Menginvestigasi Teori Konspirasi
Skandal Antasari Azhar tidak sekadar melahirkan kehebohan. Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berstatus nonaktif itu dijadikan tersangka dalam kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen. Publik seakan-akan tidak habis pikir bahwa penegak hukum dari lembaga pemberangus koruptor itu bisa terjerat dalam tindak kejahatan. Apalagi pemicunya persoalan cinta segitiga yang melibatkan Rhani Juliani. Wacana tentang persekongkolan berhamburan. Teori konspirasi marak dibicarakan.
Tidak hanya skandal Antasari yang mencuatkan popularitas teori konspirasi. Kasus kekisruhan Daftar Pemilih Tetap (DPT) pada Pemilihan Umum Legislatif 2009 pun menggulirkan dugaan ada praktik-praktik konspirasi. Terlebih lagi, kekacauan DPT itu terjadi secara sistematis dan massif.
Muncul prasangka ada kekuatan besar yang secara sengaja menjadikan DPT amburadul. Tujuannya adalah menyajikan keuntungan bagi partai politik tertentu. Tentu saja gampang diterka bahwa tudingan itu diarahkan pada birokrasi pemerintah untuk memenangkan Partai Demokrat.
Lebih unik adalah pernyataan Jusuf Kalla yang menuding ada pihak tertentu yang sengaja menciptakan perpecahan dalam tiga partai politik. Kalla menunjuk Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), serta Partai Amanat Nasional (PAN) yang mengalami konflik internal karena ”sayembara menjadi wakil presiden” yang digulirkan Susilo Bambang Yudhoyono.
Dalam penilaian Kalla, yang menjabat sebagai Ketua Umum Partai Golkar, ada tendensi memecah belah ketiga partai politik itu karena pola-pola yang digunakan sama. Kalla memang tidak menyebutkan secara eksplisit gejala itu sebagai konspirasi. Tapi, tudingan itu tampak diarahkan pada pihak pemenang pemilihan umum.
Disadari maupun tidak, teori konspirasi telah menjadi bagian dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan, pihak yang turut serta memeriahkan teori konspirasi itu adalah media massa. Melalui pemberitaan, media menyebarkan sebuah versi tandingan yang menggugat, atau setidaknya meragukan, sebuah versi resmi yang dibuat pihak pemerintah.
Misalnya saja dalam peristiwa terorisme 11 September 2001 di Amerika Serikat. Versi resmi yang diluncurkan pemerintahan George W Bush menunjukkan otak dan para pelaku kejadian itu adalah al-Qaeda. Versi terbaru yang muncul dalam pemberitaan media pada awal 2009 ialah skenario keji yang dirancang kaum Yahudi.
Perbuatan Tersembunyi
Apa arti teori konspirasi?. Konspirasi bermakna persekongkolan. Di Oxford Advanced Learner's Dictionary (1995), konspirasi diartikan sebagai ”sebuah rencana rahasia oleh sekelompok orang untuk melakukan sesuatu yang ilegal atau merugikan”. Jadi, setiap konspirasi mengandaikan perbuatan yang serbatersembunyi. Tidak ada pihak yang mengetahui secara pasti, kecuali intelijen negara, misalnya. Konspirasi lantas identik dengan perilaku para telik sandi.
Makna teori konspirasi, sebagaimana ditulis wikipedia, adalah teori tentatif yang menjelaskan sebuah peristiwa historis atau yang baru saja terjadi sebagai hasil perbuatan komplotan rahasia yang berasal dari para konspirator macchiavelian yang penuh kuasa.
Bukti-bukti yang disodorkan teori konspirasi tidak mencukupi dan tidak meyakinkan. Hal yang harus ditekankan adalah kata ”teori” di teori konspirasi bersifat informal. Jadi, teori dalam pengertian ini bercorak spekulatif dan hipotetis ketimbang ilmiah.
Karena karakteristiknya yang untung-untungan serta lebih banyak menyajikan dugaan, maka teori konspirasi mudah bertumbuh di masyarakat yang tertutup. Di masyarakat ini, informasi dikuasai satu pihak. Dari proses produksi, distribusi, hingga konsumsi terhadap informasi, semua dikendalikan secara totaliter oleh pemerintah. Banyak informasi yang sengaja dirahasiakan negara, sehingga publik hanya memiliki pengetahuan yang serbasedikit. Melakukan perbandingan atau menelisik suatu kasus besar yang mendapatkan perhatian publik sangat sulit dijalankan.
Selain itu, teori konspirasi juga mudah mencuat dalam masyarakat yang tidak lagi mempercayai pemerintah. Dalam situasi semacam ini, kredibilitas negara sangat rendah. Aparat kepolisian, kemiliteran, kejaksaan, intelijen, dan birokrasi pemerintah pada level apa pun acapkali sengaja membuat kekeliruan.
Kenyataan ini diperparah oleh pengelolaan administrasi yang penuh kekacauan. Negara dengan segenap aparat tidak lebih, meminjam ide Thomas Hobbes (1588-1679), sebagai Leviathan yang selalu ingin menerkam dan meneror rakyat sendiri.
Dalam situasi politik yang pengap dan kepercayaan publik kepada negara makin merosot, teori konspirasi bisa dijadikan katup pengaman bagi frustrasi sosial. Benar bahwa teori konspirasi tidak lebih berkedudukan sebagai rumor (desas-desus) yang penuh kekosongan.
Tapi, rumor itu bisa membesar karena masyarakat mendapatkan kepuasan psikologis dari rumor itu sendiri. Teori konspirasi mampu berperan sebagai katarsis (pelampiasan) yang menyelamatkan masyarakat dari jurang kehancuran jiwa. Bahkan, teori konspirasi dapat berkedudukan sebagai budaya perlawanan (counter culture) terhadap setiap cerita versi resmi negara. Sehingga, teori konspirasi adalah narasi populer yang bersetia menjalankan resistensi terhadap ketidakberesan negara.
Jurnalisme Investigatif
Karena teori konspirasi sangat kuyup rumor dan sekadar menjadi mekanisme penuntas rasa frustrasi sosial, maka kekuatan jurnalisme investigatif harus dikerahkan. Dalam lingkup ini, jurnalisme tidak hanya mencatat cerita versi resmi negara maupun menuangkan teori konspirasi yang berkembang dalam masyarakat.
Jurnalisme model ini kemungkinan saja tidak secara heroik berambisi mengungkap kebenaran. Sebab, apa yang dinamakan sebagai kebenaran itu sendiri dapat diperdebatkan dan masing-masing pihak memiliki versi tersendiri terhadap kebenaran yang diyakini.
Yang dimaksud jurnalisme investigatif, sebagaimana diuraikan William C Gaines (2007), merupakan: (1) produk jurnalisme yang langsung dilakukan wartawan ketimbang laporan investigasi yang disajikan sebuah instansi pemerintah; (2) memuat informasi yang tidak akan terungkap tanpa usaha sang jurnalis; dan (3) penting bagi publik.
Bahkan, Gaines menegaskan jurnalisme investigatif bisa dirangkai dari berbagai sumber yang seringkali tidak jelas. Dengan demikian, teori konspirasi yang tidak bermutu sekalipun dapat diangkat sebagai sumber penelusuran.
Ada catatan menarik yang dikemukakan Stephen Stockwell (2005) mengenai relasi antara teori konspirasi dengan jurnalisme investigatif. Pada dasarnya, jurnalisme investigatif dilihat sebagai kemajuan natural dari fungsi jurnalisme sehari-hari sebagai ”anjing penjaga” atau pilar keempat demokrasi.
Tidak gampang menyingkap teori konspirasi dengan mengerahkan jurnalisme investigatif. Apalagi ketika ”Jurnalisme Ludah” --konsep ini dirujuk dari Menuju Jurnalisme Berkualitas (2009)-- yakni sikap kewartawanan yang sekadar ”menadahi” ludah para pejabat telah menjadi etos kerja jurnalis.
Teori konspirasi memang bisa disingkap dengan kegigihan jurnalis untuk menginvestigasi dugaan persekongkolan yang tersusun secara rapi. Tapi, kalau para jurnalis justru menikmati membludaknya teori konspirasi bisa-bisa media hanya menjadi bagian persekongkolan yang penuh sensasi, namun ironisnya kering substansi. Itulah yang terjadi pada skandal Antasari. (suaramerdeka.com)
Triyono Lukmantoro (staf pengajar Fisip Undip)
*****
Teroris, Teori Konspirasi dan Media
Teroris, Teori Konspirasi dan Media
27 Juli 2009 - 19:18
Laporan intelijen bisa benar dan bisa salah. Tapi, hampir mustahil media melakukan verifikasi terhadap banyak data intelijen. Hanya ada dua kemungkinan: percaya utuh atau meragukan utuh.
Dan kebenaran baru datang umumnya bertahun-tahun kemudian, atau bisa jadi misteri akan tetap jadi misteri sampai kapanpun, meski kepercayaan utuh pada data intelijen telah terlanjur menyebabkan konsekuensi yang sangat merusak.
Kini, delapan tahun setelah Teror 911, dan setelah Rezim George Bush lengser, beberapa media Amerika mulai membicarakan kemungkinan pengadilan terhadap Dick Cheney, wakil presiden, yang dituding merestui cara kotor CIA menangani tersangka teroris dan meminta badan intelijen itu membohongi Kongres.
Pada edisi 20 Juli 2009, majalah Newsweek melansir berita, Jaksa Agung Eric Holder telah menunjuk 10 jaksa untuk kemungkinan menyeret pejabat tinggi di era Bush dengan tuduhan kejahatan melanggar undang-undang domestik maupun hukum internasional.
Diduga atas restu Cheney, CIA menerapkan metode brutal interogasi tersangka teroris (dan pembentukan Guantanamo yang ngawur itu), penangkapan tanpa dasar, penyadapan dan pengintaian yang melanggar prosedur, merencanakan pembunuhan terhadap pemimpin politik asing, serta berbohong kepada Kongres tentang data intelijen yang menjustifikasi serangan ke Irak.
Pengadilan terhadap Cheney ini bisa berlanjut dan bisa pula tidak. Presiden Obama khawatir pengungkapan masalah ini akan membuka kedok kebobrokan sistemik pemerintahan Amerika pada era Bush. Dan akan menjadi pertarungan Demokrat-Republik yang bisa merembet ke mana-mana tanpa kontrol.
Mengapa begitu terlambat media Amerika mendapatkan kesadarannya kembali?
Sistem check-balances demokrasi Amerika yang diagung-agungkan ternyata keropos menyusul Teror 911. Peristiwa dramatis, amarah yang meluap dan prasangka mendalam terhadap Islam, telah menumpulkan daya kritis publik maupun media, sehingga bertahun-tahun kebohongan bisa berjalan. Tumpul daya kritis bahkan untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan sederhana.
Tidak semua kehilangan daya kritis sebenarnya. Sekelompok veteran agen rahasia Amerika yang masih memilki hati nurani sudah sejak 2002 mengingatkan kebusukan praktek intelijen Pemerintahan Bush. VIPS (Veteran Intelligence Professionals for Sanity) telah berteriak dalam memorandum mereka kepada presiden, termasuk mengusulkan pemecatan terhadap Cheney.
Tapi di tengah amarah yang meluap dan prasangka besar pada Islam, peringatan seperti itu terkubur dalam "sampah informasi/disinformasi" tanpa menarik perhatian publik maupun media Amerika.
Kebingungan dan kepanikan menguntungkan kaum demagog, bahkan dalam sistem demokratis seperti Amerika.
Dan kini, setelah bom meledak lagi di Marriot Jakarta, dan Amerika menawarkan "database teroris", masihkah kita akan percaya begitu saja?
Amerika tidak perlu menawarkan secara publik (kecuali untuk menunjukkan kemurahan hati CIA). Database Densus Anti-Teror 88 selama ini sudah sama dengan database CIA.
Beberapa "gembong teroris" Indonesia telah diserahkan kepada Amerika (Anda tidak melihat kejanggalannya?) dan sampai sekarang Indonesia tidak bisa mendapatkan kejelasan tentang keberadaan mereka.
Pelajaran penting bagi media: skeptisisme perlu ditegakkan, lebih awal lebih baik, untuk menanyakan hal-hal sederhana: bagaimana menetapkan sebuah ledakan sebagai teror bunuh diri, bagaimana tersangka di Identifikasi?.
Tumpulnya daya kritis menguntungkan kaum Demagog (penghasut) dan mereka yang pintar mengail di air keruh.
Tapi, peringatan seperti ini biasanya akan buru-buru dituding sebagai ketololan "Teori Konspirasi". Masak Amerika sebusuk itu?. Bukankah sudah pasti rangkaian teror ini buah karya teoris Islam yang jahat?.
There are conspiracies, not just theories.
Farid Gaban
*****
Tantangan dan Problem
dalam Liputan Terorisme
dalam Liputan Terorisme
Jurnalisme adalah tentang etika, standar dan prosedur dalam menemukan kebenaran.
Salah satu tulang punggung jurnalisme adalah verifikasi independen terhadap pernyataan atau klaim sumber berita atas suatu fakta atau dugaan.
Informasi intelijen dan polisi dalam kasus terorisme bisa benar dan bisa pula salah. Tapi, informasi ini sulit, dan hampir mustahil, diverifikasi secara independen oleh wartawan/media.
Pernahkah ada verifikasi independen terhadap klaim di bawah ini?.
- Ini kerjaan Jamaah Islamiyah.
- Didalangi oleh Noordin M. Top.
- Dilakukan dengan metode bom bunuh diri.
- Dilakukan dengan motif mendirikan negara Islam.
Saya berani mengatakan: tidak pernah ada. (Saya sendiri tidak pernah bisa melakukannya).
Jika sebuah klaim/pernyataan tidak bisa diverifikasi secara independen, yang tersisa bagi kita hanyalah Percaya atau Meragukan.
Sebagai wartawan, saya akan memutuskan percaya atau ragu berdasar pertimbangan logika, bukti-bukti tak langsung, konteks, analisis motif dan kredibilitas sumber berita.
Ada banyak alasan untuk meragukan klaim polisi
Di samping ada banyak kejanggalan dalam klaim itu, keraguan bisa bersumber terutama pada rendahnya kredibilitas polisi dan khususnya Detasemen Anti-Teror.
Mereka adalah sumber atas semua Klaim tentang terorisme di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Sayangnya, unit polisi ini terlibat konflik-kepentingan sejak berdirinya. Mereka memperoleh dana besar dan konsultasi polisi/badan rahasia Amerika/Australia untuk kepentingan "War on Terror" George Walker Bush.
Ada unsur konflik-kepentingan di tubuh mereka
Dalam prosedur jurnalistik, ada atau tidaknya konflik-kepentingan merupakan satu kriteria yang paling dipertimbangkan ketika menguji kredibilitas sumber berita.
Makin sering dan makin getol mereka membuat klaim tentang "organisasi hantu", yang tidak bisa diverifikasi secara independen, makin layak kita curiga akan motif mereka sendiri.
Farid Gaban
*****
Menguak Konspirasi Jahat AS
22 Pebruari 2008
22 Pebruari 2008
Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari (59) bikin gerah World Health Organization (WHO) dan Pemerintah Amerika Serikat (AS).
Fadilah berhasil menguak konspirasi AS dan badan kesehatan dunia itu dalam mengembangkan senjata biologi dari virus flu burung, Avian influenza (H5N1).
Setelah virus itu menyebar dan menghantui dunia, perusahaan-perusahaan dari negara maju memproduksi vaksin lalu dijual ke pasaran dengan harga mahal di negara berkembang, termasuk Indonesia. Fadilah menuangkannya dalam bukunya berjudul Saatnya Dunia Berubah! Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung. (watch the US crime on WW-II )
Selain dalam edisi Bahasa Indonesia, Siti juga meluncurkan buku yang sama dalam versi Bahasa Inggris dengan judul It's Time for the World to Change.
Konspirasi tersebut, kata Fadilah, dilakukan negara adikuasa dengan cara mencari kesempatan dalam kesempitan pada penyebaran virus flu burung.
"Saya mengira mereka mencari keuntungan dari penyebaran flu burung dengan menjual vaksin ke negara kita," ujar Fadilah kepada Persda Network di Jakarta, Kamis (21/2).
Situs berita Australia, The Age, mengutip buku Fadilah dengan mengatakan, Pemerintah AS dan WHO berkonspirasi mengembangkan senjata biologi dari penyebaran virus avian H5N1 atau flu burung dengan memproduksi senjata biologi.
Karena itu pula, bukunya dalam versi bahasa Inggris menuai protes dari petinggi WHO.
"Kegerahan itu saya tidak tanggapi. Kalau mereka gerah, monggo mawon. Betul apa nggak, mari kita buktikan. Kita bukan saja di bikin gerah, tetapi juga kelaparan dan kemiskinan. Negara-negara maju menidas kita, lewat WTO, lewat Freeport, dan lain-lain. Coba kalau tidak ada, kita sudah kaya," ujarnya.
Fadilah mengatakan, edisi perdana bukunya di cetak masing-masing 1.000 eksemplar untuk cetakan bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Total sebanyak 2.000 buku.
"Saat ini banyak yang meminta jadi dalam waktu dekat, saya akan mencetak cetakan kedua dalam jumlah besar. Kalau cetakan pertama di cetak penerbitan kecil, tapi untuk rencana ini, saya sedang mencari bicarakan dengan penerbitan besar," katanya.
Selain mencetak ulang bukunya, perempuan kelahiran Solo, 6 November 1950, mengatakan telah menyiapkan buku jilid kedua.
"Saya sedang menulis jilid kedua. Di dalam buku itu akan saya beberkan semua bagaimana pengalaman saya. Bagaimana saya mengirimkan 58 virus, tetapi saya dikirimkan virus yang sudah berubah dalam bentuk kelontongan.
Virus yang saya kirimkan dari Indonesia di ubah-ubah Pemerintahan George Bush," ujar menteri kesehatan pertama Indonesia dari kalangan perempuan ini.
Siti enggan berkomentar tentang permintaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang memintanya menarik buku dari peredaran.
"Bukunya sudah habis. Yang versi bahasa Indonesia, sebagian, sekitar 500 buku saya bagi-bagikan gratis, sebagian lagi dijual ditoko buku. Yang bahasa Inggris dijual," katanya sembari mengatakan, tidak mungkin lagi menarik buku dari peredaran.
Pemerintah AS dikabarkan menjanjikan imbalan peralatan militer berupa senjata berat atau tank jika Pemerintah RI bersedia menarik buku setebal 182 halaman itu.
Mengubah Kebijakan
Apapun komentar pemerintah AS dan WHO, Fadilah sudah membikin sejarah dunia. Gara-gara protesnya terhadap perlakuan diskriminatif soal flu burung, AS dan WHO sampai-sampai mengubah kebijakan fundamentalnya yang sudah dipakai selama 50 tahun.
Perlawanan Fadilah dimulai sejak korban tewas flu burung mulai terjadi di Indonesia pada 2005.
Majalah The Economist London menempatkan Fadilah sebagai tokoh pendobrak yang memulai revolusi dalam menyelamatkan dunia dari dampak flu burung.
"Menteri Kesehatan Indonesia itu telah memilih senjata yang terbukti lebih berguna daripada vaksin terbaik dunia saat ini dalam menanggulangi ancaman virus flu burung, yaitu transparansi," tulis The Economist.
The Economist, seperti ditulis Asro Kamal Rokan di Republika, edisi pekan lalu, mengurai, Fadilah mulai curiga saat Indonesia juga terkena endemik flu burung 2005 silam.
Ia kelabakan. Obat Tamiflu harus ada. Namun aneh, obat tersebut justru di borong negara-negara kaya yang tak terkena kasus flu burung.
Di tengah upayanya mencari obat flu burung, dengan alasan penentuan diagnosis, WHO melalui WHO Collaborating Center (WHO CC) di Hongkong memerintahkannya untuk menyerahkan sampel spesimen.
Mulanya, perintah itu di ikuti Fadilah. Namun, ia juga meminta laboratorium Litbangkes melakukan penelitian. Hasilnya ternyata sama. Tapi, mengapa WHO CC meminta sampel di kirim ke Hongkong?.
Fadilah merasa ada suatu yang aneh. Ia terbayang korban flu burung di Vietnam. Sampel virus orang Vietnam yang telah meninggal itu diambil dan dikirim ke WHO CC untuk dilakukan Risk Assessment, diagnosis, dan kemudian dibuat bibit virus.
Dari bibit virus inilah dibuat vaksin. Dari sinilah, ia menemukan fakta, pembuat vaksin itu adalah perusahaan-perusahaan besar dari negara maju, negara kaya, yang tak terkena flu burung.
Mereka mengambilnya dari Vietnam, negara korban, kemudian menjualnya ke seluruh dunia tanpa izin, tanpa kompensasi.
Fadilah marah. Ia merasa kedaulatan, harga diri, hak, dan martabat negara-negara tak mampu telah dipermainkan atas dalih Global Influenza Surveilance Network (GISN) WHO. Badan ini sangat berkuasa dan telah menjalani praktik selama 50 tahun. Mereka telah memerintahkan lebih dari 110 negara untuk mengirim spesimen virus flu ke GISN tanpa bisa menolak.
Virus itu menjadi milik mereka, dan mereka berhak memprosesnya menjadi vaksin.
Di saat keraguan atas WHO, Fadilah kembali menemukan fakta bahwa para ilmuwan tidak dapat mengakses data sequencing DNA H5N1 yang disimpan WHO CC.
Data itu, uniknya, disimpan di Los Alamos National Laboratoty di New Mexico, AS.
Di sini, dari 15 grup peneliti hanya ada empat orang dari WHO, selebihnya tak diketahui.
Los Alamos ternyata berada di bawah Kementerian Energi AS. Di lab inilah dahulu dirancang bom atom Hiroshima. Lalu untuk apa data itu, untuk vaksin atau senjata kimia?.
Fadilah tak membiarkan situasi ini. Ia minta WHO membuka data itu. Data DNA virus H5N1 harus dibuka, tidak boleh hanya dikuasai kelompok tertentu.
Ia berusaha keras. Dan, berhasil. Pada 8 Agustus 2006, WHO mengirim data itu. Ilmuwan dunia yang selama ini gagal mendobrak ketertutupan Los Alamos, memujinya.
Majalah The Economist menyebut peristiwa ini sebagai revolusi bagi transparansi. Tidak berhenti di situ. Siti Fadilah terus mengejar WHO CC agar mengembalikan 58 virus asal Indonesia, yang konon telah ditempatkan di Bio Health Security, lembaga penelitian senjata biologi Pentagon.
Ini jelas tak mudah. Tapi, ia terus berjuang hingga tercipta pertukaran virus yang adil, transparan, dan setara.
Ia juga terus melawan dengan cara tidak lagi mau mengirim spesimen virus yang diminta WHO, selama mekanisme itu mengikuti GISN, yang imperialistik dan membahayakan dunia.
Dan, perlawanan itu tidak sia-sia. Meski Fadilah dikecam WHO dan dianggap menghambat penelitian, namun pada akhirnya dalam sidang Pertemuan Kesehatan Sedunia di Jenewa Mei 2007, International Government Meeting (IGM) WHO di akhirnya menyetujui segala tuntutan Fadilah, yaitu sharing virus disetujui dan GISN dihapuskan. (tribun-timur.com)