25 November 2009
Mengapa Mereka Dihabisi?
Rabu, 14-10-2009 | 06:01:17 WIB
Oleh: Ruston Harahap
Ada yang baru dalam penanganan aksi terorisme pasca bom Marriot & Ritz Carlton. Sampai hari ini, setidaknya yang saya ketahui, baru Amir Abdullah dan Fajar yang berhasil ditangkap hidup-hidup. Dua orang di Bekasi, empat orang di Solo dan dua orang di Tangerang, tewas diterjang timah panas Densus 88.Ini berbeda dengan kasus-kasus sebelumnya, di mana hanya beberapa penangkapan saja yang berbuah maut. Diantaranya penyergapan Dr. Azhari di Malang dan Ahmad Najib (kelompok Sarwo Edi) di Yogyakarta. Mukhlas (almarhum) alias Ali Ghufron, meski sempat melawan saat ditangkap, tetap diringkus hidup-hidup. Meski, “Saya sampai terengah-engah kehabisan nafas saat bergumul dengannya”, kenang seorang anggota Densus 88 yang ikut membekuk Mukhlas (almarhum) kepada seorang tahanan terorisme.
Teka-teki penyebab “aksi babat habis sampai mati” tak terjawab beberapa waktu, meninggalkan pro-kontra. Ketua Presidium IPW (Indonesian Police Watch) Netta S. Pane, misalnya, menganggap polisi sudah bertindak di luar kapasitasnya. “Polisi sudah bertindak seperi hakim dan eksekutor”, katanya. “Info dari jaringan akan tertutup. Susah lagi mencari informasi baru”. Sementara Mardigu WP, pakar hipnotis yang disebut-sebut sebagai pengamat teroris berpendapat data yang diperlukan polisi sudah lengkap. "Setelah kita memperoleh data-data yang cukup, kita tidak memerlukan dia hidup-hidup", katanya kepada detikcom, Senin (12/10/2009). Kesimpulan dari pernyataan Mardigu semakin memperkuat analisis Pane seputar kapasitas polisi sebagai eksekutor. Persoalannya tinggal masih diperlukan hidup untuk menambah data dan informasi bagi polisi atau tidak.
Meski ada motif pembelaan diri polisi karena tersangka lebih dahulu menyerang—sebuah klaim yang perlu pembuktian panjang, namun yakinlah akan sia-sia belaka—agaknya tulisan Kombes Petrus Reinhard Golose bisa membantu mengurai motif sebenarnya “babat-habis” teroris ini. Dalam bukunya, "Deradikalisasi Terorisme: Humanis, Soul Approach dan Menyentuh Akar Rumput", di halaman 54 Golose menulis bahwa pidana penjara seringkali tidak efektif dalam upaya menanggulangi kejahatan. Hal itu di picu oleh kondisi penjara sendiri, baik keadaan fisik penjara maupun keadaan sosial dalam penjara. Singkatnya, penjara—sebuah ganjaran bagi teroris yang tertangkap hidup—ternyata tak menyelesaikan masalah. Justru di sanalah mereka mengadakan perekrutan terhadap napi lainnya, atau pembinaan kelompoknya melalui pengajian jarak jauh via HP.
Golose juga mengutip pernyataan Sidney Jones yang dimuat dalam Jurnal ICG (International Crisis Group) tahun 2007 berjudul "Radikalisasi dalam Lembaga Pemasyarakatan". Alinea satu artikel itu berbunyi: “Lapas Kerobokan di Bali memberi sebuah studi kasus menarik dalam hal perekrutan. Lapas ini menjadi tempat tiga pelaku utama bom Bali, Amrozi, Imam Samudra dan Mukhlas, ditahan hingga setelah bom Bali II bulan Oktober 2005, kemudian mereka dipindahkan ke Nusakambangan. Meskipun agak di isolasi, pengaruh mereka terhadap napi lain dan para sipir sangat dalam. Bagaimana mereka berhasil menjaring pengikut di sini menjadi pelajaran penting, karena proses yang hampir sama hampir pasti juga terjadi di tempat lain." Diceritakan tentang napi kasus narkoba berinisial Ahmed dan Hardi serta sipir bernama Beni yang kena "sebaran faham" trio bomber tersebut.
Sementara, hukuman mati seolah justru menobatkan mereka sebagai sosok pahlawan. Ratusan massa dari berbagai daerah berduyun-duyun mengikuti prosesi pemakamannya, seperti yang dapat di potret dari pemakanan trio bomber Bali I. Ringkasnya, di penjara malah produktif menghasilkan kader; dihukum mati, menjelma sosok hero. Maka, berlakulah analisis Mardigu tadi. “Karena sudah tidak diperlukan, habisi saja!”. Tak perlu lagi repot-repot melanjutkan penyidikan, menggelar persidangan dan membiayai kehidupan mereka di penjara. Selain boros waktu dan uang, sama sekali tidak efektif untuk pemberantasan terorisme, begitulah kira-kira kalau dilanjutkan. Maka, perangkat hukum yang semula telah disediakan untuk menjerat terdakwa terorisme tak ubahnya alat formalitas yang hanya digunakan untuk terdakwa teroris kelas teri. Yang cuma gara-gara pernah bertemu, atau rumahnya disinggahi DPO—bukan pemain utama yang menyedot perhatian publik (public attention).
Bila memang demikian, berarti polisi telah lelah dan kehabisan akal dalam menanggulangi terorisme. Di sisi lain, simalakama yang dihadapi polisi ketika menangkap tersangka hidup-hidup dan memenjarakannya, membuktikan perlunya definisi ulang terhadap Kriminalisasi terorisme sekaligus langkah menghadapinya. Terorisme—begitu Amerika menyebut dan diamini media sehingga terpatri kuat dalam opini kita—muncul dari sebuah ideology dan keyakinan yang kuat. Akarnya menghunjam dalam. Karenanya, tidak mudah membuat seorang teroris “kapok kemudian tobat” dari keyakinannya. Justru, pressure yang mereka terima semakin mengentalkan semangat perlawanan mereka. Toh, kematian sebagai syahid, bagi mereka hanyalah salah satu di antara pilihan lainnya, yaitu kemenangan. Dua-duanya adalah janji yang mereka terima dari Tuhan.
Kini, dengan penanganan gaya baru terhadap teroris, kita patut was-was. Alih-alih memberikan jaminan tidak munculnya kembali aksi teror di negeri ini, tindakan polisi yang sudah melampaui wewenang dan tak lagi accountable di mata hukum, akan semakin mengkristalkan semangat pengorbanan mereka, kelompok yang sering kita sebut teroris. Karena, bagi mereka, polisi bukan lagi sebagai sekadar alat hukum—yang tak mempunyai pilihan selain menindak mereka, namun sudah menjelma sebagai sosok musuh yang nyata dan dekat. Bila itu terjadi, sambil menutup mata dan hati was-was, ucapkanlah, “Selamat datang babak baru terorisme!” Babak yang makin riuh dan dahsyat, karena pemainnya tak lagi tunggal. Hasbunallah wa nikmal wakiil. (muslimdaily.net)