Sudah Muncul sejak Zaman Walisongo
Melalui Keturunan: Seorang bocah bersama ayahnya turut dalam Peringatan Tragedi Karbala di Balai Sindoro Kompleks PRPP Tawangmas, Semarang, Kamis (9/2). Selain melalui pergulatan wacana intelektual, perkembangan Syi’ah di Indonesia terjadi melalui garis keturunan. (57h) - SM/Rukardi
Reformasi tak dimungkiri menjadi semacam pintu bagi kebangkitan sejumlah mazhab keagamaan di Indonesia yang sebelumnya terpinggirkan. Satu di antaranya kaum Syi’ah. Setelah sekian lama bergerak di bawah tanah, mereka mulai berani menunjukkan eksistensi dirinya. Dalam bahasa lain, para pendukung Ali bin Abi Thalib itu telah meninggalkan masa taqiyah (penyembunyian jati diri). Berikut laporan berseri mengenai hal itu.
Tengara paling mudah bahwa kaum Syi’ah mulai bangkit adalah perayaan secara terbuka hari-hari besar Syi’ah semacam Peringatan Tragedi Karbala, Hari Arbain, atau Hari Al-Gadir, yakni hari pengangkatan Sayidina Ali sebagai imam pertama oleh massa dalam jumlah besar.
Dalam Peringatan Tragedi Karbala di Balai Sindoro Kompleks PRPP Tawangmas Semarang, Kamis (9/2) lalu misalnya. Sekitar dua ribu warga Syi’ah di Jawa Tengah berkumpul untuk mengenang terbunuhnya Sayidina Husain, cucunda Rasulullah. Bagi sebuah mazhab yang diposisikan pada ranah pinggiran, jumlah pengikut Syi’ah yang turut dalam acara tersebut relatif signifikan. Banyak kalangan menilai, ia mengalami perkembangan pesat. Apa yang sebenarnya terjadi pada komunitas Syi’ah di Jawa Tengah? Dari mana latar belakang mereka? Serta, bagaimana ikhtiar menumbuhkembangkan keyakinan itu?
Meski masih diperdebatkan, kalangan Syi’ah menengarai, mazhab tersebut telah ada di tanah Jawa semenjak lama. Ia disyiarkan oleh Walisongo, terkecuali Kanjeng Sunan Kalijaga. Namun dalam perkembangannya, ajaran Syi’ah di sini hampir-hampir tak berbekas. Kalaulah ada yang tersisa, ia menyublim menjadi sekadar tradisi yang tak terlacak kejelasan akarnya. Taruh misal tradisi Suranan yang di beberapa tempat acap disebut dengan istilah Kasan Kusen.
Perkembangan Syi’ah baru menemukan momentumnya pasca Revolusi Iran 12 Januari 1979. Seperti umumnya terjadi di Indonesia, ia dibawa oleh para pelajar yang menuntut ilmu di Negeri Iran. Semenjak itu, Syi’ah menjadi wacana intelektual yang menarik perhatian. Diskusi-diskusi digelar, buku-buku karya ulama-ulama dan intelektual Syi’ah pun dibabar. Perlahan-lahan, mazhab itu mulai mendapatkan pengikutnya.
Ulama Pertama
Achmad Alatas, Ketua Yayaan Nuruts Tsaqolain Semarang menyebut, Habib Abdulkadir Bafaqih, pimpinan Pondok Pesantren Alqairat Bangsri Jepara sebagai ulama yang kali pertama terang-terangan menahbiskan diri sebagai penganut Syi’ah di Jawa Tengah. Ia yang sebelumnya bermazah Sunni mulai mengajarkan akidah Syi’ah kepada santri-santrinya. "Konsekuensi dari jalan yang ia pilih, sebagian santri pindah ke lain tempat. Tapi dari para santri yang bertahan, paham Syi’ah kemudian jadi berkembang. Di luar itu, Syi’ah berkembang melalui garis keturunan atau proses pencarian. Achmad Alatas sendiri misalnya, mengaku hijrah ke mazhab itu setelah membaca buku-buku dan kitab karya para ulama Syi’ah. Menurutnya, paham tersebut terasa lebih rasional. "Soal wahyu Muhammad menerima shalat misalnya, Syi’ah meyakini, tidak ada tawar-menawar dalam penentuan banyaknya jumlah rakaat. Pasalnya, Allah sebagai Dzat yang Maha Agung tahu kemampuan umatnya," ujar Achmad.
Saat ini jumlah penganut Syi’ah di Jawa Tengah, menurut dia, ada sekitar 5.000 jiwa. Mereka terdapat di setiap kabupaten atau kota. (syiahindonesia.com)
Sumber: Suara merdeka, 11 Februari 2006.