09 February 2010
CIA dan Harga Nyawa Mega
Jakarta: Sebuah dokumen rahasia melayang ke meja redaksi majalah TIME. Isinya menarik: Al Qaeda dua kali ingin membunuh Presiden Megawati Sukarnoputri, melalui tangan Umar Al-Faruq alias Mahmud bin Ahmad Assegaf. Meski belum jelas benar, info ini menyisakan setumpuk pertanyaan. Sebegitu pentingkah Mega dibunuh?. Jangan-jangan ini cuma black propaganda Amerika Serikat?. Belum lagi pertanyaan ini terjawab, isu merebak berkembang ke mana-mana. Satu hal paling mencemaskan adalah anggapan bahwa Indonesia tempat mangkal teroris.
"Pemberitaan TIME jelas bagian dari skenario menyudutkan Indonesia," ujar Sekretaris Umum Majelis Ulama Indonesia Din Syamsuddin. Menyudutkan?, Begini dalihnya. AS gerah melihat sikap lamban pemerintah Indonesia memerangi terorisme. Negeri yang panik pascatragedi 11 September ini cukup cemas dengan gerakan Islam di Tanah Air. Pelan-pelan, tentu juga diam-diam, Badan Intelijen Nasional AS (CIA) bergerak. Kelompok-kelompok Islam radikal diintai. Tudingan bahwa Abu Bakar Baasyir, pemimpin pesantren di Ngruki, Sukohardjo, Jawa Tengah, disebut-sebut sebagai hasil kerja CIA. Peristiwa ini seolah memperpanjang rangkaian jejak CIA di Indonesia. Berbagai dokumen, surat, arsip, buku, dan catatan yang bertebaran, menguatkan hal itu.
Sulit melupakan peristiwa Perjuangan Rakyat Semesta/Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) 1957-1958. Saat itu, CIA berniat menggulingkan Presiden Sukarno. Mereka kesal karena founding fathers terlalu akrab dengan Uni Sovyet dan Republik Rakyat Cina, yang berseberangan ideologi dengan AS. CIA juga gusar dengan sikap Sukarno yang menolak bergabung ke persekutuan militer untuk melawan komunisme (SEATO). Bagi AS, dunia hanya dibagi dua: liberal atau komunis. Sikap Sukarno yang mengusung politik bebas aktif dan berada di tengah-tengah di mata AS amat menyebalkan. Sukarno tak jelas, kekiri-kirian, menurut negara yang senang disebut polisi dunia itu.
Ada catatan menyebutkan, di bawah Allen Dulles, CIA masuk ke Indonesia. Mereka ingin menamatkan Sukarno. Audrey R. Kahin dan George McT Kahin dalam bukunya, Subversi sebagai Politik Luar Negeri, menulis dengan gamblang. Agen CIA berulang kali menghubungi Sumitro Djojohadikusumo, yang memang tak puas dengan Sukarno. CIA juga menjalin hubungan dengan sejumlah perwira yang semuanya berpangkat kolonel, seperti Simbolon, Fence Sumual, Akhmad Husein, Dahlan Djambek, dan Zulkifli Lubis.
Dengan modal ini, AS segera membiayai, mempersenjatai, dan secara langsung mengintervensi Indonesia. Ribuan pucuk senjata, meriam, mortir, senapan mesin berat, dan senjata antitank dikirim. AS juga melatih sejumlah prajurit Dewan Banteng dan Dewan Gajah. Mereka diangkut dengan kapal selam menuju pangkalan militer AS di Okinawa, Jepang. Bahkan, AS tak ragu mengutus penerbang Allan Pope untuk mengebom wilayah Indonesia bagian timur.
Pemberontakan ini gagal. Pemerintah Sukarno bisa membendung. Lewat komando Jenderal A.H. Nasution, pemerintah sukses melumpuhkan Permesta/PRRI. AS tak kehilangan akal. Gedung Putih pun putar haluan. Selain tetap memasok senjata buat pemberontakan di Sulawesi dan Aceh, AS juga membantu perekonomian dan militer Indonesia. Politik Presiden Eisenhower memang berdiri di dua kaki.
Kekesalan AS terhadap Sukarno tak berhenti di sini. Dengan berbagai cara, CIA membuat propaganda yang merugikan ayah Megawati Sukarnoputri. Intelijen AS menggunakan berbagai media untuk menyebarkan fitnah dan berita bohong. Satu di antaranya dengan membuat film cabul. Dalam sebuah film digambarkan Sukarno berbuat kurang ajar terhadap seorang pramuria Soviet dalam penerbangan ke Moskow. Belakangan diketahui bahwa Kepala Keamanan CIA era Allan Dulles, Sheffield Edwards pernah mengontak kepolisian Los Angeles untuk dibuatkan film cabul dengan peran pria yang mirip Bung Karno. Kabar ini diperkuat tulisan Lisa Pease di majalah Probe (1996). Pembuatan film itu melibatkan Robert Maheu, sahabat milyarder Howard Hughes, serta bintang terkenal Bing Crosby.
Namun, cara ini juga tak efektif. AS bertambah gusar. Mereka nekat ingin membunuh Sukarno. Puncaknya terjadi pada peristiwa peledakan di Perguruan Cikini, Jakarta Pusat, 30 November 1957. Sebelas orang tewas dan 30 cedera dalam insiden tersebut. Meski motif pelemparan granat masih simpang siur, keterlibatan CIA di balik peristiwa itu susah ditepis. Adalah Presiden Eisenhower langsung yang mempersiapkan invasi ke Indonesia sepekan setelah Peristiwa Cikini. Sedangkan operasional di lapangan dirancang Kolonel Zulkifli Lubis.
Jejak CIA juga terlihat dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965. Motif pembunuhan tujuh perwira TNI AD yang dilakukan Partai Komunis Indonesia tak jelas. Ada ratusan tulisan membahas peristiwa tersebut. Menurut Dr Peter Dale Scott dari University of California, Berkeley, CIA terlibat dalam hiruk-pikuk itu. Organisasi ini menggunakan trik disinformasi untuk mengacaukan Indonesia. Di kalangan PKI beredar dokumen rencana Dewan Jenderal akan mengkudeta Sukarno pada 5 Oktober 1965. Jika kudeta berhasil, TNI dikabarkan akan memusnahkan semua kader PKI. Sebaliknya, tentara memegang dokumen yang mengungkapkan rencana PKI mendongkel Sukarno dengan cara menghabisi para jenderal. Teganglah Jakarta, di tengah inflasi yang meroket sampai 600 persen.
Menurut Scott, CIA berhasil mengacaukan Indonesia dengan amat sempurna. Secara sistematis mereka menyebarkan berita "Ibu Pertiwi Tengah Hamil Tua", sebuah kata yang amat populer saat itu. Staf Counterintelligence CIA Seksi Komunisme Internasional (1952-1977) Ralph McGehee menyebutkan, pola disinformasi ini adalah hal biasa yang dilakukan CIA. Tujuannya untuk mendiskreditkan pemimpin yang menghalangi kepentingan AS. Mereka sengaja menggelindingkan bola salju untuk disepak siapa saja.
Sejarah mencatat ratusan ribu orang tewas pada saat itu. Panglima Kostrad Mayor Jenderal Soeharto berhasil menguasai keadaan. Sejumlah fasilitas vital negara langsung dikuasai. TNI yang baru kehilangan para perwira terbaiknya bertekad memberantas komunis sampai ke akar-akarnya. Di tengah semangat itu, Kedubes AS di Jakarta memasok daftar nama 5.000 kader PKI di berbagai organisasi. Pasokan informasi menambah tenaga Kostrad untuk membubarkan organisasi tersebut. Tak hanya itu. Duta Besar Marshall Green melaporkan, untuk menumpas PKI di Jawa Tengah dan Jawa Timur, AS juga mengirim senjata. Benarkah demikian? Meski sulit menggugurkan opini yang sudah terbentuk, Juru Bicara CIA Mark Mansfield membantah semuanya.
Tersiar kabar, AS tak sendiri dalam Tragedi 1965. Direktorat Kontra Intelijen Luar Negeri Inggris, MI-6, dan Australia, juga ikut-ikutan berupaya menjatuhkan Sukarno. Konspirasi ini tertulis dalam buku Britain`s: Secret Propaganda War 1948-77 yang ditulis Paul Lashmar dan James Oliver. Menurut mereka, enam bulan sebelum G 30 September pecah, MI-6 mengirim agen rahasia Norman Reddaway ke Jakarta. Mereka ingin menggulingkan Sukarno yang gencar mengampanyekan konfrontasi ganyang Malaysia.
Setahun setelah tragedi G 30 S PKI, Sukarno benar-benar jatuh. Ia menyerahkan kekuasannya kepada Soeharto. Ada cerita menarik soal perseteruan dirinya dengan AS mengenai Freeport, sekitar Agustus 1965, sebulan sebelum kasus G 30 S PKI. Ketika itu, Direktur Freeport Agustus C. Long melobi Presiden Kennedy agar bisa memperoleh kontrak penambangan di Indonesia. Meski bersahabat dengan Kennedy, Bung Karno bergeming. Keacuhan Sukarno membuat Long kesal.
Lisa Pease dalam artikel berjudul JFK, Indonesia, CIA, dan Freeport Sulphur, mengisahkan kegusaran Long. Sebagai Dewan Penasihat Intelijen Presiden AS untuk Urusan Luar Negeri, Long bernafsu mendorong Sukarno jatuh. Konon, CIA jugalah yang mempercepat peralihan pimpinan dari Sukarno ke Soeharto. Benar atau tidak, yang jelas, belakangan Soeharto langsung menyetujui kontrak dengan Freeport saat Undang-undang Penanaman Modal Asing disahkan pada 1967, tak lama setelah Soeharto menjabat sebagai presiden.
Keakraban Soeharto dengan AS di awal pemerintahan, pun bermuara pada keterlibatan CIA menjatuhkan penguasa Orde Baru ini pada 1998. Bedanya dengan cara penggulingan Sukarno yang diwarnai melayangnya nyawa ratusan ribu orang, lengsernya Soeharto tak seperti itu. Tak ada pembasmian manusia secara besar-besaran, kecuali sejumlah mahasiswa yang menjadi martir reformasi. CIA hanya memanfaatkan situasi dengan memasok uang. Konon, antara tahun 1995-1997, AS menyumbang sedikitnya US$ 26 juta untuk lembaga swadaya masyarakat anti-Soeharto. Tujuannya untuk terus membentuk opini tentang kegagalan sang Bapak Pembangunan.
Diam-diam, terjadilah disharmoni antara Soeharto dan pemerintahan AS. Penguasa Orde Baru ini mulai berani melawan AS. Saat Negeri Adidaya mengembargo senjata, Soeharto nekat mencari peralatan militer ke negara lain. Ketika AS mengisolir Myanmar, Soeharto pun cuek bebek membujuk Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohammad menerima Myanmar sebagai anggota ASEAN.
Zaman bergerak, dan lagi-lagi, kerja CIA menyentuh Indonesia melalui isu terorisme. Sejumlah kalangan berang dengan laporan CIA, meski ada pula yang biasa-biasa saja. Bagaimana pun, setiap kerja intelijen memang menyimpan tanda tanya yang sulit terjawab. Sama susahnya membayangkan setumpuk berkas rencana pembunuhan Mega melayang ke redaksi TIME. Mega target pembunuhan? Pertanyaan yang kekanak-kanakan, mungkin. (berita.liputan6.com)