09 September 2009

Akibat Belajar Islam di Negeri Iran

(syiahindonesia) - Beberapa hari yang lalu kami memungut selembar koran harian Tribun Timur (edisi Jumat, 4 Juli 2008 M). Sejenak kami membolak-balik koran bekas itu, tiba-tiba kami menemukan pada (hal.4), di bawah rubrik Tribun Opini terdapat sebuah tulisan yang nampaknya cukup "ilmiah". Hal itu terlihat dari judulnya yang tertulis "Islam: Inovasi atau Stagnasi?" yang ditulis oleh Ismail Amin, seorang mahasiswa Mostafa Internasional University Islamic Republic of Iran. Selanjutnya kami sebut dengan "si Penulis"

Nampaknya ilmiah, namun ternyata tulisan ini memuat beberapa perkara yang menunjukkan bahwa tulisan ini tidak ilmiah menurut tinjauan syari'at, bahkan bersifat tendensial. Si Penulis dalam artikel itu berusaha mengomentari kondisi kemunduran teknologi dan perekonomian kaum muslimin yang dikaitkan dengan agama.

Tulisan ini mengingatkan kami dengan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah-radhiyallahu 'anhu- dari Rasulullah -Shallallahu 'alaihi wa sallam- bersabda,

"Akan datang pada manusia tahun-tahun yang menipu; di dalamnya pendusta dibenarkan, orang jujur didustakan; orang yang penipu dipercaya, dan orang yang amanah dianggap pengkhianat, serta ruwaibidhoh ikut berbicara". Ada yang bertanya, "Apa itu ruwaibidhoh (orang lemah)?" Beliau bersabda, "Dia adalah seorang hina (dungu) berkomentar tentang urusan umum". [HR. Ibnu Majah dalam Kitab Al-Fitan (4036). Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (no.1887)].

Tulisan ini sengaja kami angkat & komentari sebagai contoh sederhana bahwa seorang yang belajar kepada orang-orang Syi'ah-Rofidhoh di Repulik Iran, akan mengalami perubahan dalam gaya bahasa dan berpikir bebas, tanpa kontrol dalam mengeritik perkara yang sudah baku, dan tak ada hak otoritas baginya dalam hal itu. Sampai Nabi -Shollallahu 'alaihi wasallam- pun berusaha dikritik. Pembaca akan melihat sepak terjangnya dalam beberapa poin berikut:

Tertipu dengan Kemajuan kaum kafir, dan Bersedih atas Kemunduran Kaum Muslimin dalam Perkara Keduaniaan

Para pembaca yang budiman, si Penulis termasuk rangkaian para korban yang tertipu dengan kemajuan kaum kafir -semisal USA- dalam teknologi dan perekonomian, dan sebaliknya menyedihkan ketertinggalan dan kemunduran kaum muslimin dalam hal itu. Dengarkan ia bersedih, "Ketertinggalan bangsa kita, khususnya umat Islam, dalam pengembangan ilmu pengetahuan tidak terbantahkan. Etos keilmuan masyarakat kita sangat rendah". [Lihat Tribun Timur (hal.4)]

Sebelumnya ia mengawali kesedihannya dengan menukil ucapan orang yang sepemikiran dengannya, yaitu Nurcholis Madjid saat ia berkata, "Praktis di semua penganut agama besar di muka bumi ini, para pemeluk Islam adalah yang paling rendah dalam sains dan teknologi".[Tribun (hal.4)]

Seorang yang menyinari dirinya dengan cahaya Al-Qur'an & Sunnah Nabi -Shallallahu 'alaihi wa sallam-, sebenarnya tak perlu terlalu menyedihkan hal itu. Allah -Ta'ala- berfirman,

"Janganlah sekali-kali kamu terperdaya oleh kebebasan orang-orang kafir bergerak di dalam negeri. Itu hanyalah kesenangan sementara, kemudian tempat tinggal mereka ialah jahannam; dan Jahannam itu adalah tempat yang seburuk-buruknya". (QS. Ali Imraan: 196-197).

Kebebasan dan kemajuan orang-orang kafir dalam perdagangan dan teknologi tidak perlu menyedihkan kita, karena mereka hanya bersenang-senang dalam waktu pendek. Adapun orang-orang beriman mereka akan mendapatkan kesenangan abadi. Kalian Cuma bisa berusaha di dunia, Allah yang menentukan kemenangan [Lihat Taisir Al-Karim (hal. 162)]

Nabi -Shallallahu 'alaihi wa sallam- bersabda,

"Demi Allah, bukanlah kefakiran yang aku khawatirkan atas diri kalian. Tapi khawatirkan kalau dibukakan dunia bagi kalian sebagaimana telah dibukakan bagi orang-orang (kafir) sebelum kalian, lalu mereka pun berlomba-lomba meraihnya sebagaimana mereka berlomba-lomba meraihnya; (aku juga khawatirkan) kalau dunia itu akan membinasakan kalian sebagaimana dunia telah membinasakan mereka". [HR. Al-Buhkoriy dalam Shohih-nya (3158, 4015 & 6425), dan Muslim (2961)]

Yang perlu disedihkan adalah terjadinya kemunduran beragama . Kalian akan melihat kemunduran beragama ini dengan merebaknya kesyirikan dimana-mana, bid'ah, maksiat, dan kekafiran sebagaimana yang terlihat di negeri kita, bahkan di negeri yang dikagumi oleh si Penulis, yaitu Iran. Di Iran -khususnya bulan Muharram- banyak terjadi kesyirikan, bid'ah, maksiat, kekafiran dan pelanggaran agama ketika memperingati hari kematian Husain.

Di hari itu mereka (Syi'ah-Rofidhoh) di hari Karbala' berpesta pora sambil menzalimi diri mereka dengan melukai kepala mereka sebagai ungkapan belasungkawa atas penderitaan Husain saat ia dibunuh menurut sangkaan mereka yang batil. Di hari itu mereka melakukan acara ritual yang aneh dengan meletakkan dahi mereka dan bersujud di tanah sambil merangkak, menuju pusara Husain yang mereka pertuhankan. Belum lagi kebencian mereka yang amat ekstrim kepada para pejuang Islam, yakni para sahabat, seperti Abu Bakr, Umar, Utsman, Abu Hurairah, A'isyah dan lainnya -radhiyallahu 'anhum- .

Pesantren Dianggap sebagai Tempat Pembelengguan Akal

Di mata si Penulis, pesantren dianggap tempat pembelengguan akal. Ini nampak dalam ucapannya, "Kebanyakan lembaga pendidikan Islam (baca: pesantren) justru menjadi tempat pembelengguan potensi kreatif anak didik yang paling efektif". [Tribun hal.4]

Pesantren merupakan pusat pendidikan Islam dari dulu sampai kini yang menciptakan banyak kader ulama, bukan tempat pembelengguan akal. Jika sebagian pesantren memusatkan perhatiannya dengan masalah agama sehingga mereka minim pengetahuan umumnya, maka ini bukanlah suatu celaan bagi pesantren.

Sama halnya, jika ada lembaga pendidikan umum yang memusatkan perhatiannya dengan ilmu pengetahuan umum sehingga lebih minim ilmu agamanya, maka ini juga bukanlah celaan baginya. Masing-masing lembaga mengembangkan kemampuannya dalam membangun Islam. Perlu diketahui oleh si Penulis, pesantren kini juga telah mengembangkan sayapnya dalam ilmu pengetahuan umum. Lalu mengapa si Penulis menyudutkan pesantren? Apakah si Penulis menginginkan kita semua sibuk dengan ilmu dunia sehingga kita meninggalkan ilmu agama dan semua jahil? Ataukah sekedar cari jalan mencela Islam & ulama agar ia naik pamor?! Wallahu a'lam.

Sebenarnya yang perlu disalahkan (baca: dikritik) oleh si Penulis jika umat Islam terbelakang dalam teknologi adalah para inteketual dan cendekiawan yang berkiprah di ilmu pengetahuan umum. Jangan malah pesantren dikambinghitamkan sehingga pada gilirannya memberikan opini bahwa Islam tidak relevan , statis, dan tidak menerima perkembangan teknologi yang membangun Islam. Jika ada yang memusatkan diri belajar agama, maka tak ada salahnya agar kaum muslimin juga kuat dalam segi agama. Sebab kejayaan itu ada pada kekuatan pemeluknya berpegang teguh dengan agamanya.

Nabi -Shallallahu 'alaihi wa sallam- bersabda,

"Jika kalian berjual beli dengan cara 'inah, memegang ekor-ekor sapi (sibuk ternak), ridho dengan bercocok tanam (sibuk tani), dan kalian meninggalkan jihad, maka Allah akan menguasakan kehinaan atas diri kalian; tak akan dicabut oleh Allah sampai kalian kembali kepada agama kalian". [HR. Abu Dawud dalam Kitabul Ijaroh (3462). Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (11)]

Dengan kembali kepada agama-Nya, maka Allah akan bukakan bagi mereka pintu-pintu kebaikan dan berkah duniawi dan ukhrawi, seperti yang dialami oleh negeri Saudi Arabia.

Berburuk Sangka kepada Ulama dan Tidak Menghargai Jasa Para Ulama

Kebiasaan orang Syi'ah-Rofidhoh dalam mencela ulama, ini diadopsi dan diserap oleh si Penulis. Lihat saja ia merendahkan ulama dan menutup mata dari jasa baik mereka saat si Penulis berkata, "Selain itu, apapun dari ustadz dan ulama selalu dianggap benar tanpa studi kritis yang berarti. Islam yang kita kenal dari mereka tidak lebih dari deretan aturan hitam putih".[Lihat Tribun (hal.4)]

Apa yang dinyatakan oleh si Penulis tidak bisa dibenarkan secara mutlak. Sebab kaum muslimin paham bahwa para ulama bukan nabi dan rasul sehingga harus taqlid sepenuhnya. Kaum muslimin paham bahwa seorang ulama hanyalah pewaris para nabi dalam menyampaikan risalah Islam, namun mereka tak maksum (tak bersih dari dosa dan kesalahan). Mereka manusia biasa seperti kita, bisa jadi benar atau salah. Jika ia benar karena mengikuti Sunnah, maka kita wajib mengikutinya. Sebaliknya, jika mereka keliru karena menyelisihi sunnah Nabi -Shallallahu 'alaihi wa sallam-, maka kita tinggalkan ucapan ulama tersebut, dengan tetap memuliakannya sesuai posisinya, tanpa ekstrim dalam mendudukkan mereka seperti nabi atau tuhan !! Al-Imam Malik -rahimahullah- berkata, "Setiap orang boleh diambil ucapan dan pendapatnya, dan juga boleh ditinggalkan kecuali penghuni kubur ini (yakni Nabi -Shallallahu 'alaihi wa sallam-)". [Lihat Jami' Bayanil Ilmi wa Fadhlih (2/91) oleh Ibnu Abdil Barr]

Jadi, para ulama adalah pewaris para nabi dalam menyampaikan risalah Islam, didudukkan pada tempatnya, tanpa mengkultuskannya, dan tidak pula merendahkan dan menghinakannya. Nabi -Shallallahu 'alaihi wa sallam-,

"Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi. Sedang para nabi tidaklah mewariskan dinar dan dirham. Tapi mereka hanya mewariskan ilmu (agama). Jadi, barang siapa yang mengambilnya, maka sungguh ia telah mengambil bagian yang banyak". [HR. Al-Bukhoriy secara mu'allaq dalam Kitabul Ilmi (1/37), Abu Dawud dalam Kitab Al-Ilmi (3641), At-Tirmidziy dalam Kitabul Ilmi (2682), dan Ibnu Majah (223). Lihat Shohih Al-Jami' (6297)].

Si Penulis bukan Cuma ulama masa kini yang direndahkan, bahkan sahabat dan murid Nabi -Shallallahu 'alaihi wa sallam-, yaitu sahabat Abu Hurairah. Tak heran jika si Penulis melakukan hal itu, sebab para pendahulu mereka dan guru mereka di Iran yang beragama Syi'ah-Rofidhoh, amat besar kebenciannya kepada para sahabat, utamanya Abu Hurairah, karena beliaulah yang banyak meriwayatkan hadits yang berisi ajaran Islam. Mereka mencela Abu Hurairah agar dapat menjauhkan kaum muslimin dari Islam.

Dengarkan si Penulis merendahkan sahabat Abu Hurairah -radhiyallahu 'anhu-, "Maksimalisme agama pada dasarnya hanya menempatkan otak hanya sebagai isi kepala tanpa peran berarti... Maksimalisme agama hanya akan menyeret manusia zaman Bill Gates ini ke zaman Abu Hurairah". [Lihat Tribun (hal.4)]

Ini merupakan pelecehan kepada sahabat Abu Hurairah, sebab ucapan ini menjelaskan bahwa Abu Hurairah termasuk orang yang terpasung otaknya, hanya membebek buta kepada Nabi -Shallallahu 'alaihi wa sallam-. Bahkan ini merupakan pelecehan kepada Nabi -Shallallahu 'alaihi wa sallam-, sebab menuduh Nabi -Shallallahu 'alaihi wa sallam- telah memasung otak dan akal para sahabatnya, tanpa dibiarkan berpikir. Sungguh ini adalah ucapan kufur yang bisa membuat seorang murtad, sebab mengolok-olok Nabi -Shallallahu 'alaihi wa sallam-.

"Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan manjawab, "Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja." Katakanlah: "Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?"Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman". (QS. At-Taubah: 65-66).

Syaikh Ibnu Nashir As-Sa'diy -rahimahullah- berkata ketika menafsirkan ayat ini, "Sesungguhnya mengolok-olok Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya adalah kekafiran yang mengeluarkan orang dari agamanya, karena prinsip agama ini terbangun di atas pengagungan kepada Allah, agama, dan Rasul-Nya. Sedangkan mengolok sesuatu di antara perkara itu adalah merobohkan prinsip ini, dan menentangnya dengan sekeras-kerasnya". [Lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman (hal. 343)]

Demikian pula mengolok-olok sahabat, apalagi sampai merendahkan dan mencelanya, bahkan sampai mengkafirkannya. Perbuatan seperti hanyalah dilakukan kaum zindiq (munafiq). Nabi -Shallallahu 'alaihi wa sallam- bersabda dalam menerangkan martabat para sahabat,

"Janganlah kalian mencela para sahabatku. Andaikan seorang di antara kalian berinfaq emas sebesar gunung Uhud, niscaya infaq itu tak mampu mencapai satu mud infaq mereka, dan tidak pula setengahnya". [HR.Al-Bukhary dalam Ash-Shahih (3470), Muslim (2541)].
Al-Imam Abu Zur'ah Ar-Rozy -rahimahullah- berkata, "Apabila engkau melihat seseorang mencela salah seorang sahabat Rasulullah -shollallahu 'alaihi wasallam-, maka ketahui bahwa orang itu zindiq. Karena Rasul -Shollallahu 'alaihi wasallam- di sisi kami benar, dan Al-Qur'an adalah kebenaran. Sedangkan yang menyampaikan Al-Qur'an ini kepada kami adalah para sahabat Rasulullah -shollallahu 'alaihi wasallam-. Mereka (para pencela tersebut) hanyalah berkeinginan untuk menjatuhkan saksi-saksi kami agar mereka bisa membatalkan Al-Kitab dan As-Sunnah. Padahal celaan itu lebih pantas bagi mereka, sedang mereka adalah orang-orang zindiq". [Lihat Al-Kifayah, (hal. 49)]

Terakhir, kami nasihatkan melalui ucapan Al-Hafizh Ibnu Asakir -rahimahullah-, "Ketahuilah bahwa daging para ulama -rahmatullah alaih- adalah beracun. Diantara sunnnatullah dalam menyingkap aib orang yang merendahkan mereka adalah telah dimaklumi, karena mencela mereka dengan sesuatu yang tak ada pada mereka adalah perkaranya besar". [Lihat Tabyiin Kadzib Al-Muftari (hal. 29)]

Mudah-mudahan torehan pena ini menjadi nasihat bagi si Penulis dan orang-orang yang tertipu dengan agama Syi'ah-Rofidhoh. Kami berharap kepada Allah Yang Maha Pemurah lagi Penyayang agar kami dimatikan di atas Islam yang dibawa oleh para sahabat.

Sumber : Buletin Jum'at Al-Atsariyyah edisi 95 Tahun II. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te'ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. Dengan Judul asli: Bahaya Kebebasan Berpikir.