24 November 2009
Demokrasi Lahirkan Mafioso Peradilan
Jakarta - Carut-marut peradilan yang semakin kusut menarik perhatian para pengamat politik dan praktisi hukum untuk mencari akar masalah dan solusi yang tepat. Contoh yang paling nyata betapa adidayanya mafioso peradilan dalam kasus kriminalisasi terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dua orang petinggi KPK, Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah, dengan mudahnya dijadikan tersangka dengan tuduhan yang sumir dan berubah-ubah. Sementara Anggodo Widjojo, yang rekaman pembicaraan teleponnya tersadap, jelas-jelas menelanjangi oknum-oknum penegak hukum dalam mempermainkan hukum. Sampai sekarang Anggodo belum dijadikan tersangka. Beberapa hari yang lalu, statusnya pada siang hari sebagai tersangka, namun malamnya berubah menjadi saksi.
Ahmad Riva’i, kuasa hukum KPK menyatakan keheranannya terhadap kehebatan seorang Anggodo. Ketika nama Presiden SBY disebut pernah menikah dua kali, SBY langsung melaporkan pelakunya ke Polda Metrojaya. Ketika diisukan dengan “mobil Jaguar,” presiden langsung memperkarakan Eggi Sudjana ke polisi. Tapi ketika namanya disebut empat kali oleh Anggodo dalam kasus kriminalisasi KPK, sampai sekarang SBY tidak melakukan aksi hukum apapun terhadap Anggodo.
Indonesia tidak hanya mengalami kegagalan rezim, tapi juga kegagalan sistem. Kedua persoalan ini harus diselesaikan sekaligus...
“Betapa hebatnya Anggodo itu,” ungkap Riva’i. “Jika para mafioso peradilan berkuasa di negeri ini, maka yang diuntungkan adalah para koruptor,” lanjutnya.
Suasana diskusi dengan tema panas “Mafioso Peradilan: Potret Bobroknya Sistem Peradilan Sekuler,” semakin memanas ketika Adhie M Massardi membacakan puisi “Negeri Para Bedebah” yang khusus digubah untuk menyindir para mafioso.
“Bila negerimu dikuasai para bedebah, jangan tergesa-gesa mengadu kepada Allah, karena Tuhan tak akan mengubah suatu kaum kecuali kaum itu sendiri mengubahnya.
Maka bila melihat negeri dikuasai para bedebah, usirlah mereka dengan revolusi. Bila tak mampu dengan revolusi, dengan demonstrasi. Bila tak mampu dengan demonstrasi, dengan diskusi. Tapi itulah selemah-lemahnya iman perjuangan!” demikian kutipan puisi yang disambut applaus ratusan peserta.
Menurut mantan jurubicara kepresidenan di era Gus Dur ini, sumber awal maraknya mafioso peradilan adalah sistem demokrasi popularitas.
“Sistem demokrasi yang kita jalankan sekarang ini, sudah sampai pada tahap demokrasi popularitas. Untuk populer perlu uang, kemudian harus ada mesin pemilu yang harus dibayar kalau ingin menang,” ujarnya.
Ia menambahkan, untuk jadi bupati maka harus mampu bayar biaya kampanye, survei, penyelenggara pemilu, dan seterusnya. Maka sistem ini akan selalu berulang dan menyuburkan korupsi. Setelah jadi bupati maka cari uang sebanyak-banyaknya agar terlindung dari jerat hukum. Maka lahirlah mafioso-mafioso peradilan yang didukung oleh Bareskrim (Badan Rekayasa dan Kriminalisasi).
Sementara itu, Ismail Yusanto, menyoroti kasus-kasus peradilan di Indonesia yang tidak pernah tuntas. Sistem demokrasi melahirkan prinsip “Power untuk mendapatkan money dan money untuk mendapatkan power” berlangsung di semua level dari level kepala desa sampai presiden. Akibatnya, saat ini Indonesia tidak hanya mengalami kegagalan rezim, tapi juga kegagalan sistem. Kedua persoalan ini harus diselesaikan sekaligus.
“Cara yang paling efektif untuk mengatasi persoalan bangsa adalah dua perubahan sekaligus, yaitu perubahan rezim dan perubahan sistem,” jelasnya, “Diskusi-diskusi diperlukan sebagai bagian untuk membangun kesadaran umat dalam rangka perubahan yang revolutif.”
Senada dengan itu, Wirawan Adnan menyatakan, dengan sistem pemerintahan demokrasi sekarang ini, mafioso peradilan tidak mungkin bisa diberantas. Mafia peradilan adalah satu kekuatan yang ada di luar peradilan. Mafia peradilan yang sering diistilahkan dengan orang yang “untouchable” karena tidak bisa tersentuh oleh hukum.
Para mafia ini berbuat seolah-olah menegakkan hukum padahal semuanya melanggar hukum. Gejala-gejala mafia peradilan antara lain makelar kasus (markus), suap, jual-beli perkara, dan seterusnya. Solusinya tidak hanya pada gejalanya saja, tapi juga penyebabnya.
“Kita tidak bisa menghilangkan gejalanya tanpa mengatasi causanya, yaitu sistem demokrasi,” kata praktisi hukum yang sudah berkecimpung di dunia hukum selama 30 tahun ini.
Dalam sistem demokrasi, kebenaran ditentukan oleh suara yang terbanyak. Kalau suara terbanyak menginginkan korup semua, maka korupsi dianggap kebenaran dalam demokrasi. “Kalau kita mendukung sistem demokrasi, tidak mungkin mafia peradilan bisa diberantas,” tegasnya. (voa-islam.com)