15 September 2009

Meruntuhkan Mitos Nurcholish Madjid

Oleh: Adian Husaini

Pada 16 Desember 2006 lalu, sebuah peristiwa yang sangat bersejarah terjadi di Indonesia. Ketika itu, Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, cendekiawan Muslim asal Gontor Ponorogo, menyampaikan orasi ilmiah dalam rangka tasyakkuran gelar doktornya dari International Institute of Islamic Thought and Civilization—International Islamic University Malaysia (ISTAC-IIUM) Malaysia. Secara terbuka dan sistematis, Hamid memberikan kritik-kritik tajam terhadap gagasan pembaruan Islam yang pernah digulirkan oleh Nurcholish Madjid dan kawan-kawan di awal tahun 1970-an.

Hamid F. Zarkasyi yang juga Pemimpin Redaksi Majalah Islamia dan Direktur Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS), lulus program Ph.D. pada 6 Ramadhan 1427 H/29 September 2006, setelah berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul ‘Al-Ghazali’s Concept of Causality’.

Di hadapan para penguji yang terdiri atas Prof. Dr. Osman Bakar, Prof. Dr. Ibrahim Zein, dan Prof. Dr. Torlah. Prof. Dr. Alparslan Acikgence, penguji eksternal dari Turki, memuji kajian Hamid terhadap teori kausalitas al-Ghazali pada kajian sejarah pemikiran Islam. Sebab, pendekatan Hamid terhadap konsep kausalitas al-Ghazali telah menjelaskan sesuatu yang selama ini telah dilewatkan oleh kebanyakan pengkaji al-Ghazali.

Acara tasyakkur Hamid F. Zarkasyi diselenggarakan INSISTS di Gedung Gema Insani, Depok, dan dihadiri sekitar 100 orang dari berbagai kalangan, tokoh dan pimpinan Ormas Islam, profesional, dosen, mahasiswa, dan aktivis dakwah. Selama hampir dua jam, hadirin dibuat tidak bergerak, khusyu’ menyimak paparan Hamid yang bertema ‘Membangun Peradaban Islam yang Bermartabat’. Pidato peradaban Hamid ini diakui sejumlah peserta sangat luar biasa, karena dipersiapkan dengan sangat serius dan berisi hal-hal yang mendasar dalam upaya membangun peradaban Islam yang dimulai dari upaya perumusan konsep-konsep mendasar dalam pemikiran Islam.

image Melalui orasi ilmiahnya tersebut, Hamid Zarkasyi seperti layaknya pendekar yang baru turun gunung, setelah bertapa selama puluhan tahun. Sejak kecil sampai sarjana S-1, Hamid dibesarkan dan dididik ayahnya sendiri di lingkungan Pesantren Gontor. Barulah kemudian dia melanjutkan program masternya di Pakistan. Setelah mengabdi beberapa tahun di Gontor, Hamid kembali melanjutkan kuliah S-2 nya di Birmingham Inggris. Dari Inggris, dia langsung melanjutkan studi S-3 nya ke ISTAC. Barulah, pada tahun 2006, pada usia 48 tahun, Hamid baru menyelesaikan studi doktornya.

Bagi pembaca majalah Islamia, sebenarnya sejak empat tahun ini, sosok Hamid sudah dikenal luas melalui berbagai artikelnya. Pemikirannya sudah tersebar luas dan memberikan dampak signifikan pada berbagai kalangan peminat studi Islam.

Tetapi, orasi ilmiahnya pada 16 Desember 2006, merupakan momentum penting. Secara substansi, orasi ilmiah Hamid Zarkasyi ini seperti proklamasi jati diri dan pemikirannya. Orasi itu bagai upaya untuk menyapu – setidaknya membendung – opini dan mitos yang terus dikembangkan oleh para pengikut Nurcholish Madjid, bahwa pemikiran Nurcholish Madjid adalah hebat dan ilmiah, sehingga tidak bisa dijangkau oleh para pengkritiknya.

Ada yang menulis, bahwa para pengkritik Nurcholish salah paham terhadap gagasan Nurcholish. Sedangkan yang mendukung Nurcholish paham terhadap Nurcholish. Padahal, baik yang mendukung maupun yang mengkritik Nurcholish memang ada kemungkinan salah paham, jika tidak memahami benar dasar dan anatomi pemikiran Nurcholish Madjid.

Mengembangkan prasangka semacam itu tidaklah bermanfaat untuk melihat persoalan secara jernih. Gagasan sekularisasi dan pembaruan Islam Nurcholish bukanlah gagasan yang rumit dan hanya dapat dipahami oleh pendukung Nurcholish. Gagasan itu dia tulis dalam bahasan Indonesia – bukan bahasa Ibrani atau bahasa Mesir kuno.

Ide Sekularisasi Islam juga mudah dirunut akarnya dari pemikiran Harvey Cox atau Robert N. Bellah. Corak pemikiran neo-modernis Nurcholish, bisa ditelusuri dari pemikiran gurunya di Chicago University, Prof. Fazlur Rahman. Gagasan-gagasan keislamannya juga bisa dirunut pada pemikiran Wilfred Cantwell Smith. Nurcholish sendiri tidak mengeluarkan satu buku ilmiah yang utuh untuk menggambarkan pemikirannya sehingga bisa jadi ada aspek-aspek yang bertentangan dalam satu bagian tulisannya dengan bagian lainnya. Apalagi, setelah dia terjun ke dunia politik praktis, karena berminat menjadi presiden RI.

Memang, kemunculan Nurcholish Madjid sebagai tokoh besar dalam pemikiran Islam, tidak bisa dilepaskan dari setting media massa tertentu. Karena itu, kritik-kritik terhadap Nurcholish, meskipun dilakukan oleh ilmuwan kaliber internasional seperti Prof. HM Rasjidi, tetap saja dikecilkan oleh media. Ketika menggulirkan pemikiran sekularisasinya, Nurcholish baru lulus S-1 dan Prof. Rasjidi adalah doktor lulusan Universitas Sorbone, Paris dan sempat menjadi professor di McGill University Kanada.

Tanpa menafikan kemungkinan adanya niat baik dari gagasan pembaruan Islam, gagasan ini harus dilihat dari akarnya, yakni pengaruh peradaban Barat. Dewasa ini, tantangan ekternal terberat yang dihadapi Muslim dewasa ini adalah hegemoni ilmu pengetahuan yang bersumber dari kebudayaan Barat. Dalam pidato ilmiahnya itu, Hamid Zarkasyi mampu menyuguhkan gambaran peradaban Islam yang sangat luar biasa dan memaparkan perbedaan yang fundamental antara peradaban Islam dengan peradaban Barat.

Sebelum memberikan kritiknya terhadap gagasan pembaruan Islam, Hamid F. Zarkasyi, telah membongkar hakekat peradaban Barat yang menurutnya dapat dilihat dari dua periode penting yaitu modernisme dan postmodernisme. Modernisme adalah paham yang muncul menjelang kebangkitan masyarakat Barat dari abad kegelapan kepada abad pencerahan, abad industri dan abad ilmu pengetahuan. Ciri-ciri zaman modern adalah berkembangnya pandangan hidup saintifik yang diwarnai oleh paham sekularisme, rasionalisme, empirisisme, cara befikir dikhotomis, desakralisasi, pragamatisme dan penafian kebenaran metafisis (baca: Agama).

Selain itu modernisme yang terkadang disebut Westernisme membawa serta paham nasionalisme, kapitalisme, humanisme liberalisme, sekularisme dan sebagainya. John Lock, salah seorang filosof Barat modern menegaskan bahwa liberalisme rasionalisme, kebebasan, dan persamaan (pluralisme) adalah inti modernisme. Tapi yang dianggap cukup menonjol dalam modernisme adalah sekularisme, baik bersifat moderat dan ekstrim. Sedangkan postmodernisme adalah gerakan pemikiran yang lahir sebagai protes terhadap modernisme ataupun sebagai kelanjutannya.

Postmodernisme berbeda dari modernisme karena ia telah bergeser kepada paham-paham baru seperti nihilisme, relativisme, pluralisme dan persamaan (equality), dan umumnya anti-worldview. Namun ia dapat dikatakan sebagai kelanjutan modernisme karena masih mempertahankan paham liberalisme, rasionalisme dan pluralismenya.

Fazlur Rahman mengakui, bahwa kaum modernis menekankan penggunaan akal dalam memahami agama, masalah demokrasi dan masalah wanita; dan mengakui adanya pengaruh Barat dalam pemikiran modernis. Apa yang disinyalir Rahman terjadi pada banyak cendekiawan Indonesia seperti Nurcholish Madjid. Dengan tanpa menggunakan terminologi Islam, Nurcholish berargumentasi bahwa inti modernisasi adalah ilmu pengetahuan, dan rasionalisasi adalah keharusan mutlak sebagai perintah Tuhan, maka. Maka dari itu modernitas membawa kepada pendekatan (taqarrub) kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Istilah-istilah yang digunakan dalam pembaruan Islam adalah murni Barat, sehingga pengaruh pemikiran Barat didalamnya sudah bisa diduga. Pengaruh paham modernisme dalam pemikiran Nurcholish lebih jelas lagi ketika ia mengambil unsur utama modernisasi, yaitu sekularisasi untuk memahami agama.

Sekularisasi menurutnya adalah "menduniawikan masalah-masalah yang mestinya bersifat duniawi, dan melepaskan ummat Islam untuk mengukhrawikannya" kemudian diperkuat dengan idenya tentang "liberalisasi pandangan terhadap ajaran-ajaran Islam" dengan memandang negatif tradisi dan kaum tradisionalis. Gagasan ini mengadopsi pemikiran Harvey Cox dan Robert N. Bellah, pencetus gagasan sekularisasi dalam Kristen, dan tidak ada modifikasi yang berarti. Ia hanya mencarikan justifikasinya dalam ajaran Islam.

Nurcholish juga membatasi makna sekularisasi agar tidak berarti sekularisme. Pembatasan diberikan dengan adanya kepercayaan akan adanya Hari Kemudian dan prinsip Ketuhanan.

Pembatasan ini tetap saja bersifat memisahkan secara dichotomis. Orang-orang sekuler di dalam Kristen adalah orang-orang yang percaya pada Hari Akhir dan pada Tuhan, hanya saja mereka, karena sejarah mereka, tidak ingin agama mencampuri kehidupan dunia mereka, agama adalah properti pribadi dan bukan publik. Dalam Islam agama adalah urusan dunia dan akherat, urusan pribadi dan urusan publik sekaligus. Jadi secara epistemologis akhirnya sekularisasi ini juga akan menjadi sekularisasionisme (secularizationism).

Gagasan yag lebih vulgar dan bahkan secara eksplisit merupakan kepanjangan dari Westernisasi adalah trend pemikiran yang kini dikenal dengan liberalisasi. Jika gagasan Nurcholish dan Harun Nasution cenderung mengadapsi paham-paham dalam modernisme, liberalisasi lebih condong menerapkan paham-paham yang dibawa oleh postmodernisme.

Relativisme, pluralisme, equality (persamaan), dekonstruksi dan lain sebagainya adalah terma-terma pemikiran postmodern. Karena bermuatan Westernisasi maka trend pemikiran ini menjadi sebuah gerakan sosial. Meski ia di perkotaan dan perguruan tinggi, namun secara perlahan-lahan berpengaruh dalam pembentukan opini dan jika dibiarkan maka akan berkembang menjadi framework pemikiran. Lebih-lebih trend pemikiran ini juga diminati oleh para dosen yang pernah belajar dengan para orientalis di Barat.

Hamid memandang, upaya-upaya pembaharuan pemikiran di dunia Islam, termasuk di Indonesia, ternyata masih bersifat seporadis, artinya pemikiran dan gagasannya tidak didukung oleh komunitas yang memang bertekun khusus dalam mengkaji, mengevaluasi dan mengembangkan pemikiran Islam. Terkadang merupakan gerakan yang dipaksakan dan dipopulerkan, khususnya oleh media.

Jika pun ada komunitas itu, kualitas keilmuannya masih belum memadai untuk suatu proyek pembangunan konsep-konsep keislaman. Kelemahan yang lain, pemikiran yang konon merupakan pembaharuan itu ternyata lebih cenderung meng-copy konsep-konsep Barat modern dan postmodern.

Untuk itu, simpul Hamid, apa yang diperlukan dalam kajian Islam di Indonesia adalah menggali kembali khazanah ilmu pengetahuan Islam dan menguasai pemikiran dan kebudayaan asing, terutama Barat, khususnya tentang pandangan hidupnya, filsafatnya, epistemologinya, sains dan teknologinya agar ummat Islam mampu melahirkan konsep-konsep Islam dalam berbagai bidang dan dalam konteks kekinian.

Demikian, paparan dan kritik Hamid F. Zarkasyi terhadap gagasan pembaruan Islam. Meskipun selama ini banyak yang sudah mengkritik gagasan sekularisasi Nurcholish madjid, tetapi kritik Hamid Zarkasyi ini memiliki signifikansi yang sangat tinggi.

Pertama, karena kualitas kritik Hamid yang sangat ilmiah dalam membongkar akar-akar pemikiran Nurcholish Madjid dan kedua, karena Hamid Zarkasyi adalah putra KH Imam Zarkasyi, pendiri pesantren Gontor, dimana Nurcholish pernah nyantri.

Tidak bisa dipungkiri, bagi sebagian orang, sosok Nurcholish identik dengan pesantren Gontor.

Padahal, kata Hamid, ayahnya sendiri pernah menyatakan, bahwa Nurcholish memang dari Gontor, tetapi Gontor bukanlah Nurcholish. Memang, jika dicermati, Nurcholish memang sempat nyantri di Gontor, tetapi pemikiran sekularisasi – apalagi pluralismenya – bukanlah berasal dari Gontor. Setelah nyantri, Nurcholish melanjutkan studi S-1 nya di IAIN Jakarta dan kemudian ke University of Chicago.

KH Khalil Ridwan, alumnus Gontor yang berpuluh-puluh tahun merasa gusar dengan penyebaran pemikiran Nurcholish Madjid, termasuk di kalangan alumni Gontor, mengaku sangat bersyukur dengan kelulusan doktor Hamid Zarkasyi. Dia pun mengaku bersyukur karena Hamid berani dan mampu mengupas pemikiran Nurcholish Madjid dengan baik dan menunjukkan kekeliruannya. Karena itu, dalam sambutannya dalam acara tasyakkuran tersebut, KH Khalil Ridwan berharap Hamid berusaha keras untuk memberikan penjelasan kepada para alumni Gontor yang lain dan juga kepada umat Islam pada umumnya. Dia pun tak lupa berpesan, agar Hamid senantiasa mengamalkan doa yang diajarkan KH Imam Zarkasyi tentang keselamatan dalam agama. “Gelar doktor tidak menjamin orang tidak tersesat,” pesan Kyai Khalil yang juga pemimpin pesantren Husnayain.

Bagaimana pun canggihnya, orasi ilmiah Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi ini hanya akan bermanfaat bagi orang yang hati dan akalnya masih mau mengkaji dan menerima kebenaran. Bagi para sofis yang keras kepala (‘inad), yang sudah a-priori dan menutup hati dan pikirannya untuk kebenaran, maka tidak ada lagi hujjah yang bermanfaat. Meskipun sudah terbukti bisa terbang, seekor burung gagak tetap dia katakan ‘kambing hitam’. Wallahu a’lam. (hidayatullah.com)