Oleh: Hamid Fahmy Zarkasyi
Dalam suatu simposium di Tokyo saya bertemu dengan Angel Rabasa. Orangnya energik dan simpatik. Ia salah seorang peneliti pada Rand Corporation, NGO yang memberi saran dan masukan ke Security Council Amerika Serikat bagaimana menumpas fundamentalisme dalam Islam pasca 11 September. Banyak buku diterbitkan oleh NGO ini. Di saat coffee break ia sengaja menghampiri saya dan langsung “menembak”, What is wrong with Ahmadiyah in Indonesia? Saya katakana, “Itu adalah kasus penistaan agama (religious blasphemy)”. Oh no, that was the problem of freedom of speech ……bla…bla…bla.
Memang ia banyak tahu tentang Indonesia dan bahkan saya merasa pertanyaannya seperti ingin ikut campur urusan umat Islam. Saya lalu teringat makalah David E Kaplan, Hearts, Minds and Dollars, “Washington berinvestasi puluhan juta dolar dalam kampanye untuk mempengaruhi bukan saja masyarakat Islam, tapi juga Islam sendiri dan apa yang terjadi dalam Islam”. Kelihatannya, Rabasa ditugaskan untuk proyek yang disebut dalam makalah David itu.
“Baik, kalau begitu bagaimana dengan keberatan umat Kristiani terhadap aliran Jehovah yang dianggap sesat? Itu kan juga kasus penistaan agama?!!” tanya saya. Dia, yang berkulit putih itu menjadi sedikit memerah seperti menahan sesuatu. “Ya tapi orang Kristen tidak melaporkan kasus ini ke pemerintah”, jawabnya. Disini saya faham bahwa dia keberatan dengan campur tangan pemerintah dalam urusan agama. Tentu ini mindset yang tipikal orang Barat sekuler. Agama tidak boleh masuk ruang publik dan tidak boleh menyatu dengan kekuasaan, apapun bentuknya. Padahal, yang saya tahu, aliran Children of God dan Jehovah Witnesses dilarang kejaksaan Agung atas permintaan Ditjen Bimas Kristen karena dianggap sempalan Kristen. Ini bisa dipastikan merupakan hasil dari laporan para orang-orang Kristen.
Tapi kemudian saya katakan, kalau kita serahkan penyelesaian urusan blasphemy ke masyarakat, akan mengakibatkan chaos, atau kegaduhan. Anda tahu sendiri bagaimana masyarakat main hakim sendiri terhadap penganut Ahmadiyah di daerah-daerah. Dan jumlah mereka cukup banyak. Mengapa mereka begitu karena pemerintah tidak campur tangan. Saya juga sampaikan bahwa penganut Ahmadiyah sendiri menganggap siapapun yang tidak mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi adalah kafir. Jadi, bukan hanya umat Islam yang menganggap Ahmadiyah salah, tapi Ahmadiyah justru menganggap umat Islam selain mereka itu salah. Ini tentu sudah merusak arti benar dan salah dalam ranah akidah dan syariah Islam. Rabasa ternyata tidak banyak tahu tentang kepercayaan Ahmadiyah. Akhirnya dia mengalihkan pembicaraan, “let’s talk something else”, katanya.
Blasphemy atau blasfemie (bahasa Perancis) adalah istilah yang digunakan untuk penistaan agama di Barat. Kata blasphemy dalam Online Etymology Dictionary, © 2001 Douglas Harper berasal dari bahasa Latin blasphemia atau bahkan dari Yunani blasphÄ“mein. Artinya irreligious, pernyataan, perkataan jahat atau menyakitkan, terkadang juga diartikan bodoh.
Secara definitif blasphemy adalah kejahatan menghina atau menista atau menunjukkan pelecehan atau kurang menghargai Tuhan, agama, ajarannya serta tulisan-tulisan-tulisan mengenainya. Juga berarti sikap menghina terhadap sesuatu yang dianggap sakral. (Merriam-Webster's Dictionary of Law, © 1996). Menurut The American Heritage blasphemy adalah aktifitas, pernyataan, tulisan yang merupakan penghinaan, irreligius, mengenai Tuhan atau sesuatu lainnya yang sakral.
Dalam the Random House Dictionary dan juga The American Heritage, menganggap seseorang sebagai Tuhan atau mengaku memiliki kualitas seperti Tuhan termasuk blasphemy. Pengertian Easton Bible Dictionary (1897) bahkan lebih detail lagi. Blasphemy termasuk mengingkari adanya Roh Kudus, Bible, kemessiahan Jesus atau menganggap mukjizat Jesus itu sebagai kekuatan setan.
Masalahnya ketika para pemeluk agama merasa agamanya dinistakan, para pemikir liberal sekuler menganggap para pemeluk agama-agama telah membatasi kebebasan berpendapat mereka. Agama, menurut mereka menggunakan dalih blasphemy, penistaaan, bid’ah, musyrik, tabu dsb. untuk membungkam kebebasan berpikir mereka. Sedangkan dalih yang digunakan agamawan hanya bersumber dari persepsi para agamawan yang terbatas. Sementara para pemeluk agama melihat orang-orang itu tidak mempunyai pengetahuan otoritatif untuk berbicara soal agama. Perbedaan pendapat ini nampaknya tidak punya jalan rekonsiliasi. Inilah Clash of worldview atau dalam bahasa Peter Berger collision of consciousness.
Benar, inti masalahnya ada pada perbedaan worldview. Di Barat pandangan agama dan alam pikiran masyarakat Barat khususnya masyarakat ilmiah (scientific community) tidak pernah bertemu alias bentrok atau clash. Standar kebenaran alam pikiran masyarakat Barat sendiri selalu berubah-ubah. John Milton, sastrawan dan penulis politik Inggris pernah bentrok dengan parlemen. Itu gara-gara brosur buatannya yang dianggap liar, tidak bertanggung jawab, tidak masuk akal dan illegal. Tapi menurut Milton itu pendapat individu. Pendapat individu yang berbeda-beda adalah modal bagi kesatuan bangsa. Oleh sebab itu menggali kebenaran dan ide-ide cemerlang tidak dapat dicapai kecuali dengan merujuk pendapat banyak orang, bukan segelintir orang.
Namun, yang akan menentukan sesuatu itu benar dan salah, menurut Milton bukan individu tapi gabungan pendapat individu-individu. Namun meski mayoritas telah bersuara, setiap individu dibebaskan untuk menemukan kebenaran mereka sendiri-sendiri. Tapi anehnya kata Milton jika fakta-fakta dibiarkan telanjang, kebenaran akan mengalahkan kebatilan dalam kompetisi terbuka. Masalah utama dalam teori Milton adalah standar kebenaran. Kebenaran, di satu sisi ditentukan oleh mayoritas, disisi lain oleh pasar bebas, tapi disisi lain juga tergantung pada individu masing-masing untuk menerima atau menolak.
Teori Milton kabur, tapi itu justru kondusif untuk membela kebebasan berpendapat. Meskipun dalam realitasnya tidak selalu begitu. Noam Chomsky mencoba merumuskan begini: ”Jika anda percaya pada kebebasan berbicara, anda percaya pada kebebasan berbicara untuk mendukung pendapat yang tidak anda sukai”. (If you're in favor of freedom of speech, that means you're in favor of freedom of speech precisely for views you despise). Tapi kenyataannya Stalin dan Hitler yang mengaku mendukung kebebasan berbicara hanya mendukung pendapat yang mereka sukai. Sama, orang-orang yang tidak suka agama tentu akan membela pendapat yang mereka sukai, meski tidak disukai agamawan. Itulah poin konfliknya.
Kembali ke soal blasphemy. Sekurangnya ada dua sumber blasphermy di Barat baik individual maupun kelompok. Pertama dari luar agama dan kedua dari dalam agama. Masalahnya kemudian ketika suatu agama dinistakan oleh orang di luar agama atau diluar otoritas siapa yang berhak memvonis? Dan jika dari dalam agama itu sendiri, siapa pula yang berhak menghukuminya? Pertanyaan yang sama mungkin bisa diajukan. Ketika suatu negara dihina atau diserang oleh orang dari luar negara atau dari dalam negara itu, siapa yang berhak mengadili?.
Baik mengikuti teori Milton maupun Chomsky blasmphemy tetap saja tidak dapat dibenarkan. Dalam teori Milton menista agama dapat menjadi illegal alias haram karena hanya pendapat segelintir orang dan tidak dapat dipegang kebebarannya. Dan jika mengikuti teori Chomsky orang-orang di luar komunitas agama atau yang tidak otoritatif tidak dapat berpendapat semau mereka karena harus menghormati apapun kepercayaan agama-agama meski tidak mereka sukai. Anta ta’iq wa ana ma’i famata nattifiq. Itulah clash of worldview. (insistnet.com)