Oleh: Shamsul Kamal Amarudin
Dimunculkan karena takut melihat kebangkitan Islam
Anggota relawan Bulan Sabit Merah Malaysia (PBSM) yang pergi ke Yogyakarta, Indonesia, dalam misi membantu korban gempa bumi, baru-baru ini, terkejut saat menunaikan Shalat Zuhur di sebuah kampung. Mereka melihat salib dan patung Hindu dalam sebuah masjid.
Ketika ditanyakan kepada penduduk kampung, dijawab bahwa itu adalah masalah biasa atas dasar saling berbagi melakukan ibadah dalam sebuah bangunan. Yaitu, hari Jumat digunakan oleh orang Islam, Ahad oleh orang Kristen, dan Selasa untuk orang Hindu.
Sebelum ini, masyarakat Islam seluruh dunia dikejutkan dengan tindakan seorang wanita yang menjadi Khatib dan Imam Shalat Jumat tanpa menutup aurat dan saling bersentuhan antara lelaki dan perempuan dalam sebuah gereja di Amerika Serikat (AS).
Baru-baru ini, laporan kantor berita asing juga mengatakan, pihak berwenang Indonesia menahan seorang lelaki yang membaca surah Al Quran dalam bahasa Indonesia ketika menjadi imam suatu shalat fardu di negara tersebut. Tahun lalu, rakyat Malaysia ikut dikejutkan dengan didirikannya `kerajaan langit' oleh seorang lelaki yang bergelar Ayah Pin. Dalam VCD yang dijual kepada orang banyak, Ayah Pin yang mengaku beragama Islam menunjukkan sikap toleransi dengan turut bersembahyang mengikuti cara yang dilakukan oleh agama lain.
Itu adalah di antara beberapa contoh ekstrem tindakan liberalisme dan pluralisme beragama yang mulai ditunjukkan secara terbuka oleh segelintir orang dan kelompok dalam tempo dua tahun terahir. Menyadari bahaya dan ancaman aliran ini, kalangan ulama, intelektual Islam, dai, serta anggota LSM Islam berkumpul selama tiga hari di Ipoh, Perak, Malaysia, baru-baru ini.
Aneka Perangkap
Muzakarah Ulama 2006 itu bertema Pemurnian Islam dari Liberalisme dan Pluralisme. Muzakarah diadakan setiap tahun dalam rangka menyambut Hari Keputeraan Sultan Perak, Sultan Azlan Shah, yang memberi perhatian serius terhadap aliran yang semakin menular dan mulai mendapat tempat di kalangan golongan terpelajar yang `terpesona' dengan 'kemajuan' peradaban Barat.
Aliran liberalisme dan pluralisme Islam ini menurut berita, melihat pandangan hidup Islam sebagai objek yang membingungkan dan mesti diperdebatkan. Barat sengaja menciptakan berbagai terminologi untuk menempatkan Dunia Islam dalam aneka perangkap. Mereka menciptakan berbagai istilah seperti Islam tradisional vs modern, Islam sederhana vs fundamentalis, Islam legalistik/formalistik vs substantif normatif, Islam budaya vs struktural, serta Islam inklusif vs eksklusif.
Barat juga sengaja melontarkan berbagai istilah dan pemikiran dengan aliran politik dan ideologi serta bermain-main dengan istilah yang berbahaya dan asing, seperti Islam Liberal dan Islam Plural dengan tujuan agar umat Islam menjadi ragu dengan ajaran agamanya. Itu diakui mereka lakukan semata-mata karena takut melihat kebangkitan kembali umat Islam melalui ideologi Islam yang sebenarnya.
Seorang profesor sosiologi agama di Universitas North Carolina, Amerika Serikat, Charles Kurzman, memperkenalkan istilah atau gerakan baru di Dunia Islam ini melalui bukunya Islamic Liberalism. Sebelum itu, Leonard Binder coba menyebarkan aliran tersebut dalam bukunya Islamic Liberalism: A Critique of Development Ideologies.
Secara singkat, `mazhab' Islam Liberal berasal dari prinsip kebebasan tanpa batas agar akal manusia bisa digunakan sebebas-bebasnya untuk menghuraikan/memahami semua perkara.
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Pemikiran dan Kebudayaan Islam Indonesia (INSISTS), Adnin Armas, dalam makalahnya bertajuk Sumber Liberalisasi Pemikiran Islam: Kasus Al Qur’an, mengatakan, pengikut paham tersebut kini semakin berani menantang aqidah umat Islam. Pada 2002 mereka menyarankan agar Al Qur’an diedit dan disusun lagi hingga menjadi sebuah kitab baru sebagai Al Qur’an edisi kritis (a critical edition of the Quran).
Kelompok tersebut -yang sebagian memiliki latar belakang pendidikan agama- antara lain mengemukakan: ''Hakikat dan sejarah penulisan Al Qur’an sesungguhnya penuh dengan berbagai nuansa yang delicate (rumit), dan tidak lepas dari perdebatan, pertentangan, intrik, dan rekayasa.'' Adnin mengatakan, itu merupakan fenomena baru yang tidak pernah terjadi sekalipun di zaman penjajahan Belanda, Inggris dan Jepang di Indonesia. Sumber pemikiran itu adalah pandangan hidup Yahudi-Kristen.
Dengan menggunakan tafsiran baru terhadap sumber dalam tradisi Islam, kelompok orientalis membentuk teori baru yang tidak hanya berbeda tetapi bertentangan dengan pendapat golongan ulama besar dahulu hingga sekarang. Sayangnya, banyak pemikir Islam yang terpengaruh sehingga berbagai kritikan mereka lontarkan terhadap kitab suci tersebut. Terutama mereka mengeritik bahwa mushaf Uthmani yang digunakan (Al Qur’an) sekarang ini adalah tidak asli.
''Sudah saatnya kalangan ulama meneliti karya orientalis ini secara serius. Melalui tindakan membongkar akar pemikiran sekular-liberal, diharapkan ranting pemikir Islam yang terpengaruh dengan kerangka pemikiran Barat akan roboh dengan sendirinya,'' tutur Adnin.
Masalah Baru
Kekhawatiran serupa dikemukakan Guru Besar Jurusan Ushuluddin dan Perbandingan Agama Universitas Islam Internasional (UIA), Dr Anis Malik Thoha. Ia memaparkan kajian berjudul Implikasi Faham Pluralisme Agama.
Anis mempertanyakan, apakah pemahaman pluralisme agama benar-benar dapat mewujudkan tujuan mulia seperti kedamaian, kesetaraan, perpaduan, dan toleransi sebagaimana yang diusulkan mereka? Atau, justru akan menciptakan masalah baru yang semakin mengacaukan isu kemanusiaan dan ragam manusia yang ada sekarang.
Pemahaman pluralisme agama diciptakan dalam kerangka sekular, liberal dan logikal positivisme Barat yang tidak percaya kepada hal yang berunsur metafisik, seperti hari kiamat, dengan alasan tidak mungkin dapat dibuktikan secara empirik. Ini bukan saja bisa menggoyahkan aqidah umat, tetapi memberi implikasi dan menjurus kepada usaha penghapusan agama, keragaman formalitas, serta tantangan terhadap hak asasi manusia (HAM).
Dr Anis juga mempertanyakan, jika pengikut pemahaman pluralisme percaya `persamaan semua agama secara penuh tanpa ada yang lebih berkuasa (superior) dan benar dari yang lain', apakah mereka bisa menerima agama primitif dan terbelakang yang juga melibatkan kepercayaan/keyakinan memakan daging manusia? Apakah perbuatan agama yang kanibal itu bisa dianggap benar?
Dr Anis menjelaskan, jika semua agama ditempatkan dalam satu kelompok yang sama, berarti ada keseragaman dan tidak ada perbedaan antara satu dengan yang lain dan semua penganut agama tersebut `dipaksa' menerima pemahaman itu. Maka, ini secara tidak langsung mewujudkan satu bentuk kepercayaan baru, sedangkan hak asasi penganut agama tersebut untuk mengamalkan keyakinan masing-masing, dengan sendirinya tidak dianggap. Dia juga mempertanyakan jika semua agama dianggap sama dan disamaratakan, apakah nantinya tidak akan terjadi suatu agama akan mencoba menjadi superior dan mendominasi kepercayaan agama lain. Misalnya yang terjadi di Barat, ketika gagasan pluralisme dipraktikkan, kepercayaan dan keyakinan Kristen menjadi lebih dominan.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Musyawarah Nasional (Munas) ke-7 di Jakarta, 24-25 Juli 2005, mengeluarkan fatwa bahwa ajaran Ahmadiyyah, liberalisme, dan pluralisme adalah sesat. Sejak itu, pengikut pemahaman liberalisme dan pluralisme terus melakukan cacian dan makian terhadap MUI dan golongan ulama.
Namun perlu diingat, secara kebetulan atau mungkin disengaja, sebagian besar tokoh atau mereka yang berdalih coba “memajukan umat dari kemunduran akibat pemahaman sempit Islam” biasanya mendapat dukungan atau menerima bantuan dari organisasi atau negara Barat. Ini terjadi sejak zaman penjajahan Barat di negara Islam.