"Teroris" Juga Manusia
Bagi trio terpidana mati kasus Bom Bali I, Amrozi, Ali Ghufron dan Imam Samudra, dijuluki teroris oleh media massa lokal dan internasional, atau oleh siapa pun juga, tidak membuat mereka marah atau kecil hati. Mereka yakin, apa yang mereka lakukan adalah jihad. Sehingga mereka pun yakin Allah akan memberi mereka gelar mujahid.
Bahkan, mereka sama sekali tidak merasa keberatan dengan apapun yang ditempuh pemerintah di dalam menjalankan hukuman mati atas diri mereka. Ditembak mati dengan bedil, dipancung, dialiri listrik, atau cara lainnya, bagi mereka sama saja. Semuanya menuju mati syahid.
Bagaimana kita memposisikan Amrozi, Ali Ghufron dan Imam Samudra: Mujahid atau Teroris?. Yang jelas, mereka juga manusia. Sebagai manusia, mereka termasuk yang mempunyai ketaatan kepada ajaran agamanya, mempunyai keseriusan di dalam mendalami ajaran agamanya, mempunyai keberpihakan kepada umat Islam.
Kalau toh akhirnya ada yang menilai mereka mengalami distorsi di dalam memaknai dan mempraktekkan jihad, itu urusan mereka dengan Allah. Bagi yang sepaham dengan "Ijtihad" mereka, maka Amrozi, Ali Ghufron dan Imam Samudra adalah Mujahid. Sebaliknya, bagi yang tidak sepaham, ketiganya dijuluki Teroris.
Alumni Afghan
Dua dari trio terpidana mati Bom Bali I adalah alumni Afghan. Ali Ghufron alias Mukhlas adalah alumni Afghan angkatan kedua (masuk pada akhir 1987), satu angkatan dengan Abu Rushdan dan Mustapha alias Pranata Yudha. Sedangkan Imam Samudra angkatan kesembilan (masuk pada tahun 1991), seangkatan dengan Ali Imran (adik Ali Ghufran alias Mukhlas, yang juga terlibat kasus Bom Bali I namun tidak divonis hukuman mati).
Rombongan pertama dari Indonesia yang berjihad ke Afghan terjadi sekitar akhir 1984 hingga awal 1985, antara lain diikuti oleh Sa’ad alias Ahmad Roihan, yang juga terlibat dalam kasus Bom Bali I, bahkan beberapa kasus peledakan sebelumnya. Abu Dujana menutup rombongan warga Indonesia berlatih militer untuk berjihad di Afghan. Abu Dujana sebagaimana Ahmad Roihan juga sudah ditangkap aparat.
Sidney Jones, Direktur International Crisis Group (ICG) Biro Jakarta, pada salah satu kesempatan pernah mengatakan, kalau saja orang-orang seperti Imam Samudra tahu bahwa “proyek” Aghan merupakan rancangan CIA, niscaya mereka tidak akan mau pergi ke Afghan untuk berlatih militer dan berjihad. Benarkah demikian?
Tidak! Meski mereka tahu CIA berada di belakang “proyek” Afghan, tekad dan semangat jihad mereka membebaskan Muslim Afghan dari penjajahan rezim komunis Soviet, dapat mengalahkan realitas itu.
Sebagai superpower AS seharusnya mampu mengirimkan sejumlah pasukannya untuk mengusir komunisme Soviet dari Afghanistan. Namun kala itu AS belum pulih dari trauma akibat mengalami kekalahan siginfikan pada perang Vietnam yang berlangsung sejak 1961 hingga 30 April 1975. AS kehilangan lebih dari 58.000 prajuritnya dan menghabiskan lebih dari 15 miliar dollar AS.
Presiden AS terpilih, Kennedy, pada tahun 1961 mengirimkan 400 tentara ke Vietnam. Tahun berikutnya, Kennedy menambah pasukannya di Vietnam menjadi 11.000 tentara. Di tahun 1968, AS mengirimkan 500 ribu pasukannya ke Vietnam, belum termasuk berbagai pasukan dari Australia, Selandia Baru, Korea Selatan, Filipina dan Thailand yang berjumlah 90.000 orang.
Perang Afghan sendiri berlangsung awal 1980-an hingga awal 1990-an. AS tidak mau mengorbankan prajuritnya sebagaimana terjadi di Vietnam. Maka, pilihan jatuh kepada pemuda Islam di pelosok dunia yang terkenal dengan semangat jihadnya, termasuk dari Indonesia. Osama bin Laden menjadi sosok yang sangat penting, di samping tokoh-tokoh lainnya, di dalam merekrut dan memfasilitasi pemuda-pemuda Islam yang mau berjihad ke Afghan.
Membangkitkan Harimau
Sejak 1990 hingga 1995, alumni Afghan asal Indonesia berangsur-angsur pulang ke tanah air. Sebagian melanjutkan jihadnya ke Moro (Philipina), menghidupkan Kamp Hudaibiyah hingga akhir 1990-an.
Di Afghan, sebelum berjihad mereka melengkapi diri di Kamp Latihan dengan berbagai hal, seperti menggunakan senjata, kursus mengenali berbagai jenis bahan kimia dan meracik bahan peledak (bom), kursus menggunakan tank tempur, latihan tempur pada berbagai medan perang. Namun ketika kembali ke tanah air, keterampilan itu sama sekali tidak digunakan untuk melakukan aksi teror. Karena, mereka sama sekali tidak bercita-cita menjadi teroris, apalagi di negerinya sendiri.
*****
Jangan Lupakan Poso
Akan tetapi sejak tragedi 25 Desember 1998, ketika umat Islam sedang menjalankan shaum Ramadhan, dan umat Kristiani masih dalam suasana Natal yang seharusnya damai penuh kasih.
Tiba-tiba kedamaian itu dirobek-robek oleh pemuda kristiani yang dalam keadaan mabuk memasuki Mesjid kemudian membacok Ridwan.
Inilah kasus Poso pertama, yang mengawali kasus-kasus Poso lainnya.
Sekitar tiga pekan kemudian, 19 Januari 1999 pecah lagi kasus Ambon, yang diawali dengan aksi pemalakan yang dilakukan pemuda Kristen terhadap dua pemuda Muslim.
Konflik berlanjut secara meluas dan berdarah-darah. Hingga puncaknya terjadi pada 24 Desember 1999 hingga 7 Januari 2000, yang dinamakan kasus Tobelo-Galela, dengan korban terbanyak dari kalangan Muslim. Ada yang menyebutkan jumlah korban mencapai 3000 jiwa, dan 2800 di antaranya Muslim.
Menurut versi Gus Dur, korbannya hanya lima orang. Sedangkan menuruut versi Max Tamela, Pangdam Pattimura kala itu, korban yang diakuinya berjumlah 771 jiwa, mayoritas Muslim.
Belakangan diketahui, pada tragedi pembantaian di Tobelo-Galela ini, ada keterlibatan Sinode GMIH (Gereja Masehi Injil di Halmahera), yang mengkoordinir pengungsian umat Kristen ke Tobelo berjumlah sekitar 30.000 orang. Pengungsian dilakukan secara bertahap sejak pertengahan November hingga awal Desember 1999. Bahkan, pada Jumat 24 Desember 1999 dengan alasan pengamanan gereja, diangkut ratusan warga kristen dari Desa Leloto, Desa Paso dan Desa Tobe ke Tobelo. Mereka datang mengendarai truk dengan berbagai atribut perang seperti kain ikat kepala berwarna merah, tombak, parang dan panah.
Mei 2000, pecah lagi kasus Poso ketiga. Ratusan warga pesantren Walisongo, dibantai oleh Tibo dan kawan-kawan. Belakangan diketahui, ada keterlibatan Majelis Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) yang berpusat di Tentena. Juga, sejumlah tokoh (16 orang), sebagaimana disebutkan Tibo sebelum dieksekusi mati.
Peristiwa-peristiwa itu ibarat membangkitkan harimau yang sedang istirahat. Maka meledaklah aksi teror yang pertama kali dilakukan para alumni Afghan, yaitu peledakan Bom di Kediaman Kedubes Philipina. Aksi peledakan itu terjadi pada tanggal 01 Augst 2000. Alasannya, para pelaku pemboman menduga Philipina secara ilegal turut mengirimkan senjata ke Ambon (Maluku) yang kala itu sedang konflik, dan tentu saja menguntungkan salah satu pihak yaitu kelompok merah (kristen).
Kemudian, pada malam Natal 24 Desember 2000, terjadi ledakan di sejumlah gereja di berbagai kota di Indonesia, seperti di depan Gereja Katedral (Jakarta Pusat), Gereja Santo Yosef, dan halte bus sekolah katolik Marsudi Rini di Jalan Matraman Raya (Jakarta Timur), Gereja Koinonia (di Jatinegara, Jakarta Timur), juga gereja dan sekolah Kanisius, Jalan Menteng Raya (Jakarta Pusat). Ledakan juga terjadi di dekat gereja di Medan, Sumatera Utara, Mojokerto Jawa Timur, Mataram NTB dan Pekanbaru dan Batam Riau, serta Bekasi. Alasannya jelas, merupakan peringatan keras kepada kalangan Kristen terutama tokoh rohaniwan, yang sejumlah petinggi gerejanya justru menjadi aktor intelektual tragedi pembantaian Muslim di Ambon (Maluku) dan Poso.
Februari 2001 terjadi lagi pengusiran dan pembantaian terhadap warga Madura di Sampit, yang dilakukan oleh Dayak Kristen dan animis. Tragedi Pemenggalan kepala warga Madura oleh suku Dayak dilakukan secara demonstratif di siang hari dan di depan kamera teve lokal dan internasional yang sedang meliput.
Dua bulan kemudian, April 2001, pecah lagi kasus Poso ke-4.
Meski tidak ada kaitannya dengan kasus Sampit, Ambon dan Poso, yang jelas pada 11 September 2001, terjadi tragedi WTC 911 di negerinya Bush. Tudingan teroris yang dilekatkan kepada Islam, mulai disosialisasikan Bush. Kekhawatiran Bush terhadap aksi terorisme yang dilekatkan kepada Islam, ibarat senjata makan tuan. Perang melawan terorisme pun dicanangkan, karena AS (CIA) yang paling tahu kualitas mujahid alumni Afghan. Ibarat sang guru yang tahu betul kualitas murid-muridnya.
Setahun kemudian, 12 Oktober 2002, barulah meledak kasus Bom Bali I yang menewaskan 202 korban jiwa dan 350 orang lainnya mengalami luka-luka berat dan ringan. Secara keseluruhan, korban tewas pada kasus Ambon, Poso dan Sampit, terutama dari pihak Islam, jumlahnya puluhan bahkan ratusan kali jauh lebih besar dibandingkan dengan korban tewas pada kasus Bom Bali I dan II.
Kurang setahun dari kasus Bom Bali I, terjadi peledakan di depan lobi Hotel JW Marriott, tanggal 5 Agustus 2003 sekitar pukul 12.40 wib, menyebabkan 10 orang tewas dan 152 luka-luka. Setahun kemudian, terjadi Bom Kuningan (9 September 2004), di depan Kedubes Australia jalan HR Rasuna Said, Jakarta. Setahun kemudian, terjadi Bom Bali II (01 Oktober 2005). Sekitar sebulan kemudian, Doktor Azhari yang selama ini menjadi hantu teroris berhasil ditembak mati, di kawasan Batu, Malang, pada 09 November 2005.
Objektif dan Adil
Pasca tertembaknya Azahari, kasus peledakan betul-betul terhenti, sampai saat ini. Namun, potensi teror tetap ada, bila merujuk pada adanya penangkapan di Palembang (01 Juli 2008) dan Kelapa Gading (21 Oktober 2008), yang menjadikan target peledakannya Depo Pertamina Plumpang, Jakarta Utara.
Meski Azahari sudah ditembak mati, dan tiga ratusan anggota jaringan teroris sudah ditangkap, termasuk tokoh-tokoh penting seperti Abu Dujana, para pengamat pun menyatakan prediksinya tentang potensi destruktif dari gerakan terorisme Jama’ah Islamiyah tinggal sepuluh persen saja namun potensi teror dinyatakan tetap ada, bahkan pihak kepala Polri yang baru menyebutkan terorisme kini justru ada di mana-mana. Dengan alasan, Noordin M Top yang selama ini dinilai ahli melakukan rekrutmen, dinyatakan belum tertangkap. Artinya, meski Amrozi cs ditembak mati sekalipun, potensi teror masih tetap tinggi.
Lantas, bagaimana mengeliminasi potensi teror sebagaimana terjadi selama ini? Semua pihak seyogyanya, terutama pemerintah harus bersikap objektif dan berlaku adil lihat akar masalahnya. Ini resepnya. Akar masalahnya, pertama, ada pembantaian yang dilakukan umat Kristiani terhadap umat Islam baik di Ambon (Maluku) maupun di Poso. Ini bukan konflik horizontal biasa. Fakta ini diabaikan, bahkan dipaksakan menjadi konflik horizontal biasa, yang dimulai dari adanya pertikaian antara preman dari kedua belah pihak. Padahal, faktanya tidaklah demikian.
Kamis, 25 Jan 2007, Ust. Ahmad didampingi beberapa tokoh Forum Umat Islam, termasuk Ust. Abu Bakar Ba’asyir dari MMI dan Habib Rizieq dari FPI, mendatangi Komnas HAM untuk menyampaikan fakta Rekaman Video Yang Menjijikkan Yang terjadi sesungguhnya adalah ummat non Muslim (Kristen-Katholik) sebagai pihak yang memulai pertikaian ini, yang diyakini ada keterlibatan gereja serta tokoh-tokoh masyarakat Kristen-Katholik di sana sebagai perancang aksi (aktor intelektual). Mereka memulai penyerangan dan pembunuhan, sedangkan ummat Islam hanya melakukan reaksi balik, sekaligus dalam rangka mempertahankan diri. Bantuan yang datang dari luar titik konflik, karena ummat Islam menyadari posisi aparat baik pusat maupun daerah meberi porsi berat sebelah, sama sekali tidak melindungi masyarakat muslimnya.
Akar masalah kedua, sikap arogan dan tidak loyal kalangan Kristen-Katholik. Sikap arogan ini terjadi terutama di daerah-daerah tertentu yang masyoritas penduduknya non-Muslim. Pengusiran hingga pembantaian (moslem cleansing) terjadi di beberapa daerah-daerah ini. Sedangkan di daerah-daerah yang masyoritas penduduknya Muslim, umat Kristen-Katholik Hindu tidak pernah ada pengusiran apalagi pembantaian. Dari daerah-daerah ini pula ancaman dan gertakan memisahkan diri dari NKRI sering dikumandangkan. Ini menunjukkan bahwa non-Muslim (kecuali umat Budha) secara konsisten menebar benih dan memang tidak loyal kepada NKRI.
Seharusnya, pemerintah dan aparat keamanan mendorong tokoh Kristen-Katholik berjiwa besar, dengan mengakui kekeliruan sebagian ummatnya maupun tokoh gereja, yang secara sengaja menjadi aktor intelektual dalam pembunuhan ummat Islam. Permintaan maaf tersebut dilakukan secara terbuka, sehingga terbaca oleh alumni Afghan, insya Allah hal tersebut dapat menyejukkan hati mereka.
Selain itu, aparat juga harus berlaku adil. Dalam menangani kasus Poso yang berkepanjangan, misalnya, untuk operasi pemulihan keamanan yang targetnya pelaku teror dan pembantaian dari pihak Kristen, aparat menggunakan sandi Operasi Cinta Damai. Sedangkan bila hal yang sama ditujukan kepada komunitas Islam, aparat menggunakan sebutan Operasi Raid yang bermakna serbu atau basmi, hal ini mengingatkan kita pada racun pembasmi nyamuk. Ini jelas tidak adil dan sangat provokatif. Setidaknya menimbulkan kegeraman.
Saya yakin mereka tidak bercita-cita jadi teroris. Mereka manusia biasa saja. Namun bila ratusan (atau ribuan) saudara seagamanya dibantai oleh saudara lainnya yang berbeda agama, jelas dan pasti mereka tentu tidak mungkin berpangku-tangan.
Ke Afghan yang jauh saja mereka siap bersabung nyawa. Apalagi hanya ke Ambon dan Poso. Demikian halnya soal keberanian dalam jihad, saya pastikan bahwa ummat Islam Indonesia memiliki sangat banyak pemuda muslim yang jauh lebih berani dan pintar dari Azahari atau Amrozi cs, apalagi kalau hanya sekedar meletakkan sebuah atau beberapa rangkaian bom di tempat-tempat yang tidak beresiko. Masalahnya, ummat Islam yang potensinya lebih baik tersebut masih diberi kesadaran dan akal sehat, dan yang lebih penting lagi adalah apakah pihak pemerintah punya kemauan politik untuk menyelesaikan atau tidak?.
Kasus Poso II
16-19 April 2000
Minggu 16 April 2000, di Terminal Poso dua pemuda pemabuk asal Desa Lambodia dan Lawanga (desa Islam dan Kristen) terlibat pertikaian. Warga kedua desa saling serang, aksi bentrok massa meluas ke daerah sekitar Poso, juga menyulut bentrokan antara Kelompok Merah dengan Kelompok Putih. Dari peristiwa ini sedikitnya tiga orang tewas, empat orang luka-luka, 267 rumah terbakar, enam mobil terbakar, lima motor hangus, tiga gereja hancur, lima rumah asrama polisi hancur, ruang Bhayangkari Polda terbakar.
16 Mei 2000
Selasa 16 Mei 2000, Dedy seorang pemuda dari desa Kayamanya (suku Gorontalo) tengah mengendarai motor Crystal pada malam hari, tiba-tiba dihadang sekelompok pemuda Kristen yang mabuk di Desa Lambogia. Dedy sempat melarikan diri dengan motornya, namun terjatuh sehingga tubuhnya mengalami luka-luka. Setelah diperban, kemudian Dedy melaporkan pada teman-temanya di desa Kayamanya, bahwa ia dibacok oleh pemuda kristen Lambogia.
17 Mei 2000
Rabu 17 Mei 2000, warga muslim Kayamanya (sekitar 20 orang beserta aparat) mendatangi Kelurahan Lambogia untuk mencari oknum pelakunya namun disambut dengan serbuan panah/peluncur dari warga Lambogia. Dan pada malamnya, warga Kayamanya membakar Desa Lambogia sekitar 400 rumah serta sebuah gereja Beniel.
19 Mei 2000
Jum’at 19 Mei 2000, ditemukan mayat Muslim korban pembantaian di Jalan Maramis kelurahan Lambogia, dengan luka bacokan dan leher tertusuk panah. Kemudian warga muslim terpancing emosi dan bergerak kembali membakar gereja Advent dan sebuah gereja besar dekat terminal, gedung serba guna, SD, SMP dan SMA Kristen. Warga kristen mengungsi ke kelurahan Pamona Utara (Tentena) dan Tagolu yang merupakan basis Kristen.
Setelah kejadian tersebut, umat Islam di Kelurahan Kowua bersiaga penuh mengantisipasi serangan balasan. Seorang muallaf bernama Nicodemus yang kebetulan bekerja di Tentena ditugaskan untuk memantau perkembangan warga Kristen di Tentena. Setelah 2 minggu kemudian, Nico kembali ke Poso karena merasa dirinya sedang diintai. Namun dari situ muncul kesepakatan untuk menginformasikan melalui kata Sandi Pak Nasir (Nashara) datang berobat lanjut ke Poso berarti akan ada penyerangan kaum Nasrani.
22 Mei 2000
Senin 22 Mei 2000, Pak Maro (muallaf) dari kelurahan Lawanga, yang disusupkan di Kelurahan Kelei, datang ke kediaman Ust. Abdul Gani, membawa pesan akan ada penyerbuan pada shubuh hari. Pak Maro menyamar dengan memakai kalung salib dan mentato tubuhnya. Di Kelei yang merupakan basis kristen pernah diadakan latihan militer. Jam 5.30 sore ada interlokal dari Nicodemus di Tentena ke rumah pak Abdul Gani memberitakan, bahwa “Pak Nasir (Nashara) akan berkunjung obat ke Poso malam ini atau besok.”
Jam 7 malam, seorang pemuda bernama Heri Alfianto yang juga ketua Remaja Masjid Kowua memberikan informasi bahwa di rumahnya yang kebetulan terdapat TUT (Telepon Umum Tunggu), ada seorang Kristen yang diduga ingin menggunakan jasa telepon bercerita kepadanya bahwa pada jam 2 malam akan ada penyerangan dari masyarakat Flores (Kristen). Sekedar gambaran, Heri Alfianto dilihat dari raut wajahnya mirip orang Kristen karena ibunya berasal dari Manado yang muallaf, sehingga orang kristen mengira Heri juga orang Kristen. Penyerangan dilakukan per kelompok kecil dengan sasaran KBL (Kayamanya, Bonesompe, Lawanga) dan menculik tokoh-tokoh Islam Poso, antara lain Haji Nani, Ust. Adnan Arsal, dll.
Pada malam itu juga dikumpulkan para tokoh yang tergabung dalam “Forum Perjuangan Umat Islam” yang terbentuk sejak kerusuhan Poso jilid I di rumah Ust. Adnan Arsal dan langsung mengkoordinasikan pembagian tugas penjagaan di pos-pos yang telah ditentukan. Pertemuan itu selesai jam 21.30. Pada malam itu sudah tersebar isu penyerangan terutama di Kecamatan Poso Pesisir, sehingga setiap warga, baik Islam dan Kristen, berjaga-jaga mengamankan diri.
Pada jam 24.00 rombongan Muspida beserta Ketua DPRD Tk.II Akram Kamarudin, menenangkan warga, memberitahukan kepada warga Poso bahwa berdasarkan informasi Kapolsek Pamona Utara, Koramil Pamona Utara dan Camat Pamona Utara isu penyerangan itu tidak benar dan menyesatkan. Akhirnya warga yang tadinya berjaga di pos-pos bubar dan kembali ke rumah, kecuali warga di Kelurahan Kowua. Bahkan pemuda Kowua membantah berita dari Muspida tersebut karena yakin dengan info dari Nico di Tentena.
Setelah itu muncul tanda bahaya berupa kentungan pada tiang listrik dari desa seberang sungai, tepatnya di PDAM, Kelurahan Gebang Rejo. Kemudian dikonfirmasikan melalui telepon ke Ust. Adnan Arsal yang tinggal di Gebang Rejo, namun dijawab bahwa sampai saat ini belum ada tanda pengerahan massa yang melewati Desa Gebang Rejo. Tak berapa lama, Pak Adnan Arsal memberitakan memang ada penyerangan dilakukan hanya oleh kelompok kecil berpakaian ninja..
Kasus Poso III
23 Mei 2000
Selasa 23 Mei 2000 sekitar pukul 02.00 wita terjadi kerusuhan yang dipicu oleh 13 “Pasukan Ninja” bersenjatakan kelewang, senjata pelontar dan tombak. Salah satu dari tiga ninja yang berhasil ditangkap adalah perempuan berumur sekitar 25 tahun. Salah seorang lainnya mengaku warga trans Beteleme asal Nusa Tenggara. Pasukan ninja ini beraksi dengan mengintai warga yang melintas di poros jalan Kelurahan Kayamanya. Siapa pun yang melintas di poros jalan itu mereka bacok.
Kelompok ninja tersebut membawa sandera (Pak Alwi, pegawai BNI), dibawa ke Desa Kayamanya dengan tujuan mencari Haji Nani Lamusu. Dari pihak Polres, yakni Bapak Serma Kamaruddin Ali (47) yang ingin menyelamatkan sandera dan mencoba bernegosiasi, berkata: “Saya ini polisi”, sembari mencabut pistol. Namun Pak Kamarudin keburu tewas di tempat dibacok kelompok ninja itu. Sedangkan pak Alwi (sandera) selamat dan melarikan diri. Mereka berhasil membakar rumah Haji Nani Lamusu, dan terus maju ke desa Moengko Baru, di situ didapati seorang mantan lurah, Pak Abdul Syukur (40) yang ingin memukul tiang listrik tanda bahaya dibacok hingga tewas. Selain itu yang kena bacok dan langsung tewas Baba (62) warga kelurahan Moengko Baru. Sebagian dari “pasukan ninja” saat dikejar oleh masyarakat langsung bersembunyi di kompleks Gereja Katolik di Kelurahan Kayamanya.
Pada hari yang sama, beredar isu yang isinya semua rumah-rumah ibadah (Gereja) di sekitar Kota Poso akan dibakar dan sejumlah tokoh-tokoh kristen akan diculik. Berdasarkan isu itu, sejumlah umat kristen mengungsi ke asrama-asrama Kodim dan Polres Poso.
24 Mei 2000
Rabu dinihari 24 Mei 2000, terjadi penyerangan mendadak dari sekelompok orang berpakaian ala ninja ke beberapa pos pengamanan di beberapa kantong muslim. Berikutnya, warga Kelurahan Kayamanya (Islam) hendak melakukan penyerangan ke warga Kelurahan Lombogia dan kantong-kantong permukiman Kristen lainnya. Polisi menghalangi niat itu. Tapi kerusuhan tak bisa dibendung. Akibatnya, tiga orang tewas; salah satunya polisi (Serda Pol Rudy yang tertembak senjata rakitan) dan 15 orang luka-luka.
26 Mei 2000
Jumat 26 Mei 2000, Pasukan Merah yang berjumlah ribuan mengepung dan berusaha menguasai kota Poso. Tetapi di perbatasan kota mereka ditahan oleh Komando Jihad yang berjumlah sekitar 900 orang. Akibat kebiadaban Pasukan Merah, sekitar 1500 muslim tewas dan hilang.
Jumat 26 Mei 2000, puluhan warga muslim Kecamatan Lage berencana mengungsi ke Poso Kota dengan menumpang delapan buah mobil. Ketika rombongan tiba di Togolu, mobil-mobil mereka dicegat oleh Kapolsek dan Camat Lage. Kapolsek dan Camat menyuruh pengungsi kembali ke kampung dengan alasan Laskar Kristen sudah dipergikan. Akhirnya, rombongan mengungsi ke pingir kuala (Ahad, 28 Mei 2000), selanjutnya rombongan langsung lari ke Kayoe wilayah Lembomawo untuk menginap semalam. Di tempat ini, Laskar Kristen menemukan mereka dan langsung menggeledah. Wens Tanagiri menggiring rombongan dari Kayoe ke pinggir kuala kemudian ke Kayoe lagi, kemudian digiring lagi ke dalam hutan besar Tambora. Di sini, rombongan sempat tidur dua hari dua malam. Paginya, Pak Hamidun, Jumirin, Slamet, Pardono dan Suman bermaksud turun ke Kuala untuk mengambil air, mendadak mereka disergap oleh Laskar Kristen yang berjumlah sekitar 70 orang. Anggota rombongan lain sempat lari dan bersembunyi. Namun esoknya, Laskar Kristen berjumlah 75 orang sekitar jam 11 siang datang lagi, melakukan penyergapan. Pengungsi perempuan ditelanjangi, sedangkan pengungsi laki-laki diikat tangannya menjadi satu renteng, ditendang, disiksa, dan dibawa pergi entah ke mana. Hingga kini tak pernah kembali.
27 Mei 2000
Sabtu 27 Mei 2000 sekitar pukul 07.00 pagi, sekitar 300 orang Pasukan Merah yang bergerak di sebelah Timur memasuki desa Tokorondo dari Desa Masani. Begitu masuk desa, mereka dihadang oleh sekitar 400 orang pasukan putih. Tetapi begitu melihat persenjataan yang dibawa oleh pasukan merah, komandan pasukan putih memerintahkan anak buahnya untuk mundur. Pasukan Merah bertindak ugal-ugalan. Mereka memberondongkan peluru secara membabi buta. TNI baru datang sekitar tanggal 6 Juni 2000. TNI terlambat datang karena mereka (Pasukan Merah) memutus jalan darat menuju Poso. Jadi disamping bergerak menghabisi dan membakar rumah-rumah kaum muslimin, mereka juga menebangi pohon-pohon dan membiarkannya melintang di jalanan.
Sabtu 27 Mei 2000 malam hari, Saleh (40) dikejutkan oleh orang-orang yang menyelinap ke dalam areal Ponpes Wali Songo, sehingga membuat warga Pondok terbangun dan berjaga-jaga sampai pukul 03.00 WITA.
28 Mei 2000
Minggu 28 Mei 2000 pagi hari, terjadi bentrokan antara massa Islam dan Kristen di Tokorando, sekitar 70 warga Kristen bersenjata api melawan 400 warga muslim bersenjata parang dan golok. Warga muslim terpukul mundur.
Minggu 28 Mei 2000, sekitar pukul 09.00 WITA tiba-tiba datang segerombolan orang yang berpakaian hitam-hitam lengkap dengan senjata parang, golok, dan senjata khas organik. Beberapa di antaranya masuk ke masjid dan membunuh 3 orang santri yang berada di dalamnya. Asrama putra dan putri berhasil dikuasai perusuh, seluruh penghuninya disuruh keluar dan disandera mereka, kemudian diikat tangannya kemudian dibawa ke hutan didaerah Sintulemba. Jumlah santri putra 38 orang dan perempuan 28 orang beserta pimpinan dan gurunya. Di hutan santri putri disuruh pulang menuju tempat pengungsian. Santri, guru, pimpinan Ponpes berjalan masuk hutan dengan berkelompok (1 kelompok 5 orang) sampai daerah Lembanawa. Di Lembanawa para perusuh bertemu komandannya dan para santri dibawa ke Ronononcu dan ditempatkan di Baruga (balai desa).
Di Baruga inilah (saksi hidup) menuturkan ia dan teman seluruh anggota badannya diiris-iris dengan parang, golok, pahanya diinjak-injak, dipukul dengan laras senjata bahkan muka santri-santri tidak berbentuk lagi (karena dihantam dengan benda-benda tumpul). Luka irisan tsb. lalu disiram pasir dan kemudian disiram air panas. “Saya (Ih) mengetahui bahkan mengenali wajah perusuh tersebut yang ternyata anggota TNI.”
Menurut saksi hidup (Ih), jumlah perusuh kurang lebih 50 orang dan bercadar ala ninja. Lalu santri tersebut dinaikkan ke dalam truk dan di bawa ke daerah Togolu, pinggir Koala (sungai) Poso. Disinilah pembataian terjadi, santri yang turun dari truk langsung disambut dengan tebasan golok/parang sampai kepalanya lepas dari badannya. Melihat hal ini, Ih langsung terjun ke sungai. Seketika itu ikatan tangannya terlepas. Empat orang santri yang berhasil lolos dari pembantaian tersebut, Ilham dengan luka bacokan, tusukan golok, berenang menyelusuri sungai Poso kurang lebih 5 km dan berhasil diselamatkan oleh pengungsi (Islam) dan dirawat di pengungsian (Kompi).
Beberapa hari kemudian ditemukan 60 mayat mengambang di Sungai Poso, dan 146 mayat lainnya ditemukan penduduk di tiga titik bentrokan, yakni Kelurahan Sayo, Kelurahan Mo’engko dan Desa Malei di pinggiran selatan kota Poso. Diperkirakan mayat-mayat yang ditemukan hanyut di Sungai Poso berasal dari Pesantren Walisongo, sebab lokasi pasantren tersebut berada di bagian hulu Sungai Poso. Seorang aparat keamanan setempat mengatakan lima dari puluhan mayat penuh bacokan sekujur tubuhnya dan terikat menjadi satu yang ditemukan mengapung di Sungai Poso.
Minggu 28 Mei 2000, Pendeta Donald ditahan petugas pos jaga desa Palawa kec. Parigi, dari saku pendeta ini ditemukan pula peta lokasi peyerangan. Juga, selebaran berisi daftar 63 nama oknum dari pihak Kristen yang terlibat sekaligus jadi penghubung dalam kerusuhan Poso. Dari ke 63 nama itu, di antaranya terdapat nama Mely, istri kedua konglomerat Taipan terkenal Eka Cipta Wijaya (bos Sinar Mas group) yang tercantum pada urutan ke-20 sebagai oknum yang turut melibatkan diri ke dalam konflik Poso.
Minggu 28 Mei 2000, kerusuhan Poso berupa kontak fisik antara Kelompok Merah dan Kelompok Putih semakin meluas, selain terjadi di Kelurahan Sayo (di dalam Kota Poso) juga merambat ke wilayah Kecamatan Lage dan Poso Pesisir. Bentrok fisik terbesar terjadi di Kelurahan Sayo dan di Kasiguncu, ibu kota Kecamatan Poso Pesisir, melibatkan ribuan massa dari kedua kelompok yang bertikai.
Ketegangan kian meningkat karena ribuan massa Kelompok Merah dari Kecamatan Pamona Utara, Mori Atas, Lembo, dan Lore Utara terus berdatangan dan membantu rekan mereka di lokasi-lokasi kerusuhan. Massa kelompok merah memblokade semua ruas jalan masuk ke Kota Poso. Tokoh masyarakat dan pemuka agama di Palu mendesak Kapolri Letjen Rusdihardjo segera memberlakukan Siaga I di Kota Poso dan sekitarnya.
29 Mei 2000
Senin 29 Mei 2000, perang antar pasukan putih dan merah di Kabupaten Poso masih berlangsung. Setelah menguasai Kota Poso, pasukan merah menuju Desa Masani dan Takurondo (sekitar 25 km arah utara Kota Poso). Abdul Jihad (26) ditembak dari jarak lima meter, kepalanya hancur dan langsung tewas seketika, sebagaimana dilaporkan saksi mata Sudirman (23).
Kelompok merah menggunakan senjata api yang dipasok dari Manado dengan Helikopter yang diturunkan di Tentena. Sementara, kelompok putih hanya menggunakan pelontar, senjata rakitan, parang dan tombak. Aparat perintis dari Polda Sulteng, lari kocar-kacir ketika pasukan merah mengarahkan senjatanya pada mereka. Saat itu, aparat yang diperbantukan untuk mengamankan Poso, terdiri dari 3 SSK Polda Sulteng, 1 SST masing-masing dari Polres Banggai dan Polres Tolitoli, 2 SST dari Korem 132/Tadulako. Di samping 3 SSK yang sudah ada di Poso.
Senin 29 Mei 2000 (kesaksian Abdurrahman, 32): Saya disandera di Tangkura, sekitar 18 KM dari Sangginora, Poso Pesisir. Saya ditodong dengan Tombak. Sebagai tawanan, kami diberi makan seperti makanan anjing, disedu dengan tempurung. Jam 12, saya bergabung dengan tawanan lain di SDN 2 Tangkura. Di tempat itu ratusan jumlahnya.
Tengah malam, satu mobil kijang pasukan Kristen datang. Mereka mengambil dua tawanan, Muis dan Arifin. Sekitar 15 menit berlalu, terdengar bunyi suara tembakan: “…door!” Masing-masing pasukan Kristen diberi kesempatan mengambil sandera yang dia ingini.
Lantas saya mencoba memberikan saran kepada pasukan Kristen supaya saya saja yang disandera dan yang lainnya dibebaskan, tapi tidak digubris. Esoknya giliran saya yang diciduk. Saat itu saya sedang tertidur. Saya disergap dan diikat. Kedua kaki, kedua tangan, dan mata saya diikat dengan kain hitam. Dipaksa naik mobil open cup merah sambil dipukul dengan senjata. Saat itu saya bilang sama mereka, kalau niat bunuh saya, bunuh saja. Nggak usah dibawa ke mana-mana. Sayapun dibawa. Sampai di pemberhentian jembatan Sangginora, saya dipindahkan ke mobil dump truck. Betapa kagetnya saya, di dalam truk itu sudah tergeletak tujuh tubuh manusia. Dalam perjalanan, tiga mayat dinaikkan pula ke truk itu. Tak lama kemudian truk berhenti. Ternyata sampai dipinggir jurang. Saya bersama tubuh-tubuh manusia tadi dicurahkan ke jurang. Mereka pikir, dengan membuang kami ke jurang seperti itu kami sudah mati. Ternyata, saya bersama dua lainnya masih bernyawa. Samar-samar saya mendengar suara salah seorang pasukan Kristen berkata dalam bahasa Poso yang artinya, “Biar mati sendiri di jurang.” Salah seorang dari kami, mencoba merangkak ke atas jurang. Sayang, dia terlihat oleh pasukan Kristen yang kebetulan masih berada di bibir jurang. Akhirnya dia tewas ditembak. Tinggallah kami berdua. Kami saling membuka ikatan. Kami bersembunyi di hutan satu minggu lamanya. Suatu hari kami diselamatkan seseorang. Kami menumpang mobil bermuatan kopra dan coklat menuju Tolai, hingga selamat sampai di Parigi.
30 Mei 2000
Selasa pagi 30 Mei 2000, Kadispen Polda Sulawesi Tengah Kapten Pol Rudi Suprapto di Palu mengatakan kerusuhan terjadi di Kelurahan Moengko, Gebang Rejo, Lawengko, dan Sayo. Sejak pagi, perusuh mencoba menekan dengan masuk ke kota, tetapi sampai pukul 11.00 WIT petugas kemanan berhasil mendorong mereka ke luar kota. Para perusuh menggunakan senjata tajam dan senjata rakitan. Sedikitnya dua orang meninggal, sepuluh orang luka berat, dan seorang luka ringan. Kadispen Polda menyatakan tiga orang yang diduga otak pelaku kerusuhan sudah ditahan. Perusuh itu transmigran asal Flores yang lahir di Palu.
31 Mei 2000
Rabu 31 Mei 2000, sebuah mobil Ambulance dicegat massa Muslim di Desa Palawa Parigi yang disinyalir membawa senjata untuk massa Kristen di Kota Poso.
02 Juni 2000
Jum’at pagi 02 Juni 2000 sekitar pukul 06.30 WIT di Kelurahan Kayamanya tiba-tiba warga pengungsi muslim yang berjumlah 50 orang dan sedang mengungsi di Masjid Nurusy Sya’adah Kayamanya, diserbu oleh sekitar 700 anggota Pasukan Merah yang datang dengan menumpang beberapa truk dan mobil bak di bawah pimpinan Panglima Advent L. Lateka serta Panglima Wanita Paulin Dai.
Pasukan Merah yang datang dengan kesombongan sambil membawa bendera merah-putih dan berkoar-koar menyebut-nyebut nama Yesus si Juru Selamat, ternyata pulang dengan tunggang langgang setelah Panglimawati Paulin Dai terkena dum-dum di dada kirinya. Nyali Pasukan Merah pun kontan ciut. Mereka lari. Sayangnya Lateka yang sudah tua tidak cepat mengikuti langkag kaki pasukan merah yang masih muda. Lateka tertinggal, dan akhirnya tewas, padahal sebelumnya ia begitu perkasa dan kebal senjata.
Menurut Agus Dwikarna Ketua Kompak (Komite Penanggulangan Masalah Krisis) di Poso Sulteng, jumlah korban terbesar terjadi di Desa Sintu Temba, Kabupaten Poso, sekitar 150 KK tewas dibunuh atau sekitar 350 jiwa. Salah seorang saksi hidup yang selamat adalah Udin (18). Diceritakan Udin, penyerang datang dalam jumlah besar pada malam hari dan langsung membantai penduduk yang masih hidup. Sebagian penduduk, lanjut Udin disandera dan dinaikan truk. Udin sendiri lolos setelah melompat dari truk yang melaju. Selain di desa Sintu Temba, pembantaian juga terjadi di Tegalrejo terhadap sekitar 64 KK.
03 Juni 2000
Sabtu 03 Juni 2000, ribuan pengungsi Muslim ditampung di tempat darurat, antara lain Mess Pemda Tk. II Poso, di Kota Parigi, di Kota Ampana dan di perguruan Al-Khairat Palu serta pondok pesantren dan Masjid yang ada di Kota Palu dan Parigi. Massa Kristen telah menguasai kota Poso dan Poso Pesisir dan terus melakukan pembakaran terhadap rumah-rumah yang ditinggalkan oleh penduduk.
04 Juni 2000
Minggu 04 Juni 2000, Hendra sultan Haji Panyae dibunuh (dipotong) di Kelurahan Moengko Baru di Hotel Kartika. Korban tidur berempat dengan temannya.
05 Juni 2000
Senin 05 Juni 2000, diperkirakan sudah 5000 orang pengungsi meninggalkan Poso menuju Parigi yang berjarak sekitar 250 km dari Poso. Jalur transportasi Poso terputus, satu-satunya jalur yang bisa dilewati transportasi adalah laut. Namun aparat tidak berani menjamin keselamatan tim kemanusiaan termasuk tim medis dan wartawan. Ketika sampai di Parigi, kondisi pengungsi sangat memprihatinkan. Anak balita mereka terserang wabah diare karena sanitasi yang tidak mendukung. Setiap hari rata-rata ada 5 balita yang harus menjalani pengobatan.
Senin 05 Juni 2000, aparat terlibat baku tembak dengan massa perusuh yang mencoba masuk kota lewat Jembatan II. Mereka ditaksir tak kurang dari 60 orang. Karena gagal setelah dipukul mundur aparat mereka kemudian mengalihkan serangan ke Desa Lembomawo. Desa Lembomawo setelah masuk dalam kepungan kelompok merah, dikabarkan banyak penduduknya yang hilang. Juga dilaporkan bahwa Tsanawiyah Alkhairaat Sintuwu Lembo di KM 9 Poso dibakar dan Ustadz Siradjuddin, pimpinan Tsanawiyah itu dibantai oleh massa perusuh tadi.
06 Juni 2000
Selasa 06 Juni 2000 beredar “Buku Putih” Crisis Centre Majelis Sinode GKST (Gereja Kristen Sulawesi Tengah) yang ditandatangani oleh Pdt. Rinaldy Damanik, M.Si dan Pdt M Papasi, MTH. Dokumen setebal 24 halaman ini disebarkan kepada berbagai kalangan seperti Presiden dan Wapres RI, pejabat tinggi/tertinggi negara, Komnas HAM, Panglima TNI, Kapolri, serta sejumlah kedutaan negara asing di Jakarta. Isinya sebagian besar menyudutkan umat Islam.
Bentrokan kembali terjadi di Pinggiran Poso (Desa Maleilegi dan Desa Dojo) yang mengakibatkan Desa Maleilegi hangus terbakar, 66 orang tewas, 92 orang luka-luka (warga memperkirakan ada 150 kepala keluarga).
Selasa sore 6 Juni 2000, satu anggota TNI Kopda Pornis PD tewas ditembak Pasukan Merah.
07 Juni 2000
Rabu pagi 7 Juni 2000, di Desa Malei terjadi lagi pertempuran antara Pasukan Merah dengan aparat. Satu anggota Brimob Polda Sulteng Pratu Ratu Arfan tertembak dengan luka cukup parah. Komandan Korem 132/Tadulako Kolonel Hamdan Z. Maulani, mengatakan Kelompok Merah kian aktif menyerang aparat.
Kelompok Merah berani melakukan penyerangan kepada aparat dan tampak arogan. Pernyatan ini disampaikan Hamdan di hadapan sejumlah tokoh agama dan masyarakat Sulteng, pada pertemuan dengan Gubernur Sulteng HB Paliudju di Wisma Haji Palu. Tokoh Islam diwakili oleh Sekretaris Jenderal PB Alkhairaat M. Lationo dan Prof. Tjatjo Taha. Sedangkan tokoh Kristen diwakili oleh Drs. Datlin Tamalagi dan Drs. FE. Bungkudapu.
11 Juni 2000
Minggu 11 Juni 2000 Karl Heins Reiche (35) warga negara Jerman yang diduga memprovokasi massa di sejumlah daerah sebelum kerusuhan Poso meletus, ditangkap petugas di salah satu hotel di Tana Toraja. Karl yang saat digerebek kepergok memiliki sejumlah peralatan elektronik canggih itu, tidak bisa memperlihatkan dokumen resmi (visa, paspor dan surat imigrasi lainnya), ia malah mengelabui petugas dengan berpura-pura mau mengambil dokumen imigrasi padahal melarikan diri.
Petugas melakukan pengejaran ke Makale Kabupaten Tator, Karl berhasil dibekuk di perbatasan Luwu dengan Tator (12/6). Menurut Kapolwil Pare Pare Kolonel Pol Mardjito, saat diperiksa Karl mengaku sempat mondar-modir di Palopo dan Tator beberapa waktu lalu untuk memprovokasi massa. Karl juga mengaku menjadi provokator di Poso dan Tentena, basis utama kelompok Merah, sebelum kerusuhan Poso meletus. Selain Karl, aparat juga berhasil mengamankan satu dari 2 penduduk lokal yang selama ini bersama Karl memprovokasi massa. Keduanya kini meringkuk di tahanan Polwil Parepare untuk menjalani pemeriksaan intensif. Namun, sehari kemudian keberadaan Karl sulit diketahui, Polwil Parepare terkesan menutup-nutupi keberadaan Karl.
15 Juni 2000
Kamis 15 Juni 2000, sehubungan dengan beredar “Buku Putih” Crisis Centre Majelis Sinode GKST (Gereja Kristen Sulawesi Tengah), sejumlah 36 Ormas dan OKP Islam mengeluarkan pernyataan bersama untuk meluruskan pernyataan-pernyataan yang termuat di dalam “Buku Putih” tersebut, karena dianggap memutarbalikkan fakta sebenarnya. Pernyatan bersama ini baru dipublikasikan media massa beberapa hari kemudian, yaitu 20 Juni 2000.
Kamis 15 Juni 2000 personil TNI yang tergabung dalam Operasi Cinta Damai di bawah BKO Polda Sulteng di sebuah gereja di Kelurahan Kasiguncu, menemukan 2 pistol rakitan dan 145 peluncur granat, beserta kelewang dan sejumlah tombak.
06 Juli 2000
Kamis 06 Juli 2000, Pangdam VII Wirabuana Mayjen TNI Slamet Kirbiantoro kepada wartawan di Makodam Wirabuana mengungkapkan, dari 29 aparat TNI Kodim Poso yang diperiksa dalam kasus kerusuhan di Poso Sulawesi Tengah, 7 di antaranya terlibat langsung saat terjadi kerusuhan, antara lain berupa memberikan bahan pangan dan peluru ke kelompok perusuh yang mengakibatkan korban tewas semakin banyak. Menurut Komandan Pomdam Wirabuana Kol. Sudirman Panigoro, ketujuh anggota TNI tersebut terdiri dari 5 bintara dan 2 perwira. Pada kesempatan itu Mayjen TNI Slamet Kirbiantoro juga mengatakan, sampai 6 Juli 2000 data yang diterima sudah 211 korban tewas yang telah ditemukan melalui beberapa kuburan massal. Banyaknya korban yang tewas itu, menandakan benar-benar telah terjadi pembatantan. “Bayangkan, sepanjang 45 KM di Poso semua rumah dan gedung hancur terbakar,” ungkap Pangdam.
13 Juli 2000
Kamis 13 Juli 2000, terjadi pembakaran dan penjarahan secara sporadis di Kecamatan Poso Kota, Kecamatan Lage, dan Poso Pesisir, serta sejumlah kecamatan di wilayah Kabupaten Morowali seperti Bungku, terutama pada sejumlah rumah atau bangunan yang ditinggal pemiliknya. Penjarahan juga terjadi di sejumlah kebun yang ditinggalkan pemiliknya, seperti kebun cokelat dan kelapa yang tidak dijaga.
25 Juli 2000
Selasa 25 Juli 2000 sekitar pukul 06.00 Wita, panglima perang kerusuhan Poso Fabianus Tibo ditangkap dalam sebuah operasi intelijen Satgas Cinta Damai yang dipimpin Komandan Batalyon II Kapten (Inf) Agus Firman Yusmono. Tibo diringkus di tempat persembunyiannya di rumah salah seorang warga di Desa Jamur Jaya Kecamatan Lembo (Beteleme), Kabupaten Morowali (Sulteng). Tibo dibawa ke Palu dengan dikawal langsung Komandan Satgas Cinta Damai Kolonel (Inf) Moch Slamet untuk diserahkan ke Polda Sulteng.
31 Juli 2000
Senin 31 Juli 2000, Dominggus Soares warga asal Timor Timur yang merupakan salah seorang dari 10 pimpinan pasukan Kelelawar Hitam (pasukan khusus kelompok merah) ditangkap pasukan Brimob yang dipimpin Kapolres Poso Superintendent Djasman Baso Opu dalam operasi khusus di Desa Beteleme, Kabupaten Morowali (400 km tenggara Palu). Sebelumnya aparat sudah menangkap Guntur (35), Fabianus Tibo (56), Very (34). Pimpinan utama pasukan kelelawar hitam adalah Ir. AL Lateka yang mati terbunuh pada peristiwa 02 Juni 2000.
24 Desember 2000
Minggu 24 Desember 2000, sejak pukul 02.00 dinihari terjadi kontak senjata antara sekelompok penyerang (berjumlah sekitar 20 orang) dengan aparat keamanan, di desa Seppe Kecamatan Lage, Kabupaten Poso, Sulteng. Kontak senjata yang berlangsung sampai pukul 08.00 itu, menewaskan Juli Tarumba (47) dan Hasan Basira (50) dan 2 orang lainnya mengalami luka berat.
05 Januari 2001
Jum’at 5 Januari 2001 terjadi serentetan penembakan oleh orang tak dikenal, terhadap kerumunan warga Muslim di Pandiri, kampung di sebelah timur Danau Poso...
Kasus Poso IV
Selasa 3 April 2001 pukul 04.00 Subuh Pasukan Merah menyerang dengan kekuatan ratusan orang, masuk melalui kelurahan Sayo, 1 warga Muslim (Rina, 30) tewas dan 1 aparat Brimob Brigadir Dua Polisi Muslimin tewas. Pukul tujuh pagi mereka dipukul mundur oleh aparat dan para Mujahid.
05 April 2001
Kamis 05 April 2001, Tibo (56), Dominggus (45) dan Marinus Riwu (35) menerima vonis mati yang dijatuhkan hakim Soedarmo SH, Ferdinandus dan Ahmad Fauzi. Tibo dkk dituduh melanggar Pasal 340, 187, 351 juncto Pasal 55 dan 64 KUHP. Pada persidangan Tibo menyampaikan surat yang ditulis tangan kepada Majelis Hakim, berisikan tentang sejumlah 16 nama yang selama ini menjadi penyuplai logistik bagi pasukannya selama kerusuhan Poso berlangsung. Menurut Tibo, Yahya Pattiro SH yang saat itu menjabat sebagai Asisten IV Sekretaris Daerah Sulawesi Tengah dan Drs Edi Bungkundapu yang saat itu menjabat sebagai Sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sulteng, menjadi aktor intelektual dalam rusuh Poso Mei hingga Juni 2000. Selain itu, Tibo juga menyebutkan Tungkanan, Limpadeli, Erik Rombot, Angki Tungkanan sebagai aktor yang berperan dalam kerusuhan Poso.
14 April 2001
Sabtu 14 April 2001, terjadi pembakaran sejumlah rumah ibadah di desa Ronoruncu, tempat ibadah yang dibakar tersebut sudah tidak lagi dihuni.
16 Mei 2001
Rabu 16 Mei 2001, kantor Camat Poso Pesisir dibakar kelompok tak dikenal dan menghanguskan seluruh bangunan serta isi kantor itu.
21 Mei 2001
Senin 21 Mei 2001, terjadi aksi penyerangan sekelompok massa Desa Kasiguncu Kecamatan Poso Pesisir yang mengakibatkan dua orang warga setempat tewas terkena senjata tajam dan lima orang lainnya menghilang.
10 Juni 2001
Minggu 10 Juni 2001, mobil box yang memuat alat-alat elektronik dan sejumlah uang hasil tagihan milik Toko Jaya Teknik Makassar yang diperkirakan ratusan juta rupiah di bakar massa tak dikenal. Akibatnya, Hendra (kernek) dan Ahmad (sales) tewas terpanggang.
20 Juni 2001
Rabu 20 Juni 2001, H. Anto (39) dan Sudirman (35), dua warga Desa Tokorondo, Poso Pesisir, ditembak kelompok berpakaian ninja di Desa Pinedapa, Poso Pesisir.
27 Juni 2001
Rabu 27 Juni 2001, sedikitnya tiga orang tewas dan puluhan luka berat serta ringan, akibat kontak senjata yang terjadi di sekitar Desa Masani, Desa Tokorondo, Desa Sa’atu dan Desa Pinedapa, Kecamatan Poso Pesisir.
2 Juli 2001
Senin 2 Juli 2001, terjadi bentrokan massa di Malei Lage, Kecamatan Lage, Poso. Akibatnya, 85 rumah dibakar dan satu warga tewas, serta satu rumah ibadah (gereja) terbakar.
03 Juli 2001
Selasa Subuh 03 Juli 2001, pasukan merah membantai sekitar 14 korban terdiri dari kaum wanita dan anak-anak dengan sadis di Dusun Buyungkatedo.
18 Juli 2001
Rabu 18 Juli 2001, sedikitnya dua orang tewas dan delapan luka-luka akibat kontak senjata antara kelompok putih dan kelompok merah di sekitar Desa Pendolo dan Uwelene, Kecamatan Pamona Selatan, daerah perbatasan Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan.
24 Juli 2001
Selasa 24 Juli 2001, ratusan warga muslim Poso berunjuk rasa di Markas Polda Sulteng. Unjuk rasa berakhir kacau, setelah bom meledak di samping ruangan Kaditserse Polda.
3 September 2001
Senin 3 September 2002, Rektor Universitas Sintuwu Maroso Poso, Drs Kogego ditembak oleh penembak misterius di Jembatan Poso. Korban mengalami pendarahan serius.
17 September 2001
Senin 17 September 2001, dua warga Desa Betania, Kecamatan Poso Pesisir, Kabupaten Poso, tertembak oleh kawanan penembak misterius: Matius Bejalemba (35), warga Desa Betania mengalami luka tembak di bagian kepala, pinggang sebelah kiri dan lengan sebelah kiri serta Kainuddin Lubangkila (45) yang hanya mengalami luka di bagian perut.
14 Oktober 2001
Minggu 14 Oktober 2001, bus angkutan milik PO Antariksa jurusan Palu-Tentena diberondong tembakan oleh sekelompok orang di ruas jalan di Kecamatan Sausu, Kabupaten Donggala, 150 kilometer arah timur Palu. Akibatnya, seorang perempuan berusia 24 tahun tewas dan sedikitnya enam orang lainnya mengalami luka tembak.
18 Oktober 2001
Kamis 18 Oktober 2001, bus angkutan umum milik Perusahaan Otobus (PO) Primadona, dibakar sekolompok massa tak dikenal di sekitar Kelurahan Kayamanya, Kota Poso. Rompa (34), warga Bungku Barat tewas akibat dianiaya dan tertusuk senjata tajam di bagian perutnya.
23 Oktober 2001
Selasa 23 Oktober 2001, ratusan warga muslim dari Desa Mapane, Kec. Poso Pesisir, membakar puluhan pos polisi. Aksi pembakaran itu dilatar-belakangi adanya penangkapan terhadap 42 warga Poso untuk menjalani pemeriksaan di Markas Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah.
31 Oktober 2001
Rabu 31 Oktober 2001, puluhan rumah dan satu gereja di bakar kelompok tak dikenal di Desa Pinedapa dan Kasiguncu, sekitar 20 kilometer arah Barat Kota Poso.
01 November 2001
Kamis 01 November 2001, warga Desa Malitu, Poso Pesisir, tiba-tiba diserang kelompok tak dikenal. Akibatnya, 129 rumah warga habis dibakar dan Nasa (45) terkena tembakan di bagian paha kiri. Selain ratusan rumah terbakar, fasilitas umum juga ikut dibakar, seperti kantor kepala desa, kantor koperasi, gedung taman kanak-kanak, rumah ibadah (gereja), kantor PKK, rumah dinas guru dan kepala sekolah.
08 November 2001
Kamis 08 November 2001, warga Sayo membakar truk bermuatan ikan cekalang basah. Belakangan diketahui mobil itu memang tujuan Tentena, dikawal seorang anggota Brimob. Di dalam mobil truk ditemukan bensin satu jirigen dan beberapa botol aqua berisi bensin.
09 November 2001
Jum’at 09 November 2001, kontak senjata terjadi di sekitar Jembatan Dua, perbatasan
Kelurahan Lembomawo dan Sayo, Kecamatan Poso Kota. Akibatnya, seorang warga tewas dan dua lainnya luka-luka. Bersamaan dengan itu, di Kelurahan Sayo juga terjadi pembakaran enam rumah dan barak.
10 November 2001
Sabtu 10 November 2001, terjadi baku tembak antara massa bertikai di dalam kota dan massa dari luar kota Poso. Bentrokan itu menewaskan Yazet (40), dari pihak penyerang dan beberapa orang lainnya terluka.
26 November 2001
Senin 26 November 2001, sekitar pukul 01.00 wita Gereja Bethany Poso, di Jalan Pulau Kalimantan, Sulawesi Tengah, hancur akibat ledakan bom. Sebelum dibom, gereja terlebih dahulu dibakar dengan menggunakan bahan bakar bensin. Tidak ada korban jiwa, karena seluruh warga gereja sebelumnya sudah mengungsi ke Tentena, sekitar 100 kilometer dari Poso.
27 November 2001
Selasa 27 November 2001, terjadi kontak senjata antara dua kelompok bertikai di Desa Betalemba, Kecamatan Poso pesisir, Kabupaten Poso. Walau tidak ada korban jiwa, kontak senjata itu menjadikan Poso kembali tegang.
03 Desember 2001
Senin 03 Desember 2001, ratusan warga Kota Poso mendatangi Markas Kodim 1307, untuk meminta kejelasan keterlibatan anggota TNI dalam penculikan warga Toyado sehari sebelumnya. Menurut warga, anggota TNI menculik delapan warga yang sedang sahur di barak Toyado dan selanjutnya diserahkan ke kelompok merah. Sempat terjadi keributan dengan pihak kepolisian yang menjaga unjuk rasa itu, hingga kemudian terjadi penembakan yang menewaskan Sarifuddin (30), warga Kayamanya dan empat orang lainnya luka.
19 Desember 2001
Rabu 19 Desember 2001, delapan warga Buyung Katedo, Desa Sepe, Kecamatan Lage Poso, diserang orang tak dikenal. Untungnya, kedelapan petani yang sedang memetik buah coklat di kebunnya, itu berhasil menyelamatkan diri.
20 Desember 2001
Kamis 20 Desember 2001, Deklarasi Malino ditandatangani. Kelompok Islam dan Kristen yang bertikai di Poso, Sulawesi Tengah, sepakat untuk berdamai dan menghentikan konflik. Kesepakatan itu diperoleh setelah seluruh pimpinan lapangan dan perwakilan kedua kelompok menandatangani perjanjian damai di Malino, Gowa, Sulawesi Selatan. Kesepakatan itu kemudian dituangkan dalam Dekralasi Malino. Deklarasi dibacakan Menko Kesra Jusuf Kalla selaku mediator. Dalam kesempatan tersebut, kedua pihak menandatangi kesepakatan yang terdiri dari 10 butir :
- Menghentikan semua bentuk konflik dan perselisihan.
- Menaati semua bentuk dan upaya penegakan hukum dan mendukung pemberian sanksi hukum bagi siapa saja yang melanggar.
- Meminta aparat negara bertindak tegas dan adil untuk menjaga keamanan.
- Untuk menjaga terciptanya suasana damai menolak memberlakukan keadaan darurat sipil serta campur tangan pihak asing.
- Menghilangkan seluruh fitnah dan ketidakjujuran terhadap semua pihak dan menegakkan sikap saling menghormati dan memaafkan satu sama lain demi terciptanya kerukunan hidup bersama.
- Tanah Poso adalah bagian integral dari Indonesia. Karena itu, setiap warga negara memiliki hak untuk hidup, datang dan tinggal secara damai dan menghormati adat istiadat setempat.
- Semua hak-hak dan kepemilikan harus dikembalikan ke pemiliknya yang sah sebagaimana adanya sebelum konflik dan perselisihan berlangsung.
- Mengembalikan seluruh pengungsi ke tempat asal masing-masing.
- Bersama pemerintah melakukan rehabilitasi sarana dan prasarana ekonomi secara menyeluruh.
- Menjalankan syariat agama masing-masing dengan cara dan prinsip saling menghormati dan menaati segala aturan yang telah disetujui baik dalam bentuk UU maupun dalam peraturan pemerintah dan ketentuan lainnya.
Kamis 04 April 2002, dua bom rakitan meledak di daerah Desa Ratulene, Kecamatan Poso Pesisir, tepatnya di Kantor Perusahaan Daerah Air Minum.
28 Mei 2002
Minggu 28 Mei 2002, bom rakitan meledak di tiga lokasi berbeda: di pantai penghibur di Jalan Ahmad Yani, dekat Hotel Wisata, di pasar sentral Poso yang mengakibatkan empat los terbakar dan di pertigaan bekas terminal Poso bom.
05 Juni 2002
Rabu 05 Juni 2002, bom yang diletakan di dalam bus PO Antariksa jurusan Palu-Tentena meledak di sekitar Desa Toini, Kecamatan Poso Pesisir (sekitar 10 kilometer arah Barat jantung Kota Poso). Akibatnya, empat penumpang tewas dan 16 penumpang lainya mengalami luka. Korban tewas adalah Dedy Makawimbang (30) dan Edy Ulin (25) yang tewas di tempat kejadian, sementara Gande Alimbuto (76) dan anaknya, Lastri Oktaffin Alimbuto (19) tewas di RSU Poso.
01 Juli 2002
Senin 01 Juli 2002, bom berkekuatan low explosive meledak di Desa Tagolu, Kecamatan Lage, Kabupaten Poso. Tidak ada korban akibat ledakan bom itu.
12 Juli 2002
Jum’at 12 Juli 2002, bom berdaya ledak cukup kuat menghantam bus Omega jurusan Palu-Tentena, di Desa Ronoruncu, Kecamatan Lage, Kabupaten Poso dan menewaskan seorang remaja putri, Elfa Suwita Dolia (17), warga Desa Tokilo, Kecamatan Pamona Selatan.
19 Juli 2002
Jum’at 19 Juli 2002, Nyoman Mandiri (26) dan Made Jabir (26), dua warga Kilo Trans, Kecamatan Poso Pesisir, Kabupaten Poso, tewas ditembak penembak misterius saat melintas di jalan raya di Desa Masani.
04 Agustus 2002
Minggu 04 Agustus 2002, kelompok tak dikenal menyerang Desa Matako, Kecamatan Tojo, Kabupaten Poso. Serangan mendadak itu menghanguskan 13 rumah penduduk, membakar dua rumah ibadah (gereja) dan melukai enam warga setempat.
08 Agustus 2002
Kamis 08 Agustus 2002, warga negara Italia, Lorenzo Taddei (34), tewas ditembak orang tak dikenal dalam perjalanan dari Tanah Toraja, Sulawesi Selatan menuju Sulawesi Tengah, di sekitar Desa Mayoa, Kecamatan Pamona Selatan, Kabupaten Poso. Penembakan itu juga melukai Heronimus Banculu, 36 tahun yang tertembak di bagian paha kiri, Timotoius Kemba, 52 tahun yang tertembak di bagian lengan kanan, Karingan, 21 tahun, yang tertembak di bagian paha kanan dan Berting, 45 tahun, yang tertembak di bagian kepala bagian kiri.
12 Agustus 2002
Senin 12 Agustus 2002, gerombolan bersenjata menyerang Desa Sepe Silanca dan Batu Gencu di Kecamatan Lage. Akibatnya, Sulaweno, Kania, Omritakada, Salangi dan satu orang lainnya yang belum teridentifikasi tewas dengan sekujur tubuh terbakar. Damai Pangkunah dan Simon Tangea mengalami luka berat tertembak di bagian dada dan paha. Selain itu, ratusan rumah hangus terbakar dan rata dengan tanah.
16 Agustus 2002
Jum’at 16 Agustus 2002, kerusuhan Poso merambah ke Kabupaten Morowali. Terjadi aksi penyerangan oleh kelompok tak dikenal di Desa Mayumba, Kecamatan Mori atas Kabupaten Morowali -138 kilometer dari Poso. Aksi itu menyebabkan 43 rumah warga terbakar dan delapan kios jualan warga ikut musnah. Selain itu, L Petra (67) mengalami luka tembak di bagian paha dan seorang balita, Erik meninggal di pelukan ibunya.
26 Agustus 2002
Senin 26 Agustus 2002, terjadi hampir bersamaan, dua bom meledak di dua tempat dan mengakibatkan seorang polisi, Bripda Pitriadi (21) dan satu warga sipil, nyonya Zainun (22) mengalami luka serius. Bom pertama meledak di Jalan Morotai, Kelurahan Gebang Rejo dan bom kedua meledak di Jalan Yos Sudarso, Kelurahan Kasintuwu.
04 Desember 2002
Rabu 04 Desember 2002, Agustinus Baco (57) warga Desa Kawende, Kecamatan Poso Pesisir, meninggal di tempat akibat diterjal peluru.
05 Desember 2002
Kamis 05 Desember 2002, Toni Sango (23) pegawai Dinas Kesehatan Kabupaten Poso, dan Oeter (23) tewas akibat ditembak orang tak dikenal.
26 Desember 2002
Kamis 26 Desember 2002, Kepala Desa Tokorondo, Kecamatan Poso Pesisir, Kabupaten Poso, M Jabir (52), ditemukan tewas dengan kondisi mengenaskan di Jalan Trans Sulawesi menghubungkan Gorontalo-Sulteng-Sulsel akibat tembakan.
02 Juni 2003
Senin 02 Juni 2003, Yefta Barumuju (37) penduduk dusun Kapompa, Kelurahan Madale, Kecamatan Poso Kota tewas di tempat setelah ditembak orang tak dikenal. Ia diterjal peluru dibagian dada dan paha kanan. Kawan korban, Darma Kusuma (35) selamat walau rusuk dan lutut kanannya juga terkena timah panas.
07 Agustus 2003
Kamis 07 Agustus 2003, bom rakitan meledak di rumah Aisyah Ali, warga Jalan Pulau Sabang Kelurahan Raya Manya, Kota Poso. Akibatnya, menewaskan Bahtiar alias Manto (20) yang bekerja sebagai nelayan.
11 September 2003
Kamis 11 September 2003, bom berkekuatan cukup besar meledak di tengah kerumunan massa persis di depan kantor Lurah Kasiguncu, Kecamatan Poso Pesisir. Lima warga luka-luka.
10 Oktober 2003
Jumat 10 Oktober 2003, bias rusuh Poso terjadi di Desa Beteleme, ibu kota Kecamatan Lembo, Kabupaten Morowali (sekitar 300 kilometer dari Kota Poso). Puluhan orang tak dikenal menyerang desa itu dengan memakai penutup muka ala cadar. Akibatnya, tiga warga sipil: Derina Mbai (48 tahun), Hengky Malito (36 tahun) dan Oster Tarioko (47 tahun) tewas, sementara satu warga lainnya dilarikan ke rumah sakit setempat karena terkena tembakan di bagian kaki. Selain itu, 27 unit rumah terbakar, tiga mobil terbaka dan tujuh sepeda motor terbakar, serta satu unit sepeda motor hilang.
11 Oktober 2003
Sabtu 11 Oktober 2003, sekelompok orang tak dikenal menyerang empat desa: Pantangolemba, Saatu, Pinedapa di Kecamatan Poso Pesisir dan Madale di Kecamatan Poso Kota. Akibatnya, satu warga Desa Pinedapa, Ayub (26) tewas seketika, sementara tujuh korban lainnya belum teridentifikasi. Penyerangan itu juga melukai 14 warga di empat desa itu.
14 Oktober 2003
Selasa 14 Oktober 2003, situasi Poso kembali tegang menyusul sebuah bom rakitan meledak Kelurahan Kasiguncu, Kecamatan Poso Pesisir, sekitar 12 kilometer dari Kota Poso.
17 Oktober 2003
Jum’at 17 Oktober 2003, kelompok penyerang Poso kembali beraksi. Kawasan Tanah Runtuh, Kelurahan Gebang Rejo, Kecamatan Poso Kota diserang. Akibatnya, satu buah bangunan bengkel kerajinan souvenir kayu ebony ludes terbakar, dapur rumah milik Naufal dibakar, dan kaca depan rumah Anshori yang juga kantor Yayasan Amanah berhamburan di lantai. Tapi, kejadian itu tidak memakan korban jiwa.
11 November 2003
Selasa, 11 November 2003, bom rakitan jenis low explosive meledak di Kota Tentena, ibukota Kecamatan Pamona Utara, wilayah basis pengungsi Kriten Poso. Bom itu meledak di kantor agen Pengangkutan Oto (PO) Bus Omega yang melayani penumpang jurusan Palu-Tentena.
15 November 2003
Sabtu 15 November 2003, polisi menyerbu sebuah rumah yang diperkirakan tempat para tersangka pelaku penyerangan tanggal 11 Oktober 2003. Dari penyerbuan ini menewaskan Hamid.
16 November 2003
Minggu 16 November 2003, ribuan massa mengepung Markas Kepolisian Resor Poso lantaran tidak menerima kematian Hamid (18), warga Tabalu, Kecamatan Poso Pesisir yang mati ditembak. Selain itu, polisi juga menangkap dua warga Tabalu dan Ratolene lainnya, yaitu Zukri yang kemudian dilepas dan Irwan Bin Rais yang masih ditahan.
17 November 2003
Senin 17 November 2003, tiga orang merusak bus dengan menggunakan linggis dan senjata api rakitan di Desa Kuku, Kecamatan Tamona Utara, Poso.
19 November 2003
Rabu 19 November 2003, belasan orang bersenjata menyerang pos penjagaan aparat di Dusun Taripa, Desa Toini, Kecamatan Poso Pesisir.
26 November 2003
Rabu 26 November 2003, bom rakitan yang berkekuatan rendah meledak di Jalan Pulau Irian, Tanah Runtuh, Poso.
29 November 2003
Sabtu, 29 Npvember 2003, empat nyawa melayang dalam dua kejadian serangan kelompok tidak dikenal berbeda, di Poso. I Made Simson dan I Ketut Sarmon tertembak di Desa Kilo Trans Poso Pesisir, sementara Ruslan Terampi dan Ritin Bodel tewas di Desa Rompi, Ulu Bongka Pesisir Utara.
23 Desember 2003
Selasa 23 Desember 2003, bom berdaya ledak rendah meledak di depan kantor Lurah Lembomawo, Kecamatan Poso Kota, Kabupaten Poso.
26 Desember 2003
Jum’at 26 Desember 2003, terjadi ledakan yang diperkirakan berada di perbatasan Kelurahan Gebang Rejo dan Lembomawo, Kecamatan Poso Kota.
04 Januari 2004
Minggu 04 Jnauari 2004, Kepolisian Resor Poso menemukan tiga bom aktif di Desa Tabalu, Kecamatan Poso Pesisir.
18 Januari 2004
Minggu 18 Januari 2004, satu bom aktif ditemukan di perbatasan Kelurahan Moengko Lama dan Kayamanya, pinggiran kota Poso.
24 Januari 2004
Sabtu 24 Januari 2004, aparat Kepolisian Resor Poso, Bharada Azis mengalami luka tembak di bagian betis kaki kirinya setelah diberondong tiga orang bercadar di Desa Masani, Kecamatan Poso pesisir.
27 Maret 2004
Selasa 27 Maret 2004, Christian Tanalida (37) tewas terkena aksi penembakan misterius di Kelurahan Kawua, Kota Poso.
30 Maret 2004
Selasa 30 Maret 2004, terjadi aksi penembakan misterius yang menewaskan Dekan Fakultas Hukum Universitas Sintuwu Maroso (Unsimar) Poso, Rosio Pilongo SH.MH, di Kampus Universitas Sintuwu Maroso Poso.
13 April 2004
Selasa 13 April 2004, sehari menjelang hari Idul Fitri, terjadi ledakan bom yang mengguncang kawasan Pasar Sentral Poso, menewaskan enam warga, meledak di dalam angkutan kota jurusan Poso-Tentena sekitar pukul 09.20 Wita.
17 April 2004
Sabtu 17 April 2004, polisi menemukan 21 bom rakitan di Poso, tersebar di tiga kecamatan, dua diantaranya di kecamatan Poso kota dan Poso pesisir. Bom ditemukan di ditimbun perkebunan coklat yang sekitar rumah penduduk
18 Juli 2004
Minggu 18 Juli 2004, Pendeta Susianti Tinulele ditembak pria tidak dikenal ketika sedang memimpin ibadah di Gereja Efatha di Jalan Banteng, Palu Selatan. Pada kejadian itu, empat jemaat terkena luka akibat berondongan peluru, yakni Farid Melindo (15), Christianto (18), Listiani (15) dan Desri (17). Mereka terluka peluru di bagian lutut, pinggul, dan paha.
13 November 2004
Sabtu 13 November 2004, terjadi ledakan bom yang menewaskan enam orang dan mencederai tiga lainnya.
03 Januari 2005
Senin 03 Januari 2005, terjadi ledakan bom di dekat Asrama Brimob dan hanya menimbulkan kerusakan bangunan.
28 April 2005
Kamis 28 April 2005, terjadi ledakan dua bom di Kantor Pusat Rekonsiliasi Konflik dan Perdamaian Poso sekitar pukul 20.00 Wita. Bom kedua meledak di Kantor Lembaga Penguatan Masyarakat Sipil pukul 22.00 Wita. Tidak ada korban jiwa.
28 Mei 2005
Sabtu pagi 28 Mei 2005, terjadi ledakan bom pada pukul 08.15 Wita di Pasar Tentena dan pukul 08.30 Wita di samping Kantor BRI Unit Tentena, Kecamatan Lore Utara, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, menewaskan sedikitnya 22 orang dan melukai 70 orang lainnya. Bom rakitan berdaya ledak tinggi itu berisikan potongan paku, menggunakan timer sebagai pemicu, dan batu baterai 1,5 volt yang berfungsi sebagai arus listrik.
29 Oktober 2005
Sabtu 29 Oktober 2005, tiga siswi SMUK GKST Poso ditemukan tewas dengan tubuh dan kepala pisah.
8 November 2005
Dua siswi SMK ditembak orang tak dikenal di depan rumahnya.
30 Desember 2005
Bom meledak di Pasar Maesa, Palu Selatan. Korban tewas 7 orang dan 50 orang luka-luka.
08 Mei 2006
Senin 08 Mei 2006, selepas shubuh empat orang anggota Densus 88 diserang warga Poso, dua sepeda motor mereka dibakar. Keempat orang itu berhasil meloloskan diri dari amuk warga. Saat itu, anggota Densus 88 hendak menangkap seorang warga Kelurahan Lawanga, Kecamatan Poso Kota, Poso, bernama Taufik Bulaga (24 tahun). Penyerangan itu sebagai bentuk ketidaksukaan warga terhadap Densus 88 yang suka seenaknya menangkap orang.
03 Agustus 2006
Kamis 03 Agustus 2006, sekitar pukul 20.45 Wita terjadi ledakan cukup keras di sekitar Kompleks Gedung Olah Raga Poso, Jalan Brigjen Katamso, Kelurahan Kasintuwu, Poso.
31 Agustus 2006
Kamis 31 Agustus 2006, Brigadir Jenderal Polisi Oegroseno menyerahkan jabatan Kepala Polda Sulawesi Tengah kepada Komisaris Besar Badrudin Haiti di Mabes Polri. Kepala Polri Jenderal Sutanto selanjutnya menempatkan Oegroseno sebagai Kepala Pusat Informasi dan Pengolahan Data Divisi Telematika Mabes Polri.
22 September 2006
Tibo dkk dieksekusi mati.
29 September2006
Jumat siang 29 September 2006, terjadi empat ledakan bom yang disusul pecahnya kerusuhan massa di Taripa, Kecamatan Pamona Timur. Sekitar 500 orang mengamuk dan merusak fasilitas polisi, membakar pos polisi, membakar truk dan mobil patroli aparat keamanan, membakar beberapa sepeda motor, dan melempari helikopter milik kepolisian. Kemarahan massa dipicu kekecewaan karena Kepala Polda Sulawesi Tengah menolak berdialog dengan mereka perihal eksekusi Tibo Cs.
30 September 2006
Sabtu 30 September 2006 sekitar pukul 22:00 WITA, bom meledak di dekat Gereja Maranatha, Kelurahan Kawua. Satu jam kemudian bom meledak di dekat Kantor Camat Poso Kota Selatan di Jalan Tabatoki. Juga terjadi pelemparan granat oleh dua orang tak dikenal terhadap kerumunan orang di Kelurahan Kawua, Kecamatan Poso Kota.
01 Oktober 2006
Minggu malam 01 Oktober 2006, kelompok berpenutup kepala ala ninja beraksi, menghadang mobil sewaan di rute Parigi-Makassar yang berhenti karena terhalang bangkai sepeda motor. Ninja membacok punggung dan menghantam kepala Jelin, 20 tahun, dengan benda keras dalam insiden di Kelurahan Kayamanya, Kecamatan Poso, itu. Penghadangan juga dialami Ebiet, pekerja perusahaan pemasok tabung gas elpiji. Ebiet sempat diculik selama dua hari di Pamona Selatan, sekitar 60 kilometer dari Poso.
16 Oktober 2006
Lokasi tertembaknya pendeta Irianto di Palu.Senin 16 Oktober 2006, Pendeta Irianto Kongkoli Sekretaris Umum (Sekum) Sinode GKST (Gereja Kristen Sulawesi Tengah) ditembak mati oleh orang tak dikenal di kawasan Jalan Monginsidi, Kelurahan Lolo Selatan, sekitar pukul 08;15 Wita. Ketika itu, korban yang ditemani istri (Iptu Rita Kupa) dan anaknya Gemala Gita Evaria (4) hendak berbelanja bahan bangunan (tegel) di Toko Sinar Sakti. Korban langsung di larikan ke rumah sakit (RS) Bala Keselamatan sekitar 500 meter dari tempat kejadian perkara (TKP), namun jiwanya tidak berhasil diselamatkan. Sementara Ny Rita dan anaknya Gea berhasil lolos dari musibah berdarah itu. Pendeta Irianto Kongkoli direncanakan menggantikan Pendeta Rinaldy Damanik yang mengundurkan sebagai Ketua Majelis Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) setelah terpidana mati kasus Poso Tibo cs dieksekusi mati.
18 Oktober 2006
Rabu 18 Oktober 2006, jenazah Pendeta Irianto Kongkoli sekitar pukul 10.00 Wita disemayamkan di Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GSKT) Anugerah Masomba yang terletak dibilangan Jln Tanjung Manimbaya. Acara pelepasan dan pemakaman dipimpin langsung oleh Pendeta Isak Pole Msi (Ketua I Majelis Sinode GKST).
21 Oktober 2006
Kepala Polri Jenderal Sutanto, Sabtu 21 Oktober 2006, kerja keras tim penyidik Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah (Polda Sulteng) dibantu Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Mabes Polri berhasil membawa 11 orang untuk diperiksa sehubungan dengan kasus penembakan Pendeta Irianto Kongkoli.
22-23 Oktober 2006
Minggu 22 Oktober 2006 dan Senin 23 Oktober 2006, terjadi bentrokan antara anggota Brigade Mobil (Brimob) dengan warga Kelurahan Gebangrejo, Kota Poso. Bentrokan pada malam Idul Fitri itu terjadi karena polisi tidak sensitif terhadap umat Islam. Akibatnya, seorang warga tewas, tiga lainnya luka-luka (termasuk seorang anak berusia empat tahun), sebuah mobil polisi dan beberapa sepeda motor terbakar.
27 Oktober 2006
Jum’at 27 Oktober 2006, SBY bertolak ke China melalui bandara Halim Perdana Kusumah.
08 November 2006
Senin 08 November 2006, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mulai mengadili Hasanuddin (34), salah seorang terdakwa pembunuh tiga siswi SMA di Poso yang terjadi 29 Oktober 2005. Tim jaksa yang diketuai Payaman mendakwa Hasanuddin sebagai perencana pembunuhan Alfita Poliwo, Theresia Morangki, dan Yarni Sambue.
14 November 2006
Selasa 14 November 2006, Andi Lalu alias Andi Bocor menyerahkan diri. Setelah diperiksa tiga hari, Andi dilepas.
28 November 2006
Selasa 28 November 2006, Iskandar alias Ateng Marjo dan Nasir, dua di antara 29 orang pada daftar pencarian orang Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah, menyerahkan diri ke Kepolisian Resor Poso.
11 Januari 2007
Pada Kamis 11 Januari 2007, sekitar pukul Pukul 06.00 WITA, Densus 88 dan dua SSK Brimob Sulteng menggeledah rumah Basri (DPO) di Jl Pulau Jawa II Kelurahan Gebangrejo, Poso Kota. Karena tak menemukan orang yang dicari, aparat melanjutkan pencarian ke rumah Yadit (DPO) yang terletak sekitar 50 meter meter dari rumah Basri. Di rumah Yadit, aparat menemukan Dedi Parshan (DPO) yang sedang tertidur.
Pukul 6.30 WITA, Dedi yang berusaha melarikan diri akhirnya tewas dengan rentetan tembakan di bagian lengan kanan dan kiri dan terlihat luka tusukan di dada. Sekitar 300 m dari rumah Yadit, tepatnya di pesantren Al Amanah, Tanah Runtuh, ratusan polisi mengepung dan menembak mati ustadz Riansyah di bagian kepala. Sementara ustadz Ibnu yang juga pengajar pesantren Al Amanah, luka tertembak di bagian perut dan punggung.
Penyergapan melibatkan dua tim CRT (Cepat Reaksi Tanggap) Polres Poso, diperkuat dua SSK (Satuan Setingkat Kompi) anggota Brimob Polda Sulteng. Hasilnya, lima dari 29 warga yang ditetapkan dalam DPO itu ditangkap. Mereka adalah Dedi Parshan (28), Anang Muhtadin alias Papa Enal (40), Upik alias Pagar (22), Paiman alias Sarjono (33), dan Abdul Muis (25). Anang, Upik dan Muis mengalami luka tembak di beberapa bagian tubuh mereka.
Kematian Ustadz Riansyah membuat warga marah. Bripda Dedy Hendra anggota Polmas (Polisi Masyarakat) di Kelurahan Tegal Rejo yang mengendarai sepeda motor seorang diri, melntas di TPU Lawanga saat prosesi pemakanan terhadap Ustadz Riansyah berlangsung. Puluhan pelayat yang masih tersulut emosi akibat kematian Ustadz Riansyah segera melakukan pencegatan. Dedi dihakimi hingga tewas di tempat. Jenazah Bripda Dedy Hendra setelah disemayamkan di Mapolres Poso, diterbangkan ke Bandung (Jawa Barat) pada Jumat pagi (12 Jan 2007) menggunakan pesawat khusus milik Polri.
Sebelumnya, November 2006 lalu, sudah ada tiga dari 29 DPO yang menyerahkan diri. Pada Selasa 14 Nov 2006, Andi Lalu alias Andi Bocor menyerahkan diri. Setelah diperiksa tiga hari, Andi dilepas. Dua pekan kemudian, Selasa 28 Nov 2006 Iskandar alias Ateng Marjo dan Nasir menyerahkan diri ke Kepolisian Resor Poso.
Dengan demikian, sejak November 2006 hingga 11 Januari 2007, sudah ada 8 dari 29 DPO yang berhasil diamankan aparat.
14-15 Januari 2007
Minggu malam (14 Jan 2007) hingga Senin dini hari (15 Jan 2007), terjadi ketegangan antara anggota polisi dengan sekelompok warga. Maka, pengamanan diperketat dengan menyebar pasukan dalam jumlah yang lebih banyak di titik-titik strategis. Belasan anggota polisi bersenjata lengkap disiagakan di ruas-ruas jalan utama dalam kota Poso, padahal pada hari biasanya jumlah anggota polisi yang disiagakan kurang dari lima orang. Selain itu, puluhan kendaraan taktis berisi pasukan bersenjata juga mengintensif patroli dalam kota Poso. Beberapa kendaraan taktis diparkir di ruas-ruas jalan yang dinilai rawan seperti di Jalan Pulau Bali, Pulau Serang, Pulau Irian dan Pulau Sumatera.
15 Januari 2007
Senin sore (15 Jan 2007), aparat keamanan di kota Poso kembali bersitegang dengan sekelompok warga di Jalan Pulau Irian Kelurahan Gebang Rejo. Warga Jalan Pulau Irian mulai terkonsentrasi sejak pukl 15:00 Wita, saat polisi meningkatkan pengamanan dengan mengerahkan beberapa kendaraan taktis ke kawasan tersebut. Sekitar pukul 18:15 Wita, mulai terdengar rentetan letusan senjata api disertai bunyi tiang listrik dipukul-pukul membuat sebahagian warga berlarian menuju arah Jalan Pulau Irian. Suara letusan senjata api dan dentuman tiang listrik terdengar hingga pukul 19:00 Wita, bahkan sesekali terdengar suara ledakan keras yang diduga kuat bersumber dari bom rakitan di sekitar Kelurahan Gebang Rejo dan Kelurahan Kayamanya. Aliran listrik di Jalan Pulau Sumatera sempat padam, sementara warga di Jalan Pulau Irian, Jalan Pulau Jawa dan Jalan Pulau Madura sengaja memadamkan aliran listrik. Sekelompok warga di ketiga jalan yang berada dalam wilayah Kelurahan Gebang Rejo ini juga membuat blokade di ruas jalan dengan menaruh benda-benda keras seperti batu, kayu dan drum. Hingga pukul 22.00 wita suara tembakan belum mereda. Tidak ada korban jiwa.
16 Januari 2007
Hingga Selasa siang (16 Jan 2007), situasi tegang dan mencekam masih terus dirasakan. Penyerangan atas Polres Poso oleh sekelompok waga berlangsung semalam suntuk, menggunakan berbagai jenis senjata api, termasuk bom.
Kapolda Sulawesi Tengah, Brigjen Pol Drs Badrodin Haiti, mengeluarkan maklumat tertanggal 16 Januari 2007, berisi perintah antara lain melakukan tindakan tegas hingga tembak di tempat kepada siapa pun yang memiliki, menyimpan, atau membawa senpi dan bahan peledak tanpa otoritas yang sah. Menurut Kabid Humas Polda Sulteng, AKBP M Kilat, masyarakat yang memiliki, menguasai atau menyimpan senpi, amunisi, serta bahan peledak dengan tanpa hak juga diminta untuk segera menyerahkan kepada aparat berwajib secara sukarela. Dasar dikeluarkannya maklumat tersebut sudah jelas antara lain UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, UU No 12 Tahun 1952 tentang senjata api dan bahan peledak, Peraturan Polda Sulteng Tahun 2006 tentang batas akhir penyerahan senpi, amunisi dan bahan peledak secara sukarela di wilayah Sulteng.
Maklumat tersebut mendapat kecaman dari Ketua BMMP (Barisan Muda Muslim Poso) Drs Zulkifli Kay, yang menilai maklumat itu terlalu berlebihan. Kay juga mengatakan, maklumat tembak di tempat memberi kesan telah terjadi konflik terbuka dengan eskalasi yang luas, sehingga membuat situasi keamanan di Poso tidak terkendali.
Kadiv Humas Mabes Polri, Irjen Sisno Adiwinoto, sehubungan dengan maklumat tersebut menyatakan, di dalam prosedur Polri tidak dikenal istilah tembak di tempat. Setiap anggota polisi, telah dibekali pengetahuan kapan saatnya dapat menggunakan senjata apinya. Tanpa perintah tembak di tempat, setiap anggota polisi harus tahu kapan tepatnya harus menarik pelatuk senjata apinya. Dengan keluarnya perintah itu, kalau terjadi sesuatu yang berakibat hukum dan harus berhadapan dengan divisi propam, merupakan risiko Kapolda Sulteng.
18 Januari 2007
Kamis pagi tanggal 18 Januari 2007, sebuah bom hampa berdaya ledak rendah meledak di Jalan Pulau Sumbawa Kelurahan Gebang Rejo kota Poso, Sulawesi Tengah (Sulteng). Bom meledak sekitar pukul 09:20 Wita di dalam saluran air, tepatnya di belakang Kantor PT Bank Sulteng Cabang Poso atau sekitar 100 meter dari Mapolres Poso dan Pasar Sentral Poso yang terletak di Jalan Pulau Sumatera. Kapolres Poso AKBP Drs Rudi Sufahriadi mengatakan, bom jenis low explosive itu terbuat dari (casing) botol air mineral dengan bahan sulfur dan florat. Pelakunya diduga dari kelompok yang selama ini menjadi buron polisi dengan ciri-ciri rambut gondrong dan berpostur tinggi besar. Tidak ada korban jiwa, hanya sempat membuat kaget sebagian pedagang dan pengunjung di Pasar Sentral Poso. Aktivitas masyarakat secara umum berlangsung normal.
Kamis malam tanggal 18 Januari 2007, terjadi ledakan bom di dua tempat. Ledakan pertama terjadi di Jalan Pulau Aru, Kelurahan Gebangrejo sekitar pukul 18:00 Wita, tepatnya di belakang Gereja Eklesia Poso. Ledakan tersebut sempat membuat warga di sekitar gereja panik meski tidak ada korban jiwa. Ledakan kedua terjadi di Jalan Pulau Sumatera sekitar pukul 22:30 Wita yang berlokasi di depan Pasar Sentral Poso. Lokasi ledakan tersebut hanya berjarak sekitar 100 meter dari Mapolres Poso. Ledakan kedua membuat aktivitas jual beli di pasar terganggu. Para penjual dan pembeli memutuskan pulang lebih awal untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Kedua ledakan tersebut tidak menimbulkan korban jiwa hanya sempat membuat panik beberapa warga di sekitar lokasi.
20 Januari 2007
Sabtu, 20 Januari 2007 sekitar pukul 13:30 Wita, ditemukan sebuah bom rakitan ukuran panjang sekitar 15 centimeter dengan diameter berkisar lima centimeter, di pinggiran jalan bagian depan Gereja Advent di Kelurahan Kasintuwu, Poso Kota, Sulawesi Tengah (Sulteng). Menurut Kapolres Poso AKBP Drs Rudi Sufahriadi, bom aktif yang belum meledak dan berada dalam kantong plastik berwarna hitam itu berhasil diamankan petugas Jihandak, dan segera dibawa dengan mobil khusus ke Markas Brimob Polda Sulteng di Kelurahan Moengko untuk diledakkan.
22 Januari 2007
Senin 22 Januari 2007, situasi kota Poso memanas sejak sekitar pukul 08:30 Wita, terdengar suara rentetan tembakan di Jalan Pulau Irian Kelurahan Gebangrejo, Poso Kota. Hasilnya, dua warga Poso bernama Paijo (40) dan Kusno (35) mengalami luka tembak karena peluru nyasar akibat peristiwa baku tembak antara pihak kepolisian dan para Daftar Pencarian Orang (DPO) Poso di Jalan Irian, Poso Kota. Paijo yang berprofesi sebagai tukang ojek menderita luka tembak di lengan kiri bagian atas sedangkan Kusno (penjual bakso) mederita luka tembak di kepala bagian atas, keduanya sempat mengalami perawatan di RSUD Poso. Menurut Kabid Humas Polda Sulteng AKBP M Kilat SH MH, anggota kepolisian Ipda Maslikan menderita luka tembak di bagian paha, dan langsung dilarikan ke Rumah Sakit Bhayangkara Palu, Sulawesi Tengah.
Bentrokan antara aparat dengan warga yang terjadi 22 Januari 207 sekitar pukul 07.30 WITA hingga 16.00 WITA, berlangsung di beberapa lokasi, yaitu Jalan Pulau Nias, Jalan Pulau Sabang, Jalan Pulau Mentawai di Kelurahan Kayamanya. Di Kelurahan Gebang Rejo tersebar di Jalan Pulau Kalimantan, Pulau Irian, Pulau Seribu, Pulau Seram, dan Pulau Jawa serta di perbukitan hutan jati yang berada di perbatasan Kelurahan Gebangrejo dan Desa Lembomawo. Dari bentrokan ini jatuh korban tewas antara lain Ustadz Mahmud, Ustadz Yakub, Ustadz Idrus, dan seorang warga yang akrab disapa Om Gam.
Insiden baku-tembak di Jalan Pulau Kalimantan Kelurahan Gebang Rejo mengakibatkan empat anggota Brimob terkena peluru senjata api, seorang di antaranya bernama Bripda Rony Iskandar tewas dengan luka tembak di bagian kepala. Pangkat Ronny dinaikkan menjadi Briptu anumerta. Sedangkan sedangkan korban luka selain Ipda Muslihan, juga Bripda I Wayan Panda (anggota Brimob), Bripda Wahid, Brigadir Dudung Adi (anggota Brimob), Brigadir Kosmas (anggota CRT Mabes Polri). Rony adalah anggota Brimob yang di-BKO di Densus 88 Anti Teror Polda Sulteng. Sedangkan Muslihan adalah anggota Densus 88, dan Bripda Wahid adalah anggota Brimob Sulteng. Menurut Kabid Humas Polda Sulteng AKBP Muhammad Kilat, Selasa 23 Jan 2007, korban tewas dari kelompok bersenjata berjumlah 13 orang.
Identitas 13 korban tewas itu adalah Tengku Irsan alias Icang, Ridwan alias Duan, Firmansyah alias Firman (Siswa MTs Negeri Poso) luka tembak di bagian perut, Nurgam alias Om Gam (luka tembak di bagian kepala), Idrus Asapa, Toto, Yusuf, Muh Sapri alias Andreas, Aprianto alias Mumin, Hiban, Huma, Sudarsono, dan Ridwan Wahab alias Gunawan, Ustadz Mahmud (luka tembak di kepala).
Dari 13 anggota kelompok bersenjata yang tewas hanya satu orang yang masuk dalam DPO, yaitu Icang. Tengku Firsan alias Icang, diduga aparat sebagai perakit hampir semua bom yang diledakkan di Poso dan Palu. Icang juga diduga aparat terlibat peledakan bom di Pasar Sentral Poso, peledakan bom di Pasar Maesa, Palu, dan penembakan lima anggota Brimob di Ambon pada tahun 2005.
23 Januari 2007
Selasa 23 Januari 2007, menurut Kadiv Humas Polri Irjen Sisno Adiwinoto, tiga orang yang masuk dalam DPO menyerahkan diri. Mereka adalah Iswadi alias Is, Yasin alias Utomo, dan Faizul alias Takub. Sementara itu, sebanyak dua SSK (Satuan Setingkat Kompi) anggota Brimob Kelapa Dua Jakarta dikerahkan ke Poso, Sulawesi Tengah (Sulteng), untuk memperkuat pengamanan di wilayah yang sepekan terakhir kembali memanas. Pasukan elit Polri ini dipimpin Kompol Gatot selaku Kepala Detasemen serta AKP Muhammad Tedjo dan Iptu Iwan masing-masing sebagai Komandan Kompi. Sebelumnya sudah ada sembilan SSK pasukan Brimob kiriman yang di BKO (Bawah Kendali Operasi)-kan di Mapolres Poso. Dengan demikian total seluruh pasukan Brimob BKO di daerah konflik itu sebanyak 11 SSK atau sekitar 1.100 personil. Sedangkan jumlah personil Polisi dan TNI organik maupun nonorganik di Poso, termasuk di Kabupaten Tojo Unauna dan Morowali (daerah
*****
Saksi Poso Berbicara Di Jakarta
Laporan: Syarifuddin Ambalawi
Hanya selang 2 hari setelah sweeping Brimob terhadap 16 muslim Poso yang termasuk dalam DPO (Daftar Pencarian Orang) yang menyebabkan tewasnya belasan penduduk sipil muslim Poso 22 Jan 2007 lalu, Ust. Ahmad kemudian diutus oleh Ust. Adnan Arsal, tokoh agama Islam Poso setempat, untuk ke Jakarta melaporkan fakta sebenarnya. Kamis, 25 Jan 2007, Ust. Ahmad didampingi beberapa tokoh Forum Umat Islam, termasuk Ust. Abu Bakar Ba’asyir dari Majelis Mujahidin Indonesia dan Habib Rizieq dari Front Pembela Islam, mendatangi Komnas HAM untuk menyampaikan fakta.
Rekaman Video Yang Menjijikkan
Rekaman video kekejaman ‘Kristen Radikal’ pada masa sebelum kesepakatan Malino dipersaksikan. Tampak belasan mayat anak kecil Muslim sedang dikumpulkan, diantaranya ada anak balita yang 1/3 tempurung kepala bagian atasnya lepas terbacok rata (kemudian disambungkan lagi), usus terburai dan anak kecil lainnya yang punggung atau bahunya terbelah lebar dan dalam bekas bacokan. Disisi lain tampak pula mayat-mayat orang dewasa termasuk para wanita dewasa. Mayat seorang ibu terlihat pergelangan tangannya putus rata dibacok dengan senjata yang sangat tajam yang menyebabkan bekas bacokannya sangat ‘rata’.
Suatu rekaman video penutup akhirnya diputarkan yang menyebabkan teriakan ledakan marah para pemuda ormas Islam yang ikut hadir disertai teriakan histeris para wartawan yang ikut menyaksikan.
Dalam rekaman ini tampak seorang pemuda muslim Poso sedang dikeroyok oleh sekelompok pemuda Kristen Radikal (istilah yang dikemukakan Habib Rizieq untuk membedakannya dengan umat Kristen umum). Sebuah golok telah menyabet kulit kepala pemuda tersebut hingga terkelupas selebar dan setebal kue serabi, sehingga terlihat daging berwarna putih dan kelupasan kulit kepala yang masih menggantung di kepalanya terumbai-umbai ketika ia bergerak kesana kemari. Pemuda muslim ini terlihat masih bisa berdiri dan teriak-teriak minta tolong pada polisi bersenjata lengkap yang ada disekitarnya namun tak berdaya atau tak berani atau tak mau bertindak tegas. Beberapa pemuda Kristen Radikal terlihat masih terus memukulnya dengan kayu, sementara seorang pemuda lainnya menombak dada kiri pemuda malang tersebut dengan sebilah bambu runcing. Pemuda tersebut melepas tombak bambu itu dengan tangannya, lalu dengan kepala yang berlumuran darah, kulit kepala terkelupas, baju penuh darah, ia berjalan terhuyung menuju mobil polisi yang ada 3 meter disampingnya. Sesaat terlihat kelupasan kulit kepala pemuda tersebut masih melambai tergantung diatas telinganya akibat gerakan tubuhnya. Seorang polisi yang ada dalam mobil tersebut mengusirnya ketika pemuda malang itu minta perlindungan, mungkin polisi itu jijik mempersilahkannya masuk ke mobil atau bisa juga ia takut melindungi pemuda itu sementara puluhan pemuda Kristen Radikal sedang memukulinya. Walau akhirnya pemuda malang tersebut bisa diselamatkan ke sebuah mobil patroli bak terbuka polisi, namun dari sekitar 20 – 30 polisi yang ada di lokasi hanya 1-2 orang yang terlihat berusaha melerai, namun dengan cara seadanya.
Andi Baso, tokoh penandatangan Perjanjian Malino, yang ikut hadir menjelaskan bahwa itu masih belum apa-apa dibanding laporan yang ia terima dimana beberapa wanita dewasa di suatu desa di Poso diperkosa para Kristen Radikal dan beberapa diantaranya kemaluannya dimasukkan botol dengan paksa, ditendang kemaluannya, dan lalu sebagian mati ditempat. Kabar lain mengatakan Tibo pernah menyembelih seorang anak kecil dan meminum darahnya yang sedang mengalir dari lehernya langsung ke mulutnya.
Kecemburuan Sosial Sebagai Sumbu Perang Antar Umat Beragama Poso
Menurut Andi Baso, pemicu awal perang Poso adalah kecemburuan sosial dari umat Kristen terhadap kemajuan umat Islam di Poso. Warga Kristen Poso sudah biasa menenggak minuman keras sehingga bangun telat, ke ladang telat, kerja telat, akhirnya ekonomi memburuk. Sedang warga muslim, ditambah pengaruh transmigran muslim dari Jawa, yang selalu bangun subuh untuk sholat subuh, lalu berangkat kerja sejak subuh, lantas lebih cepat maju. Akibat kemajuan ekonomi umat Islam, lantas lebih banyak mesjid dibangun, lalu uang lebih banyak tersedia untuk beli pengeras suara. Kemajuan rumah ibadah dan pengeras suara ini merupakan friksi awal yang memulai kecemburuan sosial. Secara logika dalam situasi seperti ini provokasi dari luar lebih mudah meledakkan umat Kristen, sebaliknya tidak ada artinya provokasi bagi umat Islam yang tidak memiliki kecemburuan sosial.
Perjanjian Malino
Ditandatanganinya Perjanjian Malino adalah langkah akhir pihak Kristen Radikal untuk “menyerah” akibat kemenangan umat Islam yang dipimpin oleh sebagian diantaranya adalah para 16 DPO muslim yang kini dicari-cari polisi. Kalau saja Kristen Radikal tidak kalah rasanya tidak akan mau mereka menandatangani perjanjian Malino ini. Jadi bagi mereka Perjanjian Malino menjadi semacam alat untuk melindungi mereka dari kehancuran yang lebih besar lagi dalam perang antar umat beragama ini. Hal ini terbukti bahwa Perjanjian Malino dijadikan alat untuk mengulur waktu bagi mereka untuk menyusun kekuatan menyerang balik. Dan serangan balik ini benar-benar akhirnya terjadi.
Pasca Hukuman Mati Tibo Cs : Berubah Menjadi Perang Dengan Aparat Brimob & TNI
Kekejaman umat Kristen Radikal yang antara lain dipimpin oleh Tibo Cs telah menewaskan lebih dari 2000 umat Islam Poso. Perjanjian Malino ditandatangani, dan Tibo Cs dihukum mati. Umat Islam lega, tapi hanya sebentar. Karena pembantaian masih terjadi.
Kesepakatan Malino dinodai, ketika senjata diserahkan ke kepolisian, umat Islam pun diserang lagi. Umat Islam pun membalas. Bom meledak, pelajar dibunuh, dan sebagainya. Kepolisian kemudian menetapkan 16 Daftar Pencarian Orang (DPO) muslim Poso yang dianggap sebagai penyebab. Penetapan 16 DPO inilah yang lantas merubah peta perang yang tadinya antara Kristen Radikal dengan umat Islam Poso menjadi antara Aparat Kepolisian & TNI dengan umat Islam Poso. Kristen Radikal pun undur sejenak, diperkirakan mereka menyimpan senjatanya sementara.
Umat Islam Poso berjanji akan menyerahkan 16 DPO muslim asalkan 19 tokoh Kristen Radikal (termasuk Pendeta Damanik) yang disebutkan Tibo Cs sebagai dalang penggerak Kristen Radikal agar juga diperiksa. Ini prinsip keadilan. Syarat lain yang mereka kemukakan adalah agar DPO diperiksa sebagai tersangka bukan sebagai pesakitan.
Sangat sulit bagi keluarga DPO dan warga muslim Poso untuk menyerahkan 16 DPO ini karena kenyataannya beberapa saudara kandung DPO yang diciduk saja disiksa lalu mati di bunuh (namun polisi mengatakannya mati karena sakit). Kalau saudaranya si DPO saja disiksa dan dibunuh, bagaimana pula dengan DPO nya sendiri. Ketika berita di media massa melaporkan bahwa belasan muslim penyerang Brimob berhasil ditembak polisi, sungguh ini berita bohong. Menurut kesaksian mereka, yang terbunuh ada yang wanita dan anak-anak. Bahkan ketika dikatakan ada pelindung DPO yang terbunuh, sebenarnya mereka sudah diciduk beberapa hari sebelumnya, kemungkinan dibawa kesana untuk dibunuh sehingga solah-olah terbunuh saat baku tembak.
Di stasiun TV kita lihat minggu lalu sekitar 8 orang penduduk sipil yang melapor karena disiksa oleh Kepolisian karena tinggal di wilayah DPO. Ustadz Ahmad sendiri menyaksikan seorang temannya ditembaki polisi, dan ketika ia menanyakan alasannya, polisi (Brimob) mengatakan alasannya karena ia memukul-mukul tiang listrik. Apakah memukul tiang listrik suatu tindakan kejahatan?. Ketika dikejar terus dengan protes, pak Polisi hanya bilang ini keputusan politik, bukan keputusan kami. Lha, ini cermin tindakan berlebihan Brimob dan TNI terhadap umat Islam. Kenapa tindakan tegas tidak mereka dilakukan ketika pemuda muslim Poso dikeroyok, ditombak dan dibacok di depan polisi hingga kulit kepalanya terkelupas terumbai-umbai.
Kasus Poso Tidak Boleh Diputihkan
Habib Rizieq yang hadir di Komnas HAM mengatakan bahwa ia menolak keras sikap Wapres Jusuf Kalla yang hanya menindak tegas setiap pelaku kerusuhan pasca Perjajian Malino. Sikap ini berarti mengganggap bahwa kasus sebelum Malino diputihkan alias tidak perlu dipermasalahkan lagi. Tidak ada kasus kriminal yang boleh diputihkan, katanya. Perhatikan, bahwa masa sebelum Perjanjian Malino adalah masa pembantaian 2000 umat Islam oleh Kristen Radikal dibawah kendali 19 orang yang disebutkan Tibo Cs.
Bagaimana kematian 2000 umat Islam Poso dianggap tidak pernah ada. Sedangkan masa Pasca Malino adalah masa terjadinya kasus pembalasan umat Islam (16 DPO) terhadap Kristen Radikal akibat pelanggaran mereka terhadap Perjanjian Malino (penyerangan perkampungan muslim).
Ketika Habib Rizieq diminta pemerintah menengahi kasus Poso dan 16 DPO ini, ia mendengar dari seorang ibu yang anaknya termasuk seorang DPO, bahwa 16 DPO siap menyerahkan diri asal dengan syarat 19 daftar nama Kristen Radikal yang disebut Tibo Cs juga diproses. Syarat kedua, ada jaminan tidak disiksa. Ibu itu berkala lagi, baginya lebih senang menerima mayat anaknya mati terbunuh di medan perang dari pada menyaksikan anaknya kembali dari Kepolisian dalam keadaan cacat akibat disiksa. Ingat, DPO adalah tersangka, artinya belum tentu mereka bersalah, karena masih harus melalui proses pengadilan untuk membuktikannya.
Media Massa pun Ikut Tidak Adil
Ketika belasan umat Islam Poso tewas dalam serangan Brimob ke perkampungan muslim untuk mencari para DPO, sementara itu hanya 1 orang anggota Brimob yang tewas, maka hampir semua media massa memberitakan kesedihan yang meliputi keluarga sang Brimob. Bahkan berita dukacita kematian anggota Brimob ini dibahas tuntas hingga ke kehidupan pribadinya selama ini dan kemudian diulang-ulang dalam setiap pemberitaan berikutnya dalam durasi yang panjang. Seandainya penderitaan, penyiksaan dan kekejaman terhadap umat Islam Poso dapat ditayangkan seluruhnya secara lengkap di TV, maka saya yakin tak ada seorangpun yang tertarik lagi menonton infotainment.
Sementara itu ketika rekaman video yang disebut diatas ditayangkan di Komnas HAM, puluhan wartawan yang hadir berteriak histeris atau meringis jijik. Namun malamnya atau sorenya, ketika kunjungan ke Komnas HAM diberitakan, isinya hanya menyatakan bahwa ‘sekelompok umat Islam yang menamakan dirinya Forum Umat Islam mendatangi Komnas Ham untuk meneliti kasus Poso’ . Lantas wawancara yang disiarkanpun adalah wawancara terhadap salah satu wakil Komnas HAM, yang komentarnya akan mempelajari kasus ini karena mereka harus menerima informasi dari berbagai sumber. Ketika menampilkan orang yang sedang berdemopun hanya ditampilkan 4 – 5 orang yang berseragam hitam-hitam, padahal peserta demo hari itu ada sekitar 150 orang dari FPI, HT, Bulan Bintang dan MMI. Sungguh mereka tidak menampilkan pernyataan keras Ust. Abu Bakar Ba’asyir yang mengatakan siap menyerukan jihad umum kepada seluruh umat Islam Indonesia bila penyelesaian Poso tidak adil. Atau pernyataan Habib Rizieq yang menuntut Komnas HAM mengajukan Yufus Kalla dan mantan kepala BIN, Hendropriyono, agar diperiksa karena melindungi kejahatan terhadap umat Islam.
Apalagi harian Kompas, yang memberitakan tokoh Muslim Poso, Ust. Adnan Arsal, menganjurkan 16 DPO menyerahkan diri. Tapi Kompas tidak ada atau tidak lengkap menuliskan syarat-syarat yang dikemukakan Ust. Adnan Arsal agar DPO mau menyerahkan diri.
Jusuf Kalla dan Logika Peran Tokoh Islam
Perhatikan logika ini dengan baik ! Masalah Poso dalam kacamata Islam harus diselesaikan dengan pendekatan Nahi Munkar (memberantas kejahatan), bukan sekedar Amar Ma’ruf (mengajak berbuat baik). Sabtu malam, 27 Januari 2007, Wapres Yusuf Kalla mengundang tokoh Islam untuk mendiskusikan penyelesaian Poso. Setelah selama ini pak Yusuf ini mendengar laporan Poso dari sisa-sisa informasi dari Ketua BIN yang lama, Hendropriyono (yang pernah tersangkut kasus pembantaian Muslim Lampung), maka rupanya pak Yufuf ini mencoba mencari solusi dialog dengan tokoh Islam. Ia sendiri yang mendefinisikan siapa tokoh Islam yang pantas menyelesaikan masalah semacam ini.
Secara logika, maka seharusnya yang diundang adalah ahli nahi munkar atau tokoh ormas Islam yang bergerak dibidang nahi munkar, antara lain FPI, MMI, FUI, dan lain-lain. Lucunya yang diundang adalah tokoh organisasi amar makruf dan organisasi politik Islam, seperti NU, Muhammadiyah, PKS, dll. Bahkan diundang juga tokoh “intelektual” muslim semacam Komarudin Hidayat dan Syafi’i Maarif (keduanya tokoh Islam Liberal, pendangkal dan perusak akidah ummat Islam). Kalaupun Ja’far Umar Thalib (mantan Panglima Laskar Jihad) diundang dalam acara ini, tentulah dengan pertimbangan bahwa ia seorang mantan organisasi perjuangan nahi munkar yang kabarnya kini sudah “menyesali” perbuatannya dan kini fokus ke amar makruf.
Bagaimana suatu masalah Nahi Munkar diselesaikan oleh tokoh-tokoh agama yang spesialis Amar Makruf?. Katakanlah mereka cukup memahami masalah Nahi Munkar, tapi toh sebatas wacana atau paling tinggi dalam level di mimbar mesjid, bukan dalam pergerakan konkret di lapangan. Adalah wajar bila saksi mata atau intel Islam di Poso selama ini melaporkan kekejaman musuh Islam kepada tokoh-tokoh ormas Nahi Munkar semacam Habib Rizieq atau Ust Abubakar. Toh tidak mungkinlah mereka melaporkan hal semacam ini kepada partai PKS atau Gusdur atau Aa Gym atau Syafii Maarif atau Komarudin Hidayat. Ini sama juga diibaratkan seorang Presiden meminta pendapat Menteri Keuangan untuk mencari jalan keluar terhadap masalah keamanan atau masalah suatu peperangan. Pastilah sang Menteri Keuangan melihatnya dari kacamata budget dan laba rugi.
Bagi yang prihatin atau berpihak pada umat Islam Poso, minimal anda bisa mendoakan mereka saat ini juga. Bagi yang tidak peduli atau yang membenci umat Islam Poso, timbul rasa penasaran saya untuk melihat bagaimana kelak Allah akan memperlakukan mereka di akhirat. (paguyubanpulukadang.forumotion.net)