"Apa logikanya, membenarkan gerakan transnasional non-Islam (Barat) leluasa merangsek ke masyarakat kita, sementara gerakan-gerakan transnasional yang Islam malah tidak boleh?"
Dr. Anis Malik Thoha, Mustasyar NU Cabang Istimewa Malaysia.
(hidayatullah.com) - Sejak peristiwa bom Kuningan Juli 2009, istilah Wahabi dan transnasional tiba tiba dibicarakan banyak orang. Berbagai stasiun televisi nasional dan media massa sibuk mengutip ucapan beberapa tokoh tentang hubungan teror bom dengan Wahabi.
Entah sengaja atau tidak, yang jelas dengan bantuan media (khususnya TV) istilah Wahabi tiba-tiba muncul menjadi stigma baru untuk meneror banyak organisasi Islam. Boleh jadi, penyebar stigma ini berharap kaum Muslim Indonesia terpecah belah.
Apa dan mengapa stigma Wahabi ini dimunculkan?. Dan siapa yang untung dengan kasus ini? Kali ini, Hidayatullah mewawancarai Dr Anis Malik Thoha, Khatib 'Aam Syuriah NU Cabang Istimewa Malaysia.
Pria yang masih punya ikatan kekerabatan dengan KH Sahal Mahfudz, Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) ini menyelesaikan S1 di Universitas Islam Madinah. Menyelesaikan gelar masternya di University of the Punjab dan PhD (bidang Comparative Religion) di International Islamic University Islamabad, Pakistan.
Kini, selain menjadi dosen tetap di International Islamic University Malaysia (IIUM), pria yang juga dikenal sebagai pakar pluralisme agama ini sering diundang di berbagai forum internasional guna membicarakan masalah Islam.
Ketika ramai istilah "terorisme", Anis bersikap tegas dihadapan banyak pakar asal Barat. Dalam seminar internasional bertema "Islam: Religion of Peace, Progress and Harmony" di Bangladesh ia mengatakan, Barat (Amerika Serikat) menggunakan kata "terrorism" sebagai senjata politik untuk menguasai dunia Islam. Berikut petikan wawancaranya.
Istilah Wahabi, akhir-akhir ini menjadi polemik oleh sejumlah golongan. Bisakah Anda menjelaskan latar belakang istilah itu?
Saya kurang tertarik membicarakan istilah Wahabi. Sebab, selama ini polemik yang ada cenderung tendensius, emosional, “liar” dan tidak didasarkan pada dasar-dasar berpolemik yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Misalnya, mencoba memahami gerakan ini secara utuh dan benar.
Yang ada lebih cenderung stigmatisasi oleh pihak-pihak yang tidak senang atau merasa eksistensi dan interestnya “terancam”, atau dengan bahasa sekarang: “terteror”, dengan mazhab pemikiran ini. Itu sudah mulai dari sejak zaman Turki Utsmaniyyah, kita lihat bagaimana kebencian pemerintahan Turki pada Wahhabiyyah.
Sayangnya, sebagian besar di antara kalangan Islam di negara kita -saya tidak perlu menunjuk siapa mereka- juga termakan oleh propaganda dan emosi kolektif Utsmaniyyah pada masa itu. Dan sampai sekarang, sikap emosional itu masih terus menguasai diri kita dengan intensitas dan volume yang semakin besar, akibat propaganda Barat yang luar biasa canggihnya yang dikemas dalam bahasa “war on terrorism” atau “perang melawan terorisme”.
Jadi, bagaimana sesungguhnya pengertian istilah itu?
Pengertian istilah yang diberikan untuk gerakan dan pemikiran Islam yang dikembangkan dan dipopulerkan oleh seorang ulama besar dari Saudi Arabia, Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab, pada abad ke-18 tersebut sebetulnya bernuansa negative dan pejorative. Karena sejak semula istilah itu memang dimaksudkan sebagai semacam stigmatisasi terhadap gerakan ini.
Umumnya, penyebutan wahhabi lebih banyak dipakai atau datang dari pihak luar yang bukan pengagum dan pengikut Syaikh Muhammad Bin Abdil Wahhab. Adapun Syaikh Muhammad Bin Abdil Wahhab sendiri dan para pengikutnya lebih sreg menamakan diri pengikut salaf seperti tokoh ulama idaman mereka, yaitu al-Imam Ibnu Taimiyyah.
Anda pernah sekolah di Madinah, adakah hubungan antara pemikiran Syaikh Muhammad Bin Abdil Wahhab dengan tindakan keras atau teror sebagaimana dituduhkan?
Geli sekali rasanya, setiap kali saya membaca atau mengikuti wacana tentang kekerasan (violence), teror, terorisme yang sudah seperti bola liar semenjak Barat melemparkannya ke publik. Karena terlalu gencarnya stigma, kebanyakan kita nyaris tak sempat lagi berpikir dengan nalar yang cerdas dan jernih. Daya nalar kita seakan-akan lumpuh dan nurut aja. Atau bahasa kerennya, semuanya “taken for granted”. Sama dengan kasus terorisme yang dimunculkan Amerika pada dunia Islam. Ini aneh, tapi nyata!
Siapa pun, yang mau membaca sejarah munculnya Wahhabi atau Wahhabisme, akan menemukan bahwa ia sebuah gerakan dakwah yang sesungguhnya mendapat sambutan positif dari seorang raja dan kemudian disebarluaskan. Terlepas setuju atau tidak dengan gerakan ini, hal semacam itu tak ada bedanya dengan apa yang juga dilakukan oleh ideologi-ideologi besar sepanjang zaman. Bahkan termasuk komunisme, sekularisme, dan demokrasi yang sekarang sedang dipropagandakan (dipaksakan) oleh kekuatan global itu.
Tapi mengapa ada sebagian pihak menggiring, adanya bom Kuningan dan Wahabi sebagai bentuk keinginan berdirinya daulah Islamiyyah?
Saya rasa wajar orang/masyarakat Islam menginginkan tatanan yang Islami. Sama dengan masyarakat sekuler yang mati-matian juga menginginkan tatanan dunia yang sekuler.
Kasus ini sama dengan pihak-pihak di belakang lahirnya buku “Ilusi Negara Islam”. Saya melihat, mereka seperti orang yang sudah kehilangan akal dalam merespon atau menyikapi perkembangan di sekelilingnya yang dianggap akan mengancam dirinya. Sangat tendensius dan naif. Bisanya cuma men-stigma, black campaign, membunuh karakter kelompok yang dianggap musuh atau mengganggu eksistensinya. Kalau saya PKS atau HTI (yang dituduh dalam buku itu, red), akan saya sue (tuntut).
Saya tidak habis pikir, LibForAll (yang mendanai dan menerbitkan proyek ini) mengklaim diri liberal dan mendakwahkan liberalisme, kok ternyata sangat konservatif, sektarian dan eksklusif, tidak siap menerima perbedaan.
Fakta ini juga sekaligus semakin membuka mata kita, bahwa buku yang mewanti-wanti atau memberi warning tentang bahaya ideologi atau gerakan transnasional ini ternyata telah terperangkap oleh “kepura-pura tidak tahuannya” sendiri, yaitu mengusung dan menyebarkan ideologi liberalism yang impor itu.
Maksud Anda?
Apa logikanya, membiarkan atau membenarkan gerakan transnasional yang non-Islam (Barat) leluasa merangsek ke masyarakat kita yang Islam, sementara gerakan-gerakan transnasional yang Islam malah tidak boleh?
Siapa paling beruntung soal stigma Wahhabi ini?
Ya, Barat.
Benarkah isu Wahhabi ini muncul untuk mengadu-domba umat Islam?
Memang, berdirinya NU adalah counter terhadap gerakan Wahhabisme dalam level dunia Islam. Namun saya melihatnya, waktu itu, mungkin tokoh-tokoh NU banyak yang secara emosional terbawa oleh warisan sikap resmi Turki Utsmaniyyah terhadap gerakan pemurnian Islam abad 18 di jazirah Arabia itu. Wallahu a’lam.
Betul, sekarang ada saling melempar “bid’ah” dan “kufr” antara yang satu dengan yang lain. Tapi itu sebetulnya, disebabkan kegagalan masing-masing untuk saling memahami satu sama lain. Kalau masalahnya adalah apa yang sering dituduhkan kepada gerakan ini sebagai tajsim dan tasybih terkait dengan ayat-ayat mutasyabihat, menurut saya perlu ditinjau lagi. Sebab, sikap ini sebetulnya bukan pertama kali ditunjukkan oleh pendiri gerakan ini. Sebagaimana diakuinya sendiri, bahwa pendirian ini didasarkan pada pendapat para ulama salaf, yang di antaranya adalah Imam Ahmad Bin Hanbal.
Jadi?
Perlu sikap yang arif dari umat Islam melihat persoalan ini.