribuan orang. Empat orang tua berjubah dan bersorban putih yang duduk di atas empat kuda putih tampak memimpin pasukan besar tersebut. Padahal orang-orang muslim itu tidak melihat siapa-siapa selain keempat puluh warga Desa Hitu dan sekitarnya itu, dan tidak satu pun yang mengendarai kuda.
Setibanya di pinggiran Ambon, mereka dihadang tentara lagi. Mereka dinasehati agar kembali saja ke Hitu, sebab Masjid Al-Fatah tidak terbakar dan Ustadz Abdul Aziz masih hidup. Setelah mengecek kebenaran berita itu, akhirnya mereka pulang dengan damai. Dalam perjalanan pulang ke Hitu, mereka dihadang orang-orang Kristen. Terjadilah pertempuran hebat. Dalam waktu singkat seluruh orang-orang kafir itu berhasil ditumpas. Pertempuran itu menyebabnya seluruh perkampungan kafirin dan sejumlah gereja. Andai saja pasukan jubah putih itu tidak dihadang dan diserang, hal tersebut tidak akan pernah terjadi. Siapa menabur angin akan menuai badai.